Anda di halaman 1dari 1

Latar belakang pendidikan Iwan Simatupang banyak, antara lain kedokteran, antropologi,

drama, dan filsafat. Pengalamannya juga banyak, antara lain menjadi anggota TRIP (pasukan
pelajar dalam Perang Kemerdekaan melawan Belanda, tahun 1945-1949), guru, redaktur majalah
Siasat, dan wartawan Warta Harian, serta penulis untuk berbagai media. Dari pendidikannya,
tampaknya yang paling menarik bagi Iwan Simatupang dan kemudian memengaruhi corak
berbagai essai, cerpen, dan novel Iwan Simatupang tidak lain adalah sastra dan filsafat.
Pengalamannya sebagai anggota TRIP, guru, dan wartawan dengan sendirinya juga
memengaruhi karya-karyanya.

Ada pengalaman yang sangat penting dalam kehidupan Iwan Simatupang, yaitu
pengalaman intelektualnya ketika dia menjadi redaksi majalah Siasat yang antara lain
dikendalikan oleh intelektual muda terkemuka saat itu, yaitu Soedjatmoko, dan kritikus
terkemuka HB Jassin. Para intelektual muda dan sastrawan ini mempunyai kebiasaan berkumpul-
kumpul untuk berdiskusi mengenai berbagai masalah, khususnya filsafat dan sastra dengan
orientasi, pada umumnya, ke Barat. Mereka tahu nama para filsuf dan sastrawan besar di Eropa,
dan dalam diskusi-diskusi itu mereka selalu berusaha mendalami karya para filsuf dan pengarang
tersebut.

Akhirnya, Iwan Simatupang menetap di Hotel Salak, Bogor, dan sebagaimana yang bisa
kita saksikan dalam surat-suratnya kepada B. Soelarto, pengarang drama Domba-Domba
Revolusi, Iwan Simatupang selalu gelisah menghadapi kondisi dan situasi politik saat itu.
Melalui radio dan sumber-sumber berita lain dia tahu, bahwa Indonesia banyak digoncang oleh
berbagai demonstrasi, usaha untuk menjatuhkan pemerintah, serta kemerosotan nilain mata uang
rupiah secara drastis. Masa depan tidak bisa diprediksi, karena berbagai perubahan cepat terjadi
yang pada umumnya cenderung menghancurkan bangsa Indonesia.

Andaikata Iwan Simatupang itu pengarang realis, maka dalam karya-karyanya dia akan
menulis berbagai realita pada waktu itu secara “harfiah,” tapi karena Iwan Simatupang bukan
tipe itu, maka realita yang dia hadapi sehari-hari dia angkat ke dunia abstrak, ke dunia absurd,
dan ke dunia surealis. Karena itu, kalau membaca Ziarah dengan pandangan realis, novel ini
menyajikan banyak kejanggalan yang menabrak logika, tapi, tentu saja, bukan dengan cara ini
kita menghadapi novel Ziarah. Esensi dalam novel ini bukan kejanggalan-kejanggalan itu
sendiri, tetapi berbagai ketidak-menentuan dalam realita yang tersembunyi di balik kejanggalan-
kejanggalan ini, yaitu, sekali lagi, kekacauan politik dan ekonomi pada masa itu

Anda mungkin juga menyukai