Anda di halaman 1dari 2

Sekantong Tahi Sapi – Gede Prama

Bayangkan di suatu pagi, ada seorang tetangga yang memberi Anda sekantong tahi sapi. Tanpa
basa basi, langsung saja kantong tadi diletakkan di depan rumah.

Bagi mereka yang sentimen dengan tetangga, mala petakalah akhir dari kejadian ini. Namun,
bagi mereka yang menempatkan pemberian sebagai sebuah kemuliaan, maka tahi sapi tadi bisa
menjadi awal persahabatan.

Nah, Anda dan saya juga sedang diberi tahi sapi (baca : krisis). Persoalannya, apakah krisis ini
akan menjadi awal petaka atau awal kemajuan, sangat ditentukan oleh bagaimana kita
menempatkan krisis.

Salah satu karya terbaik Deepak Chopra adalah Ageless Body, Timeless Mind. Di sini
penyembuh ini bertutur tentang bagaimana hidup awet muda. Fundamental dalam tesis Chopra,
tubuh ini terbuat dari pengalaman-pengalaman yang didagingkan (dimasukkan ke dalam tubuh).

Sebagai salah satu bukti dari tesis terakhir, Chopra mengutip pengalaman seorang Ibu yang baru
menerima sumbangan jantung dari orang lain. Begitu keluar dari rumah sakit, sang Ibu meminta
dua hal yang tidak pernah disukai sebelumnya : bir dan ayam goreng. Setelah diselidik, ternyata
donatur jantung yang telah meninggal, memiliki hobi berat meminum bir sambil memakan ayam
goreng.

Pengalaman terakhir mengingatkan saya dengan pendapat Norman Cousin yang pernah
menyebut bahwa “kepercayaan itu menciptakan biologi“. Ini berarti, garis batas antara biologi
dan psikologi sebenarnya sangat dan teramat tipis – kalau tidak mau dikatakan tidak ada.

Semua ini berati, cara kita menempatkan krisis, tidak hanya terkait dengan sukses gagal di hari
ini. Lebih dari itu, kita sedang mendagingkan serangkaian sistim nilai ke dalam tubuh kita.
Untuk kemudian, memberi pengaruh yang amat besar ke dalam rautan wajah dan tubuh kita
kemudian.

Coba cermati ciri-ciri manusia awet muda dan panjang umur sebagaimana ditemukan oleh
Chopra. Dari meraup kesenangan dari kegiatan sehari-hari, menganggap hidup bermakna, yakin
telah mencapai sasaran utama, menganut citra diri positif, sampai dengan optimis.

Semuanya menunjukkan upaya membadankan sistim nilai positif. Larry Scherwitz dari
Universitas California pernah merekam hasil percakapan dengan 600 pria. Sepertiganya
mengidap penyakit jantung, dan sisanya sehat-sehat saja. Scherwitz menemukan, pria yang
menggunakan kata ganti “saya” lebih banyak dari rata-rata orang, mempunyai resiko kena
serangan jantung lebih tinggi.

Pengalaman saya juga menunjukkan hal yang sama. Dari ratusan eksekutif yang pernah
dikumpulkan karangannya, mereka yang otoriter, egois dan mau menang sendiri, menggunakan
kata ganti “saya” jauh lebih banyak dibandingkan yang lain. Chopra juga menemukan hal yang
mirip, angka kematian karena kanker dan penyakit jantung terbukti lebih tinggi diantara orang
yang mengalami jiwa murung, dan lebih rendah diantara orang yang mempunyai maksud yang
tegas serta jiwa yang sehat.

Dari penemuan-penemuan semacam ini, Scherwitz merekomendasikan untuk semakin membuka


hati kepada orang lain. Salah seorang responden Scherwitz yang umurnya sudah tua namun
memiliki jantung yang amat sehat berargumen : “seseorang yang terbuka dan penuh cinta akan
menua dengan baik“.

Nah, lebih dari sekadar terbuka terhadap orang lain, kita juga memerlukan keterbukaan dalam
memandang kehidupan. Persis seperti kasus tetangga yang memberi sekantong tahi sapi.
Keterbukaan dan kesediaan untuk mencintai, membuat semua kejadian kehidupan – dari dapat
tahi sapi sampai dengan berlian – menjadi penuh dengan warna keindahan.

Egoisme – sebagaimana tercermin dari banyaknya penggunaan kata saya – memang tidak selalu
buruk. Namun, ia kerap membadankan serangkaian nilai, yang membuat badan ini cepat tua,
lapuk serta rentan penyakit.

Meminjam hasil sebuah penemuan di dunia kedokteran, kemanapun perginya fikiran, senantiasa
ada bahan kimia yang menyertainya. Atau keadaan-keadaan mental yang murung dirubah
menjadi bahan-bahan kimia yang menimbulkan penyakit. Demikian juga sebaliknya.

Belajar dari semua ini, dibandingkan dengan mengumpat dan memaki tahi sapi yang bernama
krisis, saya mendidik diri untuk menempatkan krisis sebagai “pupuk“-nya kehidupan.

Beberapa periode lalu, RUPS sebuah perusahaan besar menunjuk saya sebagai direktur SDM.
Awalnya, tentu saja ini sebuah berkah yang dirayakan oleh keluarga saya. Sebab, sebelah kaki
menjadi manusia bebas (konsultan, penulis dan pembicara publik) namun mengalami siklus
keuangan yang naik turun, sebelah kaki jadi eksekutif puncak dengan siklus keuangan yang pasti
dan menjanjikan.

Sayangnya, saya kehilangan dua kemewahan : menjadi raja bagi waktu, dan kemewahan hanya
memberi saran tanpa perlu memantau pelaksanaan dan tanggungjawab.

Akibat dari kehilangan ini, saya sempat mengalami gejala insomnia (susah tidur). Belakangan,
setelah membuka-buka lagi khasanah tentang fikiran yang memproduksi bahan kimia dalam
tubuh, semua ini saya rombak secara perlahan. Belum sempurna memang ! Yang jelas, ritme
tidur saya sudah kembali ke sedia kala.

Kembali ke cerita awal tentang sekantong tahi sapi, Anda dan saya setiap hari ada yang
membawakan “tahi sapi“. Mirip dengan tahi sapi, kita tidak bisa merubah kehidupan. Akan
tetapi, kita bisa merubah diri bagaimana mesti melihat dan menempatkan kehidupan.

Sadar akan penemuan bahwa keyakinan memproduksi biologi, saya memilih untuk melihat segi
positif dari tahi sapi. Terserah Anda!.

Anda mungkin juga menyukai