KELAS : III-B
KISAH-KISAH PAHLAWAN
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika
Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah
kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu
kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi
anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh
seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung.
Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk
mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati
Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang
mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami
kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak
pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan
diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat
disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu
merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak
tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang
bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan
haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap
tawaran ayahnya tersebut.
Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil,
maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke
Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun
kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman.
Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang
diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut
rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini.
Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap
dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke
Ujungpandang.
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih,
politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah
diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang
demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum
banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan
nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden
Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis,
tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton
Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS
(sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA
(sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya;
tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam
organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi
Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai
pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij
yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan
bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo.
Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada
pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913,
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil
pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena
organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda !