Anda di halaman 1dari 8

16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.

lopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk
menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822)
yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-
hari dikendalikan oleh Patih Danureja IV dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak
menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.[4]
Diponegoro
Kehidupan pribadi
Bendara Pangeran Harya Diponegara (atau
biasa dikenal dengan nama Pangeran Pangeran Diponegoro Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan
Diponegoro, 11 November 1785 – 8 Januari 1855) Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirul rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun.
adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Mukminin Sayyidin Panatagama Kalifatu Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami
Indonesia, yang memimpin Perang Diponegoro atau bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.[5]
Rosulillah ing Tanah Jawa
Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga
1830 melawan pemerintah Hindia Belanda. Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa
kali dalam hidupnya.[5] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil
Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[6]
terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000
korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri
200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan
Gulden. Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwana
III.[6] Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi
seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra
Asal usul Diponegoro II.[6]
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah
November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati
selir (garwa ampeyan), bernama R.A. meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah
Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Lukisan Pangeran Diponegoro
Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal
takhta bergelar Hamengkubuwana III.[1] Pangeran Kelahiran Bendara Raden Mas Antawirya tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian
Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara 11 November 1785 diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal
Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat dengan nama Raden Mas Singlon.[7]
Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama Islamnya Kematian 8 Januari 1855 (umur 69)
adalah Abdul Hamid.[3] Setelah ayahnya naik Makassar, Hindia Belanda
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu
takhta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Pemakaman Kampung Melayu, Wajo, Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan
Harya Dipanegara. Makassar, Sulawesi Selatan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar
Wangsa Mataram Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya
keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia sendiri Ayah Sultan Hamengkubuwana III
dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh
beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai Ibu R.A. Mangkarawati menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang
istri permaisuri, membuat dirinya merasa tidak Pasangan Raden Ajeng Ratu Ratna bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru
layak untuk menduduki jabatan tersebut.[4] Ningsih Kasongan.[7][8]

