Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

‘’PERJUANGAN UMAT ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN’’

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

KETUA KELOMPOK : ADITIYAH KURNIAWAN

1. AHMAD RIYADH
2. AKBAR RAHMATULLAH
3. BAYU KURNIAWAN
4. BENI SAPUTRA
5. BUNGA NAZYLA ANGGRAINI

KELAS : XI IPS 1

GURU PEMBIMBING : SYAIFUL FUAD, S.Pd.I

MAPEL : SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

MAN 1 BANYUASIN
TAHUN PEMBELAJARAN 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Latar belakang perjuangan umat Islam pada masa penjajahan melibatkan upaya
untuk mempertahankan identitas, kebebasan beragama, dan martabat bangsa.
Penjajahan seringkali mengakibatkan eksploitasi ekonomi, politik, dan sosial,
mendorong umat Islam untuk bersatu dan melawan penindasan tersebut. Pemimpin-
pemimpin seperti Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta, Pangeran Antasari dari
Kalimantan Selatan, Teuku Umar dari Aceh dan Imam Bonjol di Sumatra Barat
memimpin perlawanan terhadap penjajah dengan semangat keagamaan dan
nasionalisme. Perjuangan ini menjadi bagian penting dalam sejarah kemerdekaan dan
pembentukan negara-negara baru setelah masa penjajahan.

B. Rumusan Masalah
2.1 Apa Faktor Pendorong Perjuangan Umat Islam Pada Masa Penjajahan?

2.2 Siapa Saja Tokoh-Tokoh Yang Muncul Pada Masa Penjajahan?

2.3 Bagaimana Perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Teuku

Umar, dan Tuanku Imam Bonjol Pada Masa Penjajahan?

C. Tujuan Penulisan
3.1 Untuk Mengetahui Peristiwa Yang Melatarbelakangi Perjuangan Umat

Islam Pada Masa Penjajahan

3.2 Untuk Mengetahui Tokoh-Tokoh Yang Muncul Pada Masa Kebangkitan

Penjajahan

3.3 Untuk Mengetahui Perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari,

Teuku Umar, dan Tuanku Imam Bonjol Pada Masa Kebangkitan

Penjajahan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Faktor Pendorong Perjuangan Perjuangan Islam Pada Masa Kebangkitan


Penjajahan

Faktor pendorong perjuangan umat Islam pada masa penjajahan melibatkan


berbagai aspek, antara lain:

1. Penindasan dan Eksploitasi: Penjajahan seringkali menyebabkan penindasan


dan eksploitasi terhadap penduduk asli, termasuk umat Islam. Kondisi ini
memicu keinginan untuk melawan agar bisa hidup bebas dan adil.

2. Kehilangan Kedaulatan: Penguasaan asing mengakibatkan kehilangan


kedaulatan dan kendali terhadap wilayah serta sumber daya. Hal ini memicu
perlawanan untuk merebut kembali kemerdekaan dan kendali atas tanah air.

3. Ketidakpuasan Sosial Ekonomi: Eksploitasi ekonomi oleh penjajah seringkali


menyebabkan kemiskinan dan ketidakpuasan sosial di kalangan umat Islam.
Ini mendorong mereka untuk memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi.

4. Pemeliharaan Identitas Keagamaan: Penjajahan dapat mengancam identitas


keagamaan umat Islam. Perlawanan muncul sebagai upaya untuk
mempertahankan dan memelihara nilai-nilai agama, budaya, dan tradisi.

5. Inspirasi Nasionalisme: Kesadaran nasionalisme juga menjadi faktor


pendorong. Perjuangan umat Islam seringkali diwarnai oleh semangat
nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan dan membangun negara yang
merdeka.

6. Pemimpin Karismatik: Adanya pemimpin karismatik seperti Pangeran


Diponegoro, Pangeran Antasari, Imam Bonjol, dan lainnya memberikan
inspirasi dan arahan untuk memimpin perlawanan terhadap penjajah.

