Dia juga ingin menuliskan nama itu dalam bahasa Indonesia, tetapi kehendak pasar lebih kuat. Dan dia menyerah. (paragraph 5, hlm: 1). Padahal dia dapat saja melakukan apa yang ingin dia lakukan, tapi dia menyerah. Bukti lainnya adalah saat ia melihat huruf-huruf di papan kursusnya berjatuhan, dia langsung berpikir negatif, bahwa usianya yang berusia lebih dari dua puluh tahun telah menemui jalan buntu, dan tak siapa pun yang memerlukannya lagi. (paragraf 6, hlm: 2). Jika dia tidak mudah menyerah, ia dapat tetap mempertahankan kursusnya, sehingga mampu bersaing dengan lembaga kursus lainnya, ditambah semasa ia duduk di fakultas sastra Inggris, dia adalah mahasiswa cemerlang. Sosok ibu dalam cerpen ini digambarkan pula sebagai sosok perempuan yang tidak mengikuti zaman. Dia masih menggunakan mesin tik, walaupun di rumahnya tersedia laptop. Dia juga masih mengenakan kebaya, Patahan daun melayang melintasi mulut jendela dan menyelinap diantara kerah kebaya perempuan yang berdiri memaku (paragraf 6, hlm: 1) tidak seperti wanita seumurannya yang sudah mengenakan pakaian gamis ataupun pakaian bahan untuk keluar rumah dan daster untuk di dalam rumah. Alasan mengapa dia melakukan semua itu, karena dia seorang sosok perempuan yang setia, Terdengar aneh, tentu, tetapi buat dia itulah kesetiaan (paragraf 12, hlm: 2). Bukti lainnya yang menunjukan ia adalah perempuan yang setia adalah dia tidak menikah lagi sejak suaminya tertangkap pada tahun 1965. Di cerpen ini pula, saat tokoh ibu mengenang masa lalunya, ia digambarkan sebagai sosok perempuan yang lemah dan teraniaya, Dia disiksa, diperkosa untuk memperoleh pengakuan yang demi Tuhan, memang mustahil. (paragraf 14, hlm: 3). Hari-hari dilalui perempuan kita itu tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam dia lewati tak lebih dari sekedar daging simpanan (paragraf 18, hlm: 3). Namun terlepas dari dia perempuan yang pantang menyerah dan tidak mengikuti zaman, dia adalah seorang perempuan yang sabar dan tegar. Karena walaupun tragedi 1965 telah merenggut cita-cita, harapan, dan kemuliaannya tubuhnya, ia tetap bangkit untuk membesarkan bayinya sendirian dengan bekerja sebagai pelayan toko, berjualan kue, dan berjualan bandrek di malam hari, dan akhirnya ia mendirikan kursus bahasa Inggris.
Tokoh laki-laki yang diceritakan dalam cerpen ini adalah anak dari ibu itu, dan kapten yang telah menghamilinya. Anaknya digambarkan sebagai sosok laki-laki yang tidak ketinggalan zaman, dia yang memberikan dan mengajarkan kepada ibunya cara menggunakan laptop dan peralatan infocus. Dia juga digambarkan sebagai sosok laki-laki yang berani, Tak pernah dia bayangkan pengakuan itu akan memecut anaknya untuk mengejar sang ayah sampai pun ke balik dunia. (paragraf 30, hlm: 4). Sedangkan kapten digambarkan sebagai laki-laki yang tidak bertanggung jawab, karena setelah menghamili perempuan itu, dia meninggalkannya, habis manis sepah dibuang, .dialah yang menghamili aku, meninggalkan aku dan kau, membuangbalaikan kita berdua sesudah dia puas mencicipi (paragraf 29, hlm: 4) . Martin Aleida menulis cerpen ini dengan nada dan suasana pesimistik. Nada pesimis ditandai dengan sosok ibu yang pantang menyerah, lemah, teraniaya, dan tidak mau berdamai dengan zaman sehingga membuatnya ketinggalan zaman. Membaca cerpen Bertungkus Lumus ini membuat kita merasa nyeri, perih, dan pedih, karena akan terbayang kasus penganiayaan dan pembunuhan pada tahun 1965, juga luka hati yang terus menggerogoti harapan dan cita-cita perempuan yang diceritakan dalam cerpen ini. Cerpen ini memang sangat menarik karena Martin Aleida mampu mengungkapkan kekuatan rasa keperempuanannya melalui rangkaian katakatanya dalam cerpen ini. Daftar Pustaka: Adjie, SE Peni. 2003. Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis. [Online]. Tersedia: jurnal-humaniora.ugm.ac.id/download/120920061204-peni%20adji.pdf. [12 November 2008] Aleida, Martin. 2008. Bertungkus Lemus. [Online]. http://www.sriti.com/story_view.php?key=2647. [12 November 2008] Tersedia:
Prasastie, I. 2008. Beberapa Fenomena dari Eidos Feminisme dalam Cerpen Night Of Reckoning, Karya Adibah Amin (dari Stories From Southeast Asia. [Online]. Tersedia: prasastie.multiply.com/journal/item/40. [12 November 2008] Rosyi. 2008. Struktural Semiotik dan Feminisme dalam Puisi. [Online]. Tersedia: ) www.bungamataair.blogspot.com/ - 127k. [12 November 2008] Sambodja, Asep. 2003. Sastra yang Meretas Kabut Sejarah 1965. [Online]. Tersedia: ) www.suarakarya-online.com/news.html. [12 November 2008]
Saparie, Gunoto. 2005. Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme. [Online]. Tersedia: ) www.suarakarya-online.com/news.html- 29k. [12 November 2008]