Anda di halaman 1dari 10

PERAWATAN PASIEN PALIATIF/MENJELANG AJAL MENURUT AGAMA

ISLAM

Di agama islam seseorang menjelang ajal itu juga termasuk kedalam seseorang yang
sedang menghadapi sakaratul maut.

A. Pengertian sakaratul maut


Istilah sakaratul maut berasal dari bahasa arab, yaitu “sakarat” dan “maut”. Sakarat
dapat diartikan dengan “mabuk” sedangkan “maut” berarti kematian. Dengan
demikian,sakaratul maut berarti orang yang sedang dimabuk dengan masa-masa
kematiannya.Sakaratul maut merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi
kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. Kematian
merupakan kondisi terhentinya pernapasan, nadi, dan tekanan darah serta hilangnya
respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktivitas otak atau
terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap. Sakartul maut dan kematian
merupakan dua istilah yang sulit untuk dipisahkan, serta merupakan suatu fenomena
tersendiri. kematian lebih kearah suatu proses, sedangkan sakaratul maut merupakan
akhir dari hidup.Mengenai tanda-tanda khusul khotimah atau su’ul khotimah seseorang
yang sedang sakaratul maut, Usman bin Affan pernah berkata bahwa Nabi

Muhammad bersabda:“Perhatikanlah orang yang hampir mati, seandainya kedua


matanya terbelalak, dahinya berkeringat, dan dua lubang hidungnya bertambah besar,
membuktikan bahwa ia sedang memperoleh kabar gembira, tetapi jika dia mendengar
seperti orang yang sedang mendengkur (ngorok) atau tercekik, wajahnya pucat,mulutnya
bertambah besar, berarti ia telah mendapat kabar buruk”.
b. Tanda tanda sakaratul maut

Ciri-ciri pokok (secara medis) orang yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir
(sakaratul maut), adalah sebagai berikut:

penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada


anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa
dingin dan lembab,kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.

Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas
cyene stokes. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan
rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang.

Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi
mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.
Menurut Dadang Hawari, “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis
kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan
perhatian khusus”. Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat,
perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat
sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup
klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk
menghadapi kehidupan yang kekal.
Tanda-tanda kematian:
1. 100 hari : Seluruh badan rasa bergegar.
2. 60 hari : Pusat rasa bergerak-gerak.
3. 40 hari : Daun dengan nama orang yang akan mati di arash akan jatuh dan malaikat
maut pun datang kepada orang dengan nama tersebut lalu mendampinginya sehingga saat
kematiannya. Kadang-kadang orang yang akan mati itu akan merasa atau nampak
kehadiran malaikat maut tersebut dan akan sering kelihatan seperti sedang rungsing.
4. 7 hari : Mengidam makanan.
5. 5 hari : Anak lidah bergerak-gerak.
6. 3 hari : Bahagian tengah di dahi bergerak-gerak.
7. 2 hari : Seluruh dahi rasa bergerak-gerak
8. 1 hari : Terasa bahagian ubun bergerak-gerak di antara waktu subuh dan ashar.
9. Saat akhir : Terasa sejuk dari bahagian pusat hingga ke tulang solbi (di bahagian
belakang badan) Seelok-eloknya bila sudah merasa tanda yang akhir sekali, mengucap
dalam keadaan qiam and jangan lagi bercakap-cakap.

C. Peran Perawat dalam Mendampingi Pasien Sakaratul Maut

Karena batapa sakitnya proses sakaratul maut itu, maka perawat muslim memiliki peran
dalam mendampingi pasien muslim dalam proses sakaratul maut, antara lain sebagai
berikut :

1. Membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT. Pada sakaratul maut
perawat harus membimbing agar berbaik sangka kepada Allah sebagaimana Hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Muslem. Jangan sampai seorang dari kamu mati kecuali dalam
keadaan berbaik sangka kepada Allah, selanjutnya Allah berfirman dalam hadist qudsi,
Aku ada pada sangka-sangka hambaku, oleh karena itu bersangkalah kepadaKu dengan
sangkaaan yang baik . Selanjutnya Ibnu Abas berkata, Apabila kamu melihat seseorang
menghadapi maut, hiburlah dia supaya bersangka baik pada Tuhannya dan akan berjumpa
dengan Tuhannya itu.
2. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut Disunnahkan bagi orang-
orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk membasahi
bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering
karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata.
Dengan air dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang
yang mengalami sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam
mengucapkan dua kalimat syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah).

