Anda di halaman 1dari 13

Filsafat, Hal-Hal Memalukan, dan

tentang Kekosongan Itu


Muhammad Yaser Arafat

Seandainya nasib dan kehidupan


para filosof tak jauh berspasi dengan kehi-
dupan Syahrini, tentu filsafat tak akan me-
nyiratkan aura malam Satu Suro. Bahkan
sebaliknya, filsafat akan memikat perhatian
dan minat banyak orang. Buku-buku filsafat
melaris dengan sendirinya. Mungkin, saat
setiap stasiun televisi akan menggelar acara
ceramah filsafat dan atau mengadakan kon-
tes adu bakat menjadi filosof—seperti In-
donesian Idol dan sespesiesnya—pemenang
kontes itu, kelak, akan dikejar-kejar untuk
diajak ber-selfie oleh anak-anak ABG yang
masih unyu-unyu dan kenyes-kenyes.
Tapi, itu mimpi kering, tentu saja. Ka-
rena, kalau basah, pasti enak. Soalnya, sam-
182 FA H RU D D I N FA I Z

pai hari ini, filsafat masih dianggap sebagai rumah angker. Seperti
diterangkan Kyai Faiz di bagian pendahuluan buku ini, filsafat
malah sering tampil sebagai amal sia-sia bagi manusia kurang
kerja. Lantas, apa bisa manusia melarikan diri dari filsafat? Jelas
tidak bisa. Sejak kepala kita menyembul dari rahim ibu, menangis,
mencecap madu, kita telah “diwajibkan” untuk berfilsafat. Bukan
dalam arti filsafat sebagai hal-hal njlimet bertatahkan kata-kata
keramat, macam apa itu eksistensi, esensi, aksidensi, atau solasi yang
termaktub dalam lipatan lusuh berjilid-jilid buku. Namun, filsafat
sebagai cara untuk menjadi manusia sebagai manusia.
Untuk tujuan mulia itu, manusia membutuhkan bekal, yaitu
pencarian. Di sanalah kita akan berjumpa dengan para pendahulu.
Di antara mereka, tentu saja adalah para filosof yang ditulis oleh
Kyai Faiz di buku ini. Ada banyak rumus-rumus filosofis yang me-
reka anggit. Tentu bukan untuk sekedar di-copy paste. Melainkan
untuk dikritik, diruntuhkan, dibangun, dikonfirmasi, dan entah di-
apakan lagi. Atas dasar itu, seorang Bryan Magee, visiting professor
di King’s College, London, dalam buku Memoar Seorang Filosof:
Pengembaraan di Belantara Filsafat (Mizan, 2005: 727), menuding
Karl Popper dan Nietzsche sebagai pembincang problem-problem
yang rendah nilainya, meskipun mereka telah menggali wawasan-
wawasan baru.

Perjumpaan Hal-Hal yang Memalukan


Mengapa demikian? Bukankah keengganan untuk meng-copy
paste pikiran-pikiran para filosof dan bahkan—seperti yang diulah-
kan oleh Magee—merendahkan mereka merupakan perwujudan
kesombongan atau kecongkakan? Tentu saja tidak. Justru di sana-
lah, nama besar Popper dan Nietzsche, serta para filosof lainnya,
harus berterima kasih. Sebab, mereka telah diselamatkan dari pe-
F I LO S O F J U GA M A N US I A 183

ngudusan. Mereka telah tetap ditempatkan sebagai manusia biasa.