Semua faktor ini saling terkait dan memberikan dorongan bagi umat Islam untuk
bersatu dan melawan penjajahan demi meraih kemerdekaan serta keadilan.

2.2 Tokoh-Tokoh Yang Muncul Pada Masa Kebangkitan Nasional

1. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada Jumat 11 November 1785.


Dia lahir dengan nama Mustahar. Ibunya bernama Raden Ayu Mangkarawati,
salah seorang selir Sultan Hamengkubuwana III. Diponegoro merupakan
pahlawan nasional dari tanah Jawa yang gagah memimpin Perang Jawa
melawan penjajah Belanda yang berkecamuk pada tahun 1825-1830.

Sadar terlahir dari seorang selir, Diponegoro menolak permintaan Sultan


Hamengkubuwono III untuk diangkat menjadi raja. Sebab, di lingkungan
bangsawan, putra mahkota yang biasa dinobatkan menjadi raja hanya anak dari
permaisuri. Lagi pula, Diponegoro lebih tertarik dengan kehidupan yang
merakyat dan keagamaan. Dia lebih suka tinggal di Tegalrejo dibandingkan
keraton.

Diponegoro memperlihatkan pemberontakan terhadap keraton pada tahun


1822. Saat itu kepemimpinan berada di tangan Hamengkubuwono V yang masih
berusia tiga tahun. Pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo
bersama Residen Belanda. Diponegoro menilai bahwa cara tersebut salah. Dia
menolak cara perwalian yang dijalankan di keraton.

Belanda kala itu memasang patok di tanah milik Diponegoro di Desa


Tegalrejo. Ini dilakukan untuk pembangunan jalan atas usulan Patih Danurejo
yang menjadi kaki tangan Belanda. Diponegoro secara terang-terangan
menentang Belanda yang melakukan pembangunan jalan tersebut. Rakyat pun
mendukungnya. Inilah yang menjadi awal mula Pertempuran Jawa. Menyingkir
dari Desa Tegalrejo, Diponegoro pergi membuat barisan perlawanan terhadap
Belanda yang bermarkas di Gua Selarong. Langkah tersebut sesuai nasihat sang
paman, Pangeran Mangkubumi. Senangat perlawanan terhadap penjajahan
Belanda dalam diri Diponegoro berpengaruh luas sampai kepada tokoh agama
Surakarta bernama Kiai Maja, la turut serta bergabung dengan pasukan
Diponegoro.

Berbagai cara dilakukan Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro


dan pasukan. Taktik sayembara pun telah dilakukan. Siapa saja yang bisa
menangkap atau membunuh Pangeran Diponegoro akan diberi hadiah sebesar
20.000 gulden. Rakyat yang berada di pihak Diponegoro pun tidak goyah
dengan tawaran tersebut. Tidak ada satu pun yang mengungkap keberadaan
Diponegoro kala itu. Karena tidak berhasil, pada 28 Maret 1830 Belanda
mengambil cara licik dengan mengundang Diponegoro ke Magelang untuk
berunding. Sayang, undangan tersebut ternyata akal busuk Belanda untuk
menangkapnya.

Setelah berhasil ditangkap pada 20 April 1830, Diponegoro dibuang ke


Manado bersama sang istri, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposoni
dan istri, serta para pengikutnya berlayar menggunakan kapal Pollux. Setelah
sampai, Diponegoro dan rombongan langsung ditahan di Benteng Amsterdam.
Selanjutnya, Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar dan
selama 25 tahun tinggal di sana. Pada 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro
wafat dan dimakamkan di kota tersebut.

2. Teuku Umar

Teuku Umar lahir di Meulaboh, Aceh Barat tahun 1854. la memulai


perjuangan melawan penjajahan saat berusia 19 tahun. Perjuangan tersebut
dimulai dari Meulaboh hingga Aceh Barat. Sebagai panglima, Teuku Umar
dikenal cerdik dan pandai bersiasat. Sejak menikah dengan Cut Nyak Dien pada
tahun 1880, perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan makin kuat dan
hebat.

