Anda di halaman 1dari 47

BABAD BENDESA MANIK MAS

Disusun oleh:

I Gede Putu Oka Indra Wijaya


1102180056
Teknik Elektro

Universitas Telkom
Bandung
2019
KATA PENGANTAR
OM SWASTYASTU,
Dalam Penulisan dan penyaduran Babad Bendesa Manik Mas ini kami sajikan dalam
bentuk bahasa Indonesia, agar dapat dimengerti oleh generasi Pratisentana khususnya dan ma
syarakat luas pada umumnya sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang b
udaya serta pandangan hidup pada masa lalu.
Rangkuman cerita ini kami terjemahkan dari banyak babad yang dapat kami kumpul
kan berupa lontar, sumari, terjemahan diantaranya dari bapak Gusti Bagus Sugriwa, Bapak G
unarsa, Bapak Gede Bendesa, Bapak K Subandi yang mana beliau adalah tokoh penting yang
berperan sehingga sepatutnyalah kita ucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh tersebut yang
sudah berjasa.
Disamping lontar – lontar sebagai sumber, kami juga mengutip dari buku – buku seja
rah, seperti Negara Kerta Gama Majapahit, Kediri, daha dan sejarah lain yang menunjang seb
agai sumber data untuk menyusun tulisan ini, disamping itu pula dari prasasti yang ada kaitan
nya dengan peristiwa dimasa lalu tersebut.
Banyak kesulitan yang dijumpai dalam penyusunan tulisan ini, disebabkan karena minimnya
data – data peninggalan sejarah masa lalu tersebut terutama yang berada dipura – pura yang
masih memiliki bukti – bukti sejarah karena tidak diperbolehkan dapat dibilang telah dikeram
atkan.
Hal semacam ini merupakan kendala yang dihadapi untuk mengungkap sejarah dan l
atar belakang kehidupan pada jaman dahulu kala, oleh karena kelangkaannya.
Mengingat babad Bendesa Manik Mas ini sangat menarik dan merupakan awal mula berdirin
ya kerajaan bali Majapahit. Maka kami memandang sangat perlu untuk diungkapkan keberad
aannya. Yang mana akan ikut memberi warna perkembangan sejarah berikutnya.
Demikian tulisan ini kami buat kepada semua pembaca agar dapat dijadikan sebagai pengetah
uan sejarah – sejarah kuno yang amat langka ini. Untuk lebih sempurnanya buku ini maka ka
mi harapkan kesediaan bagi yang memiliki bukti – bukti sejarah dan memiliki pengetahuan te
ntang Babad ini sudi kiranya untuk melengkapinya berdasarkan prasasti, sejarah atau lontar y
ang sesungguhnya sehingga buku tersebut dapat lebih otentik dan cerita berdasarkan sejarah s
esungguhnya.
Atas segala kesempatan dan perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Semoga Ida Hyang Perama Kawi Selalu Memberkati Kita.
OM SANTI SANTI SANTI OM.
PENGANTAR KATA DARI PENULIS

Om Swastyastu,
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa penulis ucapkan, karena atas karun
ianyalah penulis dapat menyadur cerita dari Babad Bendesa Manik Mas ini kedalam Tulisan
yang baru dan sesuai dengan Tulisan sebelumnya yang telah diuraikan oleh Sri Bintang Dhan
u, sehingga penulis mengulas kembali dalam bentuk tulisan yang baru tetapi tidak merubah ta
tanan aslinya.
Adapun tulisan ini dibuat untuk lebih mempermudah bagi pembaca dan dapat diseba
r luaskan sebagaimana mestinya, agar semua khalayak dapat menikmati dan membacanya.
Harapan kami saduran ini dapat berguna bagi semua masyarakat dan dapat berperan penting
dalam pengetahuan sejarah tentang Leluhur dan garis keturunan bagi para pratisentana dan ba
gi orang yang ingin mengetahui cerita – cerita pada zaman dahulu kala sebelum memasuki za
man atau masa sekarang ini.
Terima kasih kami ucapkan kepada kakak sepupu Dr. Sudhaberata Purna SPOG dan
keluarga, serta Keluarga Besar Picasari Tianyar, kami yang telah memiliki dan membagikann
ya kepada kami sehingga kami dapat menelusuri sejarah yang sebelumnya tidak kami ketahui
Harapan Kami semoga buku ini dapat lebih disempurnakan lagi. Dengan segala kere
ndahan hati bagi yang memiliki bukti – bukti sejarah sebenarnya kami harapkan dapat memb
agi pengetahuan sehingga sejarah masa lalu dapat kita jadikan sebagai pengetahuan bersama.
Atas perhatian dan waktunya kami ucapkan terima kasih.
Om Shanti Shanti Shanti Om.

Hormat saya

I Ny Dharma As. ST
BAB I

PENDAHULUAN

KIYAI Gusti Pangeran Bandesa Manik Mas begitulah nama lengkap leluhur kita seb
agai warih Bandesa Manik Mas. Beberapa semeton sudah mengetahui bagaimana perjalanan
sejarah Bandesa Manik Mas, namun tidak banyak semeton yang tahu siapa sebenarnya Pange
ran Bandesa Manik Mas. Apa hubungan antara Kiyai Patih Wulung dengan Bandesa Manik
Mas, dan siapa sebenarnya Patih Ularan yang banyak disebut dalam berbagai sumber babad?
Dalam berbagai literatur terdapat beberapa versi yang menjelaskan tentang Bandesa Manik M
as. Perbedaan versi ini apabila kita dalam memahaminya hanya sepotong-sepotong bahkan ta
npa melalui komparasi sumber sejarah tentu bisa menimbulkan adanya kekeliruan bahkan tid
ak tertutup kesalahan yang berkepanjangan karena hanya membenarkan satu sumber saja yan
g belum tentu kebenarannya.
Terlebih lagi harus diketahui oleh mereka yang sering menulis prasasti untuk pesana
n di suatu merajan. Apabila salah dalam memahaminya dan hanya menggantungkan pada sat
u sumber babad saja terjadilah perpanjangan mata rantai kekeliruan dan kesalahan sejarah Ba
ndesa Manik Mas.
Oleh karena itu dalam menuliskan sejarah Bandesa Manik Mas harus mengacu pada
peristiwa sejarah yang terdiri dari tokoh sejarah dan periodisasi sejarah. Dalam memahami se
jarah Pangeran Bandesa Manik Mas terdapat dua tokoh sejarah berbeda yang sering dicampur
adukkan dalam beberapa babad. Tokoh Patih Wulung dengan tokoh Patih Ularan, tokoh Dale
m Kresna Kepakisan dengan Dalem Waturenggong karena yang disebut hanya tokoh Dalem
Gelgel saja, bahkan kerajaan Pasuruan dengan kerajaan Blambanganpun di beberapa babad te
rbaca sangat mengelirukan.
Oleh karena itu sekarang adalah saatnya kita untuk memahami sejarah Pangeran Ban
desa Manik Mas dalam konteks fakta sejarah bukan dalam konteks babad.
Kiyai Patih Wulung.
Beliau adalah seorang Brahmana keturunan dari Mpu Dwijaksara. Nama beliau adala
h Mpu Jiwaksara. Ketika Bali dapat ditaklukkan oleh Gajah Mada, atas petunjuk Gajah Mada
akhirnya Ratu Majapahit Tri Bhuwana Tungga Dewi mengutusnya menjadi seorang pemimpi
n di Bali untuk menyusun sistem pemerintahan versi Majapahit. Tugas dalam bidang pemerin
tahan adalah tugas seorang ksatriya, oleh karenanya Ratu Majapahit memberikan gelar kepad
a Mpu Jiwaksara dengan sebutan Kiyai Patih Wulung. Tugas beliau bukan menjadi raja tetapi
petugas penyusun pemerintahan di tanah Bali. Hal ini bisa dipahami dari tandakan Kiyai Pati
h Wulung ketika semua susunan pemerintahan terbentuk, Beliau kembali menghadap Ratu Tr
i Bhuwana Tungga Dewi dan Gajah Mada agar di Bali Dwipa ditempatkan seorang raja.
Oleh karena itulah rencana besar seorang Gajah Mada telah dimulai di tanah Bali, dimana Ga
jah Mada tidak menempatkan raja dari kaum ksatriya, tetapi lebih memilih dari kaum brahma
na. Putra keempat dari Danghyang Kepakisan yang benama Dalem Ketut diangkat menjadi ra
ja dengan gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Patih Wulung telah mempersiapkan istana le
ngkap dengan prajurit dan pengawal istana bertempat di desa Samprangan Gianyar. Oleh kar
na itulah Dalem Sri Kresna Ketut Kepakisan bergelar Dalem Samprangan, sedangkan Patih
Wulung tetap menempati karang kepatihan di Gelgel sebagai Amengku Bumi.
Perjalanan sejarah sudah terjadi (inmaleg) tanpa bisa dikembalikan, ketika Dalem Sa
mprangan mengutus Kiyai Patih Wulung menyerang kerajaan kakaknya di Pasuruan dengan
berbekal pesan seorang raja agar jangan sampai membunuh kakak Beliau. Dalam hukum pera
ng adalah dharmaning ksatriya mahottamo yang mengharuskan menang di medan laga, meny
ebabkan Dalem Putu terbunuh.
Disinilah kemenangan berbuah petaka bagi Kiyai Patih Wulung. Panji-panji kemenan
gan yang dikibarkan ketika sampai di puri Samprangan disambut kemarahan dari Ida Dalem s
etelah mengetahui kakaknya terbunuh. Kemarahan Ida Dalem inilah kemudian munculnya se
buah bhisama yang ditujukan kepada Kiyai Patih Wulung yang mengharuskannya meninggal
kan Gelgel dan menetap di Bali Tengah. Dalam bhisama dijelaskan Kiyai Patih Wulung tidak
lagi memiliki gelar seorang ksatriya tetapi hanya menjadi seorang Bandesa. Dari isi bhisama i
ni tercantum Kiyai Patih Wulung menjadi seorang Bandesa bukan hanya jabatan sebagai Ban
desa tetapi juga sebagai keturunan “…mulai sekarang aku kasi engkau gelar Kiyai Gusti Pang
eran Bandesa Manik Mas dan seketurunanmu”.
Sejak itulah mulai munculnya nama dinasti Pangeran Bandesa Manik Mas dalam cat
atan sejarah tanah Bali, yang mendiami wilayah kecil di Bali tengah dengan nama Desa Mas
sampai pada generasi ke tiga kedatangan Danghyang Nirartha yang memilih menetap di Mas
dan menjalin hubungan dengan Pangeran Mas. Pangeran Mas kemudian membuatkan tempat
tinggal Danghyang Nirartha yang terletak di sebelah utara Puri Mas yang disebut Taman Pule
yang dijadikan sebagai pasraman oleh Danghyang Nirartha beserta seluruh keluarganya.
Hubungan antara Danghyang Nirartha dan Pangeran Mas semakin erat karena Panger
an Mas berguru pada Danghyang Nirartha sampai akhirnya didiksa menjadi seorang Panditha
bergelah Panditha Mas. Sebagai rasa hormat dan terimakasih Pangeran Mas kemudian mengh
aturkan putri Beliau yang bernama Gusti Ayu Manikan Mas Gumitir untuk menjadi istri sang
Rsi. Dari perkawinan itu lahirlah Ida Bok Cabe yang kemudian menurunkan brahmana Mas s
ampai saat ini.
Tokoh Patih Ularan muncul menjadi terkenal adalah pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong yang bergelar Dalem Gelgel. Waturenggong adalah raja Bali Dwipa pada gen
erasi ke tiga dimana sebelumnya yang menjadi raja adalah Raja Sri Smara Kresna Kepakisan
yang mulai memindahkan pusat kerajaan dari wilayah Samprangan Gianyar ke wilayah Gelge
l Klungkung.
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di wilayah Mas juga memimpin adal
ah generasi ketiga, dimana pada saat itu Pangeran Mas III memimpin Desa Mas dengan sanga
t tentram. Danghyang Nirartha yang saat itu sudah menetap di Mas, dimohonkan oleh Dalem
Waturenggong menghadap ke Gelgel. Setelah itu Danghyang Nirartha dijadikan sebagai baga
wanta kerajaan oleh Dalem Waturengong. Tugas utama Danghyang Nirartha adalah selain se
bagai penasehat raja, juga ditugaskan membentuk angkatan perang kerajaan Gelgel.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang sanyain dan seorang arsitek taktik dan
strategi perang, Danghyang Nirartha membangun angkatan perang kerajaan Gelgel bernama
Dulang Mangap. Tokoh yang ditunjuk menjadi pemimpinnya adalah tiga orang ksatriya yaitu
Patih Ularan, Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa (?).
Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong dengan penasehat kerajaan Danghya
ng Nirartha, kerajaan Gelgel mencapai puncak keemasan dengan pasukan perang yang sangat
kuat sehingga bisa sampai menguasai wilayah Lombok dan Blambangan.
Pada saat penyerbuan ke wilayah Blambangan yang menjadi pemimpin perang adalah tiga or
ang ksatriya tersebut di atas.
Dalam berbagai sumber babad, dicantumkan adanya perintah yang hampir sama deng
an perintah ketika Kiyai Patih Wulung menyerbu wilayah Pasuruan, bahwa tidak boleh memb
unuh raja. Penulisan tokoh sejarah dalam sumber babad dalam peristiwa sejarah ini campur a
duk dimana dijelaskan bahwa Patih Ularan mendapat tugas dari Dalem Gelgel Kresna Kepaki
san. Bahkan juga dijelaskan Patih Ularan dan pasukannya bukan menyerang ke Blambangan t
api ke Pasuruan.
Di sinilah adanya kesalahan dalam penulisan tokoh dan peristiwa sejarah yang berbe
da, sehingga dalam berbagai prasasti yang ada di beberapa merajan saat ini menjadi ikut dikel
irukan perjalanan sejarahnya.
Bhisama dari Dalem Waturenggong kepada Patih Ularan adalah pergi ke wilayah Bal
i Utara dan menetap di Patemon Buleleng, sedangkan Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa
diberikan tempat di wilayah Gelgel yang kemudian membangun puri bernama Jro Kuta Gelge
l bukan ke Bali Tengah (Desa Mas), sedangkan yang pergi ke Bali Tengah adalah Patih Wulu
ng pada generasi pertama. Adanya nama Pangeran Mas yang ikut menjadi pemimpin Tri Man
unggaling Yuda, kemungkinan (walaupun belum tentu benar karena tidak ditemukan sumber
sejarah) adalah keturunan dari Pangeran Mas yang ada di Mas kemudian dijadikan sebagai sa
lah satu pemimpin di kerajaan Gelgel.
Demikianlah perjalanan Sejarah keturunan Kiyai Gusti Pangeran Bandesa Manik Ma
s yang selama ini kita menyatukan diri dalam sebuah paiketan dengan sebutan Pratisentana B
andesa Manik Mas (PBMM), yang harus betul-betul kita luruskan karena berkaitan dengan pe
rjalanan sejarah secara sekala dan niskala dan terlepas dari pastu para leluhur. Pak Mas.
BAB II
PEMBAHASAN

Kerajaan Bali Aga di Jaman pemerintahan SRI RATNA BUMI BANTEN, yang memerintah
ditahun 143 Masehi dibedahulu terkenal dengan Raja Bedhahulu, Beliau masih keturunan Raj
a Daha.
Sri Asura Ratna Bumi Banten tidak mau tunduk dengan kerajaan Mojopahit dimana
pada waktu kerajaan Mojopahit dipimpin oleh seorang Raja Putri bernama Tri Buwana Tung
ga Dewi dengan patih utamanya Aditya Warman bergelar Arya Damar dan ditemani Patih Ga
jah Mada
Karena keberaniannya beliau menentang kehendak Mojopahit itu menyebabkan Gaja
h Mada tak berani gegabah menghadapi Raja Bali ini. Disamping itu Gajah Mada telah mend
engar bahwa diBali banyak terdapat tokoh – tokoh sakti dan amat tangguh yang menjadi tulan
g punggung kekuatan kerajaan Sri Asura Ratna Bumi Banten itu.
Tokoh – tokoh yang paling ditakuti oleh Gajah Mada adalah :
Ki Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis : yang menjabat sebagai mangku bumi kerajaan Bali
Aga, memang kesaktian para tokoh tersebut sudah sangat tersohor kepelosok negri, belum lag
i beliau didukung oleh sederetan orang – orang sakti seperti :
Ki Tunjung Biru, Tunjung Tutur dan tokoh lainnya.
Oleh karena keperkasaan beliau inilah menyebabkan ki Patih Gajah Mada berpikir berat men
cari siasat bagaimana caranya untuk menundukan Bali Aga menjadi dibawah kekuasaan keraj
aan Mojopahit.
Tidak sedikit yang telah disumbangkan oleh para panglima perang dan ahli politik Majapahit
itu guna bisa menundukan bali Aga, tetap saja belum dapat terpecahkan, karena bukan semba
rang musuh yang dihadapinya. Mereka serba sempurna dalam tata pemerintahan, angkatan pe
rang, kekuatan prajurit yang tak terhitung disamping kesiapan Kerajaan Bali Aga dalam kead
aan siap perang. Kalau ada gangguan musuh dari luar Bali. Patih Gajah Mada memang meras
akan ada kesulitan besar yang menghantui dirinya dan belum dirasakan sebelumnya, walaupu
n dia akan berhadapan dengan musuh lebih besar dan lebih kuat yang memiliki peralatan pera
ng serba lengkap. Tetapi menghadapi Bali terasa ada rasa takut dan ragu-ragu menyelinap pa
da dirinya sampai-sampai Gajah Mada memberikan julukan bahwa Raja Bali Aga yang berku
asa dibali adalah Seorang raksasa manusia. Berbadan manusia berkepala raksasa dengan mito
snya sendiri. Kerajaan di Beda Hulu yang siap sedia menyerang kedewataan berani memusuh
i para dewata di kahyangan yang maksudnya adalah kerajaan Majapahit. Demikian Gajah Ma
da Menyebutnya memang beliau Raja Bali yang bergelar SRI ASURA RATNA BUMI BAN
TEN itu memang tidak mau tunduk sama sekali dengan Majapahit. Karena mereka ingin men
jadi kerajaan yang merdeka. Tidak mau dibawah kerajaan manapun.
Begitu beraninya SRI ASTA ASURA RATNA BUMI BANTEN, raja Bali Aga wakt
u itu, berkat kearifan beliau memerintah menyebabkan rakyat sangat menghormati dan rakyat
hidup aman sentosa. Siapa sebenarnya Raja Bali Aga itu sebelum misi Gajah Mada ke Bali ?
Di Bali sebelumnya Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten berkuasa. Masih banyak lagi kita jum
pai Raja-Raja yang memerintah diBali Aga untuk lebih jelasnya kita mempunyai gambaran si
tuasi kerajaan diBali mari kita lihat sederetan Raja-Raja memerintah dibali sebelum itu.

