Anda di halaman 1dari 5

Hikayat Tiga Dokter

Oleh Zen RS Newsroom Blog – Kam, 24 Okt 2013

24 Oktober dirayakan sebagai Hari Dokter Nasional. Izinkan saya membuka esai ini dengan petikan
sebuah pidato

Aku mengalami kontak yang sangat dekat dengan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit, dengan
ketidakmampuan untuk mengobati anak-anak yang sakit karena kekurangan uang... sampai pada titik
[menyaksikan] bagaimana seorang ayah dengan pasrah menerima kematian anaknya seakan sebagai
suatu kecelakaan yang tidak penting. Aku mulai menyadari bahwa ada hal yang sama pentingnya dari
sekadar menjadi terkenal Aku ingin membantu banyak orang.

Kalimat-kalimat yang menggugah itu diucapkan oleh Che Guevara pada 19 Agustus 1960 di hadapan
para milisi Kuba. Dalam edisi Inggris terjemahan Beth Kurti, pidato itu dijuduli “On Revolutionary
Medicine”.

Che, kita tahu, pernah melakukan perjalanan mengelilingi Amerika Latin di masa mudanya. Seperti yang
bisa kita saksikan dalam film sangat populer, “The Motorcycle Diaries”, Che bukan hanya mengalami
petualangan-petualangan seru nan mendebarkan, tapi juga pengalaman-pengalaman pedih berjumpa
dengan orang-orang sakit yang tak terurus. Perjumpaan-perjumpaan itu menjadi dasar sangat penting
yang kelak membimbing pilihan hidupnya untuk menjadi seorang revolusioner yang tak bisa diam
melihat penindasan.

Dalam pidatonya itu, Che berbicara tentang pentingnya peranan para perawat, ahli farmasi, petugas
laboratorium di rumah sakit, dan terutama para dokter dalam perjuangan revolusioner. Baginya, para
dokter sama pentingnya dengan para gerilyawan yang memanggul senjata di hutan-hutan, rawa-rawa,
paya-paya, atau di lorong-lorong kota.

Che mengakui bahwa dalam situasi-situasi tertentu boleh jadi akan terlihat agak memalukan jika tetap
“anteng” berada di sisi orang yang terluka saat rekan-rekannya sedang sibuk bertempur dan bertaruh
nyawa. Tapi, Che dengan tegas memperingatkan, dalam perannya sebagai seorang gerilyawan dan
seorang revolusioner, dokter harus tetap selalu menjadi dokter.

“Dia harus terus menjadi dokter, yang merupakan salah satu tugas paling indah dan salah satu yang
paling penting dalam perang,” tegas Che.
Mungkin karena itu pulalah maka Dr. Tjipto Mangonekosoemo dengan mudah menepikan tugas-tugas
politiknya sebagai salah satu komisioner Boedi Oetomo demi memanggul tugas “lama” sebagai dokter
guna merawat korban-korban penyakit sampar di Malang Selatan.

Di tengah kesibukan Tjipto menggeluti kerja-kerja politik pergerakan [r]evolusioner di Boedi Oetomo itu,
terdengar kabar mengenai menjalarnya wabah sampar di Jawa pada 1910, khususnya di Jawa Timur.
Wabah sampar itu masuk dari pelabuhan Surabaya lewat tikus-tikus yang menyusup di karung-karung
beras yang didatangkan dari Burma. Korban pertama yang tercatat muncul di Turen dan sejak itu,
sampar menjalar dengan cepat [lihat buku “Death and Disease in Southeast Asia”, khususnya di bab
“Plague in Java” yang ditulis Terrence Hull].

Saat itu sedikit dokter yang mau turun menangani wabah sampar di Malang. Dokter-dokter kulit putih
cenderung lebih suka mengurusi orang-orang sebangsanya. Banyak dokter Jawa yang enggan turun ke
Malang karena ketakutan bakal terkena sampar. Fasilitas barak bagi orang kulit putih penderita sampar
pun jauh lebih baik daripada barak-barak untuk orang bumiputera.

Dalam situasi seperti itulah, Tjipto orang pertama yang mendaftarkan diri sebagai sukarelawan yang
akan terjun langsung di pusat penyebaran wabah di Malang. Tjipto melakukan penyuluhan,
pengobatan, dan menerima konsultasi dari para pengidap sampar dengan tanpa rasa takut. Jika dokter
lain melakukan tugasnya saat itu dengan mengenakan sarung tangan dan masker, Tjipto tidak sama
sekali.

Dia berjalan dari satu desa ke desa lainnya, dari satu barak ke barak lainnya, dari satu rumah ke rumah
lainnya. Di tengah rasa takut yang membadai di semua kalangan yang saat itu tinggal di Malang, Tjipto
seperti “kunang-kunang” yang berpendaran di tengah udara yang gelap lagi suram oleh duka dan
petaka.

Maka selepas menunaikan tugasnya di Malang dengan selamat, apa lagi yang harus dia takutkan jika
maut wabah sampar pun bisa dia atasi Jangan heran jika setelah itu, aktivitas politik Tjipto pun semakin
radikal. Dari Boedi Oetomo yang evolusioner, ia bergabung dengan Indische Partij yang lebih
revolusioner.

Di sana, ia bukan hanya bergabung dengan Douwes Dekker, tapi juga Soewardi Soerjaningrat. Orang
yang kelak berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara ini, bukan hanya seorang pangeran dari wangsa
Pakualaman, tapi juga pernah duduk di bangku sekolah kedoteran STOVIA walau tidak selesai. Dia juga
pernah menggeluti profesi yang terkait dengan kedokteran di sebuah apotik di Jogja. Tapi karena
ketahuan banyak menulis artikel, Soewardi pun dipecat.
Indische Partij tak berumur panjang. Tapi organisasi ini mewariskan sebuah pamflet legendaris yang
ditulis si penjaga apotik Soewardi, “Als Iks Nederlander Was” [Andai Saya Seorang Belanda]. Pamflet
yang menyerang perayaan kemerdekaan Belanda dari pendudukan Prancis itu jadi penyebab
dibuangnya triumvirat Soewardi-Dekker-Tjipto.

Apakah dengan itu Tjipto jadi tunduk. Sekali lagi, apa yang harus ditakutkan jika wabah sampar pun
sudah ia datangi Dan, begitulah, Tjipto tak pernah mau tunduk atau melunakkan garis politiknya. Dia
terus melawan dengan caranya sendiri.

Tjipto pernah dengan nekat memasuki alun-alun Surakarta sambil menaiki delman. Itu tindakan
subversif karena hanya Sunan Pakubuwana saja yang boleh memasuki alun-alun dengan menaiki kereta.
Ini perlawanannya yang paling telanjang terhadap feodalisme Jawa. Terhadap politik rasial pemerintah
kolonial, Tjipto pernah dengan seenak udelnya memasuki societet [tempat pesta orang-orang kaya kulit
putih] dengan mengenakan pakaian Jawa dan lalu selonjoran di lantai sambil menghisap kretek.

Pembuangan pertama itu terbukti tak membuatnya kapok. Dia pun dibuang kembali ke beberapa
tempat Bandaneira, Makassar, Sukabumi, dan terakhir Jakarta.

Penyakit asma yang dideritanya membuat Belanda mengajukan sebuah tawaran negosiasi lupakan dan
jauhi politik, maka dia akan mendapat kebebasan. Tjipto menolak itu. Dia wafat saat Jepang sudah
menduduki Jawa. Pada 8 Maret 1943, Tjipto menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam status luhur
menolak tunduk!

Adalah luar biasa jika pengalaman Tjipto di Malang itu, hampir tiga dekade kemudian, menemukan
pengejawantahannya secara memukau pada sosok Dr. Bernard Rieux, karakter utama novel hebat “La
Peste” karya Albert Camus [edisi Indonesia novel ini diterbitkan oleh YOI di bawah judul “Sampar” hasil
terjemahan NH Dini langsung dari bahasa Prancis].