Kecerdikannya terlihat saat ia berpura-pura menjadi kaki tangan Belanda


hanya untuk mempelajari strategi tempur yang diterapkan Belanda serta
mendapat tambahan senjata. Atas perbuatan itu, Teuku Umar rela dicap sebagai
pengkhianat oleh masyarakat Aceh. Kerja sama kedua belah pihak ternyata
banyak menguntungkan Belanda dengan banyaknya pos Aceh yang dapat
dikuasai. Dari sini ia terus mempelajari cara dan siasat Belanda kemudian
mengganti setiap orang Belanda diunit yang dikuasai dengan pasukan dari Aceh.

Tanggal 30 Maret 1896 Teuku Umar segera menarik pasukan dari pos yang
dikuasai Belanda, Perlengkapan tempur, seperti senjata, peluru, amunisi, dan
sejumlah uang diambil alih. Perlahan Belanda mengetahui kebohongan dan
pengkhianatan tersebut. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran
untuk memburu Teuku Umar dan pasukan. Usaha Belanda tak membuahkan
hasil. Teuku Umar dan pasukan ternyata sulit ditaklukkan. Merasa tak bisa
melumpuhkan Teuku Umar, Jenderal van Heutz dari Belanda menggunakan cara
licik untuk menangkap Teuku Umar. la menyewa orang Aceh bernama Teuku
Leubeh untuk memata-matai strategi Teuku Umar dan pasukan. Dari informasi
tersebut, Belanda mengetahui rencana Teuku Umar. Belanda mengerahkan
semua kekuatan pasukan untuk menyerang Teuku Umar di Meulaboh. la pun
gugur dalam pertempuran tersebut pada tanggal 11 Februari 1899.

Perjuangan dan pengorbanan Teuku Umar dalam membela bangsa dan


negara menjadikannya sebagai salah satu Pahlawan Indonesia. Pada tanggal 6
November 1973, berdasarkan Keppres Nomor 87/TK/1973, nama Teuku Umar
resmi dicatat sebagai Pahlawan Indonesia.

3. Pangeran Antasari

Pangeran Antasari lahir tahun 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten


Banjar, Kalimantan Selatan, la merupakan pemimpin tertinggi di Kesultanan
Banjar yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, la naik
takhta setelah Sultan Hidayatullah, sultan Banjar sebelumnya. ditangkap
Belanda kemudian diasingkan ke Cianjur. Di bawah kepemimpinannya,
perlawanan Kesultanan Banjar berlanjut hingga meletus Perang Banjar yang
berlangsung sejak 1859 hingga 1905.

Perang tersebut dimulai dari serangan Pangeran Antasari terhadap tambang


batu bara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859. Setelah itu, serangan
terus dilakukan terhadap pos-pos Belanda yang tersebar di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, dan Tabalong. Merespons serangan, Belanda
mengerahkan pasukan bantuan dari Batavia yang dilengkapi dengan
persenjataan modern. Serangan balasan dari Belanda Ini membuat pasukan
Pangeran Antasari makin terdesak, hingga wilayah Muara Teweh. Di wilayah
inilah ia membentuk pemerintahan darurat Kesultanan Banjar.

Segala cara dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk menaklukkan


Pangeran Antasari. Saat itu Belanda berusaha membujuk kerajaan-kerajaan di
Kalimantan untuk membantu melawan Pangeran Antasari. Akan tetapi, usaha
tersebut mengalami kegagalan karena pasukan Pangeran Antasari tergolong
mahir menerapkan taktik bertahan dan gerilya. Meski terdesak, hingga akhir
hayat Pangeran Antasari tidak dapat ditaklukkan Belanda dan wafat pada 11
Oktober 1862, di usia 53 tahun.

4. Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat tahun 1772
dari pasangan Bayanuddin Shahab dan Hamatun, la memiliki nama asli
Muhammad Shahab. Ayahnya alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai
anak dari alim ulama, Imam Bonjol tentu dididik dan dibesarkan dengan napas
Islami. Sejak tahun 1800 hingga 1802 Imam Bonjol menimba dan mendalami
ilmu agama Islam di Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikan, ia mendapat
gelar Malin Basa, yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia.