RAJA – RAJA JAMAN BALI KUNO


Berdasarkan penemuan beberapa prasti yang ditinggalkan pada jaman pemerintahan Raja – R
aja masing-masing dapat kita jumpai :
1. Raja Sri Kesari Warama Dewa, memerintah tahun 915 Masehi.
2. Raja Urgrasena tahun (15- (42 Masehi.
3. Ratu Sri Ajitaberendra Warmadewa tahun 955 – 967 Masehi.
4. Sri Maha Raja Sri Wijaya Maha Dewi.
5. Udayana Warmadewa tahun 989 – 1001 M.
6. Darma Wangsa Wardana Mara Kata Pangkajas Thana tahun 1002 – 1025 masehi.
7. Anak Wungsu tahun 1049 – 1077 masehi.
8. Sri Maha Raja Wala Prabu, tahun 1079 – 1088.
9. Sri Maharaja Kaselendu Kirana Guna Darma Laksmidara Wijaya Uttungadewi tahun 1098
– 1101.
10. Sri Jaya Sakti, tahun 1133 – 1150.
11. Raja Ragajaya tahun 1155.
12. Raja Jaya Pangus, tahun 1177 – 1181.
13. Sri Maharaja Jaya Ekajaya Lancana, tahun 1181 – 1185.
14. Batara Guru Sri adi kunti
15. Parameswara Sri Hyang Ingyang Adidewa tahun 1260.
16. Raja Patih Makakasir kebo perud.
17. Paduka Betara Guru tahun 1324 Masehi.
18. Raja Wilajaya Kertaningrat.
19. Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten thun 1337 Masehi.
20. Sri Kesna Kepakisan di Samplangan dibawah pengaruh majapahit.
Demikian jajaran Raja-Raja yang pernah memerintah Bali Aga dari jaman kuno sampai jatuh
nya Bali Aga ketangan Majapahit. Sampai akan menurunkan kerajaan Sri Kresna Kepakisan
diBali sehingga terjadi babad berikutnya dengan istilah garis keturunannya. Dalam sejarah sin
gasari, pada jaman pemerintahan kertanegara, beliau pernah mengirimkan pasukannya keBali
Aga. Tahun 1260 untuk menyerang bali, pada waktu itu yang menjadi raja diBali adalah Sri
Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana. Bali dapat dikalahkan dan beliau sang raja ditahan di
bawa kejawa sebagai tawanan perang yang menjadi senopati kediri waktu itu adalah Ki Kebo
Bunggalan dengan panglima perangnya yang sangat tangguh antara lain Kiyai Pedung, Kiyai
Lembu Peteng, Kiyai Dengdi, Kiyai Kebo Anabrang, Kiyai Jaran Waha, Kiyai Patih Nengaha
n, Kiyai Arya Sidi dan lainya..
Setelah Bali aga jatuh, Bali dipercayakan oleh Raja yang dipimpin kiyai Kebo Anabrang, atas
jasa-jasanya yang sangat besar saat itu. Beliau diberi gelar oleh Raja Singasari bernama : Rak
erian Demunggate Bunggulan. Sedangkan Ki Kebo Perud putra beliau diangkat sebagai pelak
sana pemerintahan sehari-hari mengingat Ki Kebo Bunggalan bapaknya sudah lanjut usia sela
njutnya Ki Kebo Perud diangkat sebagai Raja tahun 1218 dengan bergelar Raja Patih Makaka
kisar Kebo Perud beliau memerintah atas nama Singasari.
Setelah Bali Aga sudah tenang dan tentram kembali, lama kelamaan pemerintahan kerajaan d
iserahkan kembali kepada keturunan raja bali Wangsa Warman yang mana beliau itu memang
dinasti Raja Keturunan Batara Guru.
Yang ditunjuk sebagai raja adalah Sri Darma Tungga Dewa Warma Dewa dengan gelar Sri P
aduka Maharaja Batara Guru beliaulah nantinya merupakan keturunan dari Raja dua bersuam
i istri Sri Gunaperia Darma Patni dengan Sri Udayana Warma Dewa. Tahun 911 – 929 denga
n kerajaan beliau bertempat di BEDULU.
Adapun jaman pemerintahan Raja Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten, dirasakan sangat adil o
leh rakyatnya. Kesejahteraan sangat baik Negara amat aman, tentram dan kertaraharja, rakyat
sangat menghormati beliau dan beliau sangat memperhatikan peringatan tempat-tempat suci,
pemujaan – pemujaan para Dewa dan para leluhur. Kewajiban rakyat diatur sangat baik, sepe
rti halnya penduduk yang tinggal dekat dengan Pura dan bekerja diPura secara rutin. Mereka
dibebaskan dari tugas-tugas lain atau pajak-pajak. Maupun tagihan yang mengikat. Mereka y
ang tnggal disekitar Pura diwajibkan menyumbang saat ada upacara dipura seperti odalan, me
reka diwajibkan menyerahkan 1 ekor babi, 20 butir telur, 5 tandan pisang ditanggung oleh kel
ompok pengayom.
Adapun bangunan-bangunan yang pernah beliau dirikan adalah sebuah kolam dengan perhias
an patung Makara Dewi dibangli bagian selatan dan sebuah pemujaan bernama uameru berte
mpat ditaman bali sekarang disebut taman Bali.
Setelah Raja Batara Guru wafat beliau digantikan oleh putranya yang bernama trunajaya, den
gan gelar Walajaya Kertaningrat. Pemerintahan beliau sampai berakhir tahun 1324 Masehi.
Pada tahun yang sama dikerajaan Majapahit terjadi kerusuhan dimana Raj Kala Gemet bergel
ar Maha Raja Jayanegar. Dibunuh oleh Ratanca kemudian Ratanca dibunuh oleh Gajah Mada
. Para pembantu terdekat disaat itu adalah Ki Bundan Tured, Ki Guntur, KiPindan Macan sed
angkan yang menjabat sebagai hakim pengadilan adalah Kiyai Budhacara.
Dalam pemerintahan Sri Maha Raja Walajaya, kerajaan bali Aga sangat nyaman, tenang, tent
ram tak ada keributan. Rakyat benar-benar dapat merasakan kebahagiaan hidupnya berkat kar
unia Tuhan Yang Maha Esa.
Setelah Sri Walajaya Kertaningrat mangkat, kerajaan dipegang oleh Si Raja Asta Asura Ratn
a Bumi Banten sekitar tahun 1337 Masehi. Beliau menganut aliran agama Buddha Bairawa d
alam jaman pemerintahan beliau inilah Bali mengalami pergeseran yang sangat mendasar. Di
mana pada titik awal ini pula Bali mengalami perubahan-perubahan seperti kita ketahui samp
ai saaat ini.
Beliau memiliki patih-patih yang sangat kuat dan sakti dengan sederetan tokoh-tokoh perang
yang sangat disegani oleh kerajaan yang ada diluar Bali, termasuk majapahit dibawah Patih G
ajah Mada dengan Maha Patih Arya Damar dibawah raja Putri Tribuwana Tungga Dewi.
Karena kesohoran beliau dalam pemerintahan itu pula bali kuat. Aman, tentram sehingga Gaj
ah Mada mengalami kesulitan untuk menghadapi Bali secara terbuka.
Tokoh – tokoh besar yang berperan dalam membantu Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten anta
ra lain yakni Patih kebo Iwo, yang tinggal dibelah batuh dan Ki Karang Buncing bapaknya Ki
yai Tambiak tinggal dijimbaran, Kiyai Tunjung Tutur tinggal ditengenan, Kiyai Buwahan tin
ggal dibatur,. Akil perang yang tak kalah saktinya yaitu : Kiyai Tunjung Biru, tinggal ditiany
ar, Kiyai Kupang tinggal diseraya, Kiyai Walungsingkal tinggal di taro, Ki Pasung Grigis seb
agai mangku Bumi tinggal ditengkulak. Diantara mereka inilah tanggung jawab keamanan, k
etertiban dan ketata negaraan termasuk pelaksanaan adapt agama dilaksanakan/ dimana pende
ta Siwa- Buddha aliran adapt lain bias berkembang, dan selalu diikut sertakan dalam kegiatan
-kegiatan agama. Beliau sangat dicintai keluarganya dan dihormati. Pura Besakih merupakan
Pura pusat mendapat perhatian paling utama oleh beliau. Juga pura-pura kahyangan lainnya t
ak pernah beliau lupakan. Berkat itulah dijaman pemerintahan beliau itu dibali mengalami ja
man keemasan amat tertib dan tentram.
Kewibawaan beliau terlihat, terpancar dikala ada rapat-rapat dibalairung . beliau selalu meng
enaakan pakaian, kain lembaran panjang. Berdodot sutera hiau, destar sutra putih, berselenda
ng Mas Mutu Manikan. Dengan keris bertahtakan berlian. Sangat berwibawa dengan charism
a beliau yang sangat Agung. Dalam siding-sidang rapat bersama mentri, punggawa, Manca b
eliau selalu meminta laporan tentang rakyatnya, kesejahteraan dan lingkungannya serta keam
anan dimana masing-masing bertugas. Konon dijaman pemerintahan beliau benar-benar tertib
dan aman, tak ada pencurian apalagi kerusuhan yang mengganggu ketertiban dan kenyamana
n dalam pemerintahannya juga dalam kehidupan rakyatnya.
Gajah Mada telah mendengar peta kekuatan kerajaan Baliaga dibawah Maha Raja Sri Asura
Ratna Bumi Banten dengan Patih yang mengelilinginya serta kesatuan kekuatan rakyatnya.
Tetapi sumpah palapa Gajah Mada harus terlaksana untuk menggempur Bali Aga secara terbu
ka tentu saja teramat sulit mengingat Kekuatan Bali Sangat Kuat dan terlatih.
Sedangkan Bali Aga sudah terang-terangan menentang kehendak tu Majapahit dibawah Putri
Tri Buwana Tungga Dewi, karena Bali merasa lebih dekat dengan kerajaan Daha, Hubungan
Bali dengan Daha sudah terjalin cukup lama dan sejak Guna Pria Dharma Patni Raja Putri dib
ali tahun 989-1001 karena pula itulah Bali bentrok dengan kerajaan Singasari tahun 1222 Ma
sehi.
Dalam peperangan antara Bali Aga dengan Singasari bali dapat ditaklukan oleh Raja Kertane
gara, tahun 1284, sedangkan Singasari dibawah Kertanegara ditaklukan oleh Daha tahun 129
2 dan Bali langsung dibawah Daha Kembali.
Kemudian Daha diserang oleh kerajaan Majapahit dan jatuh pada tahun 1292 Masehi kemudi
an Daha ada dibawah kerajaan Majapahit. Dengan jatuhnya Daha ketangan Majapahit, Bali ti
dak mau tunduk kepada Majapahit yang menyebabkan Tri Buwana Tungga Dewi menjadi ma
rah dan memberikan kuasa kepada Rakreran Patih Gajah Mada untuk mengatur siasat mencar
i cara agar Bali dapat ditundukan dibawah Majapahit.
Untuk memecahkan suasana yang pelik ini Bali juga mengadakan siding Mentri oleh sang Ra
ja Asura Bumi Banten. Untuk mengambil keputusan sikap apa yang akan diambil kalau seand
ainya keputusan sikap dan harus seperti bagaimana sikap kerajaan bali kalau Majapahit meng
ganggu kedaulatan kerajaan bali tersebut. Seorang Patih Bernama Bima Sakti menganjurkan
agar Bali tidak usah tunduk dibawah Majapahit, dan bali harus terbebas dari segala pengaruh
kerajaan manapun. Dan sejak itu pula maka sang Raja Sri Asura Ratna Bumi Banten selalu m
enentang kehendak kerajaan Majapahit. Majapahitpun tidak tinggal diam dan terus mengatur
siasat agar bali dapat ditaklukan dan tunduk terhadap kerajaan Majapahit.
Maha Patih Arya Damar dan Gajah Mada benar-benar merasa kwalahan menghadapi sikap ke
rajaan Bali Aga yang memiliki prinsip teguh dan kuat untuk menentang kerajaan Majapahit.
Dalam siding selanjutnya Majapahit memutuskan untuk mengirim Gajah Mada ke Bali dan m
enghadap Sri Baginda Raja Bali Ratna Bumi Banten dengan cara yang telah diperhitungkan d
an sangat benar-benar matang. Karena Raja Bali terkenal sangat cerdik dan sakti terlebih lagi
ia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat sakti.
Gajah Mada sudah menyusun strategi dan taktik paling jitu menghadapi kerajaan Bali aga tun
duk dan berada dibawah Majapahit.
PATIH GAJAH MADA DIUTUS KEBALI DAN KEBO IWA TERTIPU
Dalam siding besar diistana Majapahit khusus membicarakan tentang membandelnya Raja Ba
li Age itu, dimana dia tidak pernah mau memperhatikan perintah-perintah kerajaan Majapahit
, untuk itu diambil keputusan untuk mengirim Gajah Mada ke Bali untuk melaksanakan siasat
nya, sambil melihat dari dekat tentang keadaan kekuatan pasukan Prajurit Bali Aga itu. Disa
mping itu Gajah Mada memang sudah bulat untuk melaksanakan tekadnya dalam mempersat
ukan seluruh nusantara dengan sumpah Palapanya agar benar-benar terlaksana.
Sebenarnya Sri Maharaja Bali Aga itu tidaklah seorang yang serakah kejam dan ganas seperti
dalam dongeng. Tetapi itu diibaratkan oleh Gajah Mada karena keberanianya. Beliau satu-sat
unya raja yang berani menentang kehendak Gajah Mada sebaliknya beliau sangat dicintai dan
dihargai oleh rakyatnya, taat dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Beliaulah raja yang d
engan keras menentang Bali dijajah oleh kerajaan lain termasuk Majapahit.
Karena keberanian itulah maka Gajah Mada menyebut Bali diperintah oleh seorang Raja Lali
m berbadan Manusia berkepala Raksasa yang beristana diBedahulu.
Demikian Gajah Mada mengibaratkan, karena memang raja Bali Aga itu satu-satunya yang b
erani menentang kehendak kerajaan Majapahit. Sehingga cita-cita Patih Gajah Mada untuk m
empersatukan seluruh nusantara terhambat karena sikap Raja Bali tersebut.
Dalam siding maka diutuslah Patih Mada dengan membawa sepucuk surat dari kerajaan Maja
pahit kepada Kerajaan Bali, keberangkatan Patih Gajah Mada tidak terlihat mencolok, hanya
ditemani beberapa orang penting disamping untuk menyelidiki keadaan pemerintahan bali se
hingga tidak menimbulkan kecurigaan nantinya. Keberangkatannya menggunakan perahu lay
er, naik dari pelabuhan pantai bubat menyelusuri pantai kerajaan Pejarakan, terus kepelabuha
n purancak sampai ketepi pantai jembrana, dan dilanjutkan hingga rombongan tiba dipantai G
umicik. Lalu diteruskan melalui jalan darat. Sehingga tersiar kabar bahwa ada serombongan p
enumpang perahu sedang berlabuh dipantai Gumicik dekat belah Batuh.
Mendengar laporan itu Kiyai Ki Pasung Grigis dalam keadaan siap tempur, mulailah Gajah
Mada mengaturkan sembah ampun kepadanya.
Maafkan atas kedatangan hamba tanpa memberi kabar terlebih dahulu…. Hamba adalah utus
an Majapahit bernama Patih Gajah Mada, kedatangan Hamba atas kehendak Ratu Tri Buwan
a Tungga Dewi untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Sri Raja Bali.
Mendengar penjelasan Patih Gajah Mada maka mengertilah Ki Pasung Grigis bahwa kedatan
gannya kebali tidak ada niat buruk. Disamping mereka tidak membawa perlengkapan perang
sebagaimana lazimnya angkatan perang. Ki Pasung grigis menyambut tamunya dengan sanga
t sopan. Disamping itu ia juga mendengar tentang kemasyuran Patih Gajah Mada di Majapahi
t.
Baik Patih mada untuk itu mari akan kami antarkan untuk menemui dan menghadap Sri Bagi
nda Raja, alangkah baiknya jika bersinggah dulu ke Belah Batuh untuk beristirahat sejenak, ti
nggal dirumahnya ki Kebo Iwa, sedangkan saya sendiri akan melapor terlebih dahulu untuk
memberitahukan Sri Baginda Raja agar dapat kami atus sebagaimana semestinya.
Setelah tiba di Belah Batuh maka Patih mada dan rombongan diperkenalkan dengan Kiyai Ka
rang Buncing, bapaknya ki Kebo Iwa.
Sedangkan Ki Pasung grigis meneruskan perjalanannya menuju keBedahulu. Dirumah ki Keb
o Iwa mereka beristirahat dan berbincang-bincang dengan Ki Karang Buncing dan Ki Kebo I
wa, bahwa sebenarnya kedatangannya ke Bali ini tidak lain bukan untuk mengikat persaudara
an, dimana Ratu Majapahit ingin menghadiahkan seorang utri untuk dinikahkan dengan Ki K
ebo iwa. Dari percakapan tersebut membuat Ki Kebo Iwa dan ki Karang Buncing terpengaruh
dan timbukl simpati dalam hatinya karena tutur kata Dari Gajah Mada yang sangat Halus dan
sopan seperti mereka sangat bersahabat. Begitu terpengaruhnya sehingga mereka tidak memil
iki prasangka bahwa maksud dan tujuan dibalik itu adalah sangat buruk.
Ki Pasung Grigis setelah sampai di Bedahulu langsung melaporkan kedatangan Patih Mada s
ebagai utusan Ratu Majapahit dan menjelaskan juga hasil pemeriksaannya terhadap Rombong
an Patih Mada sebagaimana ketentuan penerimaan tamu. Mendengar penjelasan secara terper
inci maka Maha Raja Sri Asura Ratna Bumi Banten memerintahkan kepada Ki Pasung Grigis
untuk mengantar tamunya kebedahulu dengan segera.
Berangkatlah Ki Pasung Grigis untuk membawa Utusan Raja Majapahit tersebut. Sesampainy
a di kerajaan Puri Bedahulu semua rombongan Patih Gajah Mada menunduk, berjalan memb
ungkuk sebagai penghormatan kepada Raja Bali guna mengambil simpati sang Raja Bali ters
ebut.
Melihat sikap Sopannya maka Raja Bali Menghormatinya sehingga ia dipanggil untuk mende
kat.
“ Hai Patih Mada kemarilah mendekat padaku, berita apa yang kau bawa untukku, ceritakanla
h jangan engkau merasa sungkan”. Patih Mada pun menghaturkan sembah kepada Sri Bagind
a Raja Bali.
“ Ampun Paduka Tuanku, hamba dating diutus oleh Paduka Tuanku Putri Ratu Majapahit unt
uk menghadap tuanku Raja. Mempersembahkan sepucuk surat, Hamba mohon Ampun jikala
u hamba membuat kekeliruan dalam tatacara menghadap kehadapan Sri Baginda Raja Agung.
Inilah surat beliau Mohon Paduka Raja Menerimanya”.
Akhirnya Rajapun Menerima Surat tersebut dan membaca isinya yang diluar dugaan semula :
1. Majapahit memohon dengan sangat agar Kerajaan Bali jangan menyerang kerajaan Majapa
hit.
2. Mohon Hubungan yang dahulu diteruskan sebagai hubungan persaudaraan.
3. Mohon kesediaannya agar Ki Kebo Iwa diperkenankan untuk pergi ke Jawa untuk dinikahk
an dengan seorang putrid yang kecantikannya sudah terkenal ditanah Jawa.
Semua itu adalah bukti dari ketulusan hati Raja Majapahit untuk menjalin persahabatan dan p
ersaudaraan antara kedua belah pihak. Agar terwujud ketenangan dan ketentraman yang dida
mbakan.
Melihat isi surat yang lemah lembut dan sangat sopan dan ditanda tangani Ratu Kerajaan Maj
apahit dengan tak ada prasangka maka Raja Bali menerima semua permintaan dari kerajaan
Majapahit. Dan semuapun bergembira mengetahui isi dari surat tersebut.
Untuk merayakanya diadakanlah pesta penyambutan untuk menghormati tamunya yang penti
ng itu. Dalam kesempatan itu beliau memerintahkan Ki Kebo Iwa untuk mempersiapkan sega
la sesuatunya untuk pergi Kejawa dan menerima Hadiah dari Kerajaan Majapahit tersebut yai
tu seorang putrid cantik untuk ia nikahkan.. kemudian berangkatlah mereka menuju tanah jaw
a bersama rombongan Patih Mada dari Majapahit tersebut.