Novel itu berlatar di kota Oran di Aljazair. Kota itu, seperti di Malang Selatan dalam riwayat Tjipto, juga
diserang oleh wabah sampar. Camus mengisahkan bagaimana kota Oran perlahan tapi pasti lumpuh
oleh wabah sampar yang menjalar dengan kecepatan yang mengerikan. Kota itu bahkan ditutup
sehingga tak ada satu pun yang bisa keluar atau masuk.

Seiring makin mematikannya wabah sampar, segenap penduduk kota Oran pun jatuh pada kubangan
pesimisme yang mengerikan. Orang kehilangan optimisme. Moralitas jatuh sampai pada titik nadir.
Egoisme menjalar. Nyaris tak ada lagi persaudaraan. Masing-masing sibuk mencoba menyelamatkan
dirinya sendiri. Kriminalitas meningkat.

Dr. Rieux hadir seperti Dr. Tjipto di Malang Selatan. Tanpa optimisme yang berlebihan, juga tanpa sikap
heroisme yang berapi-api, dia bekerja semampunya nyaris tanpa henti untuk mengorganisir upaya
mengatasi wabah sampar. Dia dibantu oleh beberapa orang [seperti Josep Grand dan Jean Tarrou] yang
perlahan-lahan berhasil mengikis awan ketakutan yang dijalarkan oleh maut sampar.

Dalam situasi yang absurd dan seperti tanpa harapan, lebih karena tidak ada yang tahu kapan wabah
sampar ini akan berakhir, Dr. Rieux tetap memilih bertahan di Oran. Dia mengabaikan kemungkinan
menemui istrinya yang sedang dirawat di luar kota karena sakit sebelum Sampar merajalela. Dia
menjalani hari-hari di Oran sebagai sebuah kenyataan hidup yang absurd sekaligus getir.

Melalui sosok Dr. Rieux, Camus mendedahkan pikirannya mengenai etika absurditas manusia. Manusia
“dihukum” turun ke bumi dengan menanggung segala risiko tak terduga. Orang boleh berharap pada
Tuhan, tapi bagi Camus jawaban untuk menjalani hidup yang absurd dan tak tertaklukkan adalah
“solidaritas umat manusia”. Inilah etik yang jadi nafas utama novel “La Peste”.

Apakah “solidaritas” itu yang mengalahkan sampar di kota Oran Sama sekali tidak. Sampar itu
menghilang begitu saja. Sampar hanya “tertidur”, mungkin satu dekade, mungkin empat dekade.

Lalu, seperti dituliskan Camus di paragraf terakhir novelnya itu, “… barangkali pada suatu hari, guna
kemalangan ataupun pelajaran bagi manusia, sampar akan membangunkan tikus-tikus, kemudian
menyuruh mereka mati di tempat-tempat terbuka di suatu kota yang bahagia.”

Ada banyak sampar-sampar lain yang terus mengintai kehidupan dan perabadan kita. Kemajuan ilmu
kedokteran dan ilmu farmasi, seperti hanya “menidurkan” satu penyakit saja untuk kemudian
[di]hidup[kan] lagi dalam bentuk yang lebih banyak variannya, lebih kebal obat dan segala macam
serum, sekaligus juga lebih mematikan.

Dan semogalah, dalam kegentingan-kegentingan yang mengerikan karena wabah-wabah penyakit


berikutnya yang entah apa itu nama penyakitnya, peradaban kita masih mempunyai “cadangan”
manusia semacam Dr. Che Guevara, Dr. Bernard Rieux atau setidaknya Dr. Tjipto Mangoenkosoemo.

Selamat hari dokter, para dokter sekalian!


--------------------------

Catatan Hari Dokter Nasional mengambil momen pendirian Ikatan Dokter Indonesia [IDI] pada 24
Oktober 1950. Cikal bakal IDI bisa dilacak dari pendirian Vereniging Van Indische Artsen yang didirikan
pada 1911 atas inisiatif beberapa dokter bumiputera. Salah satunya, siapa lagi kalau bukan Dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo

Anda mungkin juga menyukai