Anda di halaman 1dari 16

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAYANG

Walaupun pertunjukan wayang kulit sudah lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap
digemari dan tetap mendarah daging bagi Bangsa Indonesia pada umumnya suku Jawa pada
khususnya. Dalam perkembangan wayang dan sejarahnya ada dua teori yang dapat dipakai
Pertama, perkembangan wayang yang berkaitan dengan morfologi wayang.Teori ini
menjelaskan tentang asal usul wayangyang bermula dari gambar relief candi kemudian dipindah
padalembaran kertas yang disebut wayang beber. Kedua,teori perkembangan wayang
berdasarkan perkembangan sejarah atausumber-sumber Sejarah, Prasasti, Serat, Catatan atau
Buku.1

1. Sejarah Wayang
1. Definisi Wayang
Dalam buku karya Sri Mulyono dijelaskan bahwa Wayang dalam Bahasa Jawa kata ini
berarti “Bayangan”, dalam Bahasa Melayu disebut Bayang-bayang,dalam Bahasa Aceh:
Bayeng,dalam Bahasa Bugis: Wayang atau Bayan,dalam Bahasa Bikol dikenal kata: Baying
artinya “barang”, yaitu “apa yang dilihat nyata”. Akar kata dari Wayang adalah yang. Akar kata
ini bervariasi dengan yung, yong, antara lain terdapat dalam kata layang-“terbang”, doyong-
“miring”, tidak stabil: royong-selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain: poyang-payingan“
berjalan sempoyongan, tidak tenang” dan sebagainya. Dengan memperbandingkan berbagai
pengertian dari akar kata yang beserta variasinya, dapat dikemukakan bahwa definisi wayang
pada dasarnya adalah: “tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak ke sana kesini
kian-kemari”.2
2. Asal usul dan sejarah Wayang
Pendapat-pendapat para ahli purbakala, ahli sejarah dan ahli bahasa/kesusateraan dapat
disimpulkan bahwa wayang pertama kali muncul pada zaman animisme melayu Polynesia.3

1
Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit, Dahara Prize, Semarang, 1997. Hal. 16
2
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit., hal. 9
3
Adalah Zaman Batu dan merupakan awal mula inti kesenian wayang lahir, namun bukan berbentuk
kesenian tapi pemujaan ritual menggunakan bayangan dan pahatan batu atau tepatnya pada zaman peralihan batu ke
perunggu, menurut Dr. Soeroto zaman tersebut disebut zaman kapak persegi/ Neolithikum,3000 tahun sebelum
masehi.

14
Kesimpulan ini disampaikan oleh Hazeu. Asal usul wayang sendiri memiliki banyak perdebatan
pendapat dari para ahli. Beberapa mengatakan wayang berasal dari India, beberapa mengatakan
bahwa wayang adalah kesenian asli Indonesia yang lahir di Jawa, dan sebagian lainya berteori
bahwa kesenian wayang adalah akulturasi dan perpaduan dua budaya yaitu Jawa dengan Hindu. 4
Melihat dari cerita pewayangan purwa, definisi wayang Purwa diambil dari kamus besar Bahasa
Indonesia: Wayang kulit yang membawakancerita bersumber dari kitab Mahabharata dan
Ramayana. Kitab Mahabharata adalah karya besar seorang penyair terkenal yaitu Bhagawan
Wyasa dan kitab Ramayana juga merupakan karya besar penyair lain yaitu Walmiki. 5
Pischel seorang peneliti wayang berpendapat bahwa wayang berasal dari India dilihat
dari kata “Rupparuakam” yang terdapat dalam kitab pewayangan Mahabharata dan kata
“Ruppapanjipane” yang terdapat dalam Therigata, yang keduanya berarti sama yaitu Bayangan.
Pischel juga menambahkan untuk mencoba membuktikan pendapatnya dengan alasan cerita
wayang purwa yang ada di Indonesia diambil dari kitab Mahabharata dan Ramayana dimana dua
kitab ini milik Bangsa Hindu dan India. Pendapat mengenai asal usul wayang yang berasal dari
India ini dibantah oleh seorang peneliti lainya yaitu Brandes ia mengatakan bahwa bukti yang
ditunjukan Pischel sangatlah lemah karena hanya merupakan hipotesa belaka. Masih
berhubungan dengan Hindu salah seorang ahli lainnya yaitu Kram berpendapat bahwa wayang
adalah hasil perpaduan budaya Hindu-Jawa dibuktikan dengan persebaran wayang yang hanya
meliputi dua daerah saja Jawa dan Bali dimana dua daerah ini mengalami banyak pengaruh dari
Hindu dalam perkembangannya. 6
Senada denganN. J. Kram peneliti lain yaitu Rassers menyatakan pendapat dan teorinya
dengan analogi yang mudah difahami bahwa wayang adalah budaya campuran atau hasil
pertemuan dua budaya kuna yaitu Hindu-Jawa. Pembuktiannya adalah karakter wayang dan
cerita pewayangan Purwa yang berkembang di Jawa-Bali menggunakan karakter khas India.
Menurutnya mengapa wayang purwa Jawa dalam pertunjukannya menghidupkan bayang-bayang
nenek moyang dalam cerita yang terkandung pada kitab Mahabharata dan Ramayana, bukankah

4
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,hal. 53
5
Nyoman S. Pendit, Mahabharata, PT Gramedia pustaka utama, Jakarta. 2003. Hal. 2
6
Imam Wahyudi, Nilai-Nilai Islam dalam Cerita Wali Sanga pada Pagelaran Wayang Kulit Lakon
Lahirnya Sunan Giri di Desa Manyar Kecamatan Sekaran Lamongan melalui Media Video. (Skripsi.) Surabaya:
IAIN Sunan Ampel, 2011, Hal. 14.