3. Mengajarkannya atau mengingatkannya untuk mengucapkan kalimat syahadat yaitu La


ilaha illallah Muhammad Rasulullah.Perawat muslim dalam mengajarkan atau
mengingatkanya kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien terminal menjelang
ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir.Dalam keadaan
yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi kebutuhan fisiknya juga harus
memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar diupayakan meninggal dalam keadaan
Husnul Khatimah. Perawat membimbing pasien dengan mentalkinkan (membimbing
dengan melafalkan secara berulang-ulang).
sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat Muslim.“Talkinkanlah
olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat Laailahaillallah karena
sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka
itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika
matinya maka itulah bekalnya menuju surga”.

4. Menghadapkannya ke arah kiblat.caranya jika ia berbaring,maka lambung kanannya


diarahkan ke lantai.Disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut
kearah kiblat. Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits
Rasulullah Saw. Hanya saja dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para
salafus shalih melakukan hal tersebut.

5. Mendo’akannya agar dosanya diampunin dan dimudahkan keluarnya ruh .Wallahu


A’lam
 Berdasarkan hal diatas perawat harus berupaya memberikan suport mental agar pasien
merasa yakin bahwa Allah Pengasih dan selalu memberikan yang terbaik buat hambanya,
mendo’akan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh terlepas, dari
jasadnya.

PERAWATAN PASIEN PALIATIF/MENJELANG AJAL MENURUT


PANDANGAN AGAMA KRISTEN

Keadaan seseorang saat menjelang kematian sama uniknya dengan keadaan seseorang
dalam menjalani hidupnya. Berikut ini, ada lima hal yang membantu sebagian orang
dalam menghadapi kematian, sehingga dapat memperoleh perspektif yang lebih luas,
menggerakkan kekuatan baru, dan kemudian meninggal dengan tenang.
1. Memunyai suatu komunitas penggembalaan, yang terdiri atas orang-orang yang akan
mendengar dan memberi dukungan yang hangat.

Keadaan menjelang kematian adalah suatu pengalaman yang sangat pribadi dan suatu
pengalaman antarpribadi yang hebat. Dalam masyarakat kami, ketika orang merasa
sendirian, kekayaan jaringan antarpribadi seseorang dapat membuat perbedaan yang
dahsyat dalam kualitas keadaan mendekati kematian seseorang.

2. Menyelesaikan sebanyak mungkin masalah yang belum diselesaikan dalam kehidupan


mereka, khususnya dalam hubungan dekat mereka (misalnya, mengungkapkan kasih, atau
meminta dan menerima pengampunan orang lain). Ted Rosenthal, seorang konselor,
menjelaskan, "Saya pikir orang tidak takut akan kematian. Apa yang mereka takutkan
adalah ketidaksempurnaan hidup mereka."

3. Melaksanakan "kerja kedukaan" yang kompleks karena keadaan mendekati kematian,


sehingga mereka dapat mencapai pengalaman penerimaan (Kubler-Ross).

4. Memunyai suatu sistem iman, suatu rasa percaya, dan merasa betah dalam alam
semesta, memberi suatu arti yang melebihi kehilangan yang berlipat ganda karena
keadaan menjelang kematian.

5. Memunyai suatu latar tempat seseorang dapat meninggal dengan bermartabat. Gerakan
pembangunan rumah perawatan pasien terminal (hospice) ialah pembangunan yang
paling manusiawi dalam tahun-tahun terakhir ini, berkaitan dengan keadaan menjelang
kematian. Cicely Sander, seorang dokter Kristen, telah merintis berdirinya rumah
perawatan pasien terminal yang pertama pada tahun 1967 yang bernama panti St.
Christopher. Panti ini terletak di daerah pinggiran kota London. Sanders mengatakan,
sebuah rumah perawatan pasien terminal, baik itu berupa panti asuhan atau bangsal
rumah sakit, atau rumah yang dikelola oleh perawat keliling atau oleh staf rumah sakit,
bertujuan untuk memampukan pasien agar dapat hidup hingga batas potensi kekuatan
fisik, mental, dan emosional, serta hubungan sosialnya.

