Anda di halaman 1dari 3

Ada Waktu untuk Segala Sesuatu

Dr. Karlina Supelli, email: karlina.supelli@gmail.com

Ratu Atossa hidup tahun 550 sampai 475 SM. Aeschylus, penulis drama dari Yunani,
menggambarkan Atossa sebagai wanita Persia yang membangkitkan kekaguman. Ialah ibu
seorang raja, “dewa Persia” yang amat perkasa, Xerxes I. Di tengah-tengah kemegahan
istana, Atossa menyimpan ketakutan yang mendalam. Ia menemukan benjolan di
payudaranya. Ia pikir seluruh kemegahan istana tak dapat menyelamatkannya dari
kemalangan itu. Ia malu dan menyembunyikan sakitnya.

Diam-diam Atossa menyerah pada bujukan Democêdes, budak istana yang menjanjikan
kesembuhan asal Atossa membebaskannya. Democêdes konon mengoperasi benjolan di
payudara Atossa. Demikian sejarawan Yunani Herodotus menceritakan penderitaan
Atossa tahun 440 SM. Lalu kisah Atossa lenyap dari teks Herodotus. Apa yang tinggal
melampaui ruang dan waktu adalah kecemasan yang mendera Atossa.

***

Setiap hari, jutaan wanita mengalami perasaan Atossa saat mereka menemukan, sengaja
atau tidak, kelainan di payudara mereka. Bayang-bayang tindakan operasi, radiasi dan
kemoterapi kerap jauh lebih menakutkan ketimbang kankernya sendiri. Kanker juga
terkait dengan mitos yang memicu sikap fatalistik. Saya terkena kanker maka saya akan
mati. Atau, saya terkena kanker, apakah salah dan dosa saya? Seorang kenalan yang galak
mengkampanyekan pola hidup sehat, merasa dapat menunjukkan kesalahan itu: gaya
hidup modern. Katanya, “zaman dulu, tidak ada orang yang terkena kanker”.

Faktanya, kata ‘kanker’ sudah tua. Herodotus menyebut karkinos/karkinôm dalam tulisan
tentang Atossa. Kata Yunani itu berarti kepiting. Dari situ turun istilah kanker. Dua ribu
tahun sebelumnya, Imhotep, arsitek Mesir sekaligus tabib bagi Raja Djoser, sudah mencatat
ciri-ciri kanker payudara. Hanya saja, pada kolom “terapi” Imhotep menulis “tidak ada”.
Boleh jadi, itulah perkaranya. Ketiadaan terapi membuat kanker menghilang dari sejarah
medis kuno. Tentu ini tidak menutup fakta bahwa dunia modern memunculkan banyak
karsinogen, zat pemicu kanker, yang dulu tidak ada. Sebut saja polusi, aneka zat kimia,
pengawet, asbestos, radiasi, dlsb.

Kanker juga tampak sebagai penyakit masa kini, karena berbagai penyakit yang dulu
mematikan sekarang dapat diatasi dengan obat-obatan. Sains modern berhasil
meningkatkan usia hidup manusia. Boleh jadi, itulah saat kanker menemukan peluang yang
lebih besar untuk muncul. Contohnya adalah kanker payudara. Dalam populasi wanita yang
mencapai usia lebih dari 70 tahun, 1 di antara 8 wanita akan mengembangkan kanker
payudara. Perbandingan itu menyusut seturut penurunan usia. Semakin muda, semakin
kecil risiko wanita mengembangkan kanker payudara.
Sekurang-kurangnya, itulah penjelasan Siddharta Mukherjee, dokter dan peneliti kanker
dari Universitas Columbia, New York. Dalam The Emperor of All Maladies (2011), ia
menyampaikan riwayat kanker beserta kerumitannya, serta kelebihan dan keterbatasan
dunia kedokteran. Ia mengajak pembaca untuk mengerti bahwa kanker, sangat boleh jadi,
tidak dapat dipisahkan dari tubuh kita. Barangkali, kanker adalah batas terujung kodrat
pertahanan manusia – upaya terakhir sel-sel untuk terus tumbuh, lalu tidak tahu
bagaimana caranya mati sehingga terus saja membelah diri.

Siddharta menutup bukunya dengan pengakuan rendah hati. Saat ini, sains masih kesulitan
menemukan jalan untuk menyingkirkan kanker. Meski demikian, ia membuat kita peka
akan kilatan harapan tanpa mengulurkan janji-janji muluk. Jika sains dapat menunda
kematian dini akibat kanker, ini sudah layak kita terima sebagai keberhasilan yang
menakjubkan. Motto unit radioterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menegaskan
hal itu: “memperpanjang dan meningkatkan kualitas hidup pasien kanker”. Mereka cukup
bijak untuk tidak menggunakan kata “menyembuhkan”.