15
ini menjadi suatu tanda kebudayaan Hindu yang melekat. Namun menambahkan disisi lain jika
sepenuhnya wayang adalah budaya Hindu yang di bawa dari India mengapa bentuk-bentuk dari
beberapa patungnya (Semar, Petruk, Gareng dan Bagong7 yang merupakan tokoh asli Jawa)
tidak menyerupai bentuk dari nenek moyang Bangsa India. Pendapat ini juga sekaligus
pembenaran terhadap teori Brandes, artinya bahwa adanya penggabungan, perpaduan atau
akulturasi budaya yang terjadi disini antara budaya Jawa dengan budaya Hindu.8
Menurutut Ralph L. Beals dan Harry Hoyer bahwa Bangsa Indonesia pada hakekatnya
bukan Bangsa Melayu, namun keturunan dari Bangsa induk Mongol (Mongoloid) yang artinya
semua kebudayaan yang ada di Indonesia termasuk wayang adalah impor dari Bangsa mongol-
India bersama kebudayaan Hindu pada abad ke- 3 M. Pendapat ini dibantah keras oleh S. D.
Humardani yang mengatakan bahwa kesenian wayang memiliki bahasa dan watak yang khas
beserta pengantarnya yang menggunakan bahasa Kawi tanpa ada sedikitpun Bahasa India di
sana. Yang menarik disini adalah mengenai pendapat Beals, Hoyer, Kram dan Rassers dengan
tegas mengatakan wayang dibawa oleh Bangsa Hindu ke Indonesia namun dalam pembuktiannya
Bangsa Hindu hingga sekarang tidak memiliki kesenian wayang yang sama dengan wayang yang
ada di Jawa, tidak ada bukti tertulis wayang lahir di India. Bangsa India memang memiliki
kesenian teater namun berbeda sekali dengan wayang.
Rhabindranath Tagore seorang pujangga besar dari India yang terkenal ketika
mengunjungi Indonesia beliau disuguhkan kesenian wayang kulit dengan jenis wayang semalam
suntuk yang dipentaskan untuk menghormati pujangga tersebut. Seusai pementasan Tagore
berpendapat bahwa tidak ada satu nama karater atau punakawanpun yang ia kenali atau memakai
bahasa India walaupun ada dua nama yang mirip seperti Arjuna dan Sri Kresna namun berbeda
sekali dalam bentuknya.9
Mengenai sejarah wayang sendiri sejak tahun 60-an para peneliti dan budayawan wayang
sepakat bahwa wayang adalah kesenian asli Jawa dan lahir di Jawa. Namun di masa Hindu dan
Islam datang wayang mengalami banyak perubahan dalam perkembanganya.Pendapat ini
didukung oleh beberapa ahli yaitu Hazeu dan Brandes. Dalam disertasinya yang berjudul
7
Mahendra Sucipto, Ensikolpedia Tokoh-Tokoh Wayang Dan Silsilahnya, Narasi,Yogyakarta. 2009. Hal
362
8
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,hal. 27-28.
9
Dr. Seno Sastromidjojo, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang kulit, P.T. Kinta, Jakarta. 1964. Hal. 16-
18

16
Bydrage tot de kennis van het Javaansche Tooneel karyaHazeu didalamnya terdapat penjelasan
ilmiah dan terperinci mengenai asal usul wayang, dijelaskan bahwa melihat suatu objek dan
menelitinya akan sangat cermat dalam hasil penilain yang objektif apabila dilihat dari bagian-
bagian atau aspek-aspek penting dalam objek tersebut. Dalam Hal ini Hazeu menemukan aspek-
aspek penting tersebut ialah : Wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak dan cempela.
Beberapa istilah diatas adalah aspek-aspek penting yang ada dalam kesenian wayang. 10 Berikut
penjabaran menurut Hazeu sebagai penegas pendapatnya bahwa wayang adalah budaya asli
Jawa:
1. Wayang
Kata ini berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai akar kata “yang” dengan berbagai
variasi vokalnya antara lain “layang”, “dhoyang”, “puyeng”, “reyong” yang berarti: selalu
bergerak-gerak, tidak tetap, samar-samar dan sayup-sayup.
2. Kelir
Berasal dari akar kata “Lir” = “Lar” yang mengandung arti: terbentang. Jadi kelir berarti:
sesuatu yang terbentang atau tergelar.
3. Blencong
Yaitu berasal dari akar kata “Cang” = ”Cong” yang berarti: tidak lurus (bandingkan
dengan kata: Mencong, menceng dan sebagainya). Karenanya blencong adalah lampu yang
dipakai dalam pertunjukan wayang yang mempunyai sumbu tidak lurus.
4. Khotak
Berasal dari akar kata “Thak” = “Thik” yang mengandung arti: dua benda
bertemu(“Gathuk”). Fungsinya dalah tempat untuk menyimpan Wayang.
5. Kepyak
Yang mempunyai akar kata “Pyak” = “Pyek” berarti bunyi dari dua atau beberapa
kepingan bertemu. Bentuknya adalah beberapa alat yang berbahan tembaga dan campuran
kuningan yang berbunyi Pyak.
6. Dalang
Akar katanya adalah “Lang” dan mengandung arti selalu berpindah tempat (“Langlang”)
dalang adalah yang memainkan pertunjukan wayang. Dalam pelaksanaan pekerjaanya. Dalang

10
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,hal. 8.