Sebelum berperang melawan pasukan Hindia-Belanda, Imam Bonjol


terlebih dahulu berseteru dengan kaum Adat. Saat itu, kaum Padri yang di
dalamnya juga termasuk Imam Bonjol hendak membersihkan dan memurnikan
ajaran Islam yang menyimpang di tengah masyarakat. Kalangan ulama di
Kerajaan Pagaruyung menghendaki Islam sesuai ahlus sunnah wal jamaah dan
berpegang teguh pada Al-Qur'an serta sunah-sunah Rasulullah saw..

Dalam perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah


kesepakatan yang mufakat untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya
perundingan, kondisi pun kian bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di
bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815.
Pertempuran pun pecah di Koto Tangah, dekat Batusangkar.

Bulan Februari tahun 1821, kaum adat yang tengah digempur menjalin
kerja sama dengan Hindia-Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri.
Sebagai imbalan, Hindia-Belanda akan mendapatkan hak akses dan penguasaan
atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Tokoh yang menghadiri
perjanjian dengan Hindia- Belanda kala itu, antara lain Sultan Tangkal Alam
Bagagar, anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung.

Kendati dalam peperangan mendapat tambahan kekuatan dari pasukan


kolonial Belanda, kaum Padri tetap sulit ditaklukkan. Oleh sebab itu, pemerintah
Hindia-Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak
Tuanku Imam Bonjol, pemimpin kaum Padri, untuk berdamai yang diwujudkan
dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824. Akan tetapi,
Hindia-Belanda tidak sungguh- sungguh memiliki iktikad baik untuk berdamai
dengan kaum Padri. Mereka justru melanggar kesepakatan damai yang telah
disepakati dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Tahun 1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya


bergabung dan bahu-membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial.
Bersatunya kaum adat dan Padri ini dimulai dengan kompromi yang dikenal
dengan narna Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Bergabungnya kaum adat dan
Padri tentu makin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat
melakukan penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum Padri di
Bonjol pada Maret hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan
perlawanan mereka.

Sadar bahwa taktik dan strategi perangnya kalah, pemerintah Hindia-


Belanda berusaha mengambil jalan pintas, Tahun 1837 mereka mengundang
Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali
merundingkan perdamaian. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Hindia-
Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk menjerat Imam Bonjol.
Sesampai di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya ditangkap, pemimpin
kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.

Perjalanan pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat


dibuang ke Ambon. Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat
Manado, Sulawesi Selatan. Di tempat tersebut Imam Bonjol mengembuskan
napas terakhir pada 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol ulama, pemimpin,
sekaligus pahlawan nasional yang tercatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia.
la tidak hanya berjuang memurnikan ajaran dan nilai-nilai Islam, namun juga
rela mempertaruhkan hidupnya untuk melawan pemerintah kolonial Hindia-
Belanda. Atas jasa-jasanya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 6 November 1973.

5. K.H. Zainal Mustafa

K.H. Zainal Mustafa lahir pada 1 Januari 1899 di Sukamanah, Singaparna,


Tasikmalaya, Jawa Barat dengan nama Hudaemi. Namanya berganti menjadi
Zainal Mustafa setelah menunaikan ibadah haji tahun 1927. Setelah kembali ke
tanah air, Zainal Mustafa mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah di kampung
halamannya. Tahun 1933 ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan
diangkat sebagai Wakil Rais Syuriah NU cabang Tasikmalaya, Oleh sebab itu,
ia sangat disegani oleh masyarakat sekitar Tasikmalaya.

Zainal Mustafa tumbuh sebagai ulama yang sangat menentang kolonialisme


Belanda, la beberapa kali didekati oleh Belanda dan diminta untuk bekerja
sama, namun selalu tegas menolak. Pada 17 November 1941, setelah kerap
dibuntuti oleh polisi rahasia, Zainal Mustafa sempat ditangkap pemerintah
kolonial Belanda karena dianggap memberontak, la dipenjara selama kurang
lebih dua bulan di Sukamiskin, Bandung. Beralihnya masa pendudukan Belanda
ke Jepang pada 1942 awalnya seperti memberikan angin surga kepada rakyat
Indonesia. Semula, orang-orang Jepang terlihat sangat baik dan tampak sebagai
penyelamat dari penjajahan Belanda. Di antaranya, menerapkan kebijakan "Dai
Nippon dengan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk menggunakan
bahasa Indonesia.

Pada 1943 pemerintah pendudukan Jepang menerapkan aturan baru kepada


rakyat Indonesia yang dikenal dengan sebutan "Seikerei". Seikerei merupakan
tradisi yang mewajibkan semua orang membungkukkan badan ke arah matahari
terbit. Bagi orang Jepang, itu merupakan penghormatan kepada Tenno Heika
(Kaisar Jepang) yang diyakini sebagai titisan dewa matahari. Akan tetapi, K.H.
Zainal Mustafa menganggap perbuatan tersebut menentang ajaran Islam
sehingga menolak aturan tersebut.

Guna mengusir Jepang dari Indonesia, la melakukan upaya perlawanan


pada 25 Februari 1944. Rencana awalnya, para petinggi Jepang di Tasikmalaya
akan diculik dan dilakukan sabotase dengan memutus kawat telepon, sehingga
para militer Jepang tidak bisa melakukan komunikasi. Supaya rencana
perlawanan ini dapat berjalan, Zainal Mustafa meminta para santri untuk
menyiapkan persenjataan seperti bambu runcing dan golok. Sayangnya, rencana
itu berhasil diketahui oleh pihak Jepang yang segera melapor ke camat
Singaparna dan beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan.

Usaha penangkapan itu pun gagal. Mereka justru ditahan di rumah K.H.
Zainal Mustafa dan dibebaskan pada 25 Februari 1944. Masih di hari yang
sama, sekitar pukul 13.00 WIB datang empat opsir Jepang yang meminta K.H.
Zainal Mustafa segera menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya.
Permintaan itu mendapat penolakan sehingga terjadi kericuhan yang
mengakibatkan tiga opsir Jepang tewas di tempat dan satu orang dibiarkan hidup
untuk menyampaikan ultimatum kepada Jepang.

Sore hari pukul 16.00 WIB, datang pasukan Jepang dengan menggunakan
truk dan langsung menyerang garis pertahanan penduduk dan santri di
Sukamanah. Alhasil, dalam waktu singkat, Jepang menang. Sebanyak 86 orang
warga gugur. Insiden inilah yang disebut Peristiwa Singaparna. K.H. Zainal
Mustafa kemudian ditangkap bersama 23 orang lain dan dinyatakan bersalah
sehingga harus menjalani peradilan di Jakarta. Sedangkan, sekitar 79 orang yang
terlibat Peristiwa Singaparna dihukum penjara 5 sampai 7 tahun di Tasikmalaya.

Menurut catatan sejarah, K.H. Zainal Mustafa meninggal pada 25 Oktober


1944 setelah dieksekusi. Jasadnya dikebumikan di Taman Pahlawan Belanda
Ancol, Jakarta. Kemudian pada 25 Agustus 1973, makam K.H. Zainal Mustafa
dan para pengikutnya yang juga dikebumikan di Ancol dipindahkan ke
Sukamanah, Tasikmalaya. Untuk menghargai jasanya, K.H. Zainal Mustafa
mendapat anugerah penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 6
November 1972 sebagaimana yang tertera dalam Keppres RI No. 064/TK/Tahun
1972.

2.3 Perjuangan Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Teuku Umar,


dan Tuanku Imam Bonjol Pada Masa Penjajahan
1. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro, yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, memainkan
peran penting dalam Perang Diponegoro (1825-1830) melawan penjajahan
Belanda di Jawa. Dia merupakan pemimpin perlawanan yang kuat dan dianggap
sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Pangeran Diponegoro memberontak karena tidak puas dengan campur tangan
Belanda dalam urusan kraton dan penindasan terhadap rakyat jawa. Perang
Diponegoro mencerminkan perlawanan ekspansi kolonial dan pencabutan hak-
hak tradisional.
Meskipun perlawanan Diponegoro tidak berhasil, perannya menciptakan
kesadaran nasionalisme dam semangat perjuangan sejarah Indonesia hingga
kemerdekaannnya pada tahun 1945.
2. Pangeran Antasari
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Kalimantan Selatan pada abad
ke-19. Ia lahir pada tahun 1797 di Martapura, Kalimantan Selatan, dan menjadi
pemimpin dalam perlawanan rakyat Banjar terhadap kebijakan dan tindakan
kolonial Belanda.
Pada awal abad ke-19, Belanda mulai memperluas kekuasaannya di wilayah
Indonesia, termasuk Kalimantan. Mereka menerapkan sistem pemerintahan
yang memberatkan rakyat pribumi, seperti sistem tanam paksa dan monopoli
perdagangan. Ketidakpuasan terhadap kebijakan ini mendorong berbagai
kelompok masyarakat untuk memberontak.
Pangeran Antasari memimpin perlawanan terhadap kebijakan Belanda,
khususnya pada tahun 1859. Pada saat itu, Belanda mencoba menaklukkan
wilayah Banjar dengan cara-cara yang merugikan masyarakat setempat.
Pangeran Antasari bersama para pemimpin pribumi lainnya, termasuk para
ulama dan bangsawan, bersatu untuk melawan penjajahan Belanda.
Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dikenal sebagai "Perang
Banjar" atau "Perang Banjarmasin" yang berlangsung dari 1859 hingga 1905.
Pangeran Antasari berhasil membentuk aliansi antar suku dan kelompok etnis di
Kalimantan Selatan untuk melawan pasukan Belanda. Meskipun perlawanan ini
tidak selalu bersifat terbuka dan kadang-kadang melibatkan taktik gerilya,
namun berhasil menunjukkan tekad dan perlawanan rakyat terhadap penjajahan.
Sayangnya, pada tahun 1862, Pangeran Antasari ditangkap oleh pasukan
Belanda dan diasingkan ke Pulau Java. Meskipun demikian, perlawanan rakyat
Banjar terhadap penjajahan terus berlanjut, dan kelanjutan perjuangan tersebut
menciptakan semangat perlawanan dan kesadaran nasionalisme di antara
masyarakat Kalimantan Selatan.
Penting untuk diingat bahwa perjuangan Pangeran Antasari dan perlawanan
rakyat Banjar di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari sejarah perlawanan
terhadap penjajahan di Indonesia, yang pada akhirnya menjadi bagian integral
dari perjalanan menuju kemerdekaan nasional.
3. Teuku Umar
Teuku Umar adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang memainkan
peran penting selama masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda di awal
abad ke-20. Ia lahir pada 4 Februari 1854 di Meulaboh, Aceh, dan meninggal
pada 11 Februari 1899. Berikut adalah beberapa aspek peran Teuku Umar
selama masa penjajahan.
1. Perlawanan terhadap Belanda: Teuku Umar aktif terlibat dalam perang Aceh
melawan kolonialisme Belanda. Ia memimpin pasukan Aceh melawan
pasukan Belanda dalam beberapa pertempuran, termasuk Pertempuran
Lambaro, Pertempuran Gle Tarum, dan Pertempuran Peusangan..
2. Strategi Perang Gerilya: Teuku Umar dikenal sebagai seorang panglima
perang yang ahli dalam strategi gerilya. Ia memanfaatkan keadaan geografis
Aceh yang berbukit dan hutan untuk melancarkan serangan mendadak dan
mempersulit gerakan pasukan Belanda. Taktik gerilya ini membuktikan
efektif dalam memperlambat kemajuan pasukan Belanda.
3. Pengaruh Budaya dan Agama: Teuku Umar juga memainkan peran penting
dalam mempersatukan rakyat Aceh melalui pengaruh budaya dan agama
Islam.
4. Perjanjian Teuku Umar: Meskipun berjuang dengan gigih, Teuku Umar
akhirnya menyerah kepada Belanda setelah menjalani perang gerilya yang
panjang. Pada tahun 1898, ia menandatangani perjanjian dengan Belanda
yang dikenal sebagai "Korte Verklaring," yang menandai berakhirnya
perlawanan resmi Aceh. Namun, pada tahun 1899, Teuku Umar tewas dalam
pertempuran melawan pasukan Belanda.
Teuku Umar dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia yang
gigih melawan penjajahan. Pemberontakannya memberikan inspirasi bagi
perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa yang akan datang.
4. Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, yang juga dikenal sebagai Muhammad Syahab, adalah
seorang pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda di wilayah
Minangkabau, Sumatera Barat, pada abad ke-19. Peran Tuanku Imam Bonjol
selama masa penjajahan dapat dilihat dari beberapa perspektif:
1. Pemimpin Pemberontakan: Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan
terhadap pemerintahan kolonial Belanda dalam apa yang dikenal sebagai
"Pemberontakan Padri" (1821-1837).
2. Perjuangan Melawan Kolonialisme: Tuanku Imam Bonjol dan pengikutnya,
yang dikenal sebagai Pasukan Padri, melancarkan serangkaian perlawanan
melawan tentara Belanda. Mereka menggunakan strategi perang gerilya dan
memanfaatkan wilayah pegunungan di Minangkabau sebagai basis
perlawanan.
3. Kekuatan Pemersatu: Meskipun ada ketegangan internal di antara pemimpin
Minangkabau selama pemberontakan, Tuanku Imam Bonjol mampu
mempersatukan beberapa suku dan kelompok di bawah bendera perlawanan.
Ini mencerminkan perannya sebagai tokoh yang mampu mengoordinasikan
upaya melawan penjajahan Belanda.
4. Penyerahan Pada 1837: Pemberontakan Padri berakhir pada tahun 1837
ketika Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda setelah mengalami
kekalahan militer. Meskipun pemberontakan berakhir, Tuanku Imam Bonjol
tetap diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia karena perjuangannya
melawan penjajahan.
Peran Tuanku Imam Bonjol mencerminkan semangat perlawanan dan
perjuangan melawan penjajahan Belanda di wilayah Minangkabau. Meskipun
akhirnya pemberontakan itu kalah, warisan perjuangannya tetap hidup dalam
sejarah kemerdekaan Indonesia.