KI KEBO IWA TERTIPU


Majapahit untuk mengelabui Kerajaan Bali dan Ki Kebo Iwa karena merupakan bagi
an dari taktik Patih gajah mada untuk menyingkirkan Ki Kebo Iwa dari Kerajaan Bali. Karen
a menurut penyelidikan bahwa Patih yang paling sakti mandra guna tersebut adalah Ki Kebo
Iwa karena ia tidak bias mati oleh senjata apapun, walau bagaimanapun kesaktian dan keamp
uhan pusaka tidak mampu membunuhnya. Sehingga Majapahit memiliki keragu-raguan untuk
menyerang Bali. Setelah sampai ditanah jawa Ki Kebo Iwa Terbunuh oleh kesaktiannya sendi
ri. Dikarenakan tipu muslihat Patih gajah Mada.
Dalam perjalanan Ki Kebo Iwa kejawa dan bagaimana Ki Kebo Iwa dapat menyelamatkan di
ri dari usaha Gajah Mada menenggelamkan dia kedasar laut nanti akan ditemui dalam babad
Bedahulu dan babad Kebo Iwa.
Setelah ki Kebo Iwa Meninggal maka Majapahit tidak merasa ada kesulitan dan keraguan unt
uk menyerang Bali Aga meskipun masih banyak terdapat tokoh sakti lainnya.
Sejarah BALI Tahun 800 SM
Tonggak awal rentangan masa Bali Kuno, adalah abad VIII. Atas dasar itu maka periode sebe
lum tahun 800 sesungguhnya tidak termasuk masa Bali Kuno. Gambaran umum periode terse
but diharapkan dapat menjadi landasan pemicaraan mengenai masa Bali Kuno, sehingga terw
ujud uraian lebih utuh. Gambaran periode sebelum tahun 800 itu meliputi masa prasejarah Ba
li dan berita-berita asing tentang Bali, khususnya yang berasal dari Cina.
Peninggalan-peninggalan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dite
mukan di desa Sembiran dan pesisir timur serta tenggara Danau Batur. Peninggalan-peningga
lan itu berupa kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam, dan serut (Soejono, 1962 : 3
4-43 ; Heekeren, 1972 : 46). Tahap kehidupan berikutnya, yakni masa berburu dan mengump
ulkan makanan tingkat lanjut, meninggalkan bukti-bukti di Gua Selonding, Gua Karang Bom
a I, Gua Karang Boma II yang terletak di perbukitan kapur Pecatu (Kabupaten Badung). Bukt
i-bukti itu antara lain berupa alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, serta sisa-sisa makanan, ya
kni kulit-kulit kerang dan siput laut, serta gigi babi rusa (Sutaba, 1980 : 15). Bukti-bukti yang
serupa ditemukan juga di Goa Gede Nusa Penida (Suastika, 2005 : 30-31).
Pada masa bercocok tanam, jumlah penduduk Bali telah bertambah dan persebarannya semak
in meluas. Peninggalan benda-benda budaya mereka ditemukan di Palasari, Pulukan, Kediri,
Kerambitan, Bantiran. Kesiman, Ubud, Payangan, Pejeng, Selulung, Selat, Nusa Penida, dan
beberapa desa di Kabupaten Buleleng. Benda-benda itu pada umumnya berupa alat-alat dan p
erkakas yang digunakan sehari-hari, misalnya kapak dan pahat batu persegi empat panjang. A
rtefak-artefak tersebut di dapat sebagai temuan lepas, dalam arti, bukan merupakan hasil eksk
avasi yang sistematik (Sutaba, 1980 : 19 ; cf. Suastika, 1985 : 30-33).
Hal lain yang perlu dikemukakan ialah masalah religi. Pelbagai peninggalan tradisi megalitik,
misalnya tahta batu, dolmen, menhir, arca yang bercorak megalitik, dan hiasan kedok muka p
ada beberapa sarkofagus mencerminkan bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju
. Pemujaan terhadap arwah leluhur yang bersemayam di puncak-puncak gunung atau tempat-t
empat suci lain dan kekuatan-kekuatan alam tertentu yang diyakini dapat mempengaruhi kehi
dupan mereka berkembang semakin subur, Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar da
ri benda-benda peninggalan tradisi megalitik itu sampai dewasa ini masih disucikan dan digu
nakan sebagai media memohon kesejahteraan masyarakat (Sutaba, 1995 : 88).
Hal yang menarik perhatian pula ialah sejumlah tahta batu diberikan nama khas Bali, misalny
a Pelinggih Bhatara Puseh, Bhatara Dalem, Jero Wayan, Jero Nongan, Pesimpangan Batu Bel
ig, dan Pesimpangan Tamba Waras (Kusumawati, 1989 : 107-222 ; Sutaba, 1995 : 101-102).
Lebih jauh mengenai kekhasan Bali, R.P. Soejono menunjuk pola hias kedok muka pada bebe
rapa sarkofagus serta sistem kubur sekunder dengan tata letak bagian-bagian rangka yang san
gat teratur dan betul-betul tidak ada persamaannya di tempat lain. Dikatakannya bahwa hiasa
n kedok muka itu, selain berfungsi dekoratif, juga melambangkan kekuatan gaib yang berfun
gsi melindungi roh orang yang meninggal dari gangguan roh-roh jahat (1977 : 30-169 ; 246-2
70 ; 1993 : 7). Selain itu, beliau juga terkesan dengan pahatan yang menggambarkan alat vital
wanita dan kerbau pada sarkofagus yang ditemukan di Ambiarsari dan Munduk Tumpeng. Da
lam kaitan dengan pahatan-pahatan tersebut, khususnya yang terdapat pada sarkofagus di Mu
nduk Tumpeng, beliau menyatakan bahwa hal itu memperkuat pemahaman mengenai fungsi s
arkofagus tipe itu, yakni untuk menopang pencapaian tujuan hidup setelah seseorang lepas da
ri lingkaran kelahiran kembali (rebirth). Roh orang itu akan diangkut oleh kerbau yang berfun
gsi sebagai kendaraan bagi roh orang yang meninggal agar sampai di alam arwah dengan sela
mat dan cepat. Dengan kata lain, sarkofagus Munduk Tumpeng memiliki makna ganda, yakni
kelahiran kembali dan kehadiran dengan selamat di alam para leluhur (19… : 183).
Mudah dipahampi bahwa sejalan dengan perkembangan atau kemajuan dalam bidang religi a
kan muncul pula tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan khusus dalam bidang spiritual, m
isalnya para pemimpin upacara-upacara magis-religius. Kedudukan mereka terhormat dan per
anannya sangat besar. Kedudukan dan peranannya seperti itu menyebabkan mereka menjadi t
okoh-tokoh yang amat disegani oleh masyarakat (cf. Bertling, 1974 : 11-15).
Gambaran di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa manusia Bali pada akhir
masa perundagian, atau menjelang masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial eko
nomi, sosial budaya, religi, teknologi, dan sebagainya yang relatif maju dan kompleks. Denga
n bekal itulah, mereka menyongsong kehadiran pengaruh budaya-budaya asing berikutnya, ya
ng sebagaimana akan diketahui, dengan arus terkuat berasal dari daratan India.
Keterangan-keterangan tentang Bali yang terdapat dalam sumber-sumber Cina perlu dikemuk
akan pula di sini. Nama-nama dalam kitab Cina, yang oleh sementara orang pernah diidentifi
kasikan sebagai Bali, adalah P’o-li, Dva-pa-tan, dan Mali. Toponim P’o-li dikenal sejak peme
rintahan dinasti Liang (502-556). P’o-li dikatakan terletak di sebuah pulau di sebelah tenggar
a Kanton Groeneveldt, 1960 : 80). Nama P’o-li juga terbaca dalam kitab sejarah dinasti Sui 9
581-617). Di sana disebutkan bahwa jika seseorang berlayar dari Gau-chi (Annam Utara) ke a
rah selatan, maka akan sampai di Chih-tu, kemudian di Tan-tan, dan akhirnya di P’o-li (Groe
neveldt, 1960 : 82), Keterangan seperti itu terbaca pula dalam kitab sejarah baru dinasti T’ang
(618-908), dengan sedikit tambahan yang menyatakan bahwa di sebelah timur P’o-li terletak
Lu-cha dengan adat-istiadat sama dengan P’o-li (Groenveldt, 1960 : 83-84 ; Slametmulyana,
1981 : 126).
Informasi tentang P’o-li yang berbeda jika dibandingkan dengan keterangan-keterangan di ata
s terdapat dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang (618-908). Penulis kitab itu mencatat bahw
a P’o-li merupakan batas sebelah timur kerajaan Ho-ling. Lebih jauh, Ho-ling (Ka-ling) dikat
akan terletak di sebuah pulau di lautan sebelah selatan. Di sebelah timur Ho-ling terletak P’o-
li, di sebelah barat To-po-teng, di sebelah utara Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan ad
alah lautan (Groenveldt, 1960 : 12 cf. Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Sesungguhnya, identifikasi P’o-li dengan Bali sangat diragukan, bahkan tidak disetujui oleh k
ebanyakan ahli. Identifikasi P’o-li dengan Bali pernah dikemukakan oleh P. Pelliot. Akan teta
pi, ditambahkannya pula bahwa P’o-li mungkin identik dengan Kalimantan. Pendapat yang m
enyatakan bahwa P’o-li terletak di Kalimantan, atau sama dengan Kalimantan, dikemukakan j
uga oleh E. Bretschneider dan Dato Sir Roland Braddel (Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Ahli-ahli sebagian besar mengemukakan bahwa P’o-li terletak di wilayah Sumatra. Menurut
G. Schlegel, P’o-li identik dengan Asahan di pantai timur laut Sumatra Utara, dan menurut W
.P. Groeneveldt, P’o-li berada di pantai utara Sumatra. Hsu Yu-ts’iao mengindentifikasi neger
i P’o-li dengan Pantai di pantai timur laut Sumatra dan V. Obdeyn menyatakan P’o-li terletak
di pulau Bangka. Menurut J.L. Moens, P’o-li pada aad VI sama dengan Palembang, Sedangka
n P’o-li pada abad VII adalah untuk menyatakan sebuah kerajaan yang terletak di Jawa. Dapa
t ditambahkan bahwa menurut G.E. Gerini, P’o-li terletak di pantai barat Semenanjung Malay
a (Sumadio, dkk., 1990 : 281).
Pendapat-pendapat yang telah dikemukakan cenderung menyatakan bahwa P’o-li merupakan
kerajaan besar, atau paling tidak terletak di wilayah yang luas. Kecenderungan itu sesuai den
gan gambaran yang di dapat dari kitab sejarah dinasti Sui. Menurut penulis kitab itu, panjang
kerajaan P’o-li dari timur ke barat adalah selama empat bulan perjalanan, dan dari utara ke sel
atan selama 45 hari perjalanan (Groeneveldt, 1960 : 82). Apabila memang benar P’o-li merup
akan kerajaan besar, maka tidak sesuai dengan Bali yang relatif kecil.
Toponim yang lebih cocok diidentifikasikan dengan Bali, menurut bagian lain pendapat Groe
neveldt, adalah Dva-pa-tan yang terbaca dalam kitab sejarah kuno dinasti T’ang. Negeri itu di
katakan terletak di sebelah selatan Kamboja dalam jarak dua bulan pelayaran, atau di sebelah
timur Ho-ling (Ka-ling). Adat istiadatnya sama dengan Ho-ling. Di sana, tiap bulan padi suda
h dapat dituai, dan penduduk menulis pada daun rontal. Jika ada orang mati, mayatnya diberi
perhiasan emas, ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, lalu dibakar disertai dengan
bau-bauan yang harum (Groeneveldt, 1960 : 12-58). Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Su-
chi-tan, Bali disebut dengan nama Mali. Lebih jauh, penulis kitab Yao-i-chin-lue mencatat na
ma P’eng-li yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Pali atau Mali (Sumadio, dkk., 199
0 : 282).
* Bali Tahun 800-882
Dokumen tertua ditemukan di Bali, dalam hal ini di Pejeng, ialah prasasti-prasasti berbahasa
Sansekerta pada tablet-tablet tanah liat yang semula tersimpan di dalam stupika-stupika (stup
a-stupa kecil) dari tanah liat. Prasasti-prasasti itu berupa mantra-mantra agama Buddha yang t
erkenal dengan nama ye-te-mantra. Prasasti-prasasti sejenis ini ditemukan juga di Pura Peguli
ngan Basangambu, Tampaksiring dan situs Kalibukuk Buleleng. Bunyi teksnya sebagai berik
ut.
“Ye dharmā hetu-prabhawā
Hetun tesān tathāgato hyawadat
Tesāñca yo nirodha
Ewamwādi mahāśramanah” (Goris, 1948 : 3).
Artinya :
“Keadaan tentang sebab-sebab kejadian itu, sudah diterangkan oleh Tathagata (Buddha), Tua
n mahatapa itu telah menerangkan juga apa yang harus diperbuat orang supaya dapat menghil
angkan sebab-sebab itu”5
Mantra sejenis itu tertulis pula di atas pintu Candi Kalasan (di Jawa Tengah) yang berasal dar
i abad VIII atau tahun 700 Śaka (778). Berdasarkan kesamaan tipe aksara mantra-mantra di k
edua tempat itu, maka mantra-mantra agama Buddha di Pejeng diduga berasal dari abad VIII
pula (Goris, 1949 : 3-4 ; cf. Budiastra, 1980/1981 : 36-38).
Di desa Pejeng ditemukan pula fragmen-fragmen prasasti berbahasa Sansekerta dengan huruf
Bali Kuno. Keadaannya sudah sangat tua. Di antara bagian-bagian yang masih terbaca antara
lain manuśasana… (pada fragmen d), …mantramārgga… (pada fragmen g), …śiwas (…) ddh
… (pada fragmen h), yang secara lengkap kiranya berbunyi … śiwasiddhanta …, dan …sakal
abhuwanakrt … (pada fragmen k), yakni nama lain untuk Wiśwakarman. Hal-hal itu memberi
petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan, dalam hal ini agama
Hindu sekte Śiwa ; bahkan agama itu rupanya telah bersifat mantris atau tanris (Stutterheim,
1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melaku
kan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti
di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu
ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterh
eiom, 1929 : 62).
Fragmen-fragmen tersebut di atas tidak ada yang berangka tahun. Stutterheim, setelah melaku
kan studi komparatif antara huruf fragmen-fragmen prasasti itu dengan huruf prasasti-prasasti
di Jawa, terutama di Jawa Tengah, dapat menyimpulkan bahwa di antara fragmen-fragmen itu
ada yang berasal dari masa sebelum tahun 800 Saka, atau sekitar permulaan abad IX (Stutterh
eim, 1929 : 59). Jika dugaan itu benar, maka berarti, di daerah Pejeng (Gianyar) pada waktu it
u, agama Buddha dan agama Hindu sekte Siwa telah mempunyai pemeluk masing-masing, ya
ng hidup saling menghormati dengan penuh toleransi.
* Bali Tahun 882-955
Rentangan waktu tahun itu disebut pula periode Singhamandawa, karena hampir seluruh pras
asti dari periode itu dikeluarkan di Panglapuan (panglapwan) di Singhamandawa. Pada bagia
n awal periode tersebut, yaitu tahun 882-914, terbit tujuh buah prasasti berbahasa Bali kuno,
yakni prasasti Sukawana AI (804 Saka), Bebetin AI (818 Saka), Trunyan AI (833 Saka), Trun
yan B (833 Saka), Bangli, Pura Kehen A, Gobleg, Pura Desa I (836 Saka), dan Angsri A. Ket
ujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya (Goris, 1954a :
53-62).
Prasasti pertama pada intinya berisi tentang pengembalian fungsi kesucian ulan (semacam ba
ngunan suci keagamaan) di wilayah perkebunan di bukit Citamani (sekarang Kintamani). Ta
mpaknya, ulan itu sempat digunakan sebagai tempat lalu-lalang bagi orang-orang yang pulan
g pergi ke kebun atau sawah ladangnya. Kebijakan yang ditempuh penguasa ialah menyuruh
Senapati danda, bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaparjna membangun pertapaan ya
ng dilengkapi pasanggrahan (satra) di bagian lain bukit Cintamani. Selanjutnya, orang-orang
yang lalu-lalang di daerah itu agar tidak lagi menggunakan jalan setapak yang melewati kom
pleks ulan melainkan melalui jalan di kompleks pertapaan. Batas-batas wilayah pertapaan dit
etapkan. Prasasti ini juga memuat ketetapan pembebasan para bhiksu dari tugas dan pajak-paj
ak tertentu, serta aturan pembagian harta warisan. Berdasarkan prasasti itu, dapat diketahui ba
hwa di bawah pucuk pemerintahan paling sedikit ada empat jabatan tinggi kerajaan, yaitu sar
bwa, dinganga, nayakan, makarun, dan manuratang ajna. Jabatan-jabatan ini tetap bertahan se
lama periode Singhamandawa, yakni ketika prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Si
nghamandawa (882-942). Setelah itu, jabatan-jabatan tinggi kerajaan rupanya semakin menin
gkat jumlahnya.
