pai hari ini, filsafat masih dianggap sebagai rumah angker. Seperti
diterangkan Kyai Faiz di bagian pendahuluan buku ini, filsafat
malah sering tampil sebagai amal sia-sia bagi manusia kurang
kerja. Lantas, apa bisa manusia melarikan diri dari filsafat? Jelas
tidak bisa. Sejak kepala kita menyembul dari rahim ibu, menangis,
mencecap madu, kita telah “diwajibkan” untuk berfilsafat. Bukan
dalam arti filsafat sebagai hal-hal njlimet bertatahkan kata-kata
keramat, macam apa itu eksistensi, esensi, aksidensi, atau solasi yang
termaktub dalam lipatan lusuh berjilid-jilid buku. Namun, filsafat
sebagai cara untuk menjadi manusia sebagai manusia.
Untuk tujuan mulia itu, manusia membutuhkan bekal, yaitu
pencarian. Di sanalah kita akan berjumpa dengan para pendahulu.
Di antara mereka, tentu saja adalah para filosof yang ditulis oleh
Kyai Faiz di buku ini. Ada banyak rumus-rumus filosofis yang me-
reka anggit. Tentu bukan untuk sekedar di-copy paste. Melainkan
untuk dikritik, diruntuhkan, dibangun, dikonfirmasi, dan entah di-
apakan lagi. Atas dasar itu, seorang Bryan Magee, visiting professor
di King’s College, London, dalam buku Memoar Seorang Filosof:
Pengembaraan di Belantara Filsafat (Mizan, 2005: 727), menuding
Karl Popper dan Nietzsche sebagai pembincang problem-problem
yang rendah nilainya, meskipun mereka telah menggali wawasan-
wawasan baru.
Bocoran
Ada satu hal penting yang tidak diangkat oleh buku Filosof
Juga Manusia karya Kyai Faiz ini. Bahwa sebagian besar filosof
sebenarnya adalah orang Jawa atau keturunan Jawa. Misalnya John
F I LO S O F J U GA M A N US I A 185
kami, baru Masjid Salman ITB Bandung. Itupun tidak setiap pe-
kan. Hanya bulanan dan mungkin kondisional. Selebihnya, nehi.
Maklumlah, filsafat itu barang berat. Ia seirama dengan olah pikir
tingkat Dewa Syiwa. Jadi, bila yang hadir cuma beberapa kepala,
ya maklum sajalah.
Ternyata, pas pertemuan pertama digelar pada hari Ming-
gu Kliwon, tanggal 21 April 2013, ada lebih dari 40 orang yang
menghadirkan jiwa-raganya. Ini di luar suuzzhon hasanah kami.
Tiba-tiba muncullah konspirasi intelektual di sela-sela pertemu-
an selama satu hari penuh itu. Nampaknya, perlu menggelar lagi
acara ngaji filsafat rutin. Terutama untuk hadirin-hadirat yang
mau jadi “gila”. Lalu, kepada satu di antara pemateri, yaitu Kyai
Fahruddin Faiz, kami menghaturkan permintaan untuk bersedia
menjadi pengampu tetap kelas Ngaji Filsafat. Alhamdulillah, be-
liau bersedia.
Sekira selang beberapa pekan, akhirnya kami menyepakati
untuk memilih Rabu Malam atau Malam Kamis sebagai hari baik
Ngaji Filsafat. Bakda Isya atau sekira pukul 20.00 sampai pukul
22.00. Sepenghitungan kami, peserta yang hadir di pekan-pekan
pertama kali itu paling-paling sekira 10-30 orang. Naik-turun.
Ternyata, sampai hari ini hadirin-hadiratnya mencapai 50-70
orang setiap pekan. Terkadang, sepeda motor yang diparkirkan di
halaman MJS itu cuma berjumlah 32 biji. Tapi yang sering terjadi,
satu motor dipantati oleh dua manusia. Itu belum terhitung para
pengunduh unggahan setiap rekaman yang rata-rata di atas 200
kali unduhan. Belum pula terhitung hadirin-hadirat dari bangsa
lelembut.
Telah ada lebih dari dua generasi berganti yang hadir di maje-
lis filsafatan ini. Selalu saja ada wajah-wajah yang baru menampak-
F I LO S O F J U GA M A N US I A 189
Nasib Filsafat
Kira-kira begitulah sejarah padat Ngaji Filsafat di MJS. Sam-
pai hari ini Ngaji Filsafat boleh didatangi oleh semua umat agama,
semua suku-bangsa, semua jenis kelamin, semua mazhab, semua
usia. Yang paling menarik untuk kami secara pribadi adalah fak-
ta bahwa dengan lantaran Ngaji Filsafat, masjid menjadi medan
budaya yang ditawafi oleh orang-orang berpakaian belel, berbaju
kaos, bercelana jeans robek-robek, bercelana pendek, para pero-
kok, para pengopi, dan para pejilbab dari berbagai macam gaya.
Tak ketinggalan, tentu saja, orang-orang jomblo yang berniat
menjadi keren bersama filsafat. Memang, kalau direnung-renung-
kan lebih jauh, masjid tidak harus diramaikan oleh orang-orang
yang melulu mau menyembah Tuhan melalui rapalan mantra-
mantra saja, tapi juga oleh para pencari kebenaran. Juga tentu saja
para setan. Kasihan setan seumur hidupnya tidak pernah diberikan
ruang kesalehan.
Terakhir, sebenarnya ada alasan heroik di balik penggelaran
Ngaji Filsafat ini. Tapi kami kira itu terlalu melangit-langit. Kami
F I LO S O F J U GA M A N US I A 193