17
selalu berpindah tempat dari mendalang disatu tempat lalu ketempat yang lainnya
(melanglang).11
7. Campela
Dalam karya Proefschrift-nya Poerbatraraka yang berjudul “Agastya In Den Archipel”
menjelaskan bahwa Cempala adalah bahasa asli Jawa yang berarti kayu atau alat untuk memukul
kotak wayang yang dilakukan oleh dalang saat dalang bershuluk atau anta wacana. (membacakan
prolog ataupun ditengah jalan cerita pada saat pagelaran wayang dilaksanakan).12
Didapati olehBrandes dan Hazeu istilah-istilah dan arti kata tersebut setelah diselidik
dengan sangat teliti dan ilmiah hasilnya pada istilah diatas tidak ada satupun dari daerah diluar
Jawa yang memiliki istilah tersebut; bahkan mencirikannya, artinya melihat alat-alat sederhana
yang dipakai dalam pementasan wayang dengan mencari tahu asal muasal istilah alat tersebut,
maka diketahui pementasan wayang berasal dari tempat yang sama dengan istilah tersebut
dibuat. yaitu di Jawa.
Untuk menyangkal pendapat Rassers bahwa wayang adalah budaya Hindu-Jawa yang
dahulu Hindu lalu bercampur dengan budaya Jawa dengan tegas Brandes mengatakan orang
Hindu memang memiliki teater yang populer namun itu berbeda sekali dengan teater wayang asli
Jawa.13 Dapat dilihat dari istilah-istilah teknis yang dipakai dalam pagelaran wayang yang
disampaikan oleh Hazeu dalam karyanya adalah bahasa asli Jawa dan tidak ditemukan di tempat
lain atau dalam bahasa Hindu sekalipun. 14
Brandes menambahkan pendapatnya di samping pernyataannya yang senada dengan
Hazeu. Benar sekali jika dikatakan wayang adalah budaya Jawa asli, kita dapat melihat dari
tokoh-tokoh yang ada dalam wayang yaitu Semar, Petruk, Gareng dan Bagong yang merupakan
tokoh asli yang tumbuh dari kebudayaan Jawa dan tidak ada dalam teater Hindu. Tokoh tokoh
tersebut adalah karya dari penggubahan cerita masyarakat Jawa, terlihat begitu erat sekali
wayang dengan kehidupan sosial dan kultural masyarakat Jawa, begitupun dengan nilai
religiusnya. 15

11
Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Op. Cit.,hal. 51-52
12
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,hal. 53
14
Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Op. Cit.,hal. 12-13
15
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,hal. 9-27.

18
Disini sehubungan dengan pendapat mana yang diambil mengenai asal usul wayang
penulis mengikuti pendapat yang ojektif dari Sri Mulyonoyang mengatakan dengan tegas dalam
tiga bukunya bahwa wayang adalah produk kesenian asli yang lahir dan milik Bangsa Indonesia.
Seperti diatas telah dipaparkan beberapa pendapat para ahli yang mendukung dan menyangkal
teori ini. Salah satu tokoh lagi yaitu Soediro Satoto yang dengan sangat tegas mengamini
pendapat Sri Mulyono dan menerapkan hasil penelitian Hazeu kedalam bukunya untuk dijadikan
rujukan.16
3. Jenis-jenis Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar dari setiap pulau Jawa, Bali,
Lombok, Kalimantan, Sumatra, baik yang masih lestari maupun yang sudah punah dan menjadi
kepustakaan di museum-museum. Pada pertengahan abad 19 Direktur Museum Etnografi of
Leiden yaituL Serrurier melakukan penelitian angket mengenai jenis-jenis wayang yang ada di
Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut diberi judul De Wajang Poerwa. Mengutip hasil
penelitian yang ditulis dalam buku tersebut bahwa jenis-jenis Wayang yang ada di Indonesia
sebagai berikut:
Wayang Purwa Wayang Pegon
Wayang Purawa Wayang Sasak
Wayang Beber Wayang Topeng
Wayang Klithik Wayang Wong
Wayang Gedog Wayang Orang
Wayang Menak Wayang Gambuh
Wayang Golek Sunda Wayang Sasak Lombok
Wayang Jemblung Wayang Ramayana Bali
Wayang Karucil (Krucil) Wayang Banjar Kalimantan
Wangen Langendria WayangJemblung
Wayang Lilingong Wayang Kancil
Wayang Lumping Wayang Purwa Cirebon
Wayang Madya Wayang Suluh

16
Soediro, Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya, Direktorat Jendral
KebudayaanDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 1985. Hal. 143.

19
Wayang Wahyu Wayang Purwa Surakrta
Wayang Golek Sunda Wayang Purwa Yogyakarta
Menurut jenis dan pelaku pementasnya ragam jenis wayang digolongkan dalam lima
golongan yaitu: (1) Wayang Kulit, pelaku yang muncul adalah boneka yang terbuat dari kulit, (2)
Wayang Golek, pelakunya dari boneka yang dibuat dari kayu, (3) Wayang Wong, langsung
diperankan oleh orang (4) Wayang Beber, pementasan gambar wayang pada kertas beber yang
dibentangkan, (5) Wayang Klithik, pelakunya dibuat dari kayu pipih. 17