Program "hospice" memungkinkan pasien terminal meninggal di rumahnya dengan


dikelilingi oleh anggota keluarganya. Jadi, dia tidak mati dalam suasana yang impersonal
(tak berpribadi), yang merupakan ciri khas dari banyak rumah sakit. Hal ini
dimungkinkan karena program hospice ini dengan hati-hati mengurus pasien. Di samping
itu, seorang tenaga sukarelawan sering berkunjung untuk memberi dukungan dan
pendampingan pada orang yang akan mati dan keluarganya. Sukarelawan yang bekerja
dalam rumah perawatan pasien terminal, terus berhubungan dengan keluarga ketika
mereka mengerjakan tugas kedukaan mereka sesudah kematian.

Program penggembalaan suatu jemaat, sepantasnya belajar dari dan bekerja sama secara
penuh dengan program rumah perawatan pasien terminal setempat, atau berprakarsa
membantu kelancaran program semacam itu jika belum ada. Para pendeta sepantasnya
mendorong anggota jemaat untuk mengikuti pendidikan rumah perawatan pasien terminal
dan berpartisipasi dalam pelayanan ini.

MENURUT SUKU BATAK

Proses kematian sebenarnya tanpa disadari adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh
manusia karena itu merupakan proses menuju hidup yang kekal dan abadi.
Masyarakat Batak memperlakukan orang mati dengan khusus, dimana kematian orang
Batak dilakukan dengan pesta dan suka cita, keadaan ini memang sangat jauh berbeda
dengan suku lain yang ada di Indonesia. Tata cara kematian secara adat Batak di bagi
berdasarkan usia dan statusnya.
Beberapa jenis kematian yang dikenal orang Batak Toba*berbabagai sumber :
1. kematian yang dialami ketika masih dalam kandungan (mate di bortian)  untuk
kematian yang dialami dalam kandungan belum mendapatkan perlakuan adat (langsung
dikubur tanpa peti mati).
2. Kematian masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati
saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate
ponggol),     keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi
selembar ulos(kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulospenutup
mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate
dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang(saudara laki-laki ibu) si orang yang
meninggal.
3. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan/mate
punu),
4. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate
mangkar),
5. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun
belum bercucu (mate hatungganeon),
6. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari
matua).
7. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).

Pada masyarakat Batak kematian seseorang pada usia tua dan yang telah memiliki
keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena
kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal ini ditemukan dari
banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek
pemujaan (Soejono,1984:24), dari hal diatas hal yang ingin saya uraikan adalah tata cara
penguburan ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, dimana kondisi jika
mati saut matua seperti ini, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang yang
meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal
tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini disambut
dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat meninggalnya
memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak akan berlarut-larut.
Ibaratnya, hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak,
hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu
LUNAS, maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
Sebelum prosesi pemakaman dilakukan musyawarah keluarga (martonggo raja)
dimana Tujuan dari Tonggo Raja atau Ria Raja ini adalah memohon kepada tulang dan
hula-hula tersebut agar bersedia kiranya untuk menutupkan ulos saput pada jenazah dan
memberikan ulos kepada keluarga yang ditinggalkan dan  membahas persiapan
pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan
natolu.
Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga
kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula(kelompok orang keluarga marga
pihak istri), pihak dongan tubu(kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara
semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-
masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo
raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai
selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam
rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara).
Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat
sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-
masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan
peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan
buat yang menghadiri upacara pemakaman dan sebagainya. Pelaksanaan upacara
bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-
putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak
isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering
terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi
menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu
dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan
pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu
kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu
menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak).
Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di
ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Jenazah yang telah
dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-tengah seluruh anak dan cucu,
dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Di sebelah kanan peti
jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan di
sebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-
masing. Di sinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari
kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan
makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan
kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya
telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala
makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak
bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis
berupa : juhut(daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara)
(Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan
hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena
pembagian jambar juhutdianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga
status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Setelah prosesi adat selesai maka akan dilakukan proses secara agama, dimana prosesi
dipimpin oleh pemuka gereja (pendeta) setelah itu peti akan ditutup dan segera
dikuburkan, setelah pulang dari kuburan, akan dilakukan ritual adat Ungkap Hombung
(memberikan sebagian harta yang ditinggalkan mendiang (berbagi harta warisan) untuk
diberikan kepada pihak hula-hula, akan tetapi saat ini ritual Ungkap Hombung bisa
dilakukan beberapa hari setelah penguburan, dan di harapkan pemberian Ungkap
Humbang yang diberikan kepada hula-hula membawa rasa senang dan diterima dengan
ikhlas.

MENURUT SUKU LANI (PAPUA)

Suku Lani yang tinggal di Lembah Baliem bagian barat mengenal sistem penguburan
tradisional yaitu dengan cara dibakar (kremasi). Penanganan mayat dengan cara
dikremasi umumnya dilakukan untuk seluruh masyarakat di Lembah Baliem. Ini berlaku
untuk orang-orang yang meninggal baik karena tua, sakit maupun mati dibunuh.

Dalam pelaksanaan upacara kematian Suku Lani, kepercayaan prasejarah masih kuat, hal
ini tercermin dalam kepercayaan terhadap roh leluhur. Makna religius dari upacara
kematian adalah membantu roh orang yang meninggal agar ia dapat pergi ke dunia roh
dengan baik.
Upacara kematian ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmos yang
diharapkan dapat memberikan keselamatan baik kepada roh si mati maupun terhadap
manusia yang ditinggalkan. Tradisi kematian suku Lani yaitu proses dan tahapan
pembakaran mayat. Sebelum pembakaran mayat, terlebih dahulu dilakukan pesta bakar
batu. Jumlah babi yang dibunuh secara langsung menjadi tolok ukur tentang seberapa
penting orang yang meninggal.
Prosesi pembakaran jenazah yaitu penyiapan kayu bakar dari jenis pohon kasuari
(casuarina). Penyiapan sebuah lubang dengan kedalaman sekitar satu meter, lubang ini
digunakan untuk menguburkan abu mayat. Kayu bakar disusun membentuk segi empat,
berdekatan dengan lubang yang digali. Mayat diletakkan di dalam posisi duduk di atas
tumpukan kayu. Kemudian potongan-potongan kayu disusun di atas mayat, sehingga
mayat tidak kelihatan lagi. Selanjutnya pembakaran mayat dilakukan. Api pembakaran
mayat disulut dari bagian atas susunan kayu bakar.
Selesai pembakaran mayat, maka tulang-tulang sisa pembakaran dikumpulkan. Abu
dan tulang dimasukkan ke dalam lubang yang telah dipersiapkan sebelumnya. 
Untuk wilayah Distrik Kelila, sebagai penanda diletakkan batu di atas kuburan.
Sedangkan di wilayah Distrik Ilugwa, di sekeliling kuburan dibuat pagar. Jika kuburan
terletak di dekat honai, maka selalu dibersihkan dan apabila pagar rusak selalu diperbaiki,
tetapi apabila kuburan terletak jauh dari honai misalnya di kampung lama atau bekas
kebun, biasanya dibiarkan saja.
Ungkapan rasa duka atas kematian seorang kerabat yaitu dengan memotong salah
satu dari sambungan ruas jari tangan perempuan dengan menggunakan kapak.
Pemotongan jari tangan sebagai penanda kematian dan penghormatan kepada kerabat
yang meninggal. Mereka percaya arwah dari yang meninggal akan menghargai rasa sakit
yang diderita atau duka cita mereka.
Upacara yang menuntut korban menurut Turner dalam buku Ritual Process: Structure
and Anti Structure (1974) merupakan upacara sentral dalam religi masyarakat yang
sederhana. 

Anda mungkin juga menyukai