Prasasti Bebetin AI berkenaan dengan desa (banwa) bharu, atau secara lebih lengkap kuta di
banwa bharu, yang bermakna desa bharu yang berbenteng. Dalam prasasti itu dikatakan bahw
a pada suatu ketika desa itu diserang atau dirusak oleh perampok. Banyak penduduk mati terb
unuh atau terluka dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga. Setelah keadaan a
man, merekapun kembali ke desa bharu. Demi kelengkapan desa, khususnya dalam bidang sp
iritual, raja menyuruh pejabat nayakan pradhana yaitu kumpi ugra dan bhiksu Widya Ruwana
untuk memimpin pembangunan kuil Hyang Api, dengan batas-batas wilayah yang telah ditent
ukan. Prasasti ini memuat pula aturan-aturan pembagian harta warisan dan ketetapan mengen
ai tugas atau kewajiban serta hak-hak penduduk yang berdiam di sana.
Desa bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara Pulau Bali,6 dan merupakan salah satu pel
abuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan terakhir ini didasarkan atas adanya ketentuan yang
mengatur saudagar-saudagar dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu yang menga
lami kerusakan termuat dalam prasasti itu. Bagian teks prasasti Bebetin AI mengenai hal itu,
sebagaimana terbaca pada lembaran Iib.3-4 berunyi sebagai berikut.
”… anada tua banyaga turun ditu, paniken (baca : paneken) di hyangapi, parunggahna, ana m
ati ya tua banyaga, perduan drbyana prakara, ana cakcak lancangna kajadyan papagerrangen
kuta …” (Goris, 1954a : 55).
Artinya :
”…Jika ada saudagar berlabuh (turun) di sana, barang-barang persembahannya supaya dihatu
rkan kepada kuil Hyang Api, (jika) ada mati (di antara) saudagar itu, segala harta miliknya ag
ar dibagi dua, (jika) perahunya rusak, supaya dijadikan pagar untuk memperkuat benteng, …”
Isi kedua prasasti berikutnya, yaitu prasasti Trunyan AI dan Trunyan B, khususnya pada lemb
aran Ib-IIa.4, pada dasarnya sama. Keduanya mengenai izin yang diberikan kepada penduduk
desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci bagi Bhatara Da Tonta. Selanjutnya, pendudu
k wajib membayar iuran dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan ba
ngunan suci itu. Sebagai imbangannya, mereka dibebaskan dari pajak-pajak serta kewajiban-
kewajian tertentu yang lazim ditunaikan bagi raja.
Pada bagian lain prasasti Trunyan AI dinyatakan bahwa jika ada utusan raja melakukan perse
mbahyangan di sana pada bulan Asuji, utusan itu wajib diberikan makanan dan minuman. Pra
sasti itu menyinggung pula upacara di kuil Guha Mangurug Jalalingga serta kewajiban-kewaj
iban penduduk desa Hasar, Halang Guras, Pungsu, dan Panumbahan dalam kaitan dengan upa
cara-upacara di kuil Sang Hyang di Turunan (Bhatara Da Tonta) dan Guha Mangurug Jalalin
gga.
Bagian lebih lanjut, prasasti Trunyan B antara lain memuat perihal iuran yang wajib dibayar
oleh penduduk desa Air Rawang di sebelah timur teluk Danau Batur untuk keperluan upacara
Sang Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus-S
eptember), Bhatara Da Tonta harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki ku
ning, serta dihiasi dengan cincin bepermata dan anting-anting. Petugas yang berwenang mela
ksanakan hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari desa Air Rawang. Pada bagian akhir prasast
i Trunyan B terbaca kalimat kutukan yang ringkas (Goris, 1954a : 58-59).
Prasasti Pura Kehen A berkenaan dengan bangunan suci (dang udu) Hyang Karimama yang b
erada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu tampaknya sempat kurang terurus. Dalam ran
gka memulihkan fungsinya, raja menugasi bhiksu Siwarudra, Anantasuksma, dan Prabhawa s
erta penduduk desa Simpat Bunut agar melakukan perbaikan serta perluasan (pamasamahyan)
pertapaan di Hyang Karimama itu. Batas-batasnya kemudian ditetapkan. Para bhiksu yang be
rdiam di sana walaupun pada prinsipnya wajib tunduk pada aturan yang berlaku, juga tetap m
endapat hak istimewa (previlise), misalnya para bhiksu tidak boleh diwajibkan ikut bergotong
royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan dalam masalah-masalah jual beli
, pemungutan pajak, dan pencelupan benang. Dalam prasasti itu juga ditentukan bahwa pertap
aan di Hyang Karimama dibolehkan memiliki cabang di desa lain, asalkan tidak lebih dari 20
buah (Goris, 1954a : 60-61).
Penguasa tertinggi pada periode Singhamandawa memberikan perhatian sangat besar terhada
p bidang spiritual keagamaan. Hal itu dapat diketahui antara lain berdasarkan isi kelima prasa
sti yang telah dibicarakan dan isi prasasti Gobleg, Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka.
Dalam prasasti ini disebutkan bahwa bangunan suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura,
yang berada dalam wilayah desa Air Tabar, agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan renca
na. Raja menugasi sejumlah tokoh untuk memimpin pelaksanaannya. Prasasti ini juga memua
t aturan pembagian harta warisan dan keringanan dari tugas-tugas tertentu yang didapat oleh
penduduk.
Prasasti Angsri A keadaannya sangat aus. Dari bagian yang terbaca dapat diketahui antara lai
n nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda. Kedua bangunan suci itu mendapat pers
embahan bagian harta warisan keluarga yang putus keturunan (Goris, 1954a : 62).
Berdasarkan hasil pembacaan terhadap prasasti-prasasti yang berasal dari masa Bali Kuno sel
anjutnya dapat diketahui dua puluh tokoh raja atau ratu dan seorang rajapatih yang pernah me
nduduki pucuk pemerintahan di Bali. Di antaranya, ada yang memerintah sendiri dan ada pul
a yang memerintah bersama-sama dengan tokoh lain, yakni suami, permaisuri, atau ibu surin
ya. Urutan pemerintahan mereka secara kronologis dapat dilihat pada lampiran 1 karya tulis i
ni dan uraian ringkas mengenai masa pemerintahan masing-masing pucuk pemerintahan itu d
isajikan sebagai berikut.
Nama raja Bali Kuno yang tercantum pertama kali dalam prasasti adalah Sri Kesari Warmade
wa. Prasasti-prasasti atas nama raja itu, atau yang dapat diidentifikasikan demikian, adalah pr
asasti Blanjong (835 Saka),dan prasasti Penempahan,8 dan prasasti Malet Gede (835 Saka)9.
Keadaan ketiga prasasti itu telah aus. Banyak bagiannya tidak terbaca lagi secara utuh, termas
uk nama raja yang disebut di dalamnya. Bagian nama raja yang terbaca pada isi A.4 prasasti
Blanjong adalah … sri kesari … sedangkan pada sisi B.13 terbaca … sri kesariwarmma (dew
a) (Goris, 1954a : 64-65). Bagian nama raja dalam prasasti Penempahan yang masih terbaca a
dalah … sri ke … dan pada prasasti Malet Gede berbunyi … sri kaesari … (Kartoatmodjo, 19
77 : 150-151 ; cf. Damais, 1959 : 964).
Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja pertama yang men
ggunakan unsur warmadewa sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka dapat
dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti (vamsakara) Warmadewa di Bali.
Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan diketahui, berkuasa di Bali paling sedikit selama
satu abad, yakni sejak awal abad X sampai dengan awal abad XI.
Hal lain yang menarik perhatian ialah ketiga prasasti tersebut pada hakikatnya menggambark
an kemenangan raja Sri Kesari terhadap musuh-musuhnya. Sebagai akibat prasasti-prasasti it
u telah aus, hanya dua di antara musuh-musuh itu dapat diketahui, yakni di Gurun dan di Suw
al (Goris, 1954a : 65). Perlu ditambahkan bahwa lokasi Gurun dan Suwal sampai dewasa ini
belum diketahui secara pasti. Di antara para ahli, ada yang berpendapat bahwa Gurun mungki
n sama dengan Lombok dewasa ini. Pendapat lain menyatakan bahwa Gurun mungkin identik
dengan Nusa Penida (Goris, 1954b : 243 ; cf. Kartoatmodjo, 1977 : 152).
Raja Sri Kesari Warmadewa diganti oleh Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluark
an prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942). Masa pemerintahan raja ini hampir sez
aman dengan masa pemerintahan Pu Sindok di Jawa Timur (Goris, 1948 : 5). Ada sebelas pra
sasti, semuanya berbahasa Bali Kuno, dikeluarkan oleh raja Ugrasena, yakni prasasti-prasasti
Banjar Kayang (837 Saka), prasasti Les, Pura Bale Agung (837 Saka), Babahan I (839 Saka),
Sembiran AI (844 Saka), Pengotan AI (846 Saka), Batunya AI (855 Ska), Dausa, Pura Bukit I
ndrakila AI (857 Saka), Serai AI (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Saka), pras
asti Tamblingan Pura Endek I (-), dan Gobleg, Pura Batur A (Goris, 1954a : 8-11 ; 63-72).
Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui sejumlah kebijakan penting dilakukan oleh r
aja Ugrasena. Beberapa di antaranya dikemukakan berikut ini. Keringanan dalam pembayara
n pajak diberikan kepada desa Sadungan dan Julah, karena desa itu belum pulih benar dari ke
rusakan akibat diserang perampok. Dengan alasan sama, bahkan desa Kundungan dan Silihan
dibebaskan dari kewajiban bergotong royong untuk raja. Selain itu, raja juga berkenan menye
lesaikan perselisihan antara para wajib pajak di wilayah perburuan dengan pegawai pemungut
pajak, yakni dengan menetapkan kembali secara jelas jenis dan besar pajak yang mesti dibaya
r oleh penduduk (Goris, 1954a : 63-68 ; 70-71).
Berkaitan erat dengan aspek kehidupan beragama, Raja Ugrasena memberikan izin kepada pe
nduduk desa Haran dan Parcanigayan untuk memperluas pasanggrahan dan bangunan suci H
yang Api yang terletak di desanya masing-masing. Keberadaan penduduk desa Tamblingan s
ebagai jumpung Waisnawa ”sekte (?) Waisnawa”, serta kaitannya dengan bangunan suci Hya
ng Tahinuni, juga mendapat perhatian raja. Prasasti Gobleg, Pura Batur A yang memuat hal it
u teksnya tidak lengkap sehingga rincian ketetapan mengenai sekte tersebut tidak sepenuhnya
dapat diketahui (Goris, 1954a : 68-72).
Dapat ditambahkan bahwa pada tahun 839 Saka (917), sebagaimana tercatat dalam prasasti B
abahan I yang tersimpan di desa Babahan (Tabanan), raja Ugrasena mengadakan perjalanan k
e Buwunan (sekarang Bubunan) dan ke Songan 10. Dalam kunjungan itu, raja memberikan iz
in kepada kakek (pitamaha), di Buwunan dan di Songan melaksanakan upacara bagi orang ya
ng mati secara tidak wajar, jika saatnya telah tiba. Baginda juga menetapkan batas-batas wila
yah pertapaan yang terletak di bagian puncak bukit Pttung.
Setelah mangkat, diduga Ugrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal dengan sebutan san
g ratu siddha dewata sang lumah di air madatu (cf. Goris, 1954b : 211). Epitet ini terbaca dala
m prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di desa Kintamani. Dalam prasasti
itu dikatakan bahwa raja Tabanendra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejuml
ah tokoh agar memugar atau memperluas pasanggarahan di Air Mih yang dibangun pada mas
a pemerintahan raja dengan epitet tersebut di atas (Goris, 1954a : 76).
Jika epitet itu memang benar untuk Raja Ugrasena setelah mangkat, maka tindakan raja dan p
ermaisurinya tersebut di atas menunjukkan betapa hormatnya mereka kepada Ugrasena. Lebi
h lanjut, hal itu dapat digunakan sebagai dasar pendapat yang menyatakan bahwa walaupun S
ang Ratu Sri Ugrasena tidak secara eksplisit menggunakan bagian gelar warmadewa, baginda
pun tergolong anggota dinasti Warmadewa.
* Bali Tahun 955-1343
Pada periode ini diketahui sejumlah raja yang pernah memerintah Bali, tetapi belum ditemuk
an nama ibu kota yang menjadi pusat pemerintahannya. Raja pertama pada periode ini adalah
Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permais
urinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, tahun 877-889 Saka (955-967) Mereka mengganti
kan raja Ugrasena.
Ada empat prasasti yang memuat pasangan gelar suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti Mani
k Liu AI (877 Saka), Manik Liu BI (877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A (8
99 Saka) 11. Keempat prassati itu tidak lengkap. Tiga yang pertama, selain ditemukan di tem
pat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh r
aja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang, dan anak bandut yang berdiam di desa Pakuwwan
dan Talun (Goris, 1954a : 74-75). Mereka dibebaskan dari tugas bergotong royong dan pelba
gai pajak, kecuali pajak rot. Isi pokok prasasti Kintamani A, yang menurut Goris berkaitan de
ngan prasasti Kintamani B, telah disinggung di depan, yakni berkenaan dengan perintah Raja
Tabanendra Warmadewa kepada sejumlah tokoh agar menangani pemnugaran pesanggarahan
di Air Mih. Dalam Prasasti Kintamani B disebutkan pula bahwa pasanggrahan di Dharmarup
a merupakan cabang pasanggrahan di Air Mih (Goris, 1954a : 77).
Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti,
yaitu prasasti Manukaya (882 Saka) (Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris 1954a : 75-76 ; Damai
s, 1955 : 224-225). Dalam prasasti itu dimuat perintah raja untuk memugar Tirtha di (Air) Mp
ul (sekarang Tirtha Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat d
erasnya aliran air. Setelah pemugaran itu, diharapkan kedua telaga yang ada menjadi kuat dan
bertahan lama.
Hal yang menarik perhatian ialah ternyata prasasti Manukaya terbit pada masa pemerintahan
Tabanendra Warmadewa bersama permaisurinya. Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan
bukti-bukti yang akurat. Berkenaan dengan hal itu, L.C. Damais menegaskan bahwa pembaca
an angka tahun 882 Saka sudah benar (Goris, 1965 : 180). Untuk sementara, yang dapat dike
mukakan di sini ialah terbitnya “prasasti sisipan” itu tampaknya berlangsung dalam suasana d
amai, dalam arti tidak dilatarbelakangi oleh sifat permusuhan, peristiwa kudeta, atau semaca
mnya. Dugaan itu dikemukakan karena belum terdapat petunjuk adanya perselisihan internal
di antara anggota dinasti yang telah berkuasa.
Pada tahun 897 Saka muncul raja yang bergelar Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Gelar
ini terbaca dalam prasasti Sembiran AII (897 Saka) (Brandes, 1889 : 46-48 ; Goris, 1954a : 7
7-79 ; Damais, 1955 : 226). Itulah satu-satunya prasasti atas nama baginda. Prasasti tersebut k
embali mengenai desa Julah kuno. Menurut prasasti itu, penduduk Julah yang kembali dari pe
ngungsiannya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Selanjutnya, ketentuan dalam prasasti
itu harus dipatuhi dan jangan diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu antara lain ditetapkan bah
wa jika ada kuil, pekuburan, pancuran, permandian, prasada, dan jalan raya di wilayah itu me
ngalami kerusakan, supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk desa Julah,
Indrapura, Buwundalm, dan Hiliran. Jika pertapaan di Dharmakuta diserang oleh perampok, s
upaya seluruh penduduk Julah keluar rumah lengkap dengan senjata untuk menolong pertapa
an itu (kapwa ta ya turun tangga saha sanjata, tulungen to patapan di dharmakuta) (Goris, 195
4a : 78-79).
