Anda di halaman 1dari 4

Tengku chik di tiro

Teungku Cik Di Tiro lahir dan besar di lingkungan yang sangat ketat menjalankan
agama Islam. Meski pada zaman itu belum ada sekolah, pria yang bernama asli
Muhammad Saman ini dikenal sebagai anak yang sangat haus akan ilmu. Beliau
berguru pada banyak orang, termasuk kedua orang tuanya sendiri. Bahkan pada usia
40 tahun, beliau masih berguru di Lamkrak, daerah Aceh Besar.
Teungku Cik Di Tiro tumbuh besar bersamaan dengan penaklukan Aceh oleh tentara
kompeni Belanda pada tahun 1873. Daerah Aceh Besar jatuh ke tangan kompeni dan
kekuatan Aceh mulai lemah. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, tak lupa
beliau terus memperdalam ilmu agama saat berjumpa dengan pimpinan-pimpinan
Islam yang ada di sana. Dari situ pula beliau mulai tahu tentang perjuangan para
pemimpin tersebut dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.
Sekembalinya ke Aceh, beliau memimpin suatu pergerakan yang berujung pada
perang melawan Belanda yang kemudian dikenal dengan nama Perang Sabil. Satu
persatu benteng dan wilayah jajahan Belanda dapat direbut. Pada bulan Mei tahun
1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk
Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan
mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng
yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Belanda yang merasa kewalahan menghadapi Teungku Cik Di Tiro akhirnya memakai
"siasat liuk" yang licik. Mereka membayar seorang pekerja dan wanita dari kerajaan
Aceh untuk mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun
ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891
di benteng Aneuk Galong. Sesuai dengan amanatnya, beliau dimakamkan di Mereue.

KETIKA Aceh Besar jatuh di tangan Belanda, Teuku Cik Di Tiro hadir untuk
memimpin perang. Pada tahun 1881, ia berhasil merebut benteng Belanda Lam Baro,
Aneuk Galong dan membuat Belanda kewalahan. Teuku Cik Di Tiro adalah pahlawan
nasional dan tokoh penting yang berjasa melawan kolonial Belanda. Teuku Cik Di
Tiro bernama asli Muhammad Saman. Ia lahir di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok
Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh pada tahun 1836 bertepatan dengan 1251 Hijriyah.
Masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Cik Di Tiro merupakan
keturunan dari pasangan Teuku Syekh Ubaidillah dan Siti Aisyah. Salah satu cucunya
adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka. Ia sangat
dihormati karena ilmu dan keberaniannya melawan imperialisme dan kolonialisme.
Dalam meneguhkan ilmu agamanya, Cik Di Tiro banyak belajar kepada para ulama
terkenal di daerah Tiro. Itu pula lah sebabnya ia dipanggil dengan sebutan Teuku
(Teungku) Cik Di Tiro. Ia memang dikenal sebagai anak yang suka belajar agama dan
mendalami ilmu-ilmu baru. Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, Saudi Arabia,
ia terus memperdalam ilmu agamanya di Tanah Suci tersebut. Ia dibesarkan pada
periode dimana Belanda berusaha menaklukkan bumi Aceh pada tahun 1873. Aceh
Besar saat itu berhasil dikalahkan dan berada dalam kekuasaan colonial Belanda.
Ketika berada di Mekkah dalam rangka menunaikan haji, Cik Di Tiro juga belajar
tentang cara-cara melawan kolonialisme dan imperialisme. Saat kembali ke Aceh, ia
menjadi pemimpin pergerakan yang berujung pecahnya pertempuran melawan
Belanda. Karena semangat juangnya, ia dijuluki sebagai Panglima Sabil atau
pemimpin perang Sabil. Kesultanan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang,
dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan. Ia dan pasukannya
berhasil mengambil alih wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pada
tahun 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil direbutnya. Kemudian benteng
Lambaro, Aneuk Galong, dan tempat lainnya. Pulau Breuh pun mendapat serangan,
dari situ pasukan Cik Di Tiro bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni Belanda jadi
kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat
kilometer persegi. Perlawanan yang dilancarkan Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya
tak obahnya seperti singa. Mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar
benteng daripada menyerah. Belanda pun semakin terdesak dan hanya bertahan di
dalam benteng di wilayah Banda Aceh. Untuk mempertahankan wilayahnya, Belanda
terpaksa menggunakan taktik uni konsentrasi (concentratie stelsel), yaitu membuat
benteng di sekelilingnya. Merasa kewalahan dengan serangan Cik Di Tiro dan
pasukannya, Belanda pun mendatangkan bala bantuan dengan perlengkapan perang
dalam jumlah besar-besaran. Pada tahun 1873 Belanda melancarkan aksi balas
dendam untuk merebut kembali daerah kekuasaannya. Pada penyerangan pertama,
pasukan Belanda melakukan aksinya namun dapat digagalkan. Perang tersebut
memakan korban bagi pihak Belanda dengan tewasnya pimpinan mereka yaitu Mayor
Jenderal Kohler. Kegagalan ini membuat Belanda kian geram, akhirnya mereka
memperkuat barisan pasukannya dengan tembakan meriam dari kapal perang yang
berlabuh di pantai. Alhasil keadaan tersebut membuat pasukan Cik Di Tiro mulai
mundur.