4. Perkembangan Wayang
Banyak orang mengira pertunjukan wayang atau kesenian wayang adalah salah satu
peninggalan kebudayaan Hindu, kenyataanya tidak. Wayang kulit dalam bentuk asli dengan
peralatan serba sederhana, dipastikan berasal dari Indonesia dan diciptakan oleh Bangsa
Indonesia di Jawa. Lahirnya jauh sebelum Bangsa Hindu datang, yakni kira-kira pada tahun 1500
Sebelum Masehi. 18 Banyak kalangan pelajar, sarjana, profesor yang sudah mengupas habis
mengenai sejarah dan asal-usul wayang. Untuk memudahkan pembaca, penulis ingin mencoba
untuk membuat pola mengenai perkembangan wayang yang menurut Sri Mulyono
perkembangan wayang dibagi menjadi dua zaman. Pertama, Zaman Prasejarah yaitu zaman
sejak permulaan adanya manusia dan adanya kebudayaan, sampai dengan kira-kira abad V
Masehi. Dalam Zaman Prasejarah inilah mulai adanya pertunjukan bayang-bayang/Wayang atau
mulainya sejarah Wayang dalam bentuk “pentas bayangan”. Kedua, Zaman Sejarah yaitu zaman
sejak abad V sampai sekarang.
1. Zaman Prasejarah
Memang sangat sulit sekali menentukan dan menggali data mengenai wayang di Zaman
Prasejarah dikarenakan tidak adanya bukti tulisan dan hanya mengandalkan praduga. Dalam
sejarah kebudayaan Indonesia pada Zaman Prasejarah, alam pikiran nenek moyang kita masih
sangat sederhana. Mereka mempunyai anggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya
memiliki kekuatan gaib, bernyawa dan memiliki watak yang baik dan jahat.19

17
Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, UI Press, Jakarta. 1988. Hal. 11-15
18
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,Hal. 2
19
Koencaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. 1997. Hal. 103

20
Mereka selalu dikuasai keinginan mengetahui seluk beluk semua masalah yang berada di
sekelilingnya. Pada waktu itu, mereka percaya bahwa roh yang sudah mati masih tinggal dan
dianggap hidup di sekeliling mereka. Misalnya: pada pohon-pohon, gunung yang kemudian
disebut gunung “Hyang” atau “Di-Hyang” (Dieng), atau Da Hyang atau “Da Yang” dan lain
sebagainya. 20 Pendapat ini didukung oleh Abdullah dalam bukunya bahwa manusia Prasejarah
dapat berhubungan dengan Roh leluhur, dan sebaliknya Roh leluhur dapat memberi petunjuk
kepada manusia, dan Roh tersebut memiliki beberapa sebutan seperti Sang Hyang Taya, Wenang
dan Tunggal. 21 Kegunaan dan fungsi wayang di Zaman Prasejarah tepatnya sejak tahun 1500
Sebelum Masehi sampai abad ke I atau kedatangan Bangsa Hindu ke Jawa atau jika
diakumulasikan selama 15 abad menjadi sebuah pertunjukan bayang-bayang yang sarat dengan
magis religius, dikeramatkan menjelma menjadi mitologi kuna tradisional. 22
Sri Mulyono menjelaskan bahwa wayang pada Zaman Prasejarah digunakan sebagai
penghubung dengan roh gaib nenek moyang atau biasa disebut sekarang adalah upacara. Dalam
upacara ini ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan lancar sebuah
upacara tersebut yaitu
Pertama Tempat khusus, untuk melakukan upacara ini dibagi sebagai berikut :
1. Tempat pusat kekuatan gaib dari keluarga, misalnya di bilik atau di tempat peristiwa-
peristiwa, pendopo, saka-guru, peringgitan dan sebagainya.
2. Tempat pusat kekuatan gaib yang disakralkan masyarakat pada saat itu misalnya sendang
atau tempat sumber air, di gunung bebukitan, dirumah kepala desa dan sebagainya.
Kedua Waktu Khusus,waktu upacara ini harus dipilih sebagai waktu yang
gaib,yaitu waktu yang seirama dengan gerak jiwa dan alam semesta. Contohnya :
1. Waktu malam hari, pada saat roh ini dianggap sedang mengembara.
2. Waktu sehabis panen, atau sehabis dan sebelum melaksanakan tugas berat. Waktu
perkawinan, waktu kematian, dan lainnya.
Ketiga Orang yang sakti,disamping dua syarat diatas dibutuhkan juga satu syarat
penting yaitu pemimpin dari upacara untuk berhubungan langsung dengan roh gaib pada

20
Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, Op. Cit.,Hal. 53
21
Dr. Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta. 1986. Hal. 27
22
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,Hal. 249

21
saat pelaksaan upacara tersebut. Menjadi orang sakti yang dinobatkan sebagai pemimpin
upacara harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Pendeta atau pemimpin agama.
2. Pemimpin desa atau pemimpin keluarga.
3. Syaman atau perewangan (Kalimantan), dukun sihir (Sibase-Batak), pawang (Sikerai).
Adapun tiga syarat diatas jika sudah terpenuhi ada beberapa sarana lain yang
harus juga dipenuhi dalam upacara atau berhubungan dengan roh gaib yang berupa alat-
alat khusus yaitu:
1. Patung dari nenek moyang yang telah meninggal.
2. Patung korwar (patung yang diberi tengkorak nenek moyang).
3. Mummi yaitu mayat nenek moyang yang telah dikeringkan.
4. Gambar dari nenek moyang yang dilukis di pahatan kulit binatang lalu diterangi dengan
cahaya penerangan seperti bara api sehingga menimbulkan bayangan. Bayangan ini
dianggap sebagai bukti kedatangan dari roh nenek moyang.
5. Sajian-sajian atau bau-bauan yang disukai oleh nenek moyang.
6. Hymne-hymne atau pujian.
Mengutip salah satu pendapat Poensen mengatakan bahwa sebenarnya kesenian wayang
berawal dari ritual-ritual agama yang dilakukan masyarakat yang hidup di Zaman Prasejarah di
Indonesia. Pendapat ini didukung dari hasil penelitian Sri Mulyono diatas. Selain Poesen,
pendapat ahli lainya yaitu Burhan Nurgiyantoro mengatakan wayang adalah kesenian nenek
moyang leluhur Bangsa Indonesia yang berawal dari upacara penyembahan dan ritual sakral
penganut animisme dan dinamisme dengan bentuk “pentas bayangan” yang dilakukan pada
malam hari dan dipandu orang sakti yang dijuluki syaman. Pentas bayangan ini lalu berubah
menjadi pentas wayang yang menggunakan alat sederhana, namun pada prinsipnya sama dengan
yang ada sekarang. Burhan menyatakan budaya orang Jawa pada dasarnya adalah budaya yang
terbuka, toleran terhadap budaya lain. Wajar ketika awal abad ke –V Hindu datang membawa
kitab Mahabharata dan Ramayana diterima Masyarakat Jawa dengan baik. 23
Bentuk kesenian wayang hingga sekarang hanya mengalami perubahan dalam segi
penyebutan dan lebih teratur, diawali dengan tempat dan waktu khusus pelaksaaan upacara yang