Raja Janasadhu Warmadewa diganti oleh Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi Satu-satunya pr
asasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka) (Goris,
1954a : 79-80 ; Damais, 1955 : 226-227). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air T
abar, yang merupakan pamong kuil Indrapura di Bukittunggal di wilayah desa Air Tabar, unt
uk memperbaharui prasastinya (mabharin pandaksayan na).
Ratu ini tidak menggunakan identitas dinasti Warmadewa. Keadaan ini mengundang timbuln
ya sejumlah pendapat. Berdasarkan terpakainya kata Sri Wijaya dalam gelar sang ratu, P.V. v
an Stein Callenfels (1924 : 30) berpendapat bahwa kemungkinan ratu itu berasal dari kerajaan
Sriwijaya di Sumatra. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan adanya perluasan kekuasaan Sri
wijaya ke Bali. Pada mulanya, Goris menyetujui pendapat itu.
Pada tahun 1950, dalam artikelnya yang berjudul ”De Stamboom van Erlangga”, J.L. Moens
menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950 : 138). Damais secara lebih tegas
mengemukakan bahwa ratu itu adalah putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya.
12 Pendapatnya itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja
yang disebutkan dalam prasasti ratu itu, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim
di Bali. Ketiga jabatan itu adalah khas Jawa (1952 : 85-86 ; 1955 : 227).
Ratu Sri Wijaya Mahadewi diduga mangkat pada tahun 911 Saka (989). Tampuk pemerintaha
n di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayan
a Warmadewa.
Dalam prasasti Pucangan dikatakan bahwa Gunapriyadharmapatni, yang semula bernama Ma
hendradatta, adalah putri Sri Makutawangsawardhana, cucu perempuan pasangan Sri Isana T
unggawijaya dan Sri Lokapala, atau cicit Pu Sindok. Mahendradatta kemudian nikah dengann
ya adalah Udayana, seorang pangeran yang lahir dari keluarga raja (dinasti) yang masyhur. D
ari pasangan itu lahirlah Erlangga atau Airlangga (Kern, 1917 : 93). Berdasarkan keterangan i
tu, dapat diketahui bahwa Mahendradatta adalah seorang putri berasal dari Jawa Timur, ketur
unan dinasti Isana. Jika dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti-prasasti Bali tahun 911-9
23 Saka yang menyatakan bahwa Sri Gunapriyadarmapatni memerintah bersama-sama denga
n suaminya, yaitu Sri Dharmadoyana Warmadewa, maka dapat diketahui bahwa tokoh terakh
ir inilah yang dimaksud dengan Udayana dalam prasasti Pucangan. Lebih lanjut, yang dimaks
ud dengan dinasti termasyhur dalam prasasti itu adalah dinasti Warmadewa. Kendati demikia
n, masih ada sejumlah pendapat mengenai asal-usul Udayana.
Menurut F.D.K. Bosch,, Udayana adalah anak seorang putri Campa atau Kamboja. Kekacaua
n yang terjadi di negeri itu, sekitar tahun 970, menyebabkan sang putri yang dalam keadaan h
amil itu melarikan diri ke Jawa dan melahirkan putranya di sana. Putranya itu adalah Udayan
a yang kemudian menikah dengan Mahendradatta (1984 : 554-556 ; 1961 : 96-97). Moens tid
ak setuju dengan hipotesis Bosch itu. Dalam artikelnya ”De Stamboom van Erlangga”yang te
rbit pada tahun 1950, Moens antara lain mengemukakan bahwa ada dua tokoh historis Udaya
na. Pertama, Udayana yang lahir sebagai akibat hubungan inses antara Isana (Sindok) dengan
putri kandungnya (selanjutnya disebut Udayana I). Kedua, Udayana yanng merupakan putra
Udayana I sebagai hasil pernikahannya dengan Ratnawati (selanjutnya disebut Udayana II).
Udayana I tetap hidup di Jawa Timur dan setelah mangkat, pada tahu 899 Saka dicandikan di
Jalatunda. Udayana II dinikahkan dengan Mahendradatta. Pasangan ini kemudian dinobatkan
sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali. Moens juga mengemukakan bahwa Mahend
radatta sesungguhnya menikah dua kali, pertama kali dengan Dharmawangsa Teguh di Jawa
Timur, melahirkan Airlangga, dan kedua kalinya dengan Udayana II (1950 : 124). Pada dasar
nya, Goris menyetujui pendapat Moens tentang adanya dua tokoh Udayana, tetapi beliau men
ambahkan bahwa Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 913 Saka (991) sebagai hasil, perni
kahan Mahendradatta dengan Udayana yang memerintah di Bali (1948 : 7 ; 1957 : 19).
Pendapat Bosch dan Moens di atas perlu ditinjau kembali. Tadi telah disinggung bahwa dala
m prasasti Pucangan, Mahendradatta dikatakan menikah dengan Udayana, seorang pangeran
dari dinasti termasyhur. Tidak perlu disangsikan lagi bahwa yang dimaksud dengan Udayana
itu adalah Sri Dharmodayana Warmadewa. Lagi pula, seperti telah diketahui, dinasti Warmad
ewa memang telah berkuasa di Bali sejak jauh sebelum Sri Dharmodayana Warmadewa, yait
u sejak tahun 835 Saka (914) dengan Sri Kesari Warmadewa sebagai cikal bakalnya. Berdasa
rkan kenyataan itu, mudah dipahami bahwa penulis prasasti tidak perlu menegaskan kedinasti
an serta daerah asal Udayana yang memang sudah sangat dikenal pada waktu itu. Sebaliknya,
sangat sukar dipahami bahwa seorang asing yang merupakan putra seorang pelarian, dapat dit
erima dengan mudah dalam jajaran anggota suatu dinasti, dalam hal ini dinasti Warmadewa.
Lagi pula, penerimaan tanpa reaksi aktif dari anggota dinasti tersebut, khususnya dari putra m
ahkota yang mempunyai hak sah atas takhta dan mahkota kerajaan Bali adalah hal yang must
ahil.
Pertimbangan-pertimbangan di atas, begitu pula keterangan-keterangan dalam prasasti Pucan
gan dan sejumlah prasasti Bali yang dikemukakan sebelumnya, dapat berfungsi sebagai landa
san kuat bagi pendapat yang menyatakan bahwa Udayana, suami Gunapriyadharmapatni, adal
ah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Krom (1
956 : 119) yang dikemukakan jauh sebelum muncul pendapat Bosch dan Moens.
Telah dikatakan bahwa praasti-prasasti pasangan ”suami-istri” itu terbit tahun 911-923 Saka (
989-1001). Prasasti-prasasti itu adalah prasasti Bebetin AI (911 Saka), Serai AII (915 Saka),
Buwahan A (916 Saka), Sading A (923 Saka) dan prasasti Tamblingan Pura Endek II (Goris,
1954a : 80-88).
Prasasti Bebetin A berkenaan dengan desa (banwa) Bharu. Dikatakan bahwa desa itu, yang te
lah disebutkan dalam prasasti Bebetin A (818 Saka), kembali mengalami perampokan sehing
ga kondisi sosial ekonominya menjadi sangat lemah. Pasangan suami-istri itu pun memberika
n keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Keringanan semacam itu diber
ikan juga kepada penduduk di daerah perburuan (anak mabwatthaji di buru). Hal itu dapat dik
etahui dari prasasti Serai AII.
Isi prasasti Buwahan A sangat menarik perhatian. Pada intinya, prasasti itu memuat izin pasa
ngan Gunapryadharmapatni dan Udayana kepada desa Bwahan yang terletak di pesisir Danau
Batur untuk lepas dari desa induknya, yakni Kdisan. Desa Bwahan, yang tampaknya semakin
berkembang, diizinkan berpemerintahan sendiri (sutantra i kawakannya). Segala kewajiban s
upaya dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dalam prasasti Sading A dibicarakan tentang desa Bantiran. Dalam prasasti itu dikatakan bah
wa banyak penduduk desa itu terpaksa meninggalkan rumah. Hal itu disebabkan oleh tamu-ta
mu yang datang ke desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekacauan. Setelah keadaa
n aman, penduduk desa Bantiran disuruh kembali ke desanya. Hak dan kewajibannya diatur d
an mereka diizinkan membuka lahan untuk memperluas sawah ladangnya.
Pada tahun 933 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya,
yakni prasasti Batur, Pura Abang A (Goris, 1954a : 88-94 ; Damais, 1955 : 185). Rupanya Gu
napriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum tahun 933 Saka. Prasasti ini diberikan kepa
da desa Air Hawang (sekarang desa Abang) yang terletak di pesisir Danau Batur. Dalam pras
asti itu disebutkan bahwa pada tahun 933 Saka wakil-wakil desa Air Hawang menghadap raja
Udayana dengan perantaraan pejabat Rakryan Asba, yaitu Dyah Manjak. Mereka menyampai
kan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi pembayara
n pajak-pajak serta cukai-cukai tertentu dan tidak dapat ikut bergotong royong atau kerja bakt
i untuk raja. Lebih lanjut, mereka memohon pengurangan atau keringanan dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban tersebut.
Untuk memeriksa keadaan sebenarnya di lapangan (baca : di desa Air Hawang), raja mengutu
s Dang Acarya Bajantika, Dang Acarya Nisita, Dang Acarya Bhacandra dan Senapati Kutura
n, yaitu Dyak Kayop ke desa itu. Hasil temuannya kemudian didiskusikan, dibahas, atau dian
alisis dalam sidang paripurna para pejabat tinggi kerajaan, bahkan tidak sekali dua kali, tetapi
lebih dari itu. Setelah segala sesuatunya dipertimbangkan, akhirnya raja menyetujui permoho
nan wakil-wakil penduduk desa itu. Bagian teks prasasti mengenai proses persidangan itu ber
bunyi :
“…tuwulwi ta sira kabaih mapupul, malapkna kinabehan, tan pingsan pingrwa, winantah win
alik blah, hana pwantuk ning malapkna, an kasinggihan sapanghyang nikang anak thani, …” (
Goris, 1954a : 89).
Artinya :
“… kemudian beliau sekalian berkumpul, bersidanng bersama-sama, tidak sekali dua kali, dip
erdebatkan dan dibahas, maka tercapailah hasil persidangan, yakni dipenuhinya hal-hal yang
menjadi permohonan penduduk desa itu, …”
Selain prasasti-prasasti yang telah disebutkan, masih ada lima buah prasasti singkat (short ins
cription) yang terbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun taktha, yaitu prasasti-prasasti
Besakih, Pura Batumadeg (nomor lama 908), Ujung Pura Dalem (nomor lama 357) berangka
tahun 932 Saka, Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (nomo
r lama 437) berangka tahun 933 Saka (Goris, 1954a : 46, 94, 105-107 ; Damais, 1955 : 229).
Prasasti Besakih, Pura Batu Madeg sesunguhnya berangka tahun 1393 Saka tetapi di dalamny
a disebutkan sebuah prasasti lebih tua yang memakai candra sangkala nawasanga-apit-lawang
(929 Saka). Prasasti bertahun 929 Saka itulah yang terbit pada masa pemerintahan Gunapriya
dharmapatni dan Udayana. Penduduk setempat menyebut prasasti itu Mpu Bradah, yakni seb
utan untuk tokoh Mpu Baradah yang terkenal dalam cerita Calon Arang (Goris, 1965 : 23 ; cf.
Poerbatjaraka, 1926 : 115-145).
Sekarang timbul pertanyaan, mengapa prasasti itu disebut Mpu Bradah? Mengenai hal ini, Go
ris berpendapat bahwa pada tahun 929 Saka Mpu Baradah mengunjungi Bali untuk pertama k
ali.13 Kunjungan itu mungkin dalam kaitan dengan (1) kelahiran Marakata, (2) kelahiran Ana
k Wungsu, atau kemangkatan Gunapriyadharmapatni. Goris cenderung berpendapat bahwa G
unapriyadharmapatni mangkat ketika melahirkan putra bungsunya yaitu Anak Wungsu sehin
gga kedatangan Mpu Baradah ke Bali pada tahun 929 Saka betul-betul mengenai urusan yang
sangat penting (Goris, 1957 : 20). Setelah mangkat, Gunapriyadharmapatni dicandikan di Bur
wan, dan Udayana yang diduga mangkat tidak lama setelah tahun 933 Saka dicandikan di Ba
nu Wka.
Mereka diganti oleh Ratu Sri Ajnadewi yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII pada tahu
n 938 Saka (Brandes, 1889 : 48-49 ; Damais, 1955 : 229-230). Sampai kini belum terdapat pe
tunjuk jelas mengenai hubungan ratu ini dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya den
gan tokoh lain. Dalam mengupayakan penjelasannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa J
awa Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu diketahui bahwa pada tahun 938 Saka (10
16) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wuraw
ari sehingga mengalami malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu bertepatan dengan saa
t diselenggarakan upacara pernikahan Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh. Dikatak
an lebih lanjut bahwa Jawa pada waktu itu bagaikan lautan api dan banyak orang terkemuka g
ugur dalam peristiwa tersebut. Airlangga, yang berumur 16 tahun, dapat menyelamatkan diri
dengan lari ke hutan diiringi pengikutnya yang sangat setia, yaitu Narottama (Sumadio dkk.,
1990 : 173).
Tahun pralaya itu ternyata bertepatan dengan munculnya Ratu Sri Sang Ajnadewi sebagai pe
megang tampuk pemerintahan di Bali. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikembangkan uraia
n hipotetik sebagai berikut. Mudah dipahami bahwa ketika dilangsungkan upacara pernikaha
n Airlangga dengan putri Dharmawangsa Teguh, Udayana sebagai seorang ayah, yakni ayah
Airlangga, hadir di keraton Jawa Timur. Bahkan mustahil baginda ikut gugur dalam peristiwa
pralaya yang telah disebutkan, dan hal itu sekaligus mengakibatkan taktha kerajaan Bali lowo
ng secara tiba-tiba. Putra mahkota Bali pada waktu itu, yaitu Marakata, kemungkinan masih t
erlalu muda untuk dinobatkan sebagai raja. Pendapat itu didasarkan atas pertimbangan bahwa
jika Airlangga pada tahun 1016 baru berumur 16 tahun, maka Marakata sebagai adiknya, setu
a-tuanya baru berumur 15 tahun, bahkan kenyataannya boleh jadi lebih muda dari itu.
Untuk memecahkan masalah lowongnya takhta kerajaan Bali, keluarga istana rupanya sepaka
t mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Ajnadewi. Perwalian itu berlangsung sampai
tidak lama sebelum Marakata mengeluarkan prasasti yang pertama pada tahun 944 Saka (102
2). Apakah wali itu berasal dari Jawa Timur ataukah keluarga istana Bali? Memang dapat dip
ahami, jika wali itu berasal dari dan diangkat oleh keluarga istana Jawa Timur, namun kemun
gkinan itu sangat kecil. Kemungkinan itu dikatakan demikian karena mudah pula dipahami b
ahwa kondisi kerajaan di Jawa Timur pada waktu itu masih sangat lemah, situasinya masih sa
ngat kacau, bahkan mungkin masih dalam suasana berkabung. Jika dugaan itu benar, maka ke
mungkinan lain yang dapat dikemukakan ialah Sri Sang Ajnadewi adalah anggota dinasti yan
g sedang berkuasa di Bali. Mungkin bibi Marakata atau tokoh lain yang memang pantas men
duduki posisi sebagai wali.
Prasasti Sembiran A III yang dikeluarkan oleh ratu itu kembali mengenai desa Julah. Dikatak
an bahwa desa ini diserang lagi oleh penjahat. Banyak penduduk mati, ditawan musuh, atau
mengungsi ke desa lain. Penduduk semula sebanyak 300 kepala keluarga, tersisa hanya 50 ke
pala keluarga. Oleh karena itu, sang ratu pun memberikan keringanan kepada mereka dalam h
al kerja gotong royong dan pembayaran beberapa jenis drwyahaji. Kewajiban mereka dalam
kaitan dengan bangunan sakral di Dharmakuta pun dikurangi pula (Goris, 1954a : 95). Dapat
ditambahkan bahwa secara harfiah drwyahaji berarti “milik raja”(Zoetmulder, 1982a : 416).
Akan tetapi, menurut konteksnya istilah itu bermakna pendapatan kerajaan yang berasal dari
pajak, cukai, denda, iuran, dan sebagainya, yang kemudian digunakan untuk membiayai berb
agai pengeluaran kerajaan.
Telah dikatakan bahwa Marakata, gelar lengkapnya Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana
Marakatapangkajasthanottunggadewa, mengeluarkan prasastinya yang pertama yakni prasasti
