Karlina Supelli1
Alam semesta tidak kekal abadi. Inilah salah satu penemuan kosmologi abad ke-20 yang paling
menakjubkan. Kisahnya panjang dan gagasan awalnya justru hampir tenggelam karena
kebanyakan ilmuwan sampai dasawarsa ke-3 abad XX tidak tertarik dengan ide alam semesta
yang punya awal dan akan berakhir pada suatu waktu. Astrofisikawan Arthur Eddington
menyebut gagasan permulaan waktu, yang pada waktu itu diwakili oleh solusi Friedmann-
Lemaitre, secara filosofis membuatnya sebal.
Namun sains bukanlah perkara suka atau tidak suka. Dalam pertemuan the British Association
for the Advancement of Science September 1931, para kosmologiwan sepakat bahwa solusi
Friedmann-Lemaitre bagi persamaan medan Einstein merupakan model yang paling tepat
untuk mendeskripsikan alam semesta teramati. Kesepakatan ini muncul sesudah ada
pengamatan atas pergerakan menjauh galaksi yang ditemukan secara terpisah oleh Edwin
Hubble dan Vesto Slipher. Model ini kini kita kenal sebagai Big Bang (Ledakan Besar). Dalam
kosmologi, terminologi teknis yang dipakai adalah solusi Friedmann-Lemaitre-Robertson-
Walker (FLRW). Solusi ini bertopang ke dua prinsip, yaitu bahwa alam semesta homogen dan
isotropik. Secara sederhana ini berarti tidak ada lokasi khusus maupun arah berbeda dalam
alam semesta.
Model itu sendiri tidak membahas permulaan ruangwaktu dan apalagi menjelaskannya, tetapi
memaparkan pemuaian serta pendinginan alam semesta. Meski demikian, solusi FLRW
memungkinkan kosmologiwan merumuskan hipotesis tentang keadaan dini alam semesta. Dari
situ mereka menemukan indikasi bahwa ketika volume dan waktu mendekati titik nol,
kerapatan dan temperatur alam semesta menuju ananta sehingga dapatlah dikatakan bahwa
alam semesta muncul dari peristiwa semacam Ledakan Besar.
Secara teoretis Einstein menemukan model alam semesta yang tidak statik ini pada tahun 1917.
Ketika merumuskan TRU, Einstein melihat kemungkinan energi gravitasi tersimpan di dalam
kurvatur ruang-waktu hampa. Kurvatur ini disebut konstanta kosmologis dan oleh Einstein
ditambahkan ke dalam persamaan medan untuk menghentikan dinamika modelnya. Dari sudut
pandang astronomi pada masa itu, langkah Einstein masuk akal. Alam semesta diduga hanya
seluas galaksi Bimasakti dan pada skala itu, tidak terlihat pola gerak bintang yang cukup
bermakna untuk menyimpulkan apakah alam semesta memuai atau mengerut. Einstein
mencabut konstanta kosmologisnya sesudah penemuan Hubble tahun 1929.
Titik dimana ruangwaktu menuju nol dan kerapatan serta temperatur menuju ananta dikenal
sebagai singularitas. Di kawasan yang menyerupai titik ini, gravitasi sedemikian kuat sehingga
lengkungan ruangwaktu mendekati ananta dan teori relativitas umum Einstein - teori terbaik
untuk menjelaskan struktur alam semesta - gagal memaparkan kondisi fisika singularitas.
Einstein sendiri (1945) mengakui bahwa persamaan-persamaannya mungkin memang tidak
dapat berlanjut ke kawasan-kawasan seperti itu, kendati tidak mengubah fakta bahwa
"permulaan alam semesta sungguh-sungguh mengandung suatu awal", yakni ketika tata bintang
yang ada sekarang memang tidak ada.
Adanya singularitas menyebabkan solusi FLRW juga diterima sebagai prediksi ilmiah pertama
tentang alam semesta yang mempunyai awal temporal sekitar 13,6 milyar tahun yang lalu.
Model Big Bang kini didukung oleh amatan atas pemuaiam alam semesta (hukum Hubble),
kejerahan unsur-unsur awal, radiasi gelombang renik dan pembentukan struktur skala besar.
Karena belum ada fisika yang mampu menyingkap kondisi fisika singularitas, model Big Bang
lebih tepat jika disebut sebagai model tentang alam semesta "sesudah Big Bang". Dengan kata
lain, model Big Bang tidak memaparkan dan apalagi menjelaskan kejadian Big Bang itu sendiri.
Singularitas merupakan sebuah mimpi buruk bagi ilmuwan. Singularitas berada di luar
jangkauan semua bidang ilmu. Jika alam semesta bermula dari singularitas, ilmuwan hanya bisa
mengatakan bahwa ada permulaan waktu. Selebihnya adalah ketidaktahuan. Mungkin ini salah
satu alasan mengapa sampai tahun 1960an kosmologiwan terus bertanya-tanya, apakah
singularitas merupakan sesuatu yang nyata ataukah hanya ilusi matematis?