23
Burhan Nurgiyantoro, “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa”,(Jurnal) Yogyakarta: UNY,
Volume 1, No 1, Oktober 2001. Hal. 22-25

22
mensyaratkan tempat-tempat gaib atau tempat khusus sebagai pelaksanaanya. Hingga
sekarangpun pagelaran wayang masih banyak dilakukan ditempat-tempat khusus dan waktu
khusus seperti di keraton-keraton pada waktu malam satu syuro, acara perkawinan, sedekah bumi
(daerah Tegal dan Brebes masih melestarikan).
Selanjutnya adalah orang sakti, pemimpin upacara yang dituakan, pendeta, dukun sihir
yang sekarang disebut dalang. Hymne-hymne atau pujian-pujian khusus yang sekarang disebut
Suluk atau anta wacana.Bau-bauan khusus yang sekarang dipakai adalah kemenyan dan kayu-
kayu khusus yang dibakar pada saat permulaan pertunjukan wayang. Bunyi-bunyian menjadi
gamelan. Dan terakhir yang mencirikan bahwa upacara keagamaan pada saat itu adalah
permulaan dari kesenian wayang adalah adanya saat tertentu yang disakralkan yaitu saat
bayangan dari roh gaib atau roh nenek moyang muncul dari lukisan yang ada pada kulit binatang
yang diterangi dengan pencahayaan seadanya yang sekarang dilakukan dengan kelir dan cahaya
dari lampu Ceblok. 24
1. Zaman Sejarah
1. Zaman Hindu
Pada dasarnya kedatangan Agama Hindu ke Nusantara tidak merubah sedikitpun
pandangan masyarakat Melayu-Indonesia mengenai keyakinan animisme metafisik Pribumi,
karena Bangsa Hindu datang hanya membawa seni belaka, bukan falsafah kehidupan. Dua kitab
besar Bangsa Hindu yang terkenal dan menyentuh disetiap ingatan lapisan Masyarakat adalah
tentang kesenian Wayang yaitu kitab Mahabarata dan Ramayana. Sedikit sekali masyarakat
awam yang mengerti kitab-kitab ajaran agama Hindu mengenai falsafah dan dogma mereka. Hal
ini dikarenakan Bangsa Melayu-Indonesia cukup kokoh dalam mempertahankan keyakinan
mereka. Baru setelah Hindu menguasai kerajaan-kerajaan besar dan mengintervensi kekuasaan,
rakyat dijejali pengetahuan tentang Hindu dan itu sekedarnya saja, selebihnya adalah cerita
tentang keperwiraan Bangsa Hindu-India belaka seperti Epik Bharata Yuddha, Roman Bhagavad
Gitayang menggambarkan Arjuna dan banyak mitos mitologi dewa Hindu lainnya.25
Pada masa kekuasaan Kerajaan Mataram ke -1 tepatnya pada masa Raja Dyah Balitung
(898-910 M), ajaran Hindu mulai menyebar dan dapat diserap masyarakat umum. Raja Dyah

24
Sri Mulyono Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,Hal. 42-50
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu, Petaling JAYA
ABIM, Malaysia. 1990. Hal 14.

23
Balitung memerintahkan kepada para penyair Jawa untuk menerjemahkan kitab Ramayana
dalam bahasa Jawa kuna, yaitu bahasa pemerintah Raja Dyah Balitung. Pernyataan ini didukung
dengan adanya prasasti Balitung (907 M) yang menyebut “Si Galigi Mawayang Buat Hyang
Macarita Bimma Ya Kumara”.
Pada akhirnya pahlawan-pahlawan dalam kitab Ramayana dianggap sebagai nenek
moyang bangsa ini. Sampai sekarang pengaruhnya masih dapat dirasakan misalnya Raja-raja
Jawa sekarang dianggap keturunan dari Arjuna, Brahmana dan sebagainya. 26 Menurut kitab
Centini kesenian wayang dalam bentuk seperti sekarang diciptakan oleh Pangeran Prabu
Jayabaya dari Kerajaan Kemenang-Kediri. Raja Jayabaya menggambar wayang pada daun
Lontar dan menerjemahkan Serta menyadur cerita dari serat Mahabharata dan Ramayana pada
abad 10.27 Salah satu kitab yang lahir pada masa ini ialah karya Empu Triguna yang membuat
karya sastra berjudul Kakawin Kresnayana, yang hingga sekarang masih banyak dipakai dan
populer oleh dalang-dalang dalam pementasan wayang. 28
Lahirlah Kerajaan Majapahit (1294-1478 M). Dimasa ini wayang banyak mengalami
penyempurnaan baik dari segi bentuk dan maupun aspek-aspek pendukungnya seperti diberi
warna, digambar dalam kain membentuk punakawan-punakawan wayang. Kerajaan Majapahit
merupakan kerajaan nasional yang sangat besar wilayah kekuasaanya dan banyak mengukir
prestasi gemilang. Dibawah kepemimpinan Prabu Hayamwuruk yang dibantu oleh Mahapatih
Gajah Mada, Nusantara berhasil disatukan. Pada Zaman Majapahit perkembangan kitab-kitab
kesusasteraan berkembang pesat sekali disamping Agama Hindu menjadi Agama mayoritas dan
kental akan dogmanya.Hal ini mempengaruhi karya-karya yang dihasilkan pujangga atau
seniman di masa itu. Karya yang masih populer hingga sekarang ialah Kitab Sutasoma, Kitab
Kakawin Arjunawijaya yang dikarang oleh Empu Tantular. Hingga sekarang ada salah satu
ungkapan yang terpampang pada Burung Garuda lambang Negara Republik Indonesiayang
diambil dari Kitab Sutasoma yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Majapahit adalah salah satu kerajaan
besar yang menjungjung tinggi nilai kebudayaan leluhur dan melestarikannya. 29