NEGERI Serambi Makkah memiliki banyak pahlawan yang gigih berjuang mengusir
penjajah. Salah satunya ialah Teungku Chik Di Tiro. Mujahid bernama asli
Muhammad Saman itu ialah putra dari Tengku Syaikh Ubaidillah asal kampung Garot
Negeri, Samaindra, Sigli.

Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri dari Teungku Syaikh Abdussalam Muda
Tiro. Teungku Chik Di Tiro lahir di Kabupaten Pidie, 1 Januari 1836. Semasa
kecilnya ia hidup di lingkungan yang sangat religius. Ia belajar agama dengan ayah
dan pamannya bernama Teungku Chik Dayah Tjut Di Tiro.

Minat besarnya akan ilmu agama Islam membuat Teungku Chik Di Tiro berkelana ke
Lam Krak, Aceh Besar untuk memperdalam ilmunya. Setelah menghabiskan waktu
dua tahun di sana, ia pun kembali ke Tiro dan mengajar bersama sang paman,
Teungku Dayah Tjut.

Teungku Chik Di Tiro tidak pernah menjalani pendidikan formal. Puas mencari ilmu
di negeri asalnya, ia kemudian pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji
sekaligus mendalami ilmu agama. Di Tanah Suci, Teungku Chik Di Tiro bertemu para
ulama dan pemimpin Islam. Dari situlah ia mulai sadar arti perjuangan perjuangan
melawan imperialisme dan kolonialisme.
Dikutip dari buku Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional
karya Kerta Wijaya, Teungku Chik Di Tiro merupakan pahlawan nasional dan tokoh
penting yang sangat berjasa melawan tentara kolonial Belanda. Saat Aceh Besar jatuh
di tangan kompeni, ia muncul sebagai pimpinan perang hingga pada tahun 1881
Teungku Chik Di Tiro bersama pasukannya berhasil merebut benteng Belanda Lam
Baro, Aneuk Galong.

Lantaran semangat juangnya yang begitu gigih, Teungku Cik Di Tiro dijuluki sebagai
'Panglima Sabil' atau pemimpin perang Sabil. Ia dipercaya oleh Kesultanan Aceh
memimpin perang berjuang melawan penindasan atas dasar agama dan nasionalisme.

Selain Benteng Lambaro, Teungku Chik Di Tiro juga berhasil merebut benteng
Belanda di Indrapura pada tahun 1881. Ia juga terlibat pertempuran di Pulau Breuh
yang saat itu dikuasai Belanda. Perlawanan heroik sang mujahid membuat pasukan
Belanda kalang kabut.

Kehebatan Teungku Chik Di Tiro semakin membuat serdadu Belanda ketar-ketir.


Betapa tidak, aksi heroik bersama pasukannya berhasil menewaskan salah satu
perwira Belanda yakni Mayor Jenderal Kohler. Kondisi ini membuat Belanda murka
hingga menghujani pasukan Chik Di Tiro dengan tembakan meriam dari kapal perang
yang bersandar di pantai. Akibatnya, pasukan Chik Di Tiro berhasil dipukul mundur.

Sepak terjang Teungku Chik Di Tiro membuat Belanda hampir kehabisan akal untuk
menumpasnya. Hingga akhirnya muncul siasat busuk untuk membunuh sang Panglima
Sabil. Belanda kemudian memakai "siasat liuk" yaitu dengan mengirim makanan yang
telah dicampur racun.

