Anda di halaman 1dari 12

Biografi Presiden Pertama, Ir.

Soekarno (1945-1966)

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung


Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970.
Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.
Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri
Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.
Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi,
wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di
Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji
Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian
melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu,
Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920,
pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah
Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei
1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya,
Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia
Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih
maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930,
PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan
Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda
dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang
pertama.
Biografi Cut Nyak Dhien Singkat dan Lengkap
Cut Nyak Dhien merupakan Pahlawan Nasional wanita dari Aceh yang
melakukan perjuangan di masa Sejarah Perang Aceh melawan belanda. Ketika wilayah
VI Mukim diserang oleh Belanda, beliau mengungsi, sementara suaminya yang
bernama Ibrahim Lamnga ikut serta berjuang melawan Belanda. Gugurnya Ibrahim
Lamnga di tanah Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menambah semangat
Cut Nyak Dhien lebih kuat  untuk melawanan Belanda. Perjuangan Cut Nyak Dien
dikenang di berbagai media. Contohnya di film drama epik yang berjudul Tjoet Nja’
Dhien yang dirilis pada tahun 1988. Film ini disutradarai oleh Eros Djarot. Film ini
memenangkan penghargaan sebagai Piala Citra sebagai film terbaik.

Biografi Cut Nyak Dhien : Kehidupan Sebelum Berjuang

Selain itu juga merupakan film Indonesia pertama yang mendapat kehormatan
untuk tayang di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Kemudian, pada tanggal 13
April 2014, sebuah karya seni diadakan untuk mengenang perjalanan hidup, kisah dan
semangat perjuangan Cut Nyak Dhien. Karya seni ini dikemas dalam bentuk teater
monolog yang disutradarai dan dimainkan oleh Sha Ine Febriyanti. Kemudian teater
monolog ini dipentaskan di Auditorium Indonesia Kaya Kota Jakarta.
Naskah monolog yang berdurasi empat puluh menit ini kemudian dipentaskan
kembali pada 2015 di berbagai kota di Indonesia. Seperti Jakarta, Pekalongan,
Semarang, Magelang dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan
dipentaskan di Belanda dan Australia. Selain itu, ada sebuah kapal perang milik TNI-
AL yang diberi nama KRI Cut Nyak Dhien, mata uang senilai sepuluh ribu rupiah
bergambar Cut Nyak Dhien dan sebuah masjid di Aceh yang berada di dekat
makamnya.
Cut Nyak Dhien terlahir dari keluarga ningrat yang memegang teguh ajaran
Islam di Aceh Besar pada tahun 1848. Tepatnya Wilayah VI Mukim. Ayah Cut Nyak
Dhien bernama Teuku Nanta Seutia yang menjadi sebagai hulubalang VI Mukim.
Sedangkan ibunya merupakan anak dari hulubalang Lampageu. Di masa kecil, Cut
Nyak Dhien ia memperoleh pendidikan pada ilmu agama dari orang tua ataupun guru
agama dan ilmu rumah tangga seperti ilmu memasak, melayani keluarga dan yang
menyangkut rumah tangga dari orang tuanya. Pada umur 12 tahun, Cut Nyak Dhien
sudah dijodohkan oleh orangtuanya di tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga.
Putra dari hulubalang Lamnga XIII.