Batuan, pada tahun 944 Saka. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti
Sawan A I = Bila I (nomor lama 353) yang berangka tahun 945 Saka, Tengkulak A (945 Saka
), dan Bwahan B (947 Saka)14.
Prasasti pertama diberikan kepada penduduk desa Baturan (sekarang Batuan di Kabupaten Gi
anyar). Wakil-wakil desa itu menghadap raja serta menyampaikan bahwa semenjak masa pe
merintahan raja almarhum yang dicandikan di Er Wka (yang dimaksud adalah Udayana), pen
duduk desa Baturan ditugasi memelihara kebun raja di Er Paku dan kuil di desa Baturan. Raja
Marakata memaklumi betapa beratnya tugas-tugas itu, maka sebagai imbalannya, penduduk p
un dibebaskan dari pajak-pajak tertentu dan diizinkan lepas dari desa Sukhawati (sekarang Su
kawati).
Isi pokok prasasti Sawan A I pada dasarnya sama dengan isi pokok prasasti Batuan, yang per
mohonan penduduk mengenai pengurangan beban drwyahaji dan tugas bergotong royong. Pe
rmohonan itu diajukan wakil-wakil desa Bila karena merasa cukup berat memenuhi kewajiba
n-kewajiban semula sebagai akibat warganya berkurang secara drastis, yakni dari semula 50
kepala keluarga menjadi hanya 10 kepala keluarga. Permohonan itu disetujui oleh raja Marak
ata. Prasasti Sawan A I juga memuat ketetapan tentang pembagian harta warisan, perbuatan-p
erbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pegawai kerajaan yang berkunjung ke desa Bila, da
n kewajiban penduduk bagi pegawai itu.
Prasasti Tengkulak A menyatakan bahwa pada tahun 945 Saka, wakil-wakil desa Songan Ta
mbahan menyampaikan kepada raja Marakata bahwa sejak masa pemerintahan Gunapriyadha
rmapatni dan Udayana Warmadewa, mereka ditugasi menyelenggarakan atau memelihara kat
yagan (asrama pendeta) Amarawati di tepi sungai Pakrisan. Sejak titah turun, penduduk desa
itu belum pernah diberikan prasasti yang memuat rincian kewajiban serta hak mereka. Supay
a segala sesuatunya menjadi jelas, sehingga mereka dapat meneruskan pengabdian kepada raj
a dan ratu almarhum, begitu pula kepada raja yang tengah memerintah, maka mereka memoh
on kepada Raja Marakata agar berkenaan menganugerahkan prasasti kepada mereka. Raja pu
n memenuhi permohonan itu. Dalam prasasti itu ditegaskan bahwa penduduk supaya tetap me
laksanakan tugas-tugasnya sebagaimana sediakala (magehakna sapurbwastitinya nguni) (Gin
arsa, 1961 : 5).
Berdasarkan prasasti Buwahan B (947 Saka) dapat diketahui bahwa penduduk desa Bwahan k
ekurangan lahan tempat menggembalakan ternak dan mencari kayu api. Wakil-wakil desa itu
memohon agar diizinkan membeli sebidang hutan dekat desanya, yang semula digunakan seb
agai tempat berburu oleh raja. Dikatakan bahwa raja mengabulkan permohonan tersebut. Lebi
h lanjut ditegaskan, agar Nayakan Buru (pejabat yang mengurusi masalah perburuan) tidak m
engganggu gugat kegiatan penduduk di wilayah yang telah dibeli itu.
Masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintahan raja Marakata, yaitu
prasasti-prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian Pura
Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV dan Bangli, Pura Kehen B (nomor semula 356) tanp
a angka tahun.15 Oleh karena data historis dalam masing-masing prasasti itu relatif kurang be
rarti bagi penggambaran aktivitas atau kebijakan raja Marakata maka pembicaraan prasasti-pr
asasti itu tidak diperpanjang di sini.
Dalam gelar Marakata yang telah disebutkan di depan, tidak terdapat unsur warmadewa tetapi
ada unsur dharmawangsa yang mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Ti
mur. Berdasarkan kenyataan itu, apakah berarti Marakata tidak termasuk anggota dinasti War
madewa? Keraguan itu menjadi hilang dengan adanya keterangan dalam prasasti Tengkulak
A. Dalam prasasti itu dikatakan bahwa Marakata adalah putra raja Almarhum yang dicandika
n di Air Wka (yakni Sri Dharmodayana Warmadewa). Keterangan itu juga berarti bahwa Mar
akata tergolong anggota dinasti Warmadewa. Bagian teks prasasti mengenai hal itu berbunyi :
“… mangkai pwan menget ikanag karaman i songan tambahan sapanambahan, an wka haji de
wata sang lumah ring air wka sajalu stri, prasiddha kumalilirig kulit kaki, siniwi ring desa ban
ten molih tekang karaman maprarthana ri bhatara, yata hetunya papulung rahi manambah i pa
duka haji, umajaraken sakramanya nguni mwang pagehnyanugraha haji dewata, … (Ib.5-IÏa.2
)” (Ginarsa, 1961 : 4).
Artinya :
”… kini ingatlah para tetua desa Songan Tambahan yang terikat dalam satu kesatuan pemujaa
n, bahwa putra raja almarhum yang icandikan di Air Wka beserta permaisurinya, telah berhas
il mewarisi (takhta kerajaan) dari garis keturunan, laki-laki, dimuliakan di wilayah Banten (B
ali). Supaya mereka dapat melanjutkan pengabdian kepada betara (di Air Wka) maka mereka
bersama-sama menghadap paduka raja, mempermaklumkan segala sesuatu yang mereka laksa
nakan pada masa-masa lalu, dalam upaya mengukuhkan anugrah (baca : titah) raja yang telah
almarhum,…”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut garis keturunan dari pihak ayah, Marakata term
asuk dinasti Warmadewa. Akan tetapi, kenyataannya unsur warmadewa tidak digunakan dala
m gelar raja itu. Sebaliknya dalam gelar itu terdapat unsur dharmawangsa, yang sebagaimana
telah dikatakan, mengingatkan kepada tokoh Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur. Keadaan
demikian dapat dipahami, jika diingat bahwa ibu suri Marakata, yakni Gunariyadharmapatni
adalah putri Jawa Timur. Bukan mustahil Gunariyadharmapatni bersaudara kandung dengan
Dharmawangsa Teguh, atau paling tidak berkerabat dekat. Unsur dharma yang terdapat dala
m nama masing-masing tokoh itu dapat digunakan sebagai faktor penunjang pendapat di atas.
Dalam menanggapi gelar Marakata yang tanpa unsur warmadewa, lebih jauh dapat dikemuka
kan bahwa hal itu tidak mesti dipandang sebagai bukti bahwa Marakata mengingkari dirinya t
ermasuk dinasti Warmadewa. Sebagai putra Udayana, tentu baginda menyadari kedudukanny
a dalam dinasti itu. Penggunaan unsur dharmawangsa dalam gelarnya, agaknya hanya masala
h pilihan belaka.
Raja Marakata diganti oleh adiknya, yaitu Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Sa
ka (1049-1077). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak
diketahui secara pasti, kecuali hendak diyakini bahwa Anak Wungsu juga merupakan nama k
ecil tokoh itu. Secara harfiah anak wungsu berarti ”anak bungsu”, jadi hanya menyatakan uru
tan kelahiran belaka. Dalam hal ini, tokoh itu adalah anak bungsu suami-istri Udayana dan G
unapriyadharmapatni. Pernyataan mengenai hal tersebut terbaca dalam sejumlah prasasti yan
g dikeluarkan oleh Anak Wungsu. Dalam prasasti Pandak Bandung (933 Saka) misalnya, terb
aca bagian yang berbunyi ”… ”paduka haji, anak wungsunirakalih bhatari lumah i burwan, b
hatara lumah i banu wka, …”(Stein Callenfels, 1926 : 14), yang artinya ”… paduka raja anak
bungsu baginda berdua (suami-istri), yaitu ratu yang dicandikan di Burwan dan raja yang dica
ndikan di Banu Wka, …”
Dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Pucangan yang menyatakan bahwa Airlangga ad
alah putra suami-istri tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa suami-istri itu berputra t
iga orang, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Hal ini juga berarti bahwa Airlang
ga dan Anak Wungsu, seperti halnya Marakata, termasuk dinasti Warmadewa pula.
Raja Anak Wungsu memerintah Bali cukup lama, bahkan terlama di antara raja-raja pada za
man Bali Kuno, yakni selama tidak kurang dari 28 tahun. Ada 31 buah prasasti dikeluarkanny
a, atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerinta
hannya. Sembilan belas di antara prasasti-prasasti itu memuat ”gelar” seperti disebutkan, yan
g lainnya tanpa muatan ”gelar” , baik karena prasasti yang bersangkutan tidak lengkap atau k
arena tergolong prasasti singkat. Masa pemerintahannya yang lama serta prasasti yang dikelu
arkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bij
aksana dan kerajaan dalam keadaan stabil. Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan
yang terbaca dalam prasasti, yang pada intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wu
ngsu dalam melaksanakan pemerintahan.
Dalam beberapa prasasti dikatakan bahwa Anak Wungsu adalah raja yang penuh belas kasiha
n (gong karunya pwa pinaka swabhawa paduka haji) dan selalu memikirkan kesempurnaan se
rta kemakmuran kerajaan yang diperintah atau dilindunginya (nityasa kumingking sakaripurn
nakna nikanang rat rinaksanira atau nityasa kumingking … subhiksa nikang rat rinaksanira).
Oleh karena Anak Wugsu sangat menjunjung tinggi serta mengagungkan ajaran agama atai k
ebajikan (sangka ri kadharmestan paduka haji) maka baginda diibaratkan sebagai penjelmaan
dharma (kebajikan) (saksat dharmam urti/saksat dharmatmajam urti/tuhutuhu dharmam urti)
yang senantiasa memikirkan kesempurnaan atau terpeliharanya bangunan-bangunan suci kea
gamaan (nityasa kumingking sakaripurnnakna sang hyang sarbwa dharma) (cf.Sumadio dkk.,
1990 : 301-302). Dapat dimengerti bahwa ungkapan-ungkapan itu mungkin bersifat hiperboli
s, namun unsur kebenaran yang terkandung di dalamnya, yakni bagian yang bersifat realistis,
patut mendapat perhatian yang wajar.
Telah dikatakan bahwa ada 31 buah prasasti berasal dari masa pemerintahan Raja Anak Wun
gsu. Jika isi pokok prasasti-prasasti itu diulas satu per satu, walaupun secara ringkas, maka ak
an menghasilkan uraian panjang yang dalam beberapa hal dapat bersifat pengulangan. Untuk
menghindari hal itu, di bawah ini disajikan klasifikasi prasasti-prasasti itu berdasarkan samba
ndha-nya atau alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya prasasti yang bersangkutan. Ada
enam alasan yang telah diketahui, yakni sebagai berikut.
1. Adanya permohonan penduduk, dengan perantara wakil-wakilnya, agar prasasti semula ya
ng berupa ripta 16 diubah menjadi prasasti tembaga (tampraprasasti). Permohonan demikian
berasal dari wakil-wakil penduduk desa (karaman) Turunan, Cintamani, Batwan, Pa (r) canig
ayan, Julah, para wajib pajak (anak mabwathaji), di Silihan dan Landungan, warga desa yang
bertugas menjahit pakaian (mangjahit kajang) di Buyan, Anggas, serta Taryungan, dan wakil-
wakil penduduk desa Bila.17
2. Adanya permohonan membuka lahan baru untuk dijadikan perdikan (sima). Permohonan s
emacam itu diajukan oleh wakil-wakil desa Lutungan, tokoh-tokoh pendiri (purusakara) suba
k Rawas, dan wakil-wakil desa Bwah.18
3. Adanya pejabat memungut rwyahaji melebihi ketentuan yang tercantum dalam prasasti. Ha
l ini diketahui dari laporan wakil-wakil pajak di daerah perburuan. Dikatakan bahwa para pe
mimpin dalam bidang-bidang tertentu (nayaka) dan para pengawas (caksu paracaksu) melaku
kan pungutan melebihi ketentuan dalam prasasti yang dianugrahkan raja almarhum. Wakil-w
akil penduduk memohon agar masalah itu diluruskan oleh Raja Anak Wungsu. 19
4. Adanya permohonan agar ketetapan yang tercantum dalam prasasti semula ditambahi atau
dilengkapi. Wakil-wkail penduduk desa Bharu (banwa Bharu) mengajukan permohonan ini d
engan tujuan supaya kewajiban dan hak mereka menjadi lebih jelas.26
5. Adanya permohonan agar penduduk dianugrahi prasasti sebagai pegangan pelaksanaan hak
dan kewajiban. Penduduk desa (karaman) Sukhapura telah sejak lama dituasi menyelenggara
kan sebuah kompleks percandian (sanghyang dharma), tetapi belum dianugrahi prasasti. Supa
ya tugas-tugas mereka jelas, maka mereka memohon agar Raja Anak Wungsu berkenaan men
cantumkan dalam sebuah prasasti.27
6. Adanya permohonan agar penduduk lazim menghaturkan bahan-bahan mentah untuk keper
luan upacara dan menjamu pejabat atau petugas tertentu. Permohonan ini diajukan oleh wakil
-wakil desa Gurguran karena mereka kekurangan tenaga untuk memasak bagi keperluan-kepe
rluan tersebut di atas.22
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa semua permohonan tersebut di atas dikabulkan oleh R
aja Anak Wungsu, setelah melalui tahapan pertimbangan serta pembahasan yang seksama. D
alam prasasti yang bersangkutan dicantumkan pula ketetapan mengenai berbagai aspek kehid
upan, misalnya aspek sosial ekonomi, sosial budaya, dan keagamaan.
Raja Anak Wungsu diganti oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahun 1001-1010 Saka ( 1
078-1088). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasa
sti Babahan II (nomor lama 501). Goris menduga Prasasti Ababi A (nomor lama 447) dan Kla
ndis (nomor lama 448) adalah juga dikeluarkan oleh raja Walaprabhu (1954a : 26 ; 1965 : 33)
. Perlu diperhatikan bahwa raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar
maharaja setelah ratu Sri Wijaya Mahadewi yang sudah dibicarakan di depan.
Aktivitas pemerintahan raja ini dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.
Dalam prasasti Klandis dinyatakan bahwa raja Walaprabhu mengizinkan desa Pakwan lepas
dari desa Bangkala tetapi harus tetap menunaikan pembayaran drwyahaji sebagaimana sediak
ala. Betapa keagungan wibawa raja itu dapat diketahui dari ucapan-ucapan yang menggambar
kan bahwa baginda bagaikan perwujudan dharma (kebajikan) yang melindungi dunia (saksat
niran dharmmatmajam urti jagatpaloka), sebagai tempat rakyat berlindung (saranasraya ring p
raja), dan laksana satu-satunya payung yang meneduhi seluruh wilayah Pulau Bali (pinakekac
hatra ning balidwipamandala) (Tuuk dan Brandes, 1885 : 619-624).
Prasasti Ababi A dianugerahkan kepada karaman i Hara Babi sedangkan prasasti Babahan II,
seperti halnyan prasasti Babahan I, berkenaan dengan dharma i ptung. Kedua prasasti itu tida
k lengkap sehingga data sejarah yang dapat diketahui sangat sedikit.
Setelah Sri Walaprabhu, yang naik takhta kerajaan Bali adalah Paduka Sri Maharaja Sri Sakal
endukirana Isana Gunadharma Laksmidhara Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam pras
asti-prasasti : Pengotan B I (1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). 23
Goris, dalam membahas gelar yang cukup panjang itu, mengemukakan hal-hal berikut.
1. Indukirana = cahaya bulan purnama
2. Guna-dharmma = turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni ibu Airlangga
3. Hendak mengaku Wijaya = turunan raja Palembang (Sri Wijaya), dan
4. Hendak mengaku Uttungga, yakni turunan raja Sindok di Jawa Timur (1948 : 10).
Tampaknya, Goris hendak menyatakan bahwa sejumlah unsur gelar itu secara implisit menga
ndung muatan politis, khususnya yang dikemukakan dalam tiga butir terakhir. Konsep dasar j
alan pikiran Goris kiranya dapat diterima, tetapi secara operasional menghubungkan unsur wi
jaya dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang, sebagaimana dinyatakan dalam butir ketiga, se
pantasnya mendapat pertimbangan lebih cermat. Ada dua hal akan diajukan sebagai bahan pe
rtimbangan, yang serta merta menunjukkan kekurangkuatan hipotesis Goris itu.
Pertama, sampai kini belum terdapat bukti jelas mengenai hubungan politik kerajaan Bali Ku
no dengan Sriwijaya di Sumatra. Kedua, seperti telah diketahui, unsur Sriwijaya digunakan p
ula dalam gelar Ratu Sri Wijaya Mahadewi. Stein Callenfels, yang menghubungkan ratu ini d
engan kerajaan Sriwijaya, telah dibantah oleh Damais. Dengan alasan yang tepat, Damais me
ngidentifikasikan bahwa ratu ini adalah putri dari Jawa Timur (1952 : 85-86). Sejalan dengan
pendapat Damais itu, dengan mengesampingkan pendapatnya yang menjurus kepada penyam
aan dengan putri Sindok serta ditunjang isi butir kedua dan keempat kutipan di depan, maka S
akalendukirana pun tidak perlu dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya tetapi dengan keluarg
a besar dinasti Isana di Jawa Timur.
Salah satu kebijakan Ratu Sakalendukirana ialah memberikan prasasti kepada pejabat Nayaka
njalan. Prasasti itu diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan tugas dan kewa
jiban oleh penduduk di bawah kewenangan pejabat tersebut. Sejumlah rincian ketetapan terca
ntum di dalam prasasti itu, misalnya mengenai drwyahaji untuk samgat surih, upacara yang di
laksanakan pada waktu bulan mati (pjah lek), dan iuran untuk keperluan upacara besar (maha
banten).
Ratu Sakalendukirana diganti oleh Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa. Baginda berkuasa tah
un 1037 : 1041 Saka (1115-1119) dengan mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa I
II (1037 Saka), Angsari B (1041 Saka), Ababi, Tengkulak D dan Prasasti Tamblingan, Pura E
ndek III.24 Sebagian di antara prasasti-prasasti itu sudah aus dan tidak terbaca lagi.
Berdasarkan permohonan wakil-wakil pamong dharma (sejenis bangunan suci) di Air Tabar d
apat diketahui bahwa raja memberikan izin kepada mereka memperbaharui (umanari) prasasti
nya. Izin itu diberikan karena prasasti semula yang tertulis pada daun rontal (ripta) telah rusa
k dan tidak terbaca lagi (awuk munggwing ripta tan wnang winaca). Selanjutnya, raja meneka
nkan supaya isi prasasti itu dipatuhi oleh segenap penduduk sebagaimana mestinya. Semua h
al itu disebutkan dalam prasasti Gobleg, Pura Desa III.
Pada tahun 1041 Saka, sesuai dengan isi pokok prasasti Angsari B, raja Suradhipa memberika
n prasasti kepada dharma di Sukhamerta yang termasuk wilayah desa Latengan. Segala keteta
pan yang tercantum di dalamnya supaya ditaati oleh penyelenggara pertapaan di kompleks dh
arma di Sukhamerta. Pertapaan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Tabanendra War
madewa.
Setelah berakhir masa pemerintahan raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali emp
at orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya, yaitu (1) Paduka Sri Maharaja Sr
i Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150), (2) Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1
077 Saka (1155), (3) Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-118
1), dan (4) Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Mahara
ja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200)
. Birokrasi pemerintahan keempat raja inilah yang akan dibahas dalam karya tulis ini. Berdas
arkan hal itu maka uraian mengenai aktivitas atau kebijakan yang dilaksanakan oleh raja-raja
tersebut tidak diperpanjang pada bagian ini.
Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Walaupun demikian, b
erdasarkan kelaziman dalam sistem pergantian kepala negara suatu kerajaan tradisional serta
digunakannya unsur jaya dalam gelar masing-masing raja itu maka kemungkinan besar hubun
gan antara raja yang satu dan penggantinya merupakan hubungan ayah dengan anaknya. Kala
u tidak demikian, paling tidak mereka dipertalikan oleh hubungan kekeluargaan yang sangat
dekat.
Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa
pemerintahan raja-raja Jayabhaya (1057 -1079 Saka), Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1
091-1093 Saka), Kroncaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1104-1107 Saka), d
an Kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan Kadiri di Jawa Timur (cf. Damais, 1
952 : 66-71 ; Sumadio dkk., 1990 : 267-272, 306). Hal yang menarik perhatian pula, sebagai
mana telah dikatakan, ialah adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar raja Bali Kuno
dan paling sedikit pada dua nama raja Kadiri tersebut di atas. Adanya unsur yang sama itu ru
panya bukan semata-mata bersifat kebetulan tetapi juga menunjukkan adanya hubungan keke
rabatan di antara mereka. Kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka diper
kuat oleh keterangan dalam kitab Bharatayuddha. Dalam kitab itu dikatakan bahwa raja Jayab
haya sempat meluaskan kekuasaannya ke Indonesia bagian timur dan tidak ada pulau yang sa
nggup mempertahankan diri dari kekuasaan Jayabhaya (Krom, 1956 :154-155 ; Warna dkk.,
1990 : 2-3).
Sejak berakhirnya kekuasaan Ekajayalancana sampai dengan akhir masa Bali Kuno, masih ter
jadi lima kali pergantian raja. Secara berturut-turut dinobatkan Sri Wirama (1126 Saka), Adid
ewalancana (1182 Saka), Sri Mahaguru (1246-1247 Saka), Walajayakrrttaningrat (1250 Saka
), dan Sri Astasura Ratnabhumibanten (1259-1265 Saka).
Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti Bangli,
Pura Kehen C (1126 Saka) (Stein Callenfels, 1926 : 56-59). Dalam prasasti itu disebutkan tig
a tokoh historis sebagai berikut.
1. Bhatara Guru Sri Adikuntitekata, yakni permaisuri raja yang telah almarhum. Goris juga m
enyebut tokoh ini dengan Bhatara Guru I (1965 : 43).
2. Bhatara Parameswara Sri Wirama, yang juga disebut Sri Bhanadhirajalancana, putra (wija)
Sri Adikuntiketana.
3. Bhatara Sri Dhanadewiketu, yaitu permaisuri (rajawanita) Sri Dhanadhirajalancana.
Berdasarkan keterangan dalam butir ketiga, khususnya kata rajawanita, yang digunakan untuk
menyebut istri Sri Wirama, maka berarti raja yang sesungguhnya adalah Bhatara Parameswar
a Sri Wirama. Kendati demikian, yang bertitah langsung kepada penduduk adalah Sri Adikun
tiketana (Stein Callenfels, 1926 : 56). Titah tu disampaikan kepada wakil-wakil desa Bangli (
karaman i bangli) sewilayah desanya, agar mereka tidak mengungsi lagi ke desa lain. Sebalik
nya, mereka diperintahkan supaya kembali ke desanya serta menyelenggarakan asrama (man
dala) Lokasarana yang sempat sepi dan tidak terurus. Dalam prasasti itu dicantumkan pula atu
ran tentang hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh penduduk Bangli.
Antara Raja Sri Wirama (1126 Saka) dan raja berikutnya, yaitu Bhatara Parameswara Hyang
ning Hyang Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong (power vacuum) selama tida
k kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk yang jelas mengapa hal itu terjadi.
Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan se
buah prasasti, yaitu prasastiBulihan B (1182 Saka), yang dianugrahkan kepada wakil-wakil d
esa Bulihan (karaman i bulihan) (Goris, 1954a : 41-42). Selain itu beliau juga mengeluarkan
prasasti Pangsan yang dianugrahkan kepada pariman i nungnung.
Setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana, terdapat lagi masa tanpa raja selama lebih k
urang 64 tahun, yakni tahun 1182-1246 Saka (1260-1324). Pada periode itu terbit hanya dua
buah prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka), atas nama
Kbo Parud (putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan sebagai rajapatih, bu
kan sebagai raja (Goris, 1948 : 11 ; 1954a : 42). Keadaan ini kemungkinan besar ada kaitanny
a dengan keterangan yang dapat disimak 32 dari isi pupuh 42 bait 1 kitab Nagarakrtagama. Di
sana dikatakan bahwa pada tahun 1206 Saka (1284) Raja Krtanagara (dari Singhasari) berhasi
l menaklukkan Bali serta menawan raja-raja Bali (Pigeaud, 1960a : 32 ; 1960b : 48 ; Slametm
ulyana, 1979, 294). Dalam sumber itu tidak disebutkan nama atau gelar raja Bali yang ditawa
n. Dengan alasan yang kurang jelas, Ginarsa menduga bahwa raja itu adalah Adidewalancana
(1968 : 27). Dugaan itu akan menjadi benar apabila raja itu memerintah paling sedikit selama
24 tahun setelah menerbitkan prasastinya yang berangka tahun 1182 Saka (1260).
Kedudukan Kbo Parud sebagai rajapatih boleh jadi berlangsug sampai setelah Krtanagara dik
alahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa-masa awal k
erajaan Majapahit. Kedudukannya itu tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru II (Bhat
ara Sri Mahaguru) dinobatkan sebagai raja di Bali pada tahun 1256 Saka (1324), atau beberap
a tahun sebelum penobatan itu. Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di
bawah pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.
Identifikasi Raja Bhatara Guru II atau Bhatara Sri Mahaguru sesungguhnya masih mengandu
ng permasalahan. Ada tiga buah prasasti dikeluarkan oleh raja itu, tetapi memuat gelarnya sec
ara tidak konsisten. Dalam prasasti Srokadan (1246 Saka)25 baginda disebut Paduka Bhatara
Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji (baca : H
aji) Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Saka) disebut dengan gelar Paduka Bha
tara Sri Mahaguru (Stein Callenfels, 1926 : 50). Dan dalam prasasti Tumbu (1247 Saka) diseb
ut Paduka Sri Maharaja, Sri Bhatara Mahaguru, Dharmmotungga Warmadewa (baca : Paduka
Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa) (Goris, 1965 : 45).
Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (1328). Dugaan itu dikemukakan
karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbug (Stein Callenfels
, 1926 : 68-70), yang memerintah di Bali adalah Paduka Bhatara Sri Walajayakrtaningrat. Raj
a ini memerintah bersama-sama dengan atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara
Sri Mahaguru. Mengingat kata tara (baca : tara) dapat berarti ”janda atau duda”, di samping j
uga berarti ”suami atau istri” (Damais, 1959 : 690), maka dapat disimpulkan bahwa yang dim
aksud dengan Paduka Tara Sri Mahaguru kemungkinan besar adalah janda almarhum Bhatara
Guru II.
Selain itu, kiranya dapat disepakati bahwa kata tarunajaya pada hakikatnya bermakna sama d
engan walajaya. Kendatipun demikian, masih diperlukan kehati-hatian sebelum menyamakan
tokoh Tarunajaya dalam prasasti Srokadan dengan Walajayakrtaningrat dalam prasasti Selum
bung. Kehati-hatian itu diperlukan karena Tarunaja dikatakan sebagai cucuk sang suami (yait
u Bhatara Guru II) dan Walajayakrtaningrat dikatakan sebagai putra sang permaisuri (yaitu pa
duka Tara Sri Mahaguru). Pernyataan terakhir ini menjadi lebih kuat, jika Bhatara Guru II da
n Paduka Tara Sri Mahaguru pada mulanya memang merupakan pasangan suami-istri.
Atas dasar gambaran yang telah disajikan, dengan singkat dapat dikatakan bahwa bagaimana
pun juga hubungan kekeluargaan mereka berdua belum dapat dijelaskan secara meyakinkan.
Sumber-sumber sejarah yang muncul pada masa-masa mendatang diharapkan dapat meneran
gkan hal itu.
Dari prasasti Selumbung yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Walajayakrtanin
grat beserta ibunya memberikan anugrah prasasti kepada tetua desa Salumbung (karaman ing
salumbung). Dalam prasasti itu ditetapkan pelbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh pe
nduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candri ring Linggabhawana. Penganugerahan prasas
ti itu disaksikan pula oleh para pejabat tinggi kerajaan.
Raja Walajayakrttaningrat dan ibunya digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabu
mibanten (baca : Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten). Gelar ini terbaca dalam pr
asasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka (Goris, 1954a : 44 ; Damais, 1955 : 99). Pr
asasti ini mencatat bahwa pada tahun 1259 Saka raja menetapkan pelbagai drwyahaji yang m
esti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran. Batas-batas wilayah pertapaan d
an pejabat-pejabat tinggi kerajaan yang menyaksikan penganugerahan prasasti itu disebutkan
pula di dalamnya. Pada bagian akhir prasasti terdapat sumpah kutukan (sapatha) yang pada in
tinya mengharapkan agar orang-orang yang melanggar ketetapan dalam prasasti itu mendapat
mala petaka setimpal.
Dapat ditambahkan bahwa di Pura Tegeh Koripan (di puncak Gunung Penulisan) tersimpan s
ebuah arca yang bagian belakang arca itu terdapat prasasti yang terdiri atas sembilan baris tuli
san dan keadaannya telah sangat aus. Pada baris ke delapan terdapat bagian yang berbunyi ”
…t (asu) raratnabumi…” (Stutterheim, 1929 : 79). Belakangan, Damais membaca bagian itu
sebagai berbunyi ”(–)—stasura ratnabumi banta,…”(1955 : 129) dan Goris membaca astasura
-ratna bumi-banten (1954a : 44). Di atas prasasti terdapat candra sangkala berupa empat gam
bar, yakni paling depan tidak jelas karena sudah pecah, berikutnya gambar mata (dengan nilai
2), puluhannya parasu (kapak) yang bernilai 5, dan terakhir tidak terang, mungkin gunung (be
rnilai 7) atau laut (bernilai 4). Berdasarkan data itu, maka angka tahun prasasti tersebut mung
kin 1254 atau 1257 Saka (Stutterheim, 1929 : 79). Di pihak lain, menurut perhitungan yang di
terapkannya, Damais berpendapat bahwa prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1439) (1955
: 129-130). Jika arca tempat prasasti itu berangka tahun 1352 Saka (1430) (1955 : 129-130). J
ika arca tempat prasasti itu ditulis adalah arca perwujudan Astasura Ratnabhumibanten, yang
dibuat sekitar upacara sraddha-nya, maka pendapat Damais lebih beralasan.
Enam tahun setelah Astasura Ratnabhumibanten mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Sa
ka), yakni pada tahun 1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang dipimpin oleh Gaja
h Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan Bali. Goris menyatakan bah
wa dengan takluknya Bali kepada Majapahit maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno yang merd
eka (1965 : 47).
Kontak perang antara Bali dan Majapahit agaknya didahului dengan suasana tidak harmonis.
Betapa tidak senangnya pihak Majapahit terhadap raja Bali dapat diketahui dari hasil goresan
pena Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakrtagama. Pupuh 49 bait 4 kitab itu menggambarkan
sebagai berikut :
”muwah rin sakabdesu masaksi nabhbhi,
Ikan bali nathanya dussila niccha
Dinon in bala bhrasta sakweh nasa
Ars salwir i dusta mandoh wisathta,”
(Pigeaud, 1960a : 36).
Artinya :
”Selanjutnya pada tahun Saka panah-musim-mata-pusat (1265 Saka), kepada raja Bali yang r
endah budi dan hina dina dikirimlah tentara untuk membasmi, hancurlah semuanya, ketakuta
n semua penjahat (lalu) lari menjauh (cf. Slametmulyana, 1979 : 297 ; Pigeaud, 1960c : 54).

KERAJAAN BALI AGA DAN MOJOPAHIT


Kerajaan Bali Aga di Jaman pemerintahan SRI RATNA BUMI BANTEN, yang me
merintah ditahun 143 Masehi dibedahulu terkenal dengan Raja Bedhahulu, Beliau masih ketu
runan Raja Daha.
Sri Asura Ratna Bumi Banten tidak mau tunduk dengan kerajaan Mojopahit dimana pada wa
ktu kerajaan Mojopahit dipimpin oleh seorang Raja Putri bernama Tri Buwana Tungga Dewi
dengan patih utamanya Aditya Warman bergelar Arya Damar dan ditemani Patih Gajah Mada
.
Karena keberaniannya beliau menentang kehendak Mojopahit itu menyebabkan Gajah Mada t
ak berani gegabah menghadapi Raja Bali ini. Disamping itu Gajah Mada telah mendengar ba
hwa diBali banyak terdapat tokoh – tokoh sakti dan amat tangguh yang menjadi tulang pungg
ung kekuatan kerajaan Sri Asura Ratna Bumi Banten itu.
Tokoh – tokoh yang paling ditakuti oleh Gajah Mada adalah :
Ki Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis : yang menjabat sebagai mangku bumi kerajaan Bali Aga, me
mang kesaktian para tokoh tersebut sudah sangat tersohor kepelosok negri, belum lagi beliau
didukung oleh sederetan orang – orang sakti seperti :
Ki Tunjung Biru, Tunjung Tutur dan tokoh lainnya.
Olehkarena keperkasaan beliau inilah menyebabkan ki Patih Gajah Mada berpikir berat menc
ari siasat bagaimana caranya untuk menundukan Bali Aga menjadi dibawah kekuasaan keraja
an Mojopahit.

PANCA PANDITA
Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan M
pu Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja Airlang
ga di Kediri. Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina pulau Bali ata
s perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke Bali adalah:
1. Mpu Semeru menetap di Besakih.
2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.
3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.
Yang tinggal di Jawa adalah:
1. Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan
2. Mpu Genijaya.
MPU GENI JAYA (1157)
Mpu Geni jaya mempunyai 7 putera (Sapta Pandita) yang tinggal di Kuntuliku, Jawa Timur.
Dalam tahun 1157 Mpu Geni jaya pergi ke Bali untuk mengunjungi adik-adiknya lalu meneta
p di gunung Lempuyang.
Gajah Waktra (1337 – 1343) Raja Bali, Gajah Waktra beserta pepatihnya Kebo Iwa dan Pasu
ng Gerigis memerintah Bali selama 1337 – 1343. Kemudian Bali di serang dan di taklukan ol
eh patih Gajah Mada dari Mojopahit. Selesai perang, Mpu Jiwaksara yaitu generasi ke-6 dari
Mpu Geni jaya diangkat menjadi puncuk pimpinan pemerintahan Mojopahit di Bali dengan g
elar Patih Wulung. Ayahnya Mpu Wijaksana juga ikut ke Bali dan merupakan pendeta perta
ma dari Mojopahit yang mengatur tata keagamaan di Bali setelah Bali jatuh ke tangan Mojop
ahit.

PATIH WULUNG (1350)


Pada tahun 1350 Patih Wulung berangkat ke Mojopahit untuk memberi laporan kepa
da ratu Mojopahit Tri Buana Tunggal Dewi tentang keadaan di Bali dan sekaligus mohon sup
aya cepat di angkat seorang raja di Bali sebagai wakil pemerintahan Mojopahit.
Akhirnya diangkatlah salah satu putra dari Danghyang Kepakisan, yaitu Dalem Ketut Kresna
Kepakisan menjadi raja di Bali, berkedudukan di Samplangan kemudian di Gelgel.
Berselang beberapa tahun, Sri Kresna Kepakisan ingin mempersatukan Blambangan dan Pasu
ruan yang dikuasai sang kakak, yaitu Dalem Wayan dan Dalem Made dengan kerajaan Bali.
Penyerangan dilakukan ke Pasuruan dibawah pimpinan Patih Wulung. Sri Kresna Kepakisan
berpesan agar sang kakak jangan sampai di bunuh. Namun dalam perang tanding antara Patih
Wulung dan Dalem Pasuruan, yang terakhir ini terkena senjata Patih Wulung lalu gugur.
Setelah patih Wulung dengan pasukannya kembali ke Bali dan melaporkan jalannya peperang
an yang berakhir dengan gugurnya Dalem Pasuruan, Sri Kresna Kepakisan menjadi sangat m
arah lantaran Patih Wulung telah melanggar pesannya sebagai tersebut di atas. Patih Wulung
diusir dari gelgel setelah dibekali beberapa sikut tanah dan beberapa ratus prajurit. Di sampin
g itu juga diberi gelar Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas. Patih Wulung pindah ke Ba
li Tengah yang kemudian disebut Bumi Mas kira-kira dalam tahun 1358.
Ki Patih Wulung atau Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas mempunyai 2 putra, yaitu:
Putra pertama adalah Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (II) yang menetap di Desa M
as dan menurunkan:
a. Kiyai Gusti Pangeran Bendesa Manik Mas (III),
b. Gusti Luh Made Manik Mas,
c. Gusti Luh Nyoman Manik Mas Genitri, yang kemudian diperistri oleh Danghyang Nirartha
.
Nama Bendesa Mas tetap tercantum sebagai pengenal garis keturunan. Dari sinilah menurun
para Bendesa Mas yang tersebar di seluruh Bali antara lain di Gading Wani.
Putra kedua dari Patih Wulung adalah Kiyai Gusti Pangeran Semaranata, menetap di Gelgel d
an menurunkan Gusti Rare Angon, leluhur dari Kiyai Agung Pasek Gelgel. Istilah Pasek bera
sal dari istilah kata pacek yang berarti pejabat. Semua pegawai kerajaan dari Perdana Menteri
, Panglima Perang, Prajurit dan pegawai lainnya adalah pejabat.

DANGHYANG NIRARTHA (1489)


Di zaman Dalem Watu Renggong (1460 – 1550) datanglah ke Bali Danghyang Nirart
ha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh dalam tahun 1489 lalu diangkat menjadi Bagawantha kera
jaan. Danghyang Nirartha adalah putra dari Danghyang Semara Natha yang bersama-sama pi
ndah dari Mojopahit ke Daha, karena Mojopahit telah jatuh ke tangan Islam dalam tahun 147
4. Islam kemudian juga merambat ke Kediri dan oleh karena itu Danghyang Nirartha pergi be
rsama kedua putra putrinya yang masih kecil, yaitu Ida Suwabawa (wanita) dan Ida Kulwan (
laki) ke Pasuruan.
Di sini beliau menikah lagi dengan seorang putri Pasuruan yang melahirkan: 1. Ida Lor atau I
da Manuaba dan 2. Ida Wetan.
Dari Pasuruan Danghyang Nirartha pindah lagi ke Belambangan di mana beliau menikah den
gan adiknya Dalem Blambangan yang bernama Patni Keniten Saraswati dan melahirkan: 1. I
da Selaga atau Ender, 2. Ida Keniten, 3. Ida Nyoman Stri Rai (wanita).
Timbul keributan di istana Blambangan lantaran istrinya dalem jatuh cinta pada Mpu Nirartha
dan Dalem menuduh Nirartha mengguna-gunai sang permaisuri. Akhirnya Nirartha diusir dar
i Blambangan. Disertai ketujuh putra putrinya dan sang istri Patni Keniten Saraswati, beliau
menyeberang ke Bali dan turun di pelabuhan Purancak.
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur dan suatu ketika rombongan sampai di Desa Gading Wa
ni, yang penduduknya kebetulan ditimpa penyakit sampar. Kedatangan Danghyang Nirartha d
isambut oleh Ki Bendesa Gading Wani dengan ramah dan memohon kepada beliau agar sudi
menolong mengobati mereka yang sedang sakit. Berkat kesaktian Danghyang Nirartha berhas
il menyembuhkan rakyat Gading Wani dan sejak itu beliau disebut pula Pedanda Sakti Wawu
Rauh. Sebagai tanda bakti Ki Bendesa Gading Wani mempersembahkan kepada beliau seoran
g putrinya bernama Ni Luh Petapan untuk di jadikan pelayan.
Nama Danghyang Nirartha makin terkenal di Bali dan oleh karena itu Ki Pangeran Bendesa
Manik Mas mengundang beliau untuk datang ke Bumi Mas, lebih-lebih setelah diketahui, bah
wa mereka masih saudara sepupu. Di Bumi Mas, Danghyang Nirartha dibuatkan oleh Ki Pan
geran Bendesa Manik Mas sebuah pasraman dan sebuah permandian.
Setelah cukup lama tinggal di Mas, Kiyai Pangeran Bendesa Manik Mas mempersembahkan
putrinya Gusti Nyoman Manik Mas Genitri kepada Danghyang Nirartha untuk di jadikan istri
. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putra yang diberi nama Ida Bokcabe. Ni Berit putri yan
g dibawa dari Melanting-Pulaki dan Luh Petapan putri dari Ki Bendesa Gading Wani akhirny
a dikawini pula dan dari yang pertama lahir Ida Andapan sedangkan dari yang kedua lahir Ida
Petapan.

BUMI MAS DISERANG SUKAWATI (1750)


Kira-kira dalam tahun 1750 Bumi Mas diserang oleh Kerajaan Sukawati, oleh karena
Pangeran Bendesa Manik Mas tidak mau menyerahkan pusaka-pusakanya kepada Dalem Suk
awati. Barang-barang pusaka dimaksud adalah pusaka leluhur Mojopahit yang dahulu diberik
an oleh Ratu Mojopahit dan Patih Gajah Mada kepada Ki Patih Wulung sebagai penguasa Bal
i Aga Mojopahit. Pusaka itu terdiri dari keris, mahkota dan sebuah permata yang sangat dimu
liakan bernama Menawa Ratna.
Penolakan Pangeran Bendesa Mas tersebut berdasarkan sebuah prasasti yang dahulu di keluar
kan oleh Dalem Kresna Kepakisan (leluhur Dalem Sukawati) kepada Ki Patih Wulung, sewa
ktu patih ini diusir dari Gelgel ke Bumi Mas. Dalam prasasti ini antara lain di muat: “Kekaya
an, harta benda, pusaka-pusaka dan lain-lain yang menjadi milik Bendesa Mas tidak boleh dia
mbil atau dijarah/dikuasi untuk kerajan”.
Dalem Sukawati tidak mengindahkan atau tidak memahami isi wisama ini, lalu Bumi Mas dis
erang dengan pasukan besar yang mengakibatkan terbunuhnya Sang Pangeran Bendesa Mas
dan keluarganya menghilang dari Bumi Mas termasuk keluarga Brahmana Mas. Keluarga Be
ndesa Mas menjadi cerai berai dan mengungsi kesegala plosok pulau Bali, juga ke Gading W
ani.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan babad tersebut di atas, maka Pura Kawitan para Bendesa Mas adalah
Pura Lempuyang Madia, bekas parhyangan Mpu Genijaya. Di samping itu pula nyungsung ke
Pura Gading Wani (Lalanglinggah) dan Pura Taman Pule (Mas). Juga Pura Çilayukti
(Padang) dan Pura Dasar Bhuwana (Gelgel) tidak boleh dilupakan. Waktu di pura Besakih di
bangun sebuah pelinggih untuk memuja arwah suci Danghyang Nirartha, di sebelah timurnya
didirikan pula pelinggih untuk Bendesa Mas. Namun demikian lelintihan/asal-usul dan
hukum kepurusa, para Bendesa Mas patut nyungsung pula pura pedharman di komplek pura
Besakih, yaitu Pura Rat Pasek.
DAFTAR PUSTAKA

https://andysimpen.wordpress.com/2010/05/27/babad-bendesa-manik-mas/
https://www.bandesamanikmas.com/bandesa-manik-mas-upaya-meluruskan-sejarah/

Anda mungkin juga menyukai