Kelicikan Belanda ini rupanya berhasil menewaskan salah satu pahlawan kebanggaan
rakyat Aceh itu. Teungku Chik Di Tiro diracun lewat makanan yang dibawa oleh
salah satu pembantu kerajaan. Saat itu, Belanda membujuk seseorang yang bersedia
bekerja sama diangkat menjadi Kepala Sagi.

Seorang pria kemudian diimingi Belanda jabatan tinggi jika berhasil membunuh Chik
Di Tiro. Pria tersebut lantas memerintahkan seorang wanita membubuhi racun ke
dalam makanan yang kemudian disuguhkan kepada Teungku Chik Di Tiro.

Singkat cerita, saat mengunjungi Benteng Tui Seilimeung usai sholat di masjid,
wanita suruhan tadi memberi makanan yang telah dicampur racun kepada sang
Panglima Sabil. Tanpa curiga Teungku Chik Di Tiro menyantap makanan itu.

Selang tak berapa lama, ia pun jatuh sakit hingga akhirnya wafat di Benteng Aneuk
Galong pada 31 Januari 1891 di usia 55 tahun. Jenazah Teungku Chik Di Tiro
kemudian dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar bersama
istrinya, Teuku Mat Amin.
Berkat kegigihannya berjuang mengusir penjajah Belanda, Pemerintah Indonesia
mengangkat Teungku Chik Di Tiro sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada
6 November 1973 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
(Keppres RI) Nomor 087/TK/Tahun 1973.

Kematian :

Belanda menyadari bahwa sumber semangat perjuangan Aceh kala itu ialah Teuku
Cik Di Tiro. Untuk menghentikannya, Belanda pun mencari siasat untuk membunuh
Panglima Sabil itu. Mereka tidak mau kehabisan akal. Karena merasa terancam,
Belanda akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang dibubuhi
racun. Cara licik itu dipergunakan Belanda untuk membunuh pahlawan kebanggaan
rakyat Aceh itu. Mereka meracuni Teuku Cik Di Tiro dengan makanan lewat bantuan
pekerja kerajaan. Ketika itu Belanda membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama
diangkat menjadi Kepala Sagi. Mereka membayar seorang laki-laki yang ingin
mendapat jabatan tinggi untuk membunuh Cik Di Tiro. Kemudian,laki-laki itu
menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan memberikannya
kepada Cik Di Tiro. Saat Teuku Cik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seilimeung
lalu salat di masjid. Setelah itu, perempuan tersebut datang menawarkan makanan.
Perempuan ini merupakan suruhan laki-laki yang telah dibayar Belanda. Tanpa curiga
sedikit pun, Cik Di Tiro menyantap makanan yang telah dibubuhi racun. Akibatnya,
pahlawan Aceh itu jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Benteng
Aneuk Galong pada bulan Januari 1891. Kemudian jasadnya dimakamkan di Meureu,
Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar beserta istrinya, Teuku Mat Amin. Sejumlah
pejuang Aceh serta orang dekat keluarga Tiro dimakamkan di Meureue, termasuk juga
cucunya Hasan Tiro. Walaupun Teuku Cik Di Tiro telah meninggal dunia, perjuangan
rakyat Aceh melawan Belanda terus bergelora. Peperangan melawan penjajah terus
dilakukan sampai bertahun-tahun lamanya. Dan akhirnya Belanda baru bisa
menguasai Aceh pada tahun 1904 dengan plakat pendeknya. Selama Cik Di Tiro
memimpin peperangan di Aceh, terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu,
Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-
1884), Henry Demmeni (1884-1886), Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891).
Untuk menghargai dedikasinya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa
mempertahankan Tanah Air dari ancaman penjajah, ia mendapatkan penghargaan
khusus dari pemerintah. Kegigihan yang dilakukan oleh Teuku Cik Di Tiro dalam
membela bangsa Indonesia membuat Pemerintah RI mengangkatnya sebagai
Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 6 November 1973. Pemberian gelar
pahlawan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
087/TK/Tahun 1973. Di ibukota Jakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat menggantikan nama Jalan Mampangweg.

Anda mungkin juga menyukai