Cut Nyak Dhien Perang Aceh Melawan Belanda


Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada
tanggal 26 Maret 1873. Serangan dimulai dengan menembaki meriam ke daratan Aceh
dari kapal perang bernama Citadel van Antwerpen. Inilah awal dari Perang Aceh pun
meletus. Pada perang tahap pertama yang terjadi 1873 hingga 1874, Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Machmud Syah dan Panglima Polim bertempur melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Di bawah pimpinan Johan Harmen,
Belanda berangkat dengan kekuatan 3.198 prajurit dan mendarat pada tanggal 8 April
1873. Mereka langsung menyerang serta berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman
dan membakarnya. Beruntung, Kesultanan Aceh berhasil memenangkan perang
pertama. Ibrahim Lamnga yang berlaga di garis depan kembali dengan membawa
kemenangan, sementara Köhler sendiri tewas tertembak pada bulan April 1873.
Perang tahap kedua dimulai pada tahun 1874-1880. Belanda melakukan serangan
lagi di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten. Daerah VI Mukim berhasil
ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1873 dan Keraton Sultan berhasil ditaklukkan
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien yang tinggal di Daerah VI Mukim dan bayinya
akhirnya mengungsi bersama para ibu rumah tangga dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suami Cut Nyak Dhien berangkat bertempur untuk merebut
kembali daerah VI Mukim dari tangan Belanda. Tapi sayangnya, Ibrahim Lamnga yang
bertempur di Gle Tarum, ia gugur pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian suaminya ini
tentu membuat Cut Nyak Dhien diselimuti kemarahan dan bersumpah akan
menghancurkan para penjajah itu.
Teuku Umar, salah satu tokoh penting pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak lamaran itu tapi akhirnya menerima setelah
Teuku Umar mengizinkan untuk ikut bertempur. Bergabungnya Cut Nyak Dhien
berhasil meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Belanda. Perang
berlanjut secara gerilya dan berkobarlah perang fi’sabilillah. Pada tahun 1875, Teuku
Umar melakukan gerakan dengan melakukan pendekatan dengan para Belanda dan
hubungannya dengan para penjajah itu semakin kuat.
Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar yang bersam 250 orang
pasukannya pergi ke Kutaraja untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Tentu Belanda
sangat senang karena musuh yang sangat berbahaya mau membantu mereka. Sehingga
Belanda memberikan Teuku Umar julukan bernama Teuku Umar Johan Pahlawan.
Lebih dari itu, Teuku Umar menjadi komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan
yang cukup besar. Teuku Umar sebenarnya merahasiakan rencana untuk menipu para
Belanda, meskipun ia suduh dituduh sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Cut Nyak
Dien terus berusaha menasihatinya agar kembali ke sisi rakyat Aceh untuk kembali
melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda demi mencoba
siasatnya. Teukur Umar lalu mempelajari taktik dan strategi tentara Belanda, sementara
perlahan tapi pasti, dia mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang berada
di bawah tanggung jawabnya. Ketika jumlah tentara Aceh yang berada di pasukan
tersebut cukup, Teuku Umar menipu orang Belanda dan berencana bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh. Sebenarnya Teuku Umar hanya mencuri semua perbekalan dan
logistik yang diberikan oleh Belanda. Dia berangkat kembali ke Aceh dan tidak pernah
kembali.
Kejadian ini membuat Belanda sangat marah dan melakukan operasi besar untuk
menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Karena sudah memiliki senjata milik
Belanda, tentara Aceh berhasil mengimbanginya. Bahkan Jenderal Jakobus Ludovicus
terbunuh. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar terus menyerang semuanya bahkan banyak
jenderal Belanda yang harus diganti. Pasukan elit bernama De Marsose yang dikenal
tanpa ampun. Pasukan ini berhasil membuat rakyat Aceh ketakutan.
Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Jenderal Benedcitus. Dia menyewa orang Aceh
untuk menjadi mata-mata dan berhasil mengetahui rencana Teuku Umar untuk
menyerang Meulaboh. Karena informasinya bocor, Teuku Umar gugur tertembak. Anak
Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya. Kini giliran Cut Nyak Dhien yang
memimpin perlawanan bersama pasukan kecilnya. Hingga pasukannya hancur pada
tahun 1901 setelah Belanda mempelajari cara berperang Aceh. Cut Nyak Dhien sendiri
juga sudah tua dan sering terkena penyakit encok. Hingga dia berhasil ditangkap oleh
Belanda. Perjuangan pun diteruskan oleh Cut Gambang.

Kehidupan Cut Nyak Dhien di Hari Tua dan Meninggal


Kekalahan Aceh membuat keadaan semakin memburuk dan Cut Nyak Dhien
ditangkap. Setelah ditangkap, beliau dibawa ke Banda Aceh dan dilakukan perawatan di
situ. Dua penyakitnya seperti encok dan rabun perlahan-lahan sembuh. Karena terlihat
belum menyerah, Cut Nyak Dien akhirnya dibawa ke Sumedang di Jawa Barat. Karena
Belanda tidak mau keberadaannya di Aceh bisa mempertahankan semangat perlawanan
rakyat Aceh. Selain itu juga karena Cut Nyak Dhien terus berhubungan dengan pejuang
yang masih bertekad kuat untk meneruskan perjuangan
Bersama dengan tahanan politik Aceh yang lain, Cut Nyak Dhien dibawa ke
Sumedang. Dia menarik perhatian bupati Suriaatmaja dan para tahanan laki-laki juga
memperhatikan Cut Nyak Dhien. Tapi identitas asli Cut Nyak Dhien tetap dirahasiakan
Belanda. Ia ditahan bersama dengan seorang ulama bernama Ilyas. Ulama itu cepat
menyadari bahwa Cut Nyak Dhien adalah seorang yang cukup ahli dalam agama Islam.
Sehingga Cut Nyak Dhien mendapat nama julukan yaitu Ibu Perbu.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhir
karena usia yang tua. Di akhir hayatnya dia lebih dikenal dengan nama Ibu Perbu dan
makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 setelah dilakukan pencarian berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh Ali Hasan yang menjabat saat itu. Ibu Perbu diangkat oleh
Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Makam Cut Nyak Dhien


Menurut juru kunci makam, makam Cut Nyak Dhien berhasil ditemukan di
tahun 1959 setelah Ali Hasan yang menjabat Gubernur Aceh pada saat itu meminta
untuk melakukan pencarian. Pencarian makam Cut Nyak Dhien dilakukan setelah
mendapatkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh yang berada di
Sumedang sering menggelar acara pertemuan. Pada acara tersebut, para peziarah
berangkat ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak kira-kira sekitar dua kilometer.
Biasanya, masyarakat Aceh yang bermukim di Bandung sering melakukan ziarah
setelah hari pertama Lebaran yang dilakukan rutin setiap tahun. Selain itu, orang Aceh
dari Jakarta secara rutin melakukan acara haul setiap bulan November.
Makam Cut Nyak Dhien dilakukan pemugaran pertama pada 1987. Bukti
pemugaran bisa  terlihat di monumen peringatan yang berada di dekat pintu masuk. Di
monumen itu tertulis peresmian makam yang ditandatangani langsung oleh Gubernur
Aceh Ibrahim Hasan yang menjabat saat it tepatnya pada tanggal 7 Desember 1987.
Makam Cut Nyak Dhien dilindungi oleh pagar besi yang digabung bersama beton
dengan luas sebesar 1.500 m2. Di sebelah kiri makam ada banyak batu makam yang
menjadi tempat peristirahatan terakhir keluarga ulama H. Sanusi. Di bagian belakang
ada musholla yang biasa digunakan para peziarah untuk sholat.
Batu nisan Cut Nyak Dhien, dihiasi tulisan riwayat hidupnya, beberapa tulisan
bahasa Arab, Surah Al-Fajr dan At-Taubah dan hikayat cerita rakyat Aceh. Jumlah
peziarah makam Cut Nyak Dhien cenderung berkurang ketika waktu itu sedang heboh
Gerakan Aceh Merdeka. Mereka melakukan perlawanan di Aceh untuk melepaskan diri
dari Republik Indonesia. Alasan lain karena aparat sering kali mengawasi daerah
makam ini. Biaya perawatan makam diperoleh dari kotak amal karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana dan bantuan.
Biografi Sultan Iskandar Muda, Kisah Sang Pemimpin Terbesar Kesultanan Aceh
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional Indonesia dan salah satu raja
yang paling terkenal di Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang
paling terkenal yang berhasil membawa kesultanan Aceh ke puncak kejayaannya antara
tahun 1607 hingga 1636.
Daerah kekuasaan kesultanan Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
sangat luas bahkan reputasinya sebagai kerajaan Islam sangat terkenal hingga ke
mancanegara.
Inggris, Belanda, Perancis dan Turki menaruh hormat pada kesultanan Aceh dan
Sultan Iskandar Muda. Berikut profil dan biografi Sultan Iskandar Muda singkat dan
perjuangannya dalam memimpin kesultanan Aceh.

Profil dan Biografi Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda dilahirkan di Bandar Aceh Darussalam kesultanan Aceh
pada tahun 1590. Nama asli Sultan Iskandar Muda yaitu Perkasa Alam. Dilihat dari
garis keturunannya, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Sultan Alaudin al-
Qahhar, Penguasa dari kesultanan Aceh yang berkuasa pada tahun 1537 hingga 1571.
Ibu Sultan Iskandar Muda bernama Putri Raja Indra bangsa, Sementara ayahnya
bernama Sultan Mansyur Syah. Ketika mereka menikah upacara pernikahannya
dilakukan secara besar-besaran.
Seperti yang diketahui sebelumnya semasa kecil sultan iskandar muda dikenal
dengan nama Perkasa Alam ini lahir dan besar di lingkungan istana kesultanan Aceh.
Di usia muda Sultan Iskandar Muda belajar mengenai agama kepada seorang
ulama yang berasal dari Baitul Mukadis. Ulama tersebut bernama Teungku Di Bitai
Yang dikenal sangat ahli di bidang ilmu Falak dan ilmu Firasat.
Sultan Iskandar Muda juga belajar kepada beberapa ulama paling berpengaruh
yang berasal dari Mekkah serta Gujarat India. Ulama tersebut yaitu Syekh Abdul Khoir
Ibnu Hajar, Syekh Muhammad Jailani Bin Hasan Ar-Raniri yang berasal dari Gujarat
India serta Syekh Muhammad Zamani yang berasal dari Mekah Arab Saudi.
Istri Sultan Iskandar Muda bernama Putroe Phang. Iya merupakan seorang putri
dari Kesultanan Pahang yang berada di wilayah Malaysia.

Dikatakan bahwa Sultan Iskandar Muda membangun Gunongan untuk mengobati


kesedihan istrinya yang selalu rindu akan kampung halamannya di Pahang. Dari
pernikahannya dengan Putroe Phang, Sultan Iskandar Muda memiliki anak bernama
Sultanah Safiatuddin dan Meurah Pupok.

Masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda


Sultan Iskandar Muda naik sebagai Sultan Kerajaan Aceh menggantikan Sultan
Ali Riayat Syah yang mangkat. Dikutip dari buku Agama dan Perubahan Sosial (2001)
yang ditulis oleh Djokosurjo disebutkan Pada masa kepemimpinan Sultan Ali Riayat
Syah, Kesultanan Aceh mengalami kekacauan internal serta ancaman dari bangsa
Portugis.
Di situlah Sultan Iskandar Muda yang kala itu masih dikenal dengan nama
Perkasa Alam melancarkan perlawanan terhadap Sultan Ali Riayat Syah namun
perlawanan tersebut gagal dan Perkasa alam kemudian dipenjara.
Perkasa Alam yang kala itu di penjara Kemudian menawarkan Sultan Ali Riayat
Syah Bahwa jika diizinkan memiliki sedikit pasukan serta senjata. Ia meyakinkan Sultan
Ali Riayat Syah niscaya dapat mengusir Portugis dari tanah Aceh.
Pada masa itu tekanan Portugis sangat kuat untuk dapat menguasai Aceh serta
jalur perdagangan Malaka. Sultan Ali Riayat Syah kemudian menerima tawaran dari
Perkasa alam.
Jalannya perjuangan sultan iskandar muda dimulai dari berbekal sedikit pasukan
dan senjata yang diberikan oleh Sultan Ali Riayat Syah, Perkasa Alam dapat mengusir
Portugis dari tanah Aceh di mana hal itu terjadi pada tahun 1606.
Hal inilah yang kemudian membuat Perkasa alam atau Sultan Iskandar Muda
kemudian disegani oleh Inggris serta Belanda. Pada tahun 1607, Perkasa alam atau
Sultan Iskandar Muda kemudian naik sebagai Sultan Aceh menggantikan Sultan Ali
Riayat Syah yang mangkat. Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai orang yang
pemberani, cakap serta para ulama.
Adapun langkah langkah Sultan Iskandar Muda dalam memperkokoh posisi dan
kekuatannya di kesultanan Aceh yaitu dengan merangkul negeri-negeri di sekitar
kesultanan Aceh serta semua pelabuhan yang berada di sekitar Selat Malaka.

Semua ini ia lakukan agar tidak mudah terpengaruh oleh bangsa-bangsa asing
Seperti bangsa Portugis, Inggris serta Belanda seperti yang dikutip dari buku Aceh
Sepanjang Abad (1981) yang ditulis oleh Mohammad Said.

Kerajaan Aceh Mencapai Puncak Kejayaan


Kebijakan ketat diterapkan oleh Sultan Iskandar Muda di bidang perdagangan
serta ekonomi. Bandar dagang utama juga dibangun di Aceh kala itu serta Sultan
Iskandar Muda juga mengontrol harga pasaran hasil bumi dan juga mengontrol
pergerakan orang-orang asing yang berada di Wilayah kesultanan Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda kesultanan Aceh melakukan
penaklukan daerah-daerah di sekitar Pulau Sumatera hingga berhasil menguasai hampir
sebagian besar pulau Sumatera kala itu.
Wilayah kerajaan Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda diperluas
bahkan sampai menguasai wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia) seperti Malaka,
Pahang, Johor, Perak hingga sampai ke Patani, Thailand.
Kesultanan Aceh juga dikenal memiliki angkatan laut yang sangat tangguh yang
terdiri dari ratusan kapal perang yang dilengkapi dengan meriam. Angkatan Daratnya
pun tidak kalah tangguh.
Kesultanan Aceh kalah itu bahkan memiliki puluhan ribu prajurit, ratusan pasukan
gajah serta pasukan berkuda. Kekuatan militer kesultanan Aceh ini Portugis kala itu
mengalami kekalahan dalam beberapa pertempuran.

Hubungan Kesultanan Aceh dan Negara Di Eropa


Belanda yang kala itu juga ingin menguasai Selat Malaka mengalihkan
perhatiannya ke Jawa serta Maluku dan menghormati kekuasaan kesultanan Aceh.
Inggris bahkan menaruh hormat kepada Sultan Iskandar Muda Yang kalah itu sebagai
rekan dagang kesultanan Aceh.
Raja Inggris kala itu yang bernama Raja James I bahkan mengirimkan hadiah
kepada Sultan Iskandar Muda berupa sebuah meriam. Meriam tersebut kemudian
dinamakan sebagai Meriam Raja James yang hingga kini masih terawat.

Meriam tersebut kini menjadi salah satu benda peninggalan Sultan Iskandar
Muda dan Kesultanan Aceh. Salah satu peninggalan lainnya dari Kesultanan Aceh yaitu
Masjid Baiturrahman yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda.
Prancis sendiri menaruh hormat kepada Sultan Iskandar Muda dan kesultanan
Aceh. Mereka bahkan mengirimkan utusan Raja Perancis yang Turut serta mengirimkan
hadiah berupa cermin yang sangat indah namun cermin tersebut pecah dalam
perjalanan. Meskipun begitu Sultan Iskandar Muda tetap senang hati menerima hadiah
serpihan kaca cermin tersebut.
Kesultanan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda juga Memiliki
hubungan yang baik dengan Kesultanan Utsmaniyah di Turki. Sultan Turki kala itu
bernama Sultan Ahmed I bahkan mengirimkan sebuah meriam sebagai hadiah atas
kunjungan wakil dari kesultanan Aceh. Kesultanan utsmaniyah bahkan mengirimkan
beberapa orang nya untuk mengajari kesultanan Aceh dalam bidang ilmu militer.

Serangan Melawan Portugis


Ancaman bangsa Portugis di Malaka merupakan salah satu masalah yang
dihadapi oleh kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda bersama dengan pasukan
kesultanan Aceh kemudian melancarkan serangan pertama kepada Portugis di Malaka
pada tahun 1615. Namun serangan tersebut mengalami kegagalan.
Pada tahun 1629 serangan kedua dilancarkan secara besar-besaran oleh Sultan
Iskandar Muda menggempur pertahanan Portugis di Malaka.
Pasukan Portugis kalau itu hampir terkepung dan menyerah, Namun bantuan
dari India serta beberapa kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya yang berhasil
dihasut oleh Portugis membuat Serangan yang dilancarkan oleh Sultan Iskandar Muda
dapat dipatahkan.
Sultan Iskandar Muda Wafat
Setelah perang besar melawan Portugis berakhir, Kondisi kesehatan Sultan
Iskandar Muda memburuk. Sultan Iskandar Muda akhirnya wafat pada usia 43 tahun
tepatnya pada tanggal 27 Desember 1636.

Ia kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sultan Aceh Kandang XII,


Banda Aceh. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda. Namanya juga bahkan diabadikan
sebagai nama Bandar Udara di Aceh serta beberapa nama jalan di Indonesia.
Sultan Iskandar Muda merupakan Penguasa kesultanan Aceh besar dan paling
terkenal dalam sejarah Kerajaan Aceh. Dia bahkan sanggup membawa kesultanan Aceh
mencapai puncak kejayaannya di Sumatera serta di Malaka.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh kemudian dipimpin oleh
Sultan Iskandar Thani. Namun Ia tidak sanggup membawa kembali Kejayaan
kesultanan Aceh saat Sultan Iskandar Muda berkuasa.

Anda mungkin juga menyukai