Subjudul ini saya ambil dari kerangka acuan yang disampaikan panitia seminar Great Thinkers,
dengan pertanyaan-pertanyaan antara lain "(1) apa sebetulnya yang diproblematisasi oleh
Stephen Hawking, persoalan apa itu semesta (ontologi) ataukah bagaimana semesta dipahami
(epistemologi)? (2) Bagaimana relasi Pencipta dan yang diciptakan dalam bingkai pemikiran
Stephen Hawking?"
(la) Persoalan apa itu alam semesta dan bagaimana alam semesta dipahami tentu tidak dapat
dilepaskan satu dari yang lainnya. Ontologi dan epistemologi saling mengandaikan. Dari MDR
yang secara amat ringkas dipaparkan di atas (Hawking memang tidak banyak menjelaskan),
posisi epistemik Hawking tidak jauh berbeda kebanyakan kosmologiwan dan bahkan ilmuwan
dalam bidang ilmu-ilmu kealaman. Dalam kosmologi, pengertian 'alam semesta' secara kritis
dimaknai sebagai alam semesta sejauh dipahami berdasarkan model-model kosmologis. Model-
model inilah yang menyediakan kaidah bagaimana ungkapan 'alam semesta keseluruhan' akan
dipakai pada setiap tahap penyelidikan ilmiah.
Meskipun demikian, kosmologi tidak meniadakan dunia nyata seolah-olah kosmologi melulu
merupakan konstruksi pikiran (model) sebagaimana pandangan para sosiologiwan
pengetahuan mengenai teori/model. Ilmu pengetahuan punya dimensi ontologis. Dalam
prakteknya, ilmu pengetahuan tidak pernah dapat mengabaikan kawasan nyata yang mau
ditangkap oleh model atau teori-teorinya. Syarat bagi keterpahaman {intelligibility) pengalaman
keilmuan adalah pengandaian akan adanya kawasan nyata objek-objek dengan karakter serta
mekanisme yang membangkitkan gejala. Kawasan inilah yang membangun alasan adanya ilmu
pengetahuan dan menjadikan pengetahuan tentang alam bukan hal yang mustahil. Bagaimana
kita mau menjelaskan kesengsaraan yang nyata-nyata dirasakan penduduk Hiroshima dan
Ngasaki akibat bom tahun 1945, apabila atom merupakan konstruksi benak ilmuwan belaka?
Melalui pertanyaan itu pula kita mengerti mengapa kebanyakan kosmologiwan, termasuk
Hawking, memperlakukan singularitas sebagai tanda bahwa model Big Bang maupun TRU
belum lengkap. Dengan kata lain, mereka menafsirkan singularitas bukan sebagai sesuatu yang
ada di alam melainkan berhubungan dengan daya pengetahuan manusia dalam memahami alam
semesta.
(2) Dengan pertimbangan ini, menolak urusan asal mula alam semesta sebagai hal yang dapat
didekati oleh kosmologi mengandung kekeliruan epistemik. Kita tidak dapat merancukan
permulaan temporal menurut perspektif kosmologis (model) dan penciptaan yang mengandung
konotasi ontologis. Sebaliknya juga berlaku. Orang yang dengan gegabah mau mendamparkan
'Penciptaan' ke tepian ruangwaktu kosmologis, lalu begitu saja menunjuk {to assign) the
moment of genesis sebagai the locus of Creation dan meletakkan Tuhan di sana, melakukan
kekeliruan yang sama.
Dalam arti luas, kisah penciptaan (kosmogoni) adalah upaya menunjukkan alasan terjadinya
alam semesta. Setiap kosmogoni berangkat dari fakta bahwa ada dunia sebagai suatu totalitas
dan dunia itu bisa saja tidak ada. Kalau kita perhatikan, narasi tentang pembentukan dunia
dalam mitologi atau kepercayaan kuno umumnya berpegang ke salah satu atau tiga prinsip
sekaligus, yaitu adanya agen, maksud dan materi asal. Dalam Enuma Elish, misalnya, ketiga-
tiganya itu kekal. Dalam pembentukan dunia, ada dua kemungkinan. Pertama, hanya ada materi
asal. Alam semesta adalah hasil kerja kekuatan-kekuatan buta yang ada dalam materi tersebut.
Yang ilahi atau dewa diidentifikasikan dengan materi dan daya-daya alam, tetapi tidak ada
penjelasan mengapa daya-daya itu mulai bekerja.
Kemungkinan kedua adalah pembentukan alam semesta akibat ketiga kerja prinsip itu.
Kehadiran dunia adalah hasil penataan materi yang sudah ada atau pembentukan sesuatu yang
belum ada dari materi dasar yang sudah ada. Sang agen, Demiurgos dalam paparan Platon
tentang pembentukan dunia, misalnya, mirip seorang pandai besi yang membuat tapal kuda
dari besi yang tersedia, tetapi dia sendiri bukan penyebab adanya besi. Kemungkinannya untuk
mencipta terikat kepada adanya besi dan sifat-sifat besi. Model kosmogoni ini lebih tepat dilihat
sebagai proses perubahan. Perubahan dapat terjadi meskipun tidak ada awal dan akhir
temporal.