26
Sri Mulyono, Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya, Op. Cit.,Hal. 59-64
27
Drs. Sukirno, “Hubungan Wayang Kulit Dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa”, (Jurnal) Surakarta:
ISI, BRIKOLASE, Volume.01 No. 01. Juli 2009.Hal. 21.
28
Dr. Purwadi, M.Hum, Filsafat Jawa, Panji Pustaka, Yogyakarta. 2006. Hal. 62.
29
Dr. Purwadi. M.Hum, Filsafat Jawa.Op. Cit.,hal. 69-72

24
2. Zaman Islam
Berbicara mengenai wayang dan Islam sudah tentu jadi barang baku bahwa klaim sejarah
mengatakan Islam di Jawa disebarkan oleh kelompok ulama yang diberi julukan Wali Songo,
para Raja, Sultan, Susuhunan, diantaranya Sultan Syah Ngalam Akbar atau Raden Patah di
Demak, Raden Syah Ngalam Akbar ke-III atau Raden Trenggana, Sunan Kalijaga dan para
Walisanga.30 Selama lebih dari dua abad menyebarkan Islam ditanah Jawa, mereka memberikan
banyak terobosan dan pembaharuan dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di pulau
Jawa.31
Diantara Anggota dewan yang berjuluk Wali Sanga, Sunan Kalijaga Merupakan Wali
yang sangat Populer dimata orang Jawa, bahkan sebagian orang Jawa menganggapnya sebagai
Guru Agung dan suci, ditanah Jawa.32 Salah satu dari sembilan Wali yang terkenal di kalangan
Masyarakat dalam menyebarkan Islammelalui metode kesenian bernama Raden Mas Syaid putra
dari tumenggung Wilatikta-Bupati Tuban atau biasa disebut oleh orang Jawa dengan nama
“Sunan Kalijaga”.Sunan Kalijaga dikenal sebagai Wali yang dalam menyebarkan Islam
menggunakan cara yang luwes.33
Metode adopsi dan akulturasi budaya yang dilakukan Sunan Kalijaga memang efektif
dengan cara menggubah sedikit demi sedikit cerita dalam epos Mahabarata dan Ramayana.34
Metode ini menurut Gus Dur disebut sebagai metode sinkretisme dan pribumisasiIslam. 35 Di
zaman inilah muncul pertama kali wacana Manunggaling Kawula-Gusti.Disamping kesenian
wayang sebagai metode dan media penyebaran Islam yang dipakai oleh para wali Demak dan
daerah lain. Namun sikap demokratis Islam sendirilah yang menyebabkan Islam dapat dengan
mudah diterima ditengah masyarakat yang mengalami pergantian kepercayaan. Yaitu syahadat

30
Dr. Seno Sastromidjojo, Op. Cit.,hal. 19
31
Tarwilah, “Peranan Walisongo Dalam Pengembangan Dakwah Islam,” (Jurnal) Banjarmasin: IAIN
Antasari, ITTIHAD, Volume. 4 No 2. Oktober 2006, Hal. 81
32
Dr. Purwadi. M.Hum, Filsafat Jawa.Op. Cit.,hal. 103
33
Solikin Dkk, “Metode Dakwah Sunan Kalijaga Dalam Proses Islamisasi Di Jawa”, (Jurnal) Bandar
Lampung: Unila, FKIP, Volume 01. No. 02. April 2013. Hal. 3
34
Dr. Purwadi. M.Hum, Sunan Kalijaga, Sintesis Ajaran Walisanga dan Syaikh Siti Jenar, Persada,
Yogyakarta. 2003. Hal. 36
35
Supriyanto, “Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga,” (Jurnal) Purwokerto:STAIN, KOMUNIKA, Volume
03. No. 01.Januari-Juni 2009.Hal 5-6

