Anda di halaman 1dari 3

Nama: Sayid Ibrahim Achmad Sujai

Kelas: VIII-5
Absen: 27

Pangeran Diponegoro
Bendara Pangeran Harya Diponegara (atau biasa dikenal
dengan nama Pangeran Diponegoro, 11 November 1785
– 8 Januari 1855) adalah salah seorang pahlawan nasional
Republik Indonesia, yang memimpin Perang Diponegoro
atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830
melawan pemerintah Hindia Belanda.
Pangeran Diponegoro
(Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul Mukminin
Sayyidin Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah
Jawa)
Kelahiran: Bandara Raden Mas antawirya 11 November
1785 ngayogyakarta Hadiningrat
Kematian 8 Januari 1855 umur 69 Makassar, Hindia
Belanda
Pemakaman Kampung Melayu, Wajo, Makassar,
Sulawesi Selatan Wangsa Mataram
Ayah Sultan hamengkubuwana, ibu R.A. mengkarawati, pasangan Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih,
agama Islam dikenal atas Pahlawan Nasional Indonesia, panglima perang Jawa
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban
terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan
200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.

Asal Usul
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang
selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden
Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III.[1] Pangeran
Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi
Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama Islamnya adalah Abdul Hamid.[3] Setelah ayahnya naik
takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran
Harya Dipanegara.

Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia sendiri
beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat dirinya merasa tidak
layak untuk menduduki jabatan tersebut.[4]
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang
hukum Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah
pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di
Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.[4]

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi
salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822) yang saat itu
baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh
Patih Danureja IV dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian
seperti itu, sehingga dia melakukan protes.

Kehidupan Pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok
sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Bahkan, di tempat
persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran,
buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.[5]

Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali
dalam hidupnya.[5] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu
Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil
pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[6]

Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari
Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta,
bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwana III.[6] Diponegoro
kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama
Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[6]

Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah
selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati
meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali
pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika
dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah
melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi
untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas
Singlon.[7]

Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno,
putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwana II). Sang
istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu.
Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18
Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari
1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri
Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri
Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A.
Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.[7][8]

Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang
putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk
Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]

Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia
sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecu

Perang Diponegoro (1825-1830)


Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang
memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah
beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi
berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak
hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]

Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan
Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang
menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari
madat.[11]

Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian
mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi,
Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu,
Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum
kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu.[10]

Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan
beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang,
Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai