Soekarno (1945-1966)
Selain itu juga merupakan film Indonesia pertama yang mendapat kehormatan
untuk tayang di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Kemudian, pada tanggal 13
April 2014, sebuah karya seni diadakan untuk mengenang perjalanan hidup, kisah dan
semangat perjuangan Cut Nyak Dhien. Karya seni ini dikemas dalam bentuk teater
monolog yang disutradarai dan dimainkan oleh Sha Ine Febriyanti. Kemudian teater
monolog ini dipentaskan di Auditorium Indonesia Kaya Kota Jakarta.
Naskah monolog yang berdurasi empat puluh menit ini kemudian dipentaskan
kembali pada 2015 di berbagai kota di Indonesia. Seperti Jakarta, Pekalongan,
Semarang, Magelang dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan
dipentaskan di Belanda dan Australia. Selain itu, ada sebuah kapal perang milik TNI-
AL yang diberi nama KRI Cut Nyak Dhien, mata uang senilai sepuluh ribu rupiah
bergambar Cut Nyak Dhien dan sebuah masjid di Aceh yang berada di dekat
makamnya.
Cut Nyak Dhien terlahir dari keluarga ningrat yang memegang teguh ajaran
Islam di Aceh Besar pada tahun 1848. Tepatnya Wilayah VI Mukim. Ayah Cut Nyak
Dhien bernama Teuku Nanta Seutia yang menjadi sebagai hulubalang VI Mukim.
Sedangkan ibunya merupakan anak dari hulubalang Lampageu. Di masa kecil, Cut
Nyak Dhien ia memperoleh pendidikan pada ilmu agama dari orang tua ataupun guru
agama dan ilmu rumah tangga seperti ilmu memasak, melayani keluarga dan yang
menyangkut rumah tangga dari orang tuanya. Pada umur 12 tahun, Cut Nyak Dhien
sudah dijodohkan oleh orangtuanya di tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga.
Putra dari hulubalang Lamnga XIII.
Semua ini ia lakukan agar tidak mudah terpengaruh oleh bangsa-bangsa asing
Seperti bangsa Portugis, Inggris serta Belanda seperti yang dikutip dari buku Aceh
Sepanjang Abad (1981) yang ditulis oleh Mohammad Said.
Meriam tersebut kini menjadi salah satu benda peninggalan Sultan Iskandar
Muda dan Kesultanan Aceh. Salah satu peninggalan lainnya dari Kesultanan Aceh yaitu
Masjid Baiturrahman yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda.
Prancis sendiri menaruh hormat kepada Sultan Iskandar Muda dan kesultanan
Aceh. Mereka bahkan mengirimkan utusan Raja Perancis yang Turut serta mengirimkan
hadiah berupa cermin yang sangat indah namun cermin tersebut pecah dalam
perjalanan. Meskipun begitu Sultan Iskandar Muda tetap senang hati menerima hadiah
serpihan kaca cermin tersebut.
Kesultanan Aceh dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda juga Memiliki
hubungan yang baik dengan Kesultanan Utsmaniyah di Turki. Sultan Turki kala itu
bernama Sultan Ahmed I bahkan mengirimkan sebuah meriam sebagai hadiah atas
kunjungan wakil dari kesultanan Aceh. Kesultanan utsmaniyah bahkan mengirimkan
beberapa orang nya untuk mengajari kesultanan Aceh dalam bidang ilmu militer.