Ya! Manusia biasa. Tidak ada filosof yang menyerupai atau menjadi
manusia macam lelaki bernama Fahri dalam film Ayat-Ayat Cinta.
Itu semangat yang saya endus dari buku Kyai Faiz ini.
Lantas, apakah filosof itu harus manusia? Apa perlunya filosof
harus menjadi manusia? Mengapa tidak manusia saja yang harus
menjadi filosof ? Apakah kalau tidak jadi manusia, tidak bisa jadi
filosof ? Lantas, mengapa pula filosof harus menjadi manusia? Ke-
napa hanya manusia saja yang bisa menjadi filosof ? Apakah tidak
bisa manusia menjadi manusia tanpa harus menjadi filosof ? Apa-
kah tidak bisa filosof menjadi filosof tanpa harus menjadi manu-
sia? Apa untungnya manusia menjadi filosof ? Apa ruginya filosof
bila tidak menjadi manusia?
Entahlah. Saya tergolong makhluk daif untuk menjawab per-
tanyaan-pertanyaan yang berketiak-ular di atas. Meskipun semua-
nya membrojol dari pikiran saya setelah membaca buku ini. Yang
saya tahu, semua orang besar dalam sejarah bukan manusia nir-
cela. Apalagi, cuma seorang filosof. Mereka, seperti halnya saya,
dilahirkan dan dibentuk oleh berbagai perjumpaan hal-hal yang
“memalukan”.
Bila digali-gali, sejarah Islam pun dimulai dengan hal-hal
yang memalukan. Coba perhatikan sejarah berdirinya Daulat
Umayyah yang diawali oleh intrik politik pada era Baginda Ali bin
Abi Thalib. Begitu juga berdirinya Daulat Abbasiyah yang diawali
oleh kisah-kisah sikat-sikut khianat. Untungya, betapa pun busuk-
nya intrik politik yang dikerjakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
dan Abu Ja’far al-Manshur, tetap saja mereka dianggap sebagai
pelopor pendirian sebuah daulat politik. Kelak, mereka semacam
mendapat anugerah penyucian nama lewat prestasi anak-cucu ma-
sing-masing dinasti.
184 FA H RU D D I N FA I Z

Jadi, seluruh hal memalukan yang ditenun oleh para filosof


dan orang-orang besar, akan dipandang sebagai bagian dari ren-
tetan panjang “kekudusan”. Riwayat kemelaratan, perselingkuhan,
kelainan, dan kegilaan Karl Marx, G.W.F. Hegel, Martin Heideg-
ger, Michel Foucault, barangkali tidak akan menuai kuadrasi caci-
cerca. Kritik yang disasarkan kepada mereka biasanya hanya akan
dikurung pada persoalan produk pemikiran. Di luar itu, dianggap
sebagai urusan pribadional. Dalam saleh dan salahnya, para filo-
sof dan orang-orang besar akan lebih mudah menerima permak-
luman. “Orang besar itu baiknya banyak, buruknya juga banyak”,
begitu kata mantan veteran perang Republik Indonesia, Roeslan
Abdul Ghani, saat diwawancarai oleh sebuah media besar ibu kota.
Itulah risiko menjadi manusia. Ada takdir yang tidak bisa
diganti-ganti. Manusia dikenakan kewajiban untuk mengarungi
segala hal yang lurus dan bengkok sekaligus. Miranda Risang Ayu
pernah menulis: hanya manusia yang memanusialah, yang suka ber-
tanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks
memanusia adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang se-
perti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah
orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap “ang-
kuh” dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini
sesuatu. Saya lupa itu ia menulis kalimat bijak itu di buku apa.
Hanya saja, saya pernah membacanya sewaktu masih belum kenal
Jurgen Habermas.

Bocoran
Ada satu hal penting yang tidak diangkat oleh buku Filosof
Juga Manusia karya Kyai Faiz ini. Bahwa sebagian besar filosof
sebenarnya adalah orang Jawa atau keturunan Jawa. Misalnya John
F I LO S O F J U GA M A N US I A 185

Dewey, filosof Mazhab Pragmatisme dari Amerika Serikat. Nama


sebenarnya adalah Jono. Karena merantau ke Amerika sendirian,
maka ia menambahi kata “Dewe” di belakang namanya. Dewe,
Bahasa Jawa, artinya sendiri. Begitu dia memperkenalkan diri-
nya kepada orang-orang Amerika, lidah pendek orang Amrik itu
spontan menyebut: John Dewey. Sejak itulah nama John Dewey
dikenal sampai hari ini.
Lain John Dewey, lain pula Auguste Comte, filosof Mazhab
Positivisme dari Prancis itu. Auguste Comte itu juga aslinya orang
Jawa. Tepatnya, Jawa Tengah. Mungkin dari Kebumen. Nama
sebenarnya: Agus Sukamto. Lidah orang Prancis terlalu pendek.
Sehingga, Agus Sukamto mereka eja dan tulis menjadi Auguste
Comte seperti dikenal dalam buku-buku. Begitu juga Emile Dur-
kheim, penggagas Mazhab Fakta Sosial dalam sosiologi dari Pran-
cis itu. Dia asalnya dari Jawa Timur. Tepatnya, Surabaya. Nama as-
linya: Emil Dur Rohim. Tapi, ya, itu tadi, nama Jawa-nya terpaksa
dijadikan korban kependekan lidah orang Prancis.
Tetangganya Emile Durkheim di Surabaya, Cak Ghofur, juga
melanglang-buana. Bahkan, sampai Argentina. Tapi, oleh lidah Ar-
gentina, akhirnya namanya dilafalkan menjadi Che Guevara. Nah,
waktu dia berkunjung ke Indonesia pada masa awal usia republik,
ia sengaja menemui Soekarno yang beberapa tahun sebelumnya
merupakan teman satu kostnya di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.
Saya lupa, entah tahun berapa itu. Yang jelas, pertemuan mereka
itu sebenarnya semacam reunian sesama anak didik Pak Tjokro.
Mungkin pas ketemu itu, mereka saling berjancuk-jancukan. Tak
ubahnya Cak Nun bertemu Sujiwo Tejo.
Menurut penelusuran Kyai Kirik Sepuh, pimpinan Majelis
Taklim “Kalbun Salim”, ada banyak tokoh ilmuan dari Eropa yang
186 FA H RU D D I N FA I Z

keturunan Jawa. Cuma, ya itu tadi, nama-nama mereka harus me-


ngalami nasib sial: menjadi korban lidah orang bule. Misalnya, Clif-
ford Geertz. Sang antropolog hermeneutik itu asalnya dari Kediri.
Nama aslinya: Klopo Giarto. Sedangkan Ward Goodenough ber-
asal dari Pati, Jawa Tengah. Nama aslinya: Wardi Godonogo. Ada
juga filosof eksistensialis Denmark yang peranakan Jawa-Batak.
Nama aslinya: Surono Kirik Siregar. Tapi, oleh orang Denmark,
dibaca: Soren Kierkegaard. Sedangkan Claude Levi-Strauss, filo-
sof strukturalisme dari Prancis, itu keturunan Arab-Yahudi-Batak.
Nama aslinya: Khalid Levi Sitorus.
Sama halnya dengan Petruk, yang waktu merantau ke Inggris,
sering dipanggil: Patrick. Atau Joko, yang berbarengan dengan
Petruk bekerja sebagai buruh harian di stadion Old Traffold, yang
punya panggilan: Jack. Bahkan, Aristoteles juga sama-sama ber-
asal dari Jawa. Nama aslinya Aristo. Karena ia sering berguru dan
berjumpa dengan Nabi Khidir di laut akhirnya baju dan badan Si
Aristo jadi basah kuyup kena air. Atas dasar itu, orang-orang Yu-
nani memanggilnya: Aristo Si Basah. Basah, dalam bahasa Jawa
adalah: teles. Sejak itu, namanya jadi: Aristoteles. Akan halnya Soc-
rates, gurunya Aristoteles, juga sama. Ia berasal dari Jawa. Nama
aslinya: Sukarto.

Ngaji Filsafat Sekelebat Singkap


Saya harap Anda tak terlalu memasang wajah serius tatkala
membaca kalam pamungkas ini. Saya hanya disuruh oleh para qit-
hmir-qithmir Masjid Jendral Sudirman (MJS) Yogyakarta untuk
mempercuapkan lansiran kabar tentang secimit asal-usul Ngaji
Filsafat di MJS. Soalnya, sebagaimana didaku oleh Kyai Fahrud-
din Faiz, buku ini merupakan pengembangan singkat-padat atas
materi “ngaji filsafat” di MJS yang diadakan setiap malam Kamis,
F I LO S O F J U GA M A N US I A 187

setelah Isya. Ngaji Filsafat itu acara ngaji berjangka kurang-lebih 2


(dua) jam tanpa jeda. Topik bahasannya ya filsafat, pemikiran para
filosof, serta kearifan-kearifan kaum cerdik-cendekia dari berbagai
masa. Sejak filsafat lahir di Yunani sekira 6 abad sebelum Masehi
sampai hari ini. Mulai dari Thales sampai Pierre Bordieu, Ibnu
Thufail sampai Ibnu Arabi, Hermes sampai Semar.
Kini, Ngaji Filsafat di MJS sudah memasuki edisi yang entah
keseratus berapa. Saya jadi teringat pada standar keistiqomahan
dalam beramal sebagaimana digariskan oleh para ulama. Bila sela-
ma 40 hari atau 40 kali sebuah amal bisa dikerjakan tanpa putus,
maka amal tersebut akan mendatangkan banyak keberkahan, ke-
muliaan, dan kemanfaatan. Mudah-mudahan, sampai kapan pun
Ngaji Filsafat ini tetap digelar. Meskipun wajah para punggawa
MJS sudah berganti seturut pergantian para santri Ngaji Filsafat
dari era ke era.
Apakah ngomongin filsafat selama dua jam lebih itu tidak ma-
buk? Stres? Hanged? Linglung? Entahlah. Tapi, untuk menganti-
sipasi penyakit-penyakit manusia modern itu, telah disediakan teh
anget, bergantian atau beriringan dengan kopi kental, plus makan-
an sederhana. Gratis. Tis. Tis. Tis. Di tempat lain, acara serupa
bisa menyebabkan kantong kering atau dompet kosong. Ditambah
lagi, bisa langsung berkonsultasi tanpa jeda dengan Kyai Faiz. Itu
juga bebas biaya.
Dulu, sekira Maret-April 2013, sewaktu pertama kali ber-
mufakat untuk mengadakan ngaji bid’ah kifayah ini, kami opti-
mis orang yang hadir paling-paling cuma sedikit. Sekira 10 atau
15 orang saja sudah syukur sangat. Ditambah lagi, filsafat masih
termasuk benda asing di masjid. Di seluruh dunia ini, apa ada
masjid yang secara sengaja menggelar acara kajian filsafat? Setahu
188 FA H RU D D I N FA I Z

kami, baru Masjid Salman ITB Bandung. Itupun tidak setiap pe-
kan. Hanya bulanan dan mungkin kondisional. Selebihnya, nehi.
Maklumlah, filsafat itu barang berat. Ia seirama dengan olah pikir
tingkat Dewa Syiwa. Jadi, bila yang hadir cuma beberapa kepala,
ya maklum sajalah.
Ternyata, pas pertemuan pertama digelar pada hari Ming-
gu Kliwon, tanggal 21 April 2013, ada lebih dari 40 orang yang
menghadirkan jiwa-raganya. Ini di luar suuzzhon hasanah kami.
Tiba-tiba muncullah konspirasi intelektual di sela-sela pertemu-
an selama satu hari penuh itu. Nampaknya, perlu menggelar lagi
acara ngaji filsafat rutin. Terutama untuk hadirin-hadirat yang
mau jadi “gila”. Lalu, kepada satu di antara pemateri, yaitu Kyai
Fahruddin Faiz, kami menghaturkan permintaan untuk bersedia
menjadi pengampu tetap kelas Ngaji Filsafat. Alhamdulillah, be-
liau bersedia.
Sekira selang beberapa pekan, akhirnya kami menyepakati
untuk memilih Rabu Malam atau Malam Kamis sebagai hari baik
Ngaji Filsafat. Bakda Isya atau sekira pukul 20.00 sampai pukul
22.00. Sepenghitungan kami, peserta yang hadir di pekan-pekan
pertama kali itu paling-paling sekira 10-30 orang. Naik-turun.
Ternyata, sampai hari ini hadirin-hadiratnya mencapai 50-70
orang setiap pekan. Terkadang, sepeda motor yang diparkirkan di
halaman MJS itu cuma berjumlah 32 biji. Tapi yang sering terjadi,
satu motor dipantati oleh dua manusia. Itu belum terhitung para
pengunduh unggahan setiap rekaman yang rata-rata di atas 200
kali unduhan. Belum pula terhitung hadirin-hadirat dari bangsa
lelembut.
Telah ada lebih dari dua generasi berganti yang hadir di maje-
lis filsafatan ini. Selalu saja ada wajah-wajah yang baru menampak-
F I LO S O F J U GA M A N US I A 189

kan giginya. Alumni Ngaji Filsafat generasi pertamanya, seperti


Mbak Intan Nuzulisnaini, malah sudah mendosen di UIN Malik
Ibrahim, Malang, Jawa Timur yang pada waktu melakukan muhi-
bah ke Jogja bersama entah 2 bus besar berisi para mahasiswanya,
sengaja datang ke MJS untuk minta dikuliah-filsafati oleh Kyai
Faiz. Selain Mbak Intan, generasi pertama ngaji filsafat ini ter-
masuk Mas Autad yang hingga kini masih tetap setia menjomblo
bersama Mas Masngud,Bang Jeksen, Mas Azis, Mas Arif, Mbak
Aries, Mas Shidqi, Mas Khozin, dan entah Mas atau Mbak siapa
lagi. Sementara dari bangsa lelembut, sampai hari ini yang hadir
selalu ada beberapa. Kami tidak tahu namanya. Hanya saja mereka
rata-rata memang datang untuk tholabu ‘ilmil falsafah.
Kyai Faiz sendiri, suatu kala pernah ditanya oleh seorang san-
tri Ngaji Filsafat: Pak, sampai kapan filsafat itu dipelajari dan sampai
kapan pula Ngaji Filsafat ini dilaksanakan?. Kyai Faiz, sambil agak
meringis menjawab: Sak kapokmu! [sampai kamu kapok belajar fil-
safat!]. Wakakakakakkakakakakak. Saya sering ber-hahahihi sendiri
waktu mengingat jawaban ini. Memang, kalau dipikir-pikir secara
tidak serius, kami juga belum tahu sampai kapan kami berhenti
mengadakan Ngaji Filsafat—dan memang, belum pernah ada pi-
kiran untuk berhenti. Soalnya, selama masih ada pertanyaan “apa”
dan “mengapa”, selama itu pula kami terjerumus ke dalam lubang
nikmat penggelaran Ngaji Filsafat.
Oiya, kami sengaja memilih Kyai Faiz untuk mengampu kelas
ini. Kami menyadari bahwa kuliah filsafat yang pertama kali beliau
antarkan di pertemuan perdana itu telah membuka dada kami. Be-
tapa mudahnya filsafat dan berfilsafat. Selama ini, kami hanya tahu
filsafat sebagai benda pemberat kepala, penyempit hati, pemubazir
saat, pemboros tempat. Tapi dari lidah Kyai Faiz, filsafat menjadi
190 FA H RU D D I N FA I Z

makanan renyah, sederhana, dan classy. Rasanya keren sekali kalau


sudah ikut Ngaji Filsafat. Terlebih lagi, kami jadi insyaf betul bah-
wa dunia sehari-hari manusia itu sangat filsafati dan sesak dengan
bunga-bunga filsafat. Masyarakat umum dan terlebih lagi maha-
siswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan di mana saja,
sebaiknya menyimak rekaman-rekaman Ngaji Filsafat yang sudah
kami sebarkan ke dunia maya. Supaya kelezatan filsafat itu bisa
dinikmati bersama-sama.

Kenapa “Ngaji Filsafat”?


Istilah “ngaji filsafat” bermula dari selentingan sesukanya. Ti-
dak lebih. Supaya terkesan njawani, ngakrabi, ngerakyat, ringan,
santai, dan pokoknya yang gitu-gitulah. Kalau mau dicari-cari alas-
an antropologisnya, kira-kira itu cuma diasaskan pada kebiasaan
orang Jawa memakai istilah “ngaji”. Lagipula, kalau dipakai istilah
“kuliah” filsafat, kesannya malah semakin memperberat beban. In-
tinya, tidak ada dasar pikiran berlebih di balik pemilihan istilah
“ngaji”. Sekali lagi, itu hanya istilah seenaknya.
Cuma, rupanya Kyai Faiz punya alasan hermeneutis di ba-
lik istilah “ngaji” itu. Ketika berceramah di depan mahasiswa dari
UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur, yang sedang
menyambangi MJS, Kyai Faiz mengungkapkan maksud dari pe-
milihan kata “ngaji” di sana, yang diambil dari kata dasar “aji”. “Aji”
artinya ‘(ke)mulia(an)’. “Ngaji” berarti ‘upaya untuk menjadi mulia’
atau ‘mencari kemuliaan’. Dalam bahasa Islam, “aji” sepadan de-
ngan kata: karamah. Jadi, menurut Kyai Faiz, “ngaji filsafat” ber-
arti‘ upaya mencari kemuliaan dan menjadi mulia dengan filsafat’.
Waw! Kami serasa menemukan dalil naqli paling sahih untuk pi-
kiran sembrono kami! Tapi, alhamdulillah-lah! Itu sesuatu banget!
F I LO S O F J U GA M A N US I A 191

Barangkali, karena telah didoakan sebagai wahana atau sa-


rana untuk meng-aji atau menjadi mulia atau mencari kemulia-
an itulah, maka Ngaji Filsafat serasa membrojolkan riwayat ke-
manfaatan bagi berbagai kalangan. Alkisah, ada seorang kawan di
bumi Andalas yang bilang pada kami bahwa ketika ia mendengar
rekaman-rekaman Ngaji Filsafat MJS itu, ia merasa lebih mema-
hami hermeneutika yang disampaikan oleh Kyai Faiz ketimbang
hermeneutika yang disampaikan oleh seorang dosen dari kampus
filsafat ternama di Indonesia dalam ceramahnya di sebuah lem-
baga kebudayaan besar di Jakarta. Beberapa komentar senada lain
juga banyak kami terima. Ada yang menyampaikan langsung ke-
pada kami. Ada pula yang dikabarkan melalui komentar maupun
pesan inbox di Facebook. Intinya ada banyak orang yang merasa
terbantu oleh Ngaji Filsafat.
Sekedar bocoran, Kyai Faiz pun hari ini sudah punya banyak
fans. Kami sering ditagih untuk cepat-cepat mengunggah rekam-
an setiap episode Ngaji Filsafat oleh para fan Kyai Faiz itu. Tak
jarang, gara-gara para fan itu, kami merasa sebagai pemilik utang
tatkala kami belum melaksanakan tugas sedekah unggah rekam-
an Ngaji Filsafat ke dunia maya. Tagihan, teguran, dan saran para
fan Kyai Faiz itu terus terang menyadarkan kami tentang cerita
anak-anak bangsa yang ikut menikmati karamah Ngaji Filsafat.
Bahkan, di antara mereka ada fans garis keras yang sibuk bertanya
pada kami tentang asal-usul Kyai Faiz: di mana rumahnya, siapa
istrinya, berapa anaknya, apa warna favoritnya, sampai ukuran baju
dan celananya! Hahahhahahahahaha.
Salah seorang fan, pada tengah tahun 2015, malah telah me-
nerbitkan buku yang lahir dari pengalamannya berinteraksi de-
ngan Ngaji Filsafat. Ia seorang pegiat literasi, sastra, budaya, yang
192 FA H RU D D I N FA I Z

masih bujang. Berasal dari Riau. Namanya Darwin. Ia juga yang


sering kami mintai bantuan untuk menyemarakkan Ngaji Filsa-
fat. Kami biasa memanggilnya Jeksen. Buku karyanya itu berjudul
Filsafat dan Cinta yang Menggebu (Yogyakarta: The Phinisi Press,
2015). Darwin menulisnya sebagai refleksi pