bergetar
Penulis Belanda MH Skelely Lulofs menuliskan novel biografi Cut Nyak Dhien: Kisah Perang Ratu Aceh. Mengisahkan perjuangan Cut Nyak
Dhien memimpin perang melawan Belanda. Masyarakat Aceh menyebutnya Prang Sibi melawan kaphe Ulanda atau perang sabil yang suci
melawan kafir Belanda.
Aceh adalah salah satu daerah terakhir yang bisa ditaklukan Belanda. Kesultanan Aceh yang merdeka saat itu dikenal kuat. Mereka juga
memiliki hubungan diplomatik dengan Amerika, Italia dan Turki.
Belanda yang serakah berusaha menjajah kesultanan Aceh dengan mengirim kapal-kapal perangnya tahun 1873. Mereka menilai posisi Aceh
sangat strategis untuk berdagang di Selat Malaka yang ramai.
Tembakan meriam Kapal Perang Citadel van Antwerpen membuka Perang Aceh yang panjang dan berdarah. Perang tahun 1873-1904
tersebut memakan banyak sekali biaya dan korban di kedua pihak. Di pihak Belanda, 35.000 prajurit tewas. Sementara 70.000 rakyat Aceh
meninggal. Tak kurang dari sejuta orang terluka selama perang ini. Perlawanan tak pernah benar-benar bisa dipatahkan sampai tahun 1942 saat
Belanda diusir Jepang dari Aceh. Pasukan Belanda tak pernah mampu menundukkan rakyat Aceh yang keras seperti baja.
Inilah kisah Sang Ratu Perang Aceh:
Teuku Ibrahim Lamnga selalu berjuang di garis depan melawan Belanda. Dalam sebuah pertempuran di Gie Tarum, Ibrahim tewas.
Kemarahan Cut Nyak Dhien pada Belanda pun makin menjadi-jadi. Untuk meneruskan perjuangan dia menikah dengan Teuku Umar. Awalnya Cut
Nyak Dhien sempat menolak lamaran Umar. Namun saat Umar menjanjikannya boleh ikut berperang, maka lamaran diterima. Umar pun janji akan
membantu Cut Nyak Din membalas kematian suaminya. Perkawinan mereka digelar tahun 1880. Saat itu usia Cut Nyak Dhien 32 tahun, sementara
Umar lebih muda dua tahun. Keduanya pun masih memiliki hubungan kerabat. Dari Umar Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama
Cut Gambang. Pernikahan ini menambah semangat Rakyat Aceh. Keduanya bersama-sama menyerang pos-pos Belanda. Kerugian di pihak
penjajah tak sedikit. Teuku Umar pernah bersiasat, dia pura-pura menyerah ke pihak Belanda. Dia berlaku benar-benar seperti pengkhianat hingga
rakyat Aceh sangat marah. Sebaliknya, Belanda menjadi sangat percaya pada Umar.
Suatu hari Teuku Umar ditugaskan dalam sebuah misi. Belanda pun memberinya sejumlah besar senjata, peluru dan uang. Namun
kemudian Umar malah kabur membawa aneka perlengkapan ini dan membagikannya untuk para pejuang Aceh.
Umar pun kembali memimpin pertempuran melawan Belanda.
Marsose Belanda
Perang Aceh benar-benar menguras korban dan biaya di pihak Belanda. Pasukan reguler Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL).
Mereka terpaksa membentuk Korps Marechaussee atau yang disebut Marsose. Marsose dipilih dari pasukan KNIL yang terbaik. Jago tembak dan
ahli berkelahi dengan pedang dan tangan kosong. Jika pasukan KNIL terbiasa bertempur dalam unit besar, Marsose bergerak dalam unit kecil 20
orang. Sejarawan militer Petrik Matanasi menulis Marsose bersenjatakan klewang dan bedil pendek atau karaben. Mereka tak tergantung angkutan
militer dan terbiasa berjalan kaki menembus pegunungan dan hutan rimba di Aceh. Marsose juga tak tergantung pada jumlah peluru. Mereka lebih
memilih bertarung dengan senjata tajam seperti para pejuang Aceh. Konon inilah cikal bakal pasukan komando pertama.
Namun Marsose juga sangat kejam. Padahal sebagian besar anggota mereka adalah orang pribumi dari daerah yang telah ditaklukan
Belanda seperti Ambon, Manado, Jawa, Sunda. Marsose menebar teror hingga rakyat Aceh ketakutan untuk membantu pejuang. Saking kejamnya
bahkan sejumlah orang Belanda juga merinding mendengar kelakuan tentaranya sendiri. Pasukan elite ini juga yang menyergap dan menewaskan
Teuku Umar. Pejuang wanita Aceh lain Cut Meutia juga tewas saat berhadapan dengan Marsose.
TAK SUDI DISERAHKAN PADA BELANDA
Perlahan-lahan, satu persatu pejuang Aceh bisa dikalahkan oleh Belanda. Posisi Cut Nyak Dhien makin terjepit di dalam hutan. Penyakitnya
memburuk bahkan membuatnya hampir buta.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Dia meminta Belanda
memperlakukan Cut Nyak Dhien dengan hormat.
Belanda kemudian menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Saat pasukannya dikalahkan, Cut Nyak Dhien meludahi Pang
laot.
Dia bilang lebih baik dadanya ditusuk rencong hingga tewas daripada harus menyerah pada kafir Belanda.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Cut Nyak Dhien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat
perlawanan. Di pembuangan dia dipanggil Ibu Perdu karena keahliannya dalam ilmu agama.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.