Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH WAYANG BEBER

Sejarah awal Wayang Beber tidak diketahui dengan pasti. Menurut Arif Mustofa, seorang
pemerhati budaya tradisi dari Universitas Negeri Surabaya mengatakan, dalam kitab Babad Tanah
Jawa disebutkan, ketika Jaka Tingkir dilahirkan (1500-1549), digelar pertunjukan Wayang Beber
sebagai wujud ungkapan rasa syukur. Kemudian makalah Rochimdakas yang berjudul “Perjalanan
Wayang Beber”, menceritakan bahwa pada abad ke XII, Prabu Pandreman (Raja Pajajaran) pernah
mengutus untuk merubah dan memperbesar gambar Wayang Purwa yang dibuat dari kulit kayu
yang pohonnya diambil dari Ponorogo. Di sisi Kanan dan kiri gambar, diikat sepotong kayu untuk
membuka dan menutup gulungan gambar. Disimpulkan berdasar catatan ini, wayang beber sudah
ada antara abad XII hingga abad XV.

Wayang beber adalah jenis wayang berupa gambar-gambar yang melukiskan kejadian atau adegan
penting cerita Panji yang berasal dari Kerajaan Jenggala abad ke-11. Wayang ini dibuat sesudah
Pemerintahan Amangkurat II (1677-1678) dan sebelum Amangkurat III (1703-1705) di daerah
Kartosuro. Wayang Beber dari wilayah Pacitan memuat cerita dari Sulung, berasal dari pembantu
Prabu Brawijaya. Versi dari keberadaan wayang beber Pacitan ditulis dalam kitab Sastromiduro dan
diperkuat oleh Ma Huan (berasal dari Tiongkok) yang beragama Islam (1413-1415) yang mengiringi
Laksamana Cheng Ho dalam lawatannya ke Majapahit.

Menurut Serat Centini, ketika Jaka Susuruh bertakhta di Majapahit beliau membuat gambar wayang
yang mencontoh gambar wayang dari Kediri atau Jenggala. Namun gambar wayang tersebut
digoreskan pada kertas dluwang (jenis kertas hasil kearifan lokal masyarakat Jawa saat itu, yang
dibuat dari kulit pohon dan diproses dengan cara sederhana) yang digulung menjadi satu.
Pengerjaan wayang tersebut selesai pada tahun 1361 M, dan berkembang hingga zaman Majapahit
akhir. Konon pada saat itu ada seorang putra dari Prabu Brawijaya yang pandai melukis, bernama
Sungging Prabangkara. Dia memberikan warna pada pakaian yang dikenakan oleh wayang pada
lembar wayang beber dengan menggunakan cat yang beraneka warna, yang disesuaikan dengan
wujud dan tingkatannya, di mana proses tersebut selesai pada tahun 1378 M.

Berdasarkan catatan Ma Huan, Wayang Beber Pacitan diperkirakan dibuat pada tahun 1614 tahun
Jawa atau 1692 Masehi. Kurun waktu tersebut dipadukan dengan sengkala yang ada pada Wayang
Beber yang berbunyi, “Gawe Srabi Jinamah ing Wong”, yang berarti gawe: 4, Srabi: 1, Jinamah: 6 dan
Wong: 1, kalau dibalik dan disusun angkanya menjadi 1614. Dari hal tersebut dapat disimpulkan ada
kesamaan antara catatan dan laporan dari Ma Huan. Sementara Dr. G.A.J. Hazeu pernah menulis
mengenai Wayang Beber yang dipertotonkan di yogyakarta. Dalam Notulen “deel
XI” dari “Bat.Gen.van Kunsten en Wetenschappen” tahun 1909, dituliskan bahwa Wayang Beber
pacitan dianggap sebagai wayang yang sporadis, namun masih sesekali dipertontonkan di Pacitan
dan dianggap sebagai benda yang bertuah. Orang-orang yang mempunyai nazar, kaul dan
semacamnya, akan datang ke rumah dalang dengan membawa kembang boreh (campuran dari
bunga-bunga yang warnanya serba putih), kemenyan dan barang lainnya yang dianggap diperlukan.
Setelah itu dalang kemudian membacakan mantra-mantra terhadap sesajen yang dibawa agar
keinginan orang yang mempunyai hajat tersebut tercapai.

Salah satu dalang Wayang Beber yang merupakan keturunan dari dalang Wayang Beber pertama
adalah Sumardi / Ki Mardi Guno. Beliau adalah dalang Wayang Beber.Beliau merupakan warga
Dusun Karang Talun, Desa Gedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan. Ia menerima
warisan seperangkat Wayang Beber dari ayahnya, Ki Dalang Sarnen atau Guna Carita. Dari dalang
pertama Wayang Beber , Ki Tawang Alun, dilanjutkan pada anak keturunannya, Ki Nalongso, Ki
Citrawangsa, Ki Gandayuta, Ki Singanangga, dan seterusnya, hingga sampai pada generasi Ki Sarnen
dan Ki Sumardi.

Bersamaan dengan penyerahan satu kotak Wayang Beber tersebut, Sumardi pun dinyatakan sebagai
dalang baru. Wayang Beber yang usianya sudah ratusan tahun tersebut menurut Sumardi
merupakan pemberian dari Prabu Brawijaya. Dikisahkan, pada masa itu, putri dari Prabu Brawijaya
sakit keras. Walau sudah mengundang tabib dan ahli dari seluruh Majapahit, penyakit Sang Putri tak
kunjung sembuh. Akhirnya, Ki Tawang Alun diundang untuk mengobati penyakit putri, dan berhasil
mengobatinya menjadi sembuh dari penyakitnya. Sebagai ungkapan rasa syukur Sang Prabu, Ki
Tawang Alun diberi hadiah dalam bentuk seperangkat Wayang Beber dengan harapan kelak
pemberiannya dapat menjadi sumber penghasilan bagi Ki Tawang Alun dan anak keturunannya.

Anda mungkin juga menyukai