D. Kesimpulan
Peran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sudah
dilakukan sejak zaman kerajaan Islam. Masuknya bangsa Barat pada awal abad ke-16
mendapat perlawanan langsung dari kerajaan Islam di Nusantara. Semangat
perjuangan umat Islam pada masa itu masih terus membara. Ini dibuktikan dengan
perlawanan para tokoh di kerajaan Islam Nusantara, seperti Pangeran Antasari dari
Kerajaan Banjar. Kegigihan mereka dalam melawan penjajah membuat bangsa Barat
kesulitan untuk bisa sepenuhnya menguasai wilayah Nusantara. dipimpin para tokoh
kerajaan Islam, perlawanan terhadap bangsa penjajah juga dilakukan para ulama.
Mereka memimpin perlawanan bersama rakyat Indonesia hingga terbentuk gerakan-
gerakan sosial. Misalnya, Pangeran Diponegoro dengan strategi perang gerilya yang
diterapkan dalam Perang Jawa (1825-1830). Kemerdekaan yang diraih bangsa
Indonesia tidak datang serta merta. Di dalamnya terdapat proses panjang yang
mewarnai setiap tahapan perlawanan. Peran umat Islam di masa penjajahan sebagai
laskar dan pemimpin perlawanan terhadap penjajah.

Anda mungkin juga menyukai