25
yang menyebutkan Muhammad sebagai hamba, abdi atau kawula kepada kepercayaan monoteis.
Allah. Ada empat tingkat yang diajarkan oleh para wali pada saat itu ialah:
1. Syariat: Hukum menjalankan Rukun Islam.
2. Tarikat: Jalan menuju Allah.
3. Haqikat: Kebenaran.
4. Ma’rifat: Pengetahuan, Manunggal. Ke-Esa-an. 36
Ada tiga kerajaan besar yang berperan penting dalam perkembangan wayang di Zaman
Islam yaitu Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram II. Bentuk wayang yang ada
sekarang berawal dari perubahan bentuk yang dibuat oleh kerajaan Demak pada tahun 1518-
1521 M. Wayang dibuat pipih menjadi dua dimensi ditujukan agar tidak menyerupai relief pada
candi (Jawa Timur) dan selaras dengan ajaran Islam.
Kira-kira pada tahun 1521-1546 M tampuk kekuasaan Demak dipegang oleh Raden
Trenggana. Pada tahun 1546 M terjadi perang saudara, namun Jaka Tingkir yang pada waktu
menjadi Adipati di Pajang dapat mengambil alih keadaan dan memindahkan kesultanan Demak
ke Pajang. Di masa kekuasaan kerajaan Pajang banyak muncul jenis-jenis wayang baru yang
dibuat oleh para ahli kesenian dan ulama pada saat itu salah satunya Sunan Giri pada tahun 1563
M membuat wayang gedogyang lebih mengutamakan Cerita Panji Islam.37 Gedog sendiri
memiliki arti kandang kuda = gedogan, dalam bahasa Kawi gedog berarti kuda.Wayang gedog
sendiri bukan sekedar jenis wayang biasa karena saat munculnya wayang dijadikan sebagai batas
dari pemakaian cerita Mahabarata dan Ramayana dalam pementasan wayang yang digantikan
dengan Cerita Panji dan ke-Islaman yang kian lama kian popular di Masyarakat Jawa.38
Di masa pemerintahan Amangkurat I atau Tegalarum (1645-1677 M), ia menetapkan
gelar pimpinan sesepuh dalang satu-satunya kepada Kyai Anjang Mas. Di masa ini wayang
sudah berkembang pesat dengan bentuk dan cerita yang dibawakan bermacam-macam, seperti
misal di Surabaya ada pangeran Pekik (1648 M) yang membuat jenis wayang baru yaitu wayang

36
Dr. Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa,Op. Cit.,hal 29
37
Sri Mulyono. Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya.Op. Cit.,hal. 80-83
38
Turita Indah Setyani, “Ragam Wayang Di Nusantara” Universitas Indonesia(UI), Agustus 2008, (Jurnal)
diseminarkan di Berlin, Jerman. Hal. 4

26
Klitik, wayang yang pementasanya dilakukan siang hari dengan cerita Damarwulan, disamping
itu alat-alat seperti gamelan, kenong, saron dan lainnya sudah digunakan sangat baik.39
5. Zaman Penjajahan
Pada saat kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat II tepatnya pada tahun 1677-
1680 M Belanda sudah masuk dan menguasai beberapa kerajaan yang ada di Indonesia.
Intervensi Belanda terhadap kerajaan-kerajaan itu menimbulkan banyaknya huru hara yang
mengganggu stabilitas Kerajaan. Kerajaan Mataram pada saat itu lalumemindahkan ibukota
kekuasaan yang awalnya di Pleredberpindah ke Kartasura lengkap dengan semua peralatan
upacara kerajaan.40 Dimasa kekuasaan Amangkurat II fungsi wayang masih sama seperti dahulu
dan banyak memiliki perkembangan dalam segi apapun seperti membuat tokoh-tokoh wayang
baru atau punakawan baru seperti Bagong. Penyempurnaan bentuk wayang dewi-dewi yang
memakai baju.
Mataram pecah menjadi dua di tahun 1755 M yaitu menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Gelar Susuhunan dipakai olehraja-raja Surakarta dan Sultan dipakai oleh raja-rajaYogyakarta.41
Perjanjian Giyanti banyak membawa perubahan dalam perkembangan wayang hingga sekarang,
karena memang tidak dapat dipungkiri Surakartadan Yogyakarta adalah dua kerajaan besar yang
memahami tradisi dan melestarikanya. 42 Dampak yang signifikan dari Perjanjian Giyanti yang
dapat kita lihat hingga sekarang adalah perbedaan gaya, bentuk dan sumber cerita yang
dibawakan dalam pementasan wayang dari setiap daerah. Bermula dari Pangeran Mangkubhumi
atau dengan gelar Sri Sultan Hamengku Bhuwana I yang memboyong beberapa peralatan
wayang yang ada di Surakarta untuk dibawa ke Yogyakarta dan lebih memilih untuk
melestarikan gayaklasik ketimbang Surakarta dengan gaya yang lebih berkembang dan dinamis,
terlihat hingga sampai sekarang perbedaan mencolok tersebut. Pada waktu yang sama wayang
Banyumas, Surabaya, Pekalongan, Cirebon yang awalnya berkiblat kepada kitab ajaran Wayang

39
Woro Zulaela, “Peranan Wayang Kulit Dalam Pengembangan Budaya Islam”(Jurnal)Semarang: IKIP,
VETERAN, Volume. 01. No. 02. Juli 2013.Hal. 95
40
Dr. Purwadi, Filsafat Jawa.Op. Cit.,hal. 129
41
Soeratman. D, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta1890-1939, Taman Siswa,Yogyakarta. 1989. Hal. 45
42
Moh. Isa Pramana Dkk. “Unsur tasawuf dalam perupaan Wayang kulit Purwa Cirebon dan Surakarta”,
(Jurnal) Bandung: ITB, Volume 01. No. 02.Januari 2007 Hal. 183