Kemungkinan ketiga terlihat dalam narasi penciptaan menurut agama-agama Samawi
mengandaikan adanya agen dan maksud, tetapi tidak ada materi awal. Kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam proses itu sepenuhnya bergantung pada kekuasaan dan
kehendak sang agen. Dia tidak terikat pada apapun juga karena hanya dia yang ada sebelum
penciptaan berlangsung. Penciptaan adalah suatu tindakan radikal menghadirkan suatu
keseluruhan yang ada. Menyebabkan sesuatu menjadi ada bukanlah proses perubahan, karena
pada mulanya tidak ada sesuatu pun untuk diubah. Dengan demikian penciptaan dalam arti ini
juga bukan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Penciptaan menghadirkan sesuatu yang
sepenuhnya baru. Dalam agama-agama Samawi, satu-satunya penyebab kehadiran alam
semesta adalah Tuhan.
Kosmologi modern menangani kosmogoni dengan cara berbeda. Bukan agen sadar bertujuan
yang merupakan alasan adanya alam semesta, melainkan hukum-hukum fisika. Jika sampai
abad ke-20 pertanyaannya adalah apakah hukum-hukum fisika itu, sekarang pertanyaannya
adalah mengapa hukum-hukum itu demikian adanya? Bagaimana hukum itu terbentuk dan
bagaimana alam semesta sendiri bermula?
Sains tidak dapat menyelipkan Tuhan untuk menjawab pertanyaan tersebut, seperti Newton
terpaksa melakukannya ketika dia tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa langit tidak
runtuh oleh gravitasi. Koreksi yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan itu ditemukan oleh
Laplace. Tuhan Newton pun tergusur dari penjelasan tentang kestabilan tatasurya. Dalam
bingkai semacam inilah Hawking membicarakan relasi Tuhan dengan asal mula alam semesta
dalam kuliah-kuliah publik dan buku-buku populernya.
Urusan menghapus singularitas adalah urusan fisika dan kosmologi. Tindakan ini tidak ada
hubungannya dengan eksistensi Tuhan. Keduanya non sequitur. Sejauh masih ada peluang untuk
membangun model yang dapat menjelaskan permulaan ruangwaktu, ilmuwan akan
melakukannya.
Seandainya teori segala-galanya dalam pengertian Hawking ditemukan, apakah lalu berarti
segala sesuatu akan terjelaskan? Ini juga merupakan dua hal yang berbeda. Dapat menjawab
bagaimana alam semesta bermula melalui teori-teori fisika, tidak berarti bahwa ilmu
pengetahuan dapat menjawab segala-galanya terkait dengan alam semesta. Contohnya adalah
tetapan-tetapan alam semesta: mengapa c adalah batas bagi kecepatan? Mengapa konstanta
Planck besarna demikian? dst. Sejauh ini sains menerima tetapan-tetapan itu sebagai tereri
melalui eksperimen.
Kosmologi alam semesta jamak akan mengatakan itulah salah satu hasil dari banyak
kebolehjadian yang ada ketika alam semesta terbentuk. Bagaimana dengan harga tetapan yang
berbeda? Boleh jadi di alam semesta lain, peluang untuk harga yang berbeda menjelma dan
menghadirkan alam semesta dengan hukum-hukum fisika berbeda. Ada banyak kemungkinan
dalam pemikiran manusia tentang kosmologi dan salah satu atau semua kemungkinan itu bisa
saja menggusur peran Tuhan dalam menciptakan alam semesta kalau kita dengan gampangan
mau menaruh Tuhan di peristiwa Big Bang atau model-model fisika lainnya.
Apakah lalu kita akan memperlakukan model-model fisika sebagai melulu model yang tidak
berhubungan dengan realitas? Ini pertanyaan dengan jawaban bersayap bergantung posisi
epistemik yang menjawabnya. Namun apapun jawaban itu, kita perlu cukup cermat untuk
membedakannya dari relativisme epistemologis. Dalam proses pemerolehan pengetahuan,
realitas ontologis (alam semesta) mengalami stratifikasi: lapisan ontik (realitas alam yang
sudah ada jauh sebelum manusia ada) dan lapisan epistemik (pengetahuan tentang realitas itu,
yang merupakan kegiatan manusia). Dalam kedua lapisan itu masih dibedakan antara hal-hal
yang real, peristiwa aktual, dan gejala empiris. Mengenali kerja ilmu pengetahuan adalah
mengenali pada aras mana teori bekerja. Mengenali cara kerja ilmuwan akan membuat kita
mengerti mengapa mereka sangat berhati-hati ketika berbicara tentang "kebenaran alam
semesta". Model alam semesta bukan replika dan apalagi fotocopy alam ontik. 41am Semesta
bisa lebih gemuk atau lebih kurus daripada alam semesta.