Anda di halaman 1dari 13

NAMA : NUR CINTA ADELIZA

KELAS : III-B

KISAH-KISAH PAHLAWAN

1. Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya

Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.


Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang
sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H
Hasanuddin Murad.
Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya
Pahlawan Nasional Antasari, dia juga dikenal pribadi yang besar dan
seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin dan
menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat
heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari
pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.

Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan


terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.

Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari


tahun 2010 adalah Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-
148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam
meneruskan membangun Kalimantan Selatan.
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama
yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel.
Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran
Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan
inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan
membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi
Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah
seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan
semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan
terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk
mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin
penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa,
dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga
berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
keamanan di daerah.

2. Cut Nyak Dien

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak


melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi
melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari
perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut
rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya
ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh,
tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga
bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya
dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan
bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan
bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta
Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari
pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang
pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra
Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan
Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil
Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama.
Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama.
Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara
menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan
sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh
didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet
Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan
yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang
panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi
keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap
kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia,
yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang
Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair
terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama
dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat
menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam
rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap
mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari
rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan
baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya
yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan
penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan
antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien
turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah
VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan
anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam
peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang
suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di
medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-
syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya
pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien
tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum
kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian
suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman
kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu
bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah
hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya
menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu
para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan
Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada
tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan
ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia
membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar
ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal
banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang
sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak
Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun
telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling
berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa
membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang
tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai
seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-
pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh
senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu
pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar
gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien
mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan
Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan
untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi
walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah
surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh.
Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah.
Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai
sekalipun.
3. Dewi Sartika
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 Tasikmalaya, 11 September
1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden
Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak
ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya,
beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan
kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya
Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan


kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung
kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari
baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat
bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah
kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu
kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi
anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh
seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung.
Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk
mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati
Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang
mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak
pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan
diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah


Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah
Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum


perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di
Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang
perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari


1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama
se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu
dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid
angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga


kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli
Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi
dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909,
membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan
hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih
mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan


dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman
Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.
4. Pangeran Diponegoro

Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa


kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai
seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus
tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan
bangsanya dari penjajahan Belanda.

Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan


cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak
akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak
berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya
sendiri.

Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,


kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang
tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir
di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini


menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya
menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya
bukanlah permaisuri.

Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat
disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu
merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak
tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang
bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan
haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap
tawaran ayahnya tersebut.

Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa


yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika
memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di
Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima
ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam
persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat
oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-
raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan
dan kepahlawanan beliau.

Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu


menggunakan politik memecah-belah-nya. Di Yogyakarta sendiri pun,
Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di
adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling
mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh
Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin
itu.
Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap
tidak senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya
menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah
menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni
1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian
Perang Diponegoro pun telah dimulai.

Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur,


dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang
dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah
untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik
perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul
dan banyak menyulitkan pihak Belanda.

Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-


benteng di daerah yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan
Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak
Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan
agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829
perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.

Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan


Diponegoro, dengan berbagai cara terus berupaya untuk menangkap
pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden
diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya
semakin melemah.

Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil,
maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke
Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun
kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman.
Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang
diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut
rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini.
Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap
dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke
Ujungpandang.

Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam,


Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal.
Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan
bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
5. Ki Hajar Dewantara
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas
dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich
bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-
paket yang sudah pasti. bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus
menjadi kewajiban menghadiri sekolah, kata Illich. Demikian pula halnya
dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-
akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai siksaan yang
tertahankan.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan


dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan
gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan
tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu
dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar.
Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat
dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok
yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan
tidak terlepas dari strategi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah.
Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi
pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan
demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin
tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di


sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena
pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa.
Ungkapannya sangat terkenal; tut wuri handayani, ing madya mangun
karsa, dan ing ngarsa sung tulada. Istilah inipun tak hanya populer di
kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.

Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?

Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih,
politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah
diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang
demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum
banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan
nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis,
tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS
(sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA
(sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya;
tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam
organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi
Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai
pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij
yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan
bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo.
Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada
pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913,
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil
pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena
organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda !

Anda mungkin juga menyukai