27
Kanjeng Kyai yang dibuat di Surakarta akhirnya serentak untuk membuat gaya pedalangan
(Gagrag, Gagrak), jenis wayang dan sumber cerita masing-masing dari setiap daerahnya. 43
Kenyataan menunjukan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Bhuwana V
(1823-1855M ) telah lahir fenomena menarik yang berkaitan erat antara kesenian wayang dengan
pemerintah kolonial Belanda. Pada saat itu penetrasi politik yang dilakukan kolonial terhadap
kesultanan Yogyakarta memang sangat kuat, penerapan sistem stratifikasi sosial yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial dikalangan Masyarakat Yogyakarta dan keraton dengan
tujuan untuk memisahkan kalangan bangsawan dengan ploretar membuat geram sultan
Hamengku Bhuwana V. Selain masalah sosial, pemerintah Belanda juga sangat menekan keras
keluarga kerajaan untuk tidak memeluk agama Islam. Karena besar kemungkinan jika sampai
raja memeluk Islam maka perlawanan pribumi terhadap orang-orang Eropa akan semakin
gencar.44
Sebagai reaksi budaya akibat menyempitnya peran politik Sultan Hamengku Bhuwana V
menciptakan Jenis wayang wong (1837 M) dan menambahkan beberapa penari. Dalam
pementasannya beliau menciptakan cerita yang dilakonkan oleh para penari dalam pagelaran
wayang dengan cerita yang mencerminkan sistem sosial pada waktu itu. Pertunjukan wayang
wong selalu dipentaskan didalam Istana dengan tujuan sindiran dan perlawanan terhadap
penetrasi politik Kolonial, memang tidak frontal dan hanya mengandalkan artistik kesenian
wayang karena adanya kekhawatiran digulingkanya sultan dari tampuk kekuasaan. 45
6. Zaman Kemerdekaan
Bersamaan dengan Kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945
wayang menjadi kesenian daerah klasik tradisional (Adiluhung). Perbedaan mencolok wayang
pada zaman penjajahan dengan zaman merdeka adalah wayang di zaman penjajahan dibina dan
dikembangkan penuh oleh kerajaan-kerajaan yang berkuasa pada saat itu, tetapi di zaman
kemerdekaan Wayang tumbuh dan hidup sebagai kesenian daerah dan dibina oleh masyarakat itu
sendiri dengan bantuan Pemerintah Republik Indonesia. Tepat pada tahun 1953 R.M Sri

43
Sutriyanto, “Klasikisme Wayang Kulit Purwa Gaya Keraton Yogyakarta”(Jurnal) Surakarta: ISI,
ORNAMEN, Volume 07. No. 02 November 2010. Hal. 47-48
44
Sumarsam, Gamelan Interaksi Budaya danPerkembangan Musikal di Jawa, Pustaka pelajar,Yogyakarta.
2003. Hal.45
45
R.M. Momo Pramuto, “Fenomena Kelas Penari Wayang Wong Di Yogyakarta Pada Masa Lampau
(1823-1855)” (Jurnal) Surakarta: STSI, Volume17No 03.Oktober 2005.Hal.243-246

28
Handaya Kusuma bersama Susilaatmaja dan Pringga Satata mendirikan kursus pedalangan di
Yogyakarta dengan nama “Himpunan Siswa Budaya” yang beranggotakan mahasiswa dari
Universitas Gajah Mada. Usaha pelestarian budaya yang dilakukan oleh perkumpulan ini
memang tidak sia-sia dengan bukti pementasan wayang yang dilakukan oleh mahasiswa yang
belajar disana pada acara Dies Natalis, yaitu acara kesenian yang cukup besar pada saat itu.
Pada tanggal 23-28 Agustus 1958 diadakan “Kongres Pedalangan Indonesia” yang
dilaksanakan di komplek Kraton Mangkunegaran Surakarta dan diketuai oleh Dr. Suharso dan R.
Ngb. Wignyasutarna, dihadiri oleh banyak ahli Wayang dan dalang dari seluruh wilayah di
Indonesia seperti R.M. Sutarto HarJawahan, Dalang Bratakesawa dan banyak lainnya. Hingga
sekarang Kongres Pedalangan Indonesia masih berjalan tiap Tahunya, pembahasan pokok dalam
kongres ini meliputi:
1. Pembuatan ensiklopedia wayang dan pedalangan
2. Membuat lembaga pewayangan/pedalangan yang bersifat Nasional
3. Mendirikan sekolah/akademi/perguruan tinggi Wayang dan pedalangan Indonesia.46
Pengakuan dunia international terhadap keberadaan wayang terbukti pada 7 November
2003 wayang Indonesia diakui oleh UNESCO sebagai karya agung dunia di Paris. Hal itu sekali
lagi menunjukkan bahwa wayang, sebagai salah satu warisan budaya tradisional, telah diakui
dunia internasional sebagai sebuah warisan budaya sarat nilai yang berperan besar dalam
pembentukan dan pengembangan jatidiri Bangsa. 47 Peran dan Perubahan fungsi wayang terlihat
jelas dengan banyaknya berdiri sekolah, sanggar seni, dan pementasannya pada era Global
sekarang.48 Wayang pantas kiranya disandang sebagai budaya yang multi fungsi. 49 yang pada
mulanya adalah upacara agama lalu berubah menjadi media dakwah, berkembang menjadialat
demonstrasi politik dan sekarang sebagai sarana hiburan masyarakat Indonesia.50

46
Sri Mulyono. Wayang, Asal-Usul, Filsafat Dan Masa Depannya.Op. Cit.,hal. 97-143
47
Burhan Nurgiyantoro. Op. Cit.,hal 21
48
Soetarno, “Pertunjukan Wayang dalam Era Global”, (Jurnal) Surakarta: ISI, RESITAL, Volume. 09 No.
02.Desember 2008.Hal. 119-121.
49
Sri Mulyono. Wayang Dan Karakter Manusia, CV Haji Masagung, Jakarta. 1988. Hal. 18
50
Wijanarko, Selayang Pandang Wayang Menak, Amigo, Solo. 1991. Hal. 14-15

29

Anda mungkin juga menyukai