***

Kanker juga kental dengan rupa-rupa penafsiran. Istilah “orang berkepribadian kanker”
pernah populer di Amerika tahun 1970an. Itulah orang-orang yang tak mampu mengelola
emosi, tertekan secara seksual, mudah putus asa, tertutup, pendendam, tidak menghargai
diri sendiri. Pendeknya, orang-orang yang jiwanya tidak sehat. Obatnya? Psikoterapi-
kanker. Jika tubuh Anda mengembangkan kanker karena Anda banyak menahan kesedihan,
tumpahkanlah perasaan Anda kepada seorang psikoterapis. Karena setiap tahun ada
ribuan orang yang terkena kanker, pendekatan itu tumbuh menjadi bisnis yang
menguntungkan. Buntutnya terasa sampai sekarang. Bila Anda sakit, besar kemungkinan
ada kenalan yang akan menganjurkan kiat-kiat psikologisme tentang keseimbangan energi,
pemberdayaan rasa perasaan, keberanian berbagi perasaan, dlsb.

Tentu tak ada yang keliru dengan anjuran itu. Apalagi kalau disampaikan dengan niat baik
dan bukan sekadar demi bisnis. Masalahnya, memberi makna moralistis pada sebuah
penyakit tidak berbeda dengan menuduh orang yang sedang sakit. Ringkasnya, Anda sakit
karena salah Anda sendiri. Anda sendirilah biang keladi kesengsaraan Anda. Memang, tidak
sedikit penyakit yang bersumber dari perilaku individu dan gaya hidupnya. Tapi saya lalu
teringat anak-anak yang sedang sakit. Apakah bocah-bocah kecil itu sedemikian
pendendam, berjiwa kerdil, dan pemarah, sampai-sampai kanker berkembang dalam tubuh
mereka?

Kanker adalah penyakit rumit yang tidak mungkin terselesaikan hanya lewat anjuran
‘perbanyaklah tertawa maka Anda akan sehat’. Atau, ‘kendalikanlah tubuh dengan pikiran’,
seolah-olah tubuh dan pikiran adalah dua hal terpisah yang dapat berdamai atau bertikai
kapan saja. Metafora musuh dan perang memang lekat sekali dengan kanker. Padahal,
sementara seseorang sakit, sakit itu menjadi bagian dari tubuhnya.
Kata Siddharta, kanker bahkan dapat dilihat sebagai versi diri kita yang lebih sempurna.
Maksudnya, proses kanker sama dengan proses yang mengatur penuaan, regenerasi,
pemulihan dan reproduksi sel. Bedanya, sel-sel kanker tumbuh jauh lebih cepat dan
beradaptasi lebih baik. Sel-sel itu memanfaatkan ciri-ciri tubuh kita, yang persis telah
membuat kita sukses sebagai spesies. Dengan kata lain, orang yang terkena kanker
menemukan musuh, tapi musuh itu adalah dirinya sendiri.

Kanker ibarat arus yang mengombang-ambingkan seseorang, padahal ia sendirilah sang


arus. Lalu, bagaimanakah ia berperang melawan dirinya sendiri? Apakah ia mesti
memperlakukan bagian yang sakit sebagai musuh yang pantas dibenci dan dibasmi? Ketika
seseorang meninggal karena kanker, apakah itu berarti ia kurang keras berjuang sehingga
kalah dalam pertempuran raksasa dunia modern dalam melawan kanker?

Seorang wanita yang sedang menjalani kemoterapi menarik nafas panjang. Ia tak memiliki
jawaban bagi semua pertanyaan pelik itu. Betapa miskinnya bahasa dalam
menggambarkan isi palung suka-duka manusia. Ia hanya tahu satu hal yang pasti. Sakit dan
setiap tahap pengobatannya telah membuat rutinitas tubuhnya berantakan. Ia hanya ingin
mengembalikan tubuh itu kepada dirinya sendiri. Ia mencoba merasakan sakit sebagai
bagian dari diri, sebagaimana ia pernah merasakan sehat sebagai bagian dari dirinya. Ia
menolak menjadikan dirinya sebagai medan pertempuran.

***

Sesudah semua proses yang panjang dan meletihkan, sesudah berlembar-lembar kalender
disobek, sesudah semua jerih payah dan keluh kesah, ia berharap akan muncul keberanian.
Sebuah keberanian yang membuat ia tetap berjaga bagi peristiwa yang ditulis seorang
penyair dengan rasa sunyi yang menggigit, “lalu waktu – bukan giliranku” (Padamu Jua,
Amir Hamzah).

Sebelum peristiwa itu datang, ia ingin setia kepada dirinya secara utuh. Diri yang bisa
sakit, menderita, dan rentan sekaligus diri yang bisa sehat, gembira, dan tegar. Untuk
segala sesuatu di bawah langit, ada waktunya. Demikian ia pernah belajar dari sebuah kitab
kuno (karlina supelli).

Anda mungkin juga menyukai