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang Agama Islam Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5
cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru
Dikenal atas
Islam-Jawa.[1] Dia juga lebih tertarik pada masalah- Pahlawan Nasional dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab
masalah keagamaan ketimbang masalah Indonesia Saudi.[9]
pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat.
Panglima perang Jawa
Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di
Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang
buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I,
daripada tinggal di keraton.[4]
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 1/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 2/19
16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sapadanig Urip Rila Lega Ing
dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.[5] Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri
Tanah Jawa Dadi Raharja. [14]
Perang Diponegoro (1825–1830)
Dukungan Sunan Pakubuwana VI
Artikel utama: Perang Jawa
Artikel utama: Pakubuwana VI
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga didukung oleh Sunan Pakubuwana VI (PB VI) dan Sunan
memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut
Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang
ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan
diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga
eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro
dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di Gua Raja di lereng atas Gunung Merbabu
semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]
yang masuk wilayah Sela (Sesela, nama kuno wilayah ini yang muncul di kumpulan Naskah
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan Merapi-Merbabu, salah satunya Gita Sinangsaya[15]) dan di Alas Krendhawahana. Pertemuan-
Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi
Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang perlawanan terhadap Belanda. [16] Usai ditangkap dan diasingkannya Pangeran Dipanegara,
menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin Belanda menangkap Mas Pajangswara juru tulis keraton yang juga orang kepercayaan
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana Pakubawana VI (ayahanda pujangga kenamaan Ranggawarsita), yang kemudian disiksa dan
dari madat.[11] dibunuh karena tidak mau mengaku rahasia keterlibatan Pakubuwana VI dengan Pangeran
Dipanegara. Meski tidak mengakui, Belanda memfitnah bahwa Mas Pajangswara membongkar
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka rahasia tersebut, dan dijadikan alasan untuk menangkap Pakubuwana VI yang kemudian dibuang
kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH ke Ambon pada 8 Juni 1830 dan wafat pada 2 Juni 1849. [17]
Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil,
Tumenggung Prawiradigdaya
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro
Artikel utama: Prawiradigdaya
membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[10]
Tumenggung Prawiradigdaya, dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan
Ngabehi Prawirasakti (Adimenggala) dari Kadipaten Gagatan  (saat ini masuk di wilayah
beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal,
Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah), putra Raden Surataruna III. Ibunya, Raden Ayu
Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro,
Surataruna adalah putri Adipati Natakusuma (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta yang
Tuban, dan Surabaya.[12]
dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirasakti.
Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta,
Sumpah Ati Rata menjadi murid Syekh Kaliko Jipang (Syeh Kholik dari Jipang, Penghulu Besar Kraton). Ngabehi
Prawirasakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Di pondok
Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu
Pakubuwana VI (PB VI)/ R.M. Saparan, dan dibantu oleh Tumenggung Prawiradigdaya/ R.M. berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok
Panji Yudha Prawira bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara pesantren Mlangi asuhan Kiyai Taptajani). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih
menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha
Mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten, menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan
selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kiai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana bekalnya saat menjadi bupati pamajegan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di
IV. Kemudian dengan diantar Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Gagatan bergelar R.T. Prawiradigdaya. [18][19] Pada masa Pakubuwana VI berkuasa, wilayah
Prawiradigdaya di Gagatan. Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono Gagatan meliputi Karanggede, Klego, Wonosegoro, hingga Juwangi. Menjelang Perang Jawa,
VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Maja dan Tumenggung Prawiradigdaya, Pangeran Tumenggung Prawiradigdaya mempersiapkan pertemuan Pangeran Dipanegara bersama
Dipanegara menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat Pakubuwana VI melakukan Sumpah Ati Rata (https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir
mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, -dari-sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016). Dalam Perang Jawa, Tumenggung
tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan. [13] Dukungan tersebut Prawiradigdaya gugur dalam peperangan, dan dimakamkan di tempat pemakaman gurunya,
dideklarasikan dalam Sumpah Ati Rata (https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir-dari- Syekh Kalika, di Blunyah Gedhe di utara Yogyakarta. [20]
sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016) (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasa
1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan (Ketoyan,
Wonosegoro, Boyolali). Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat Perang
Para panglima Diponegoro
Dipanegara. Tempat dilakukannya Sumpah Atirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Dinrah.
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai
Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.[10] Pangeran Diponegoro juga
dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 3/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 4/19
16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn
Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan di Progo Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu
kiai-kiai lainnya.[12] kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di
Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan
Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-
Kiai Maja kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai
Artikel utama: Kiai Madja dalam perang gerilya.[28]
Kiyai Maja IV (Kiayi Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochamad Khalifah, merupakan buyut Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin
Kiyai Mojo I/ RT Citrosoma (1788-1820), cucu Kiayi Mojo II, putra Kiayi Mojo III. [21] Kiayi Maja Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa
III yang dikenal sebagai Kyai Baderan I memiliki nama Iman Abdul Arif/ Ngabdul Ngarep Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga
mendapat anugerah wilayah Maja (Dk. Mojowetan, Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali) dijuluki "Napoleon Jawa".[12] Sentot memimpin pasukan Diponegoro, c.1830.
dan Baderan (saat ini masuk wilayah Sidowayah, Polanharjo, Klaten) yang saat itu masuk wilayah sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan
Pajang, bagian dari Kasunanan Surakarta. sebagai tanah perdikan dari Pakubuwana IV. Muslim mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun
Mochammad Khalifah yang kelahiran Maja meneruskan tugas ayahnya sebagai guru agama di mirip seperti pasukan Turki Utsmani.[12]
pondok pesantren Maja, dan banyak putra dan putri dari Kraton Surakarta belajar di
pesantrennya. Di kemudian hari, beliau terkenal sebagai Kiayi Maja IV. [22] Ibu Kiai Maja, yakni Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan
R.A Mursilah, adalah saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III.[23] Jalinan persaudaraan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta
dirinya dengan Pangeran Dipanegara kian erat setelah Kiai Maja menikah dengan janda Pangeran menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.[7]
Mangkubumi yang merupakan paman dari Dipanegara. Tak heran, Dipanegara memanggil Kiai
Maja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[24] Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati
Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar
Kiayi Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di Gua Selarong. bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan
Pengaruh dukungan Kiai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran
banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan
ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya upacara militer seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829
pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik hingga akhirnya disergap dan ditangkap.[12]
Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh- Sentot Prawirodirdjo atau dikenal
tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.[25] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat juga Sentot Ali Pasha/Ali Basha
Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 dikirim ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda adalah salah satu panglima
syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.[26] mengirimnya ke Sumatra Barat untuk membasmi Pangeran Diponegoro.
pemberontakan ulama dalam Perang Padri. Namun ini hanya
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk
Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga. Dalam penahanannya, Kiai Maja membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim
meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat
dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Maja beserta dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[28]
orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya
dilepaskan.[26] Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih
Kerta Pengalasan
menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa,
Sulawesi Utara.[26][27] Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati
Desember 1849 di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak
Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem
adanya kubu Kiai Maja dari pasukan Dipanegara.[26]
pertahanan pusat negara di Plered.[7] Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di
Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra
Sentot Prawirodirdjo Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[29]

Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan
Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai
Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwana IV, yang terbunuh oleh Hindia
Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[28]
Para pendamping

Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para pendamping yang
Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto), Banthengwareng,
1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak (Rujakgadhung).[27] Mereka para
meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 5/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 6/19
16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

panakawan disebut juga sebagai bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in Midden-Java van
pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi.[30] 1825 tot 1830, menuliskan bahwa Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam kondisi
kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria, harus berpindah-pindah terkadang tidak
memiliki tempat berteduh dan cukup makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga
Joyosuroto
bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan Februari 1830.[27]
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan sang Pangeran
sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto bahkan ikut Strategi perang sang Pangeran
dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga
menjaga kamar Pangeran Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama berbeda-beda,
pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan
menyajikan roti putih yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.[30] peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan
strategi perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong
Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga desa sekitar ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali
Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan di
ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong.[7]
Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang
Pangeran kian mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.[30] Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Sang
Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid Herucakra
Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran menerapkan sistem pemerintahan keraton di Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat negara berada di
Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan
panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian, para
penanganannya kepada Kerta Pengalasan.[7]
panawakan selalu mendampingi setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama
Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan
ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran
sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan Prawirakusumah,
menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[30] keduanya masih berusia 16 tahun.[7] Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan
Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan. Ketika
Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia
pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap
dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang
dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.[7]
pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan
wajah tengah memandang ke arah tuannya.[30] Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan
ke Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng
pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo.[27] Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat
Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan
Banthengwareng keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata,
tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.[7]
paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.[27]
memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda yang nakal Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia
dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De
tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng sebagai sosok bertubuh Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]
cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran
Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai "senjata" dan
tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-
ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.[27]
besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras tersebut sering kali membuat
Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat gerak dari pasukan Hindia Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan
Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro melakukan berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya
terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak”
Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.[30] bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan
merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi
dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-

https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 7/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 8/19


16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja,
pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot
Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda. Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya
istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[7]

Taktik Hindia Belanda


Negosiasi dan pengkhianatan
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai
jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni
selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar
desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di
silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan
malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung
sebaliknya. dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat.
Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.[3]
perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran
keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock
menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro
penguasaan informasi. ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[3]

Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu,[10] Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan memberikan hadiah
suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para
sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya,
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, bergabung di Magelang.[3]
melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan
insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock
langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di
memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran.
Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan
sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama
siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala
sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[7] agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua
komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.[3]
panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya
Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng- Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock
benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol
kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J
mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan
pasukan gerak cepat.[7] panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran
Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan
kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi
menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana
pun langsung berubah tegang.[31]

Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus
ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara
menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock
https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 9/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 10/19
16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga Bendera Belanda yang
terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran
Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena Diponegoro ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak,
keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang tegas, menahan amarah,[32] menunjukkan perlawanan,[33] dan tegar, meskipun para pengikutnya
Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.[34]
Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang
disandangnya.[31]
Lukisan "Penyerahan Diponegoro"
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan.
Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi kanan dengan bendera
takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan pasrah,[32]
mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya meskipun tergambarkan tidak menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih
tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. tinggi, tegas, garang, dan berwibawa.[34] Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan
Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun terkesan mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.[33] Selain
niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De Kock yang menyiratkan
menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi tawanan dan penguasa.[33]
ditangkap.[31]

Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Keberlanjutan Perang
Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan
Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Perang melawan penjajah lalu
Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung dilanjutkan oleh para putra
Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Pangeran Diponegoro, yakni Ki
Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para Sodewa atau Bagus Singlon,
pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Dipaningrat, Dipanegara Anom,
Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dan Pangeran Joned yang terus-
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[10] menerus melakukan perlawanan
walaupun harus berakhir tragis.
Empat putra Pangeran
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" Diponegoro dibuang ke Ambon,
sedangkan Pangeran Joned dan Ki
Peristiwa pada tanggal 28 Maret Sodewa terbunuh dalam
1830 ditafsirkan berbeda antara peperangan.
pelukis Indonesia yang tinggal di
Eropa, Raden Saleh Syarif Selama perang, kerugian pihak Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik
Bustaman, dengan pelukis Belanda tidak kurang dari 15.000 Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang
Belanda, Nicolaas Pieneman tentara, terdiri atas 8.000 tentara Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
(1809-1860). Raden Saleh Belanda dan 7.000 tentara
menggambarkan peristiwa tanggal pribumi serta kerugian materi
28 Maret 1830 sebagai sebesar 25 juta gulden.[5] Berakhirnya Perang Jawa juga merupakan akhir perlawanan bangsawan
"Penangkapan Diponegoro", Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
sedangkan Pienaman melukisnya berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang,
sebagai "Penyerahan jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Diponegoro".[32]
Bagi sebagian kalangan di Kesultanan Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik
Lukisan "Penangkapan pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton. Namun,
Markus de Kock tanggal 28 Maret 1830, karya Raden Saleh.
Diponegoro" dibuat oleh Raden Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
Saleh ketika berada di Eropa pada mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dimiliki Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
tahun 1856, dari sketsa terlebih Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa
dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden rasa takut akan diusir.
Saleh menunjukkan lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II,
dengan judul "Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo
Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro). Raden Akhir hayat Diponegoro
Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada Raja Belanda, Willem III.[32] Lihat pula: Makam Pangeran Diponegoro

https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 11/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 12/19


16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Raden Ayu
menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro Retnoningsih dimakamkan di kampung jera. Kampung jera atau kampung pemakaman berada di
sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk lokasi kampung Melayu. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di samping makam Pangeran
laut, dan terkena malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang Diponegoro.[35]
merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch
(arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro.
Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah
Peninggalan bersejarah
satu percakapannya adalah ketika Diponegoro
mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi
kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang Babad Dipanagara
kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak
saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab Lukisan tempat pengasingan Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi (macapat atau puisi tradisional Jawa/tembang)
bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Pangeran Diponegoro karya setebal 1.170 halaman folio, yang menceritakan sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman
Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia Adrianus Johannes, sebelum 1872. Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram), yang dituturkan langsung oleh Pangeran
40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis sejak Mei 1831 hingga Februari 1832 ketika sang
Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan Pangeran diasingkan di Manado. Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon (tanpa tanda baca)
diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin dan aksara Jawa. Namun, naskah asli Babad Dipanagara, menurut sejarawan Peter Carey, sudah
perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau hilang. Yang ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional dan di
yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.[35] Rotterdam, Belanda.[36]

Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua Babad Dipanagara kemudian diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni Kebudayaan (UNESCO) pada Juni 2013 sebagai Memori Dunia (Memory of the World (MOW)),
1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan
tetapi Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen budaya.[37]
setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja Lukisan pemandangan alam di Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah Primbon, yakni tentang pengaruh
tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle sekitar tempat pengasingan
memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan Jawa.[36]
Pangeran Diponegoro karya
sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Adrianus Johannes, sebelum 1872.
Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Keris
Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Setelah
beberapa tahun di Manado , ia dipindahkan ke Makassar pada Juli 1833 di mana ia ditahan di Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa keris yang dimilikinya adalah
dalam Fort Rotterdam karena Belanda percaya bahwa penjara tidak cukup kuat untuk Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu
menampungnya. Terlepas dari status tahanannya, istrinya Ratnaningsih dan beberapa (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Naga Siluman. Keris terakhir
pengikutnya menemaninya ke pengasingan dan dia menerima pengunjung terkenal termasuk tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, tetapi ditemukan di Belanda dan sudah
Pangeran Henry Belanda yang berusia 16 tahun pada tahun 1837. Diponegoro juga menyusun
teregister dengan nomor RV-360-8084.[38]
manuskrip tentang sejarah Jawa dan menulis otobiografinya, Babad Dipanegara, selama
pengasingannya. Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Naga Siluman dikembalikan kepada Pemerintah Republik
Indonesia secara langsung oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[39] Dalam
Kesehatannya Menurun karena usia tua. Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855,
dokumen kesaksian dalam Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima
pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di
Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Kiai
Makassar. Menurut Peter Carey, Gubernur Jenderal AJ Duymaer van Twist mengeluarkan
Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot
perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam
tersebut berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran
pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, tetapi mereka mendapatkan
Diponegoro.[40] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan hadiah kepada Raja
tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[35]
Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Naga Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet
van Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi
museumnya tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di
Museum Volkenkunde, Leiden.[41]

Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada
tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lodewijk van Gorkom menginformasikan
bahwa Keris Pangeran Diponegoro tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum di
Amsterdam, dan meminta untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis
surat kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985, meminta agar keris

https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 13/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 14/19


16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas 16/05/23, 19.39 Diponegoro - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di Arnhem, Pauljac
Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah
sudah menemukan keberadaan keris tersebut, tetapi ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[42] memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.[42]

Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang diserahkan
Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Cap mohor
Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan
tombak Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap mohor, yaitu cap yang
Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo milik Raden Ayu digunakan untuk menandatangi surat yang sah darinya. Yang
Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik tertera dalam cap mohornya ialah:
Raden Ajeng Munteng.[43]
Dalam Arab Pegon:
Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil
peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai ‫اڠکڠ سنوهن کڠجڠ سلطان عبد الحامد ڠيرچکر كبير المؤمنين سيد ڤنتاݢام‬
Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga ‫خليفه رسول هللا ص ايڠ تنه جاوي‬
akhir hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[43]
Dalam Latin: Ingkang Sinuhun Kan(g)jeng Sultan Abdul Hamid
Ngerucakra Kabir al-Mukminin Sayid Panatagama Khalifah
Tongkat Rasulullah s[aw.] ing Tanah Jawi[45]

Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini Penghargaan sebagai Pahlawan
disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica
Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada tahun 2015.[44] Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan
penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang terletak di ujung tongkatnya.
banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro,
Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan
seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran
Jawa, termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.[10] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran Diponegoro, Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro
setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu (Undip), dan Kodam IV/Diponegoro. Selain itu, ada beberapa
panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang, memegang tongkat ini
patung yang dibuat sebagai penghargaan, seperti Patung
dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C
Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam
Baud pada tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.
Monumen Diponegoro di Medan
disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal J.C Baud selama 181 tahun.[44] Merdeka, Jakarta
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah
pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100
Tombak tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari
1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro yang telah Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu Keppres No 87/TK/1973.
dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan
datangnya bahaya. Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni
pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, tetapi dua buah permatanya telah 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Mata uang kertas Rp100,00
hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[44] Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro bergambar Pangeran
merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1952 setelah kemerdekaan.
Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
pelana kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas
rampasan perang.[44] Antawirya.[46][47]

Benda lainnya

Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan
Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya dan tali
kuda, yang masih tersimpan di Belanda.[41]

https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 15/19 https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro 16/19

Anda mungkin juga menyukai