Anda di halaman 1dari 93

Diponegoro

pahlawan nasional Indonesia

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (atau


biasa dikenal dengan nama Pangeran
Diponegoro, 11 November 1785 – 8 Januari 1855)
adalah salah seorang pahlawan nasional
Republik Indonesia, yang memimpin Perang
Diponegoro atau Perang Jawa selama periode
tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah
Hindia Belanda.
Pangeran Diponegoro
Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin
Sayyidin Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah
Jawa

Lukisan Pangeran Diponegoro


Kelahiran Bendara Raden Mas
Antawirya
11 November 1785
Ngayogyakarta
Hadiningrat

Kematian 8 Januari 1855 (umur 69)


Makassar, Hindia
Belanda

Pemakaman Kampung Melayu, Wajo,


Makassar, Sulawesi
Selatan

Wangsa Mataram

Ayah Sultan
Hamengkubuwana III

Ibu R.A. Mangkarawati

Pasangan Raden Ajeng Ratu Ratna


Ningsih

Agama Islam

Dikenal atas Pahlawan Nasional


Indonesia
Panglima perang
Jawa

Portal biografi
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau
Perang Jawa dikenal sebagai perang yang
menelan korban terbanyak dalam sejarah
Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia
Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang
Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.

Asal usul
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11
November 1785 dari ibu yang merupakan
seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A.
Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya
bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di
kemudian hari naik takhta bergelar
Hamengkubuwana III.[1] Pangeran Diponegoro
sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden
Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi
Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama
Islamnya adalah Abdul Hamid.[3] Setelah
ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas
Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan
nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.

Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak


keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia
sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang
bukan sebagai istri permaisuri, membuat
dirinya merasa tidak layak untuk menduduki
jabatan tersebut.[4]

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi


yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di
bidang hukum Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih
tertarik pada masalah-masalah keagamaan
ketimbang masalah pemerintahan keraton
dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran
juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo,
berdekatan dengan tempat tinggal eyang
buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo, permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwana I, daripada tinggal di
keraton.[4]

Pangeran Diponegoro mulai menaruh


perhatian pada masalah keraton ketika dirinya
ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian
untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana
V (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun.
Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan
keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih
Danureja IV dan Residen Belanda. Pangeran
Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian
seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[4]

Kehidupan pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran
Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih
dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus
dengan tangan, mengoleksi emas, dan
berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya
di Selarejo dan Selarong, kebun yang
dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran,
buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur,
buaya hingga harimau.[5]

Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis,


Pangeran Diponegoro setidaknya menikah
beberapa kali dalam hidupnya.[5] Sang
Pangeran pertama kali menikah pada usia 27
tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto,
seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai
Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini,
Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama
Putra Diponegoro II.[6]

Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro


kembali menikah untuk kedua kalinya dengan
putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III,
seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan
Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi,
itupun atas permintaan Sultan
Hamengkubuwana III.[6] Diponegoro kemudian
bercerai tiga tahun setelah pernikahannya
tersebut dan dianugerahi seorang anak
bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki
sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[6]

Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808


dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di
wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan
ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan
Retnadewati meninggal ketika Diponegoro
masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran
kemudian menikah kembali pada tahun 1810
dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden
Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan
salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden
Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah
melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di
Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan
kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama
Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan
nama Raden Mas Singlon.[7]

Pangeran kembali menikah kelima kalinya


pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu
Maduretno, putri dari Raden Rangga
Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu
Maduretno merupakan saudara seayah
dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu.
Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi
permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I
pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran
Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan
Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran
kembali menikah untuk keenam kalinya
dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri
Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh
menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri
Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang
bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan
dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru
Kasongan.[7][8]

Dari hasil beberapa kali pernikahannya


tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12
putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh
keturunannya tersebut hidup tersebar di
berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa,
Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia,
Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]

Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai


pribadi yang suka melucu dan bercanda.
Terkadang, dia sangat benci dengan
komandan tentaranya yang dianggapnya
pengecut.[5]

Perang Diponegoro (1825–


1830)
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali
dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda
yang memasang patok-patok di atas lahan
milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan
tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat
setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap
rakyat dengan pajak tinggi, membuat
Pangeran Diponegoro semakin muak hingga
mencetuskan sikap perlawanan sang
Pangeran.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia
Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Profesor Wardiman
Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah
penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro
karena sakit hati terhadap pemerintahan
Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya
menjadi raja. Padahal, perlawanan yang
dilakukan disebabkan sang pangeran ingin
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari
sistem pajak Hindia Belanda dan
membebaskan istana dari madat.[11]

Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro


yang menentang Hindia Belanda secara
terbuka kemudian mendapat dukungan dan
simpati dari rakyat. Atas saran dari sang
paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran
Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan
membuat markas di Gua Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil,
perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga
ke wilayah Pacitan dan Kedu.[10]

Medan pertempuran Perang Diponegoro


mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen,
Surakarta, dan beberapa daerah seperti
Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri,
Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus,
Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun,
Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan
Surabaya.[12]

Para panglima Diponegoro

Beberapa tokoh karismatik yang turut


bergabung dengan Pangeran Diponegoro
adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden
Tumenggung Prawiradigdaya.[10] Pangeran
Diponegoro juga dibantu oleh putranya
bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki
Sodewa melakukan peperangan di wilayah
Kulonprogo dan Bagelen. Selain itu, ada
beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam
Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning
Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan
kiai-kiai lainnya.[12]
Kiai Madja

Kiai Madja merupakan seorang tokoh agama


asal Surakarta yang turut bergabung dengan
pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai
Madja lahir di Desa Mojo, wilayah Pajang, dekat
Kota Surakarta. Dia tertarik dan turut serta
berjuang bersama Pangeran Diponegoro
karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan
yang berlandaskan Islam. Kiai Madja dikenal
sebagai ulama besar yang sebenarnya masih
memiliki hubungan kekerabatan dengan
Pangeran Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A
Mursilah, adalah saudara perempuan dari
Sultan Hamengkubuwana III.[13]
Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim
Mochamad Khalifah semenjak lahir justru tidak
mencicipi kemewahan gaya hidup sebagai
keluarga istana. Jalinan persaudaraan dirinya
dengan Pangeran Diponegoro kian erat
setelah Kiai Madja menikah dengan janda
Pangeran Mangkubumi yang merupakan
paman dari Diponegoro. Tak heran,
Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan
sebutan "paman", meski relasi keduanya
adalah saudara sepupu.[14]
Diponegoro, c.1830.

Perjuangan Pangeran Diponegoro juga


didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan
Raden Tumenggung Prawira Digdoyo Bupati
Gagatan Raden Tumenggung Prawiradigdoyo
Bupati Gagatan adalah Bupati saat itu di
wilayah Gagatan, yang saat ini setelah
kemerdekaan NKRI masuk di wilayah Kecamaan
Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa
Tengah.adalah Bupati saat itu di wilayah
Gagatan, yang saat ini setelah kemerdekaan
NKRI masuk di wilayah Kecamaan Wonosegoro,
Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Meski
demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat
karena ia memiliki banyak pengikut dari
berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang
dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam
ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh
pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada
syariat Islam. Semangat memerangi Belanda
yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik
Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan
Diponegoro kian mendapat dukungan
terutama dari tokoh-tokoh agama yang
berafiliasi dengan Kiai Madja.[15] Menurut Peter
Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran
Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa
sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan
puluhan penghulu berhasil diajak
bergabung.[16]
Sentot Prawirodirdjo

Sentot Prawirodirdjo atau dikenal juga Sentot Ali Pasha/Ali Basha adalah salah satu panglima Pangeran Diponegoro.

Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha


Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal
dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha,
putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang
menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur,
ipar Sultan Hamengkubuwana IV, yang
terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman
pemerintahan Gubernur Daendels.[17]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot
bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan
menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika
berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di
Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu
panglima Diponegoro bernama Gusti Basah,
gugur dan sebelum meninggal, ia meminta
sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai
penggantinya. Setelah diangkat menjadi
senopati, Sentot berhasil memukul mundur
tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5
September 1828. Beberapa minggu kemudian,
Sentot juga berhasil memenangkan
peperangan di Bagelen dan Banyumas.
Strategi perang yang digunakan Sentot adalah
penggerebekan dengan menggempur
sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh.
Sentot juga dikenal pandai dalam perang
gerilya.[17]

Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok


Usamah bin Zaid, panglima Turki yang
memimpin perang melawan bangsa Romawi
dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga
dijuluki "Napoleon Jawa".[12] Sentot memimpin
pasukan sebanyak 1.000 orang dengan
menyandang senjata dan mengenakan jubah
dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip
seperti pasukan Turki Utsmani.[12]

Sentot juga berhasil memenangkan


peperangan di Kroya dan merampas 400
pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta
menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.[7]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock
membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat,
yang merupakan kakaknya, agar bersedia
berunding dengan Hindia Belanda. Atas
bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian
menerima tawaran Belanda untuk datang ke
Yogyakarta dan disambut dengan upacara
militer seperti seorang jenderal pada 24
Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan
ditangkap.[12]

Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro,


Sentot sempat dikirim ke Salatiga, Batavia,
hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya
ke Sumatra Barat untuk membasmi
pemberontakan ulama dalam Perang Padri.
Namun ini hanya strategi Sentot agar berhasil
mendapatkan persenjataan untuk membantu
perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot
akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim
kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke
Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya
wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan
di Bengkulu pada 17 April 1855.[17]

Kerta Pengalasan

Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat


sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati
Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh
Pangeran Diponegoro untuk memperkuat
sistem pertahanan pusat negara di Plered.[7]
Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah
kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon
Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I,
salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I
untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[18]

Para pendamping

Selain para panglima perang, Pangeran


Diponegoro juga didampingi oleh para
pendamping yang sering disebut sebagai
panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto),
Banthengwareng, Sahiman (Rujakbeling),
Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak
(Rujakgadhung).[19] Mereka para panakawan
disebut juga sebagai bocah becik (anak baik)
dan berperan bergantian sebagai abdi
pengiring, guru, penasihat, peracik obat,
pembanyol, hingga penafsir mimpi.[20]
Joyosuroto

Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan


yang selalu ada di setiap perjalanan sang
Pangeran sejak awal perjuangan hingga
perjalanan sebagai tahanan menuju
pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta
kuda residen Kedu menuju Semarang dan
bertugas membawa kotak sirih. Roto juga
menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan
tidur di depan pintu kamarnya ketika sang
pangeran telah tiba dan menginap selama
seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang.
Dia menyajikan roti putih yang dipanggang
setiap pagi berikut kentang walanda.[20]
Sebelum bergabung dengan Pangeran
Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga
desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai,
Roto ikut bersama pasukan Diponegoro
menuju perbukitan di Selarong pada tahun
1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki
dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian
mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan
tinggal di gua-gua dan berziarah.[20]

Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran


menerapkan sistem pemerintahan keraton di
Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon
Progo (November 1825-Agustus 1826), para
panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya
sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian,
para panawakan selalu mendampingi setiap
langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama
Banthengwareng, menemani Pangeran
Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat
Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran
pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi
Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa
berpindah-pindah dari gubug petani satu ke
gubug lainnya dan Roto menghibur sang
Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-
banyolan yang lucu.[20]

Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh


berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian
barat, sosoknya tersembunyi di belakang
seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah
memegang senjata, tanpa mengenakan
sorban, dengan wajah tengah memandang ke
arah tuannya.[20] Roto juga ikut serta ketika
Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal
bersama keluarganya selama tiga tahun
sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia
Belanda mengirimnya ke Tondano dan
bergabung dengan Kiai Modjo.[19]

Banthengwareng

Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-


1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang
paling setia. Banthengwareng disebut sebagai
panakawan yang paling setia, karena dia ikut
hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke
Makassar.[19]
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara
dengan julukan lare bajang, anak muda yang
nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga
tergambar dalam lukisan koleksi Snouck
Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden,
yang menggambarkan Banthengwereng
sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak
berbusana. Di lukisan tersebut,
Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran
Diponegoro dan membantu sang Pangeran
mengajarkan ilmu mistik Islam kepada
putranya, ketika berada dalam pengasingan
tahun 1835-1855.[19]

Roto bersama Banthengwareng, menemani


Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di
sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri
dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu,
kondisi Diponegoro terkena sakit malaria,
terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani
satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur
sang Pangeran yang sedang sakit dengan
banyolan-banyolan yang lucu.[20]

Sejarawan Belanda, George Nypels dalam


bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-
Java van 1825 tot 1830, menuliskan bahwa
Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam
kondisi kekurangan, dengan luka di kakinya dan
sakit malaria, harus berpindah-pindah
terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan
cukup makanan. Pangeran Diponegoro
bersembunyi selama tiga bulan antara
pertengahan November 1829 hingga
pertengahan Februari 1830.[19]

Strategi perang sang Pangeran

Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi


beberapa batalyon yang diberi nama
berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain
sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan
senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di
hutan.Pangeran Diponegoro bersama para
panglimanya menerapkan strategi perang
gerilya yang selalu berpindah-pindah.
Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika
pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut.
Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali
ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi
meninggalkan Selarong.[7]

Pusat pertahanan pasukan Diponegoro


kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa.
Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi
kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid
Herucakra Amirulmukminin Sayidin
Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan
pusat negara berada di Plered, dengan
pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan
daerah Plered dipercayakan penanganannya
kepada Kerta Pengalasan.[7]

Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan


dengan gagalnya serangan besar-besaran
pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni
1826. Setelah penyerangan tersebut, sang
Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan
dengan Ali Basha Prawiradirja dan
Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16
tahun.[7] Setelah itu, masih di bulan dan tahun
yang sama, pasukan Hindia Belanda
menyerang markas Diponegoro di Daksa,
tetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan
Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju
Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap
dan membinasakan seluruh pasukan dan
menghilang dari Daksa.[7]

Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro


menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok
dan mendapat kemenangan. Namun, sang
Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu
ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November
1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih
(sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang
pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang
Pangeran mendirikan keraton di Sambirata
sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda
sempat menyerang Sambirata, tetapi
Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang
sempat berhenti akibat gencatan senjata
pada 10 Oktober 1827, namun perundingan
tidak menemui kesepakatan apa pun.[7]

Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan


Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah
memindah-mindahkan markasnya dan
mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan
Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah
berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya,
Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal,
kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti
Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal
Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]

Para senopati menggunakan strategi dengan


menjadikan kondisi alam sebagai "senjata" dan
tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan
dengan melakukan serangan-serangan besar-
besaran pada saat bulan-bulan penghujan.
Hujan tropis yang deras tersebut sering kali
membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda
terhambat, sehingga para gubernur Hindia
Belanda akan melakukan berbagai usaha
untuk melakukan gencatan senjata dan
berunding. Ancaman lainnya datang dari
penyakit malaria, disentri, dan sebagainya,
yang menjadi “musuh yang tak tampak” bagi
pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan
situasi dengan mengkonsolidasikan
pasukannya dan menyebarkan mata-mata
serta provokator di desa-desa dan kota
kemudian menghasut, memecah belah dan
bahkan menekan anggota keluarga para
pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat
yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut
tidak gentar dan tetap berjuang melawan
Belanda.
Taktik Hindia Belanda

Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro


adalah perang terbuka dengan mengerahkan
berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan
infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak
Perang Napoleon selalu menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal. Front
pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota
di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat
sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih
berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai
pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka
malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula
sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke
wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di
hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu
dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan
kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan
untuk menyusun stategi perang. Informasi
mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan
waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi
berita utama, karena taktik dan strategi yang
jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.

Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda


mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu,[10] suatu hal yang belum pernah ada
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi
dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang
melibatkan semua metode yang dikenal
dalam sebuah perang modern. Baik metode
perang terbuka (open warfare), maupun
metode perang gerilya (guerilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku,
melainkan suatu perang modern yang
memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu
belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga
dilengkapi dengan taktik perang urat saraf
(psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-
tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda
terhadap mereka yang terlibat langsung
dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi
(spionase) dengan kedua pihak saling
memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia


Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan
mengeluarkan maklumat pada 21 September
1829 bahwa siapapun yang dapat menangap
Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati,
akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden,
beserta tanah dan penghormatan.[7]

Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi


ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat
menjadi panglima seluruh Hindia Belanda
tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan
strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock
menggunakan strategi perbentengan (Benteng
Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat
berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda
berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan
Diponegoro. Tujuannya agar pasukan
Diponegoro tidak dapat kembali dan
mempersempit ruang geraknya. Jarak antar
bentang berdekatan dan dihubungkan dengan
pasukan gerak cepat.[7]

Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin


melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai
Madja, pemimpin spiritual pemberontakan,
ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul
kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya
pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya,
dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni
R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14
Oktober 1829.[7]

Negosiasi dan pengkhianatan

Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk


bertemu dengan utusan Jenderal De Kock,
yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan
mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji
Badaruddin agar Clereens bisa datang ke
Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah
Kabupaten Purworejo), di hulu sungai
Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari
1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan,
meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya,
Diponegoro ingin bertemu langsung dengan
De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan
bermaksud menunggunya di Bagelen Barat.
Namun, Clereens menyarankan agar
Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh
dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830
dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[3]

Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai


25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan
Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De
Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa
tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya
ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan
berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama
tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan
pengikut Pangeran Diponegoro ditandai
dengan sorban dan jubah hitam yang
diberikan oleh Clereens.[3]

Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada


Pangeran Diponegoro dengan memberikan
hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan
uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk
membiayai para pengikutnya selama bulan
puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang
Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya
yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan
Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama
panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah
Imam Musbah, hadir dan bergabung di
Magelang.[3]
Dalam pikiran De Kock, kedatangan
Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela
menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah
secara de facto. Sementara itu, selama bulan
puasa, De Kock bertemu dengan sang
Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak
dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan
dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke
pesanggarahan sang Pangeran. Namun,
mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di
kesatuan Diponegoro, Tumenggung
Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang
Pangeran tetap bersikeras mendapatkan
pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa
bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg
panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya
(Raja dan pengatur agama di seluruh tanah
Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu,
pada 25 Maret 1830, De Kock memberi
perintah rahasia kepada dua komandannya,
yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor
A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan
militer untuk mengamankan penangkapan
sang Pangeran.[3]

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,


bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De
Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro.
Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu
Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor
F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa
Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro
didampingi ketiga putranya, penasihat agama,
dua punakawan, dan panglima Basah
Mertanegara. De Kock memulai pertemuan
dengan meminta agar Pangeran Diponegoro
tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran
merasa heran dan mempertanyakan kembali
kepada De Kock kenapa tidak diizinkan
kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi
menjelang akhir bulan puasa. De Kock
langsung bicara akan menahan Diponegoro
dan suasana pun langsung berubah tegang.[21]

Diponegoro langsung meresponsnya dengan


menanyakan ada masalah apa sehingga
dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak
bersalah dan tidak menaruh benci kepada
siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan
dan meminta agar masalah politik bisa
diselesaikan lain waktu. De Kock langsung
memotong perbicaraan dan menegaskan
dengan nada tinggi, dengan mengatakan
terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan
menuntaskan masalah politik hari itu juga.
Diponegoro langsung berbicara dan menuding
Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk
karena keputusannya terburu-buru dan tidak
pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan
puasa. Sang Pangeran langsung berbicara
bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali
pemerintah Hindia Belanda mengakuinya
sebagai kepada agama Islam di Jawa dan
gelar sultan yang disandangnya.[21]

Jenderal De Kock kemudian memerintahkan


Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan
pasukan. Diponegoro kemudian berbicara
dengan situasi seperti itu dan karena sifat
jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak
takut dibunuh dan tidak bermaksud
menghindarinya. De Kock terhenyak
mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro
dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya
tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi
juga tidak akan memenuhi keinginan sang
Pangeran. Sempat terbersit dalam benak
Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh
De Kock, namun niatannya diurungkan karena
akan merendahkan martabatnya. Setelah
meminum teh dan menghampiri pengikutnya,
sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran
Diponegoro pun berhasil ditangkap.[21]
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang,
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung
Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu
dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan
menggunakan kapal Pollux. Pangeran
Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830
dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum
Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830,
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado
bersama istri keenamnya bersama
Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para
pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di
Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di
Benteng Nieuw Amsterdam. Tahun 1834,
Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.[10]

Lukisan "Penangkapan Diponegoro"

Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock tanggal 28 Maret 1830, karya Raden Saleh.

Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830


ditafsirkan berbeda antara pelukis Indonesia
yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif
Bustaman, dengan pelukis Belanda, Nicolaas
Pieneman (1809-1860). Raden Saleh
menggambarkan peristiwa tanggal 28 Maret
1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro",
sedangkan Pienaman melukisnya sebagai
"Penyerahan Diponegoro".[22]

Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh


Raden Saleh ketika berada di Eropa pada
tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan
lukisan cat minyaknya baru selesai setahun
kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh
menunjukkan lukisannya tersebut kepada
temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II,
dengan judul "Ein historisches Tableau, die
Gefangennahme des javanischen Hauptings
Diepo Negoro" (lukisan bersejarah tentang
penangkapan seorang pemimpin Jawa
Diponegoro). Raden Saleh kemudian
memberikan lukisannya sebagai hadiah
kepada Raja Belanda, Willem III.[22]

Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi


kiri gedung, sehingga Bendera Belanda yang
dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain
itu, Raden Saleh menggambarkan sosok
Pangeran Diponegoro ketika ditangkap
menggunakan sorban hijau berdiri dengan
kepala tegak mendongak, tegas, menahan
amarah,[22] menunjukkan perlawanan,[23] dan
tegar, meskipun para pengikutnya terlihat
sedih dan dukacita yang mendalam.[24]
Lukisan "Penyerahan Diponegoro"

Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan


ilustrasi gedung di sisi kanan dengan bendera
Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran
Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan
pasrah,[22] meskipun tergambarkan tidak
menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De
Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan
berwibawa.[24] Sosok sang Pangeran dalam
lukisan juga digambarkan terkesan mengikuti
perintah De Kock, dengan latar belakang
tangisan para pengikutnya.[23] Selain itu, posisi
anak tangga tempat berdiri sang Pangeran
berada di bawah De Kock yang menyiratkan
posisi perbedaan derajat di antara mereka
dan posisi tawanan dan penguasa.[23]
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang
Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.

Keberlanjutan Perang

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh


para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki
Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat,
Dipanegara Anom, dan Pangeran Joned yang
terus-menerus melakukan perlawanan
walaupun harus berakhir tragis. Empat putra
Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon,
sedangkan Pangeran Joned dan Ki Sodewa
terbunuh dalam peperangan.

Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak


kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000
tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi
serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[5]
Berakhirnya Perang Jawa juga merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang
Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Bagi sebagian kalangan di Kesultanan


Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro
dianggap pemberontak, sehingga konon anak
cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
keraton. Namun, Sri Sultan Hamengkubuwana
IX memberi amnesti bagi keturunan
Diponegoro, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dimiliki
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro
dapat bebas masuk keraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa
takut akan diusir.

Akhir hayat Diponegoro


Lukisan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.

Lukisan pemandangan alam di sekitar tempat pengasingan Pangeran Diponegoro karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke


Manado dengan menggunakan Kapal Pollux,
kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam
keadaan lemah, muntah-muntah akibat
mabuk laut, dan terkena malaria. Di atas
kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan
ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch
(arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan
Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat
dalam percakapan dan salah satu
percakapannya adalah ketika Diponegoro
mempertanyakan kepada Knoorle, apakah
sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk
mengasingkan pemimpin yang kalah perang
ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak
saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle
menjawab bahwa Pangeran Diponegoro
diperlakukan sama dengan Napoleon
Bonaparte, yang sama-sama diasingkan
dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan
pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin
peristiwa Napoleon yang ditangkap dan
diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan
memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan
sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing
lagi, yakni St Helena hingga wafat.[25]
Pangeran Diponegoro dan rombongannya,
yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya
tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya,
Diponegoro akan ditempatkan di Tondano,
tetapi Knoorle diberitahu oleh Pietermaat,
seorang residen setempat bahwa Kiai Madja
beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di
Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya
Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di
Benteng Manado untuk sementara waktu agar
tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro
berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw
Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833.
Setelah beberapa tahun di Manado , ia
dipindahkan ke Makassar pada Juli 1833 di
mana ia ditahan di dalam Fort Rotterdam
karena Belanda percaya bahwa penjara tidak
cukup kuat untuk menampungnya. Terlepas
dari status tahanannya, istrinya Ratnaningsih
dan beberapa pengikutnya menemaninya ke
pengasingan dan dia menerima pengunjung
terkenal termasuk Pangeran Henry Belanda
yang berusia 16 tahun pada tahun 1837.
Diponegoro juga menyusun manuskrip tentang
sejarah Jawa dan menulis otobiografinya,
Babad Dipanegara, selama pengasingannya.

Kesehatannya Menurun karena usia tua.


Diponegoro kemudian meninggal pada 8
Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari
kemudian, anak dan istrinya memutuskan
untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter
Carey, Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist
mengeluarkan perintah rahasia bahwa
keluarga Diponegoro tetap diperlakukan
sebagai orang dalam pengasingan dan hanya
diperbolehkan berada di Makassar, tetapi
mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden
yang dibayarkan melalui keraton
Yogyakarta.[25]

Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu


Retnoningsih meninggal dunia. Raden Ayu
Retnoningsih dimakamkan di kampung jera.
Kampung jera atau kampung pemakaman
berada di lokasi kampung Melayu. Raden Ayu
Retnoningsih dimakamkan di samping makam
Pangeran Diponegoro.[25]
Peninggalan bersejarah

Babad Dipanagara

Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi


(macapat atau puisi tradisional Jawa/tembang)
setebal 1.170 halaman folio, yang menceritakan
sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman
Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram),
yang dituturkan langsung oleh Pangeran
Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis
sejak Mei 1831 hingga Februari 1832 ketika sang
Pangeran diasingkan di Manado. Tulisannya
menggunakan aksara Arab pegon (tanpa
tanda baca) dan aksara Jawa. Namun, naskah
asli Babad Dipanagara, menurut sejarawan
Peter Carey, sudah hilang. Yang ada hanyalah
salinan yang saat ini tersimpan di
Perpustakaan Nasional dan di Rotterdam,
Belanda.[26]

Babad Dipanagara kemudian diakui oleh


Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan (UNESCO) pada Juni 2013 sebagai
Memori Dunia (Memory of the World (MOW)),
yakni sebuah program untuk menghargai dan
merawat catatan-catatan peristiwa
kesejarahan dan budaya.[27]

Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua


naskah Primbon, yakni tentang pengaruh
Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran
tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan
Jawa.[26]
Keris

Pangeran Diponegoro terkenal selalu


membawa kerisnya. Beberapa keris yang
dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang
(tersimpan di Museum Sasana Wiratama-
Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di
Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris
Kiai Naga Siluman. Keris terakhir tersebut itulah
yang paling terkenal karena sempat hilang,
tetapi ditemukan di Belanda dan sudah
teregister dengan nomor RV-360-8084.[28]

Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Naga


Siluman dikembalikan kepada Pemerintah
Republik Indonesia secara langsung oleh Raja
Willem-Alexander kepada Presiden Joko
Widodo.[29] Dalam dokumen kesaksian dalam
Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah
seorang Panglima Diponegoro, Sentot
mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro
menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman
kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal De
Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut
berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang
juga pernah melukis tentang Pangeran
Diponegoro.[30] Keris ini kemudian oleh Cleerens
menjadi persembahan hadiah kepada Raja
Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai
Naga Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet
van Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah KKVZ
dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi
museumnya tersebar ke berbagai museum
dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian
tersimpan di Museum Volkenkunde, Leiden.[31]

Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga


Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada
tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk
Indonesia, Lodewijk van Gorkom
menginformasikan bahwa Keris Pangeran
Diponegoro tersimpan di ruangan bawah
tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan
meminta untuk dikembalikan. Penggantinya,
yakni Frans van Dongen menulis surat kepada
Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi,
pada tahun 1985, meminta agar keris tersebut
harus ditemukan dan dikembalikan dalam
rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia. Van Dongen kemudian
menerima balasan surat dari Pott yang
mengaku sudah menemukan keberadaan keris
tersebut, tetapi ternyata Pott salah
mengidentifikasinya.[32]

Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo


Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang
diserahkan Pangeran Diponegoro kepada
Pangeran Diponegoro II (Raden Mas
Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai
Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden
Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai
Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai
Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden
Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak
Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak
Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan
tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng
Munteng.[33]

Keris lain yang dianggap paling sakti adalah


Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil
peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai
Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai
Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu
dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri
hingga akhir hayatnya dan dikuburkan
bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari
1855.[33]

Tongkat

Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat


yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat
ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia.
Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan
Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies
Baswedan pada tahun 2015.[34]

Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang


153 sentimeter yang terletak di ujung
tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran
Diponegoro dari hasil dari warga selama
berziarah di selatan Jawa, termasuk
Yogyakarta, pada tahun 1815.[10] Tongkat ini
selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap
berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah
Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu
panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo,
cucu Nyi Ageng Serang, memegang tongkat ini
dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan
sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C
Baud pada tahun 1834 untuk merebut hati
pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini
kemudian disimpan oleh salah satu keluarga
keturunan Gubernur Jenderal J.C Baud selama
181 tahun.[34]

Tombak

Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata


pusaka Pangeran Diponegoro yang telah
dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat
ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu
dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya
dapat memberikan perlindungan dan
peringatan datangnya bahaya. Pada mata
tombak terdapat bagian yang dilapisi emas
dan pada bagian pangkal matanya terdapat
empat relung yang berhias permata, tetapi
dua buah permatanya telah hilang ketika
benda ini dikembalikan ke Indonesia.[34]

Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran


Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan
Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11
Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama
dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro
dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840)
sebagai rampasan perang.[34]

Benda lainnya

Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan


tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan
Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang
Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya
dan tali kuda, yang masih tersimpan di
Belanda.[31]

Sementara itu, menurut Direktur Museum


Sejarah Kolonial Bronbeek di Arnhem, Pauljac
Verhoeven, benda peninggalan Pangeran
Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang
telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan
kepada pemerintah Indonesia.[32]
Cap mohor

Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap


mohor, yaitu cap yang digunakan untuk
menandatangi surat yang sah darinya. Yang
tertera dalam cap mohornya ialah:

Dalam Arab Pegon:

‫اڠکڠ سنوهن کڠجڠ سلطان عبد الحامد ڠيرچکر‬


‫كبير المؤمنين سيد ڤنتاݢام خليفه رسول اهلل ص‬
‫ايڠ تنه جاوي‬

Dalam Latin: Ingkang Sinuhun Kan(g)jeng Sultan


Abdul Hamid Ngerucakra Kabir al-Mukminin
Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah s[aw.]
ing Tanah Jawi[35]

Penghargaan sebagai
Pahlawan

Monumen Diponegoro di Medan Merdeka, Jakarta


Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.

Atas penghormatan terhadap jasa-jasa


Diponegoro melawan penjajahan Hindia
Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak
yang memiliki nama Jalan Pangeran
Diponegoro, seperti di Kota Semarang
terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro,
Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro
(Undip), dan Kodam IV/Diponegoro. Selain itu,
ada beberapa patung yang dibuat sebagai
penghargaan, seperti Patung Diponegoro di
Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam
IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip
Tembalang.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno,
pemerintah pernah menyelenggarakan Haul
Nasional memperingati 100 tahun wafatnya
Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari
1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada
tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No
87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh


Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan
Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan
Dunia (Memory of the World). Babad
Diponegoro merupakan naskah klasik yang
dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika
diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada
1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah
hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki
nama asli Raden Mas Antawirya.[36][37]

Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran


Diponegoro dalam memperjuangkan
kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen
Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal
dengan sebutan "Sasana Wiratama" di
Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas
kediaman Pangeran Diponegoro.

Daftar pustaka
Carey, P.B.R. (1981). Babad Dipanagara: an
account of the outbreak of the Java War
(1825-30): the Surakarta court version of the
Babad Dipanagara. Kuala Lumpur: Printed
for the Council of the M.B.R.A.S. by Art Printing
Works. Monograph (Royal Asiatic Society of
Great Britain and Ireland. Malaysian Branch);
no.9
Sagimun, M.D. (1976). Pangeran Diponegoro:
Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Biografi
Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan
Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia. Jakarta: Pembangunan.

Referensi
1. "Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro" (h
ttps://historia.id/politik/articles/memenuhi-ra
malan-pangeran-diponegoro-DW1RP) .
Historia. Diakses tanggal 2020-03-20.
2. Raditya, Iswara N. "Intrik Keraton dan Misteri
Kematian Sultan Hamengkubuwana IV" (http
s://tirto.id/intrik-keraton-dan-misteri-kematian
-sultan-hamengkubuwana-iv-cAS4) . tirto.id.
Diakses tanggal 2017-12-06.
3. "Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa
Libur Selama Ramadan" (https://www.liputan6.
com/regional/read/2525317/pangeran-dipone
goro-syaratkan-perang-jawa-libur-selama-ram
adan) . Liputan6.com. 2016-06-07. Diakses
tanggal 2020-03-21.
4. "Pangeran Diponegoro Komandan Perang
Jawa" (https://tagar.id/pangeran-diponegoro-k
omandan-perang-jawa) . Tagar.id. 2017-12-23.
Diakses tanggal 2020-03-21.
5. "Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang
Belum Diketahui Banyak Orang" (https://histori
a.id/kuno/articles/tujuh-kebiasaan-pangeran-d
iponegoro-yang-belum-diketahui-banyak-oran
g-DwR8O) . Historia.id. Diakses tanggal
2020-03-20.
6. "Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran
Diponegoro" (https://kumparan.com/kumpara
nnews/perempuan-perempuan-di-hidup-pang
eran-diponegoro-1qp5ue6vepl) .
Kumparan.com. Diakses tanggal 2020-03-21.
7. "Biografi terkait Diponegoro" (https://web.archi
ve.org/web/20200322105747/http://diponegor
o.pahlawan.perpusnas.go.id/biography/) .
diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id.
Diarsipkan dari versi asli (http://diponegoro.pa
hlawan.perpusnas.go.id/biography/) tanggal
2020-03-22. Diakses tanggal 2020-03-22.
8. "Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-
wanita di Sekelilingnya" (https://daerah.sindon
ews.com/read/1103524/29/kisah-pangeran-dip
onegoro-dan-wanita-wanita-di-sekelilingnya-14
61424872) . SINDOnews.com. Diakses tanggal
2020-03-22.
9. "Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita
Cantik" (https://www.liputan6.com/regional/rea
d/2493678/pangeran-diponegoro-dan-wanita-
wanita-cantik) . Liputan6.com. 2016-04-27.
Diakses tanggal 2020-03-22.
10. "Biografi Pangeran Diponegoro, Pemimpin
Perang Jawa" (https://www.kompas.com/skola/
read/2019/12/09/111125669/biografi-pangeran-
diponegoro-pemimpin-perang-jawa) .
Kompas.com. Diakses tanggal 2020-03-20.
11. "Meluruskan Fakta dalam Sejarah Pangeran
Diponegoro" (https://republika.co.id/share/puk
wyo396) . Republika Online. 2019-07-13. Diakses
tanggal 2020-03-21.
12. "Sentot Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro
yang Dijuluki Napoleon Jawa" (https://daerah.si
ndonews.com/read/1222915/29/sentot-ali-basy
a-panglima-perang-diponegoro-yang-dijuluki-
napoleon-jawa-1500653996) .
SINDOnews.com. Diakses tanggal 2020-03-21.
13. Heru., Basuki, (2007). Dakwah dinasti Mataram
dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang
Sabil Sentot Ali Basah (https://www.worldcat.or
g/oclc/302187891) (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta:
Samodra Ilmu. ISBN 9786028014014.
OCLC 302187891 (https://www.worldcat.org/ocl
c/302187891) .
14. 1947-, Babcock, Tim G., (1989). Kampung Jawa
Tondano : religion and cultural identity (https://
www.worldcat.org/oclc/21212549) . Yogyakarta,
Indonesia: Gadjah Mada University Press.
ISBN 9789794201206. OCLC 21212549 (https://ww
w.worldcat.org/oclc/21212549) .
15. R.,, Carey, P. B.; Bambang,, Murtianto,;
Gramedia, PT. Takdir : riwayat Pangeran
Diponogoro, 1785-1855 (https://www.worldcat.or
g/oclc/883389465) . Jakarta.
ISBN 9789797097998. OCLC 883389465 (https://
www.worldcat.org/oclc/883389465) .
16. Raditya, Iswara N. "Pecah Kongsi Pangeran
Diponegoro dan Kyai Mojo" (https://tirto.id/pec
ah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-moj
o-cwyp) . tirto.id. Diakses tanggal 2020-03-22.
17. "Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda
Pangeran Diponegoro" (https://historia.id/milit
er/articles/sentot-alibasah-panglima-perang-t
ermuda-pangeran-diponegoro-vo1Ge) .
Historia. Diakses tanggal 2020-03-21.
18. Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro
– Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang
Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia.
ISBN 978-602-424-680-8.
19. "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang
Paling Setia" (https://historia.id/kuno/articles/si
-bantheng-pengiring-diponegoro-yang-paling-
setia-P7x4Q) . Historia. Diakses tanggal
2020-03-28.
20. "Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro" (https://hi
storia.id/kuno/articles/roto-jenaka-pengiring-di
ponegoro-v2wdP) . Historia. Diakses tanggal
2020-03-28.
21. "Detik-detik Menegangkan Saat Belanda
Menjebak Diponegoro" (https://historia.id/politi
k/articles/detik-detik-menegangkan-saat-bela
nda-menjebak-diponegoro-6mmJ2) . Historia.
Diakses tanggal 2020-03-22.
22. "Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro,
Perlawanan Raden Saleh atas Karya Nicolaas
Pieneman | Direktorat Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman" (https://kebudaya
an.kemdikbud.go.id/ditpcbm/lukisan-penangk
apan-pangeran-diponegoro-perlawanan-rade
n-saleh-atas-karya-nicolaas-pieneman/) .
Kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal
2020-03-21.
23. "2 Wajah Pangeran Diponegoro Saat
Penangkapan 188 Tahun Lalu" (https://www.lipu
tan6.com/regional/read/3411776/2-wajah-pan
geran-diponegoro-saat-penangkapan-188-tah
un-lalu) . Liputan6.com. 2018-03-28. Diakses
tanggal 2020-03-22.
24. "Penangkapan Diponegoro: Jebakan
Silaturahim di Hari Lebaran" (https://republika.
co.id/share/psv592385) . Republika Online.
2019-06-10. Diakses tanggal 2020-03-21.
25. Matanasi, Petrik. "Akhir Hidup Diponegoro,
Napoleon van Java" (https://tirto.id/akhir-hidup
-diponegoro-napoleon-van-java-cfBz) . tirto.id.
Diakses tanggal 2020-03-21.
26. "Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui
UNESCO Hilang, Ke Mana?" (https://news.detik.c
om/berita/d-2674906/naskah-asli-babad-dipo
negoro-yang-diakui-unesco-hilang-ke-mana) .
detiknews. Diakses tanggal 2020-03-27.
27. "Saat dunia mengakui otobiografi Diponegoro"
(https://www.antaranews.com/berita/383680/s
aat-dunia-mengakui-otobiografi-diponegoro) .
Antara News. 2013-07-05. Diakses tanggal
2020-03-27.
28. "Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual" (http
s://historia.id/kultur/articles/keris-pangeran-di
ponegoro-yang-dijual-DwjYg) . Historia. Diakses
tanggal 2020-03-20.
29. detikcom, Tim. "Keris Pangeran Diponegoro
Dikembalikan oleh Belanda: Asli atau Palsu?" (ht
tps://news.detik.com/berita/d-4934236/keris-p
angeran-diponegoro-dikembalikan-oleh-belan
da-asli-atau-palsu) . detiknews. Diakses
tanggal 2020-03-20.
30. "Kembalinya Keris Naga Siluman Milik Pangeran
Diponegoro" (https://republika.co.id/share/q6y
8sq396) . Republika Online. 2020-03-10.
Diakses tanggal 2020-03-21.
31. "Memastikan Keaslian Keris Diponegoro" (http
s://republika.co.id/share/q74g11328) . Republika
Online. 2020-03-13. Diakses tanggal
2020-03-21.
32. "Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro" (http
s://republika.co.id/share/q6q1g4328) .
Republika Online. 2020-03-05. Diakses tanggal
2020-03-21.
33. Wiratama, Syailendra Hafiz. "Kisah Diponegoro
Dikubur Bersama Kerisnya" (https://news.detik.c
om/investigasi/d-4935223/kisah-diponegoro-di
kubur-bersama-kerisnya) . detikx. Diakses
tanggal 2020-03-20.
34. "Selain Keris, Ini Dua Pusaka Pangeran
Diponegoro yang Dikembalikan Belanda ke
Indonesia" (https://www.kompas.com/tren/rea
d/2020/03/09/163100165/selain-keris-ini-dua-
pusaka-pangeran-diponegoro-yang-dikembali
kan-belanda) . Kompas.com. Diakses tanggal
2020-03-21.
35. Gallop, A.T. (2019). Malay Seals from the Islamic
World of Southeast Asia (1st ed.). Singapura:
Universitas Nasional Singapura.
36. (Indonesia) Indonesia.travel: Babad Diponegoro
dan Negarakertagama Masuk Memory of The
World UNESCO (http://www.indonesia.travel/id/
news/detail/1006/babad-diponegoro-dan-neg
arakertagama-masuk-memory-of-the-world-u
nesco)
37. Informasi dari situs web UNESCO mengenai
Babad Mataram (http://www.unesco.org/new/e
n/communication-and-information/flagship-pr
oject-activities/memory-of-the-world/register/f
ull-list-of-registered-heritage/registered-herita
ge-page-1/babad-diponegoro-or-autobiograp
hical-chronicle-of-prince-diponegoro-1785-1855-
a-javanese-nobleman-indonesian-national-her
o-and-pan-islamist/)
Pranala luar
(Indonesia) Sebelum Dibuang ke Manado,
Pangeran Diponegoro Ditahan di Museum
Sejarah (http://www.kompas.com/kompas-c
etak/0406/08/metro/1071372.htm) , Kompas

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?


title=Diponegoro&oldid=22567000"

Halaman ini terakhir diubah pada 6 Januari 2023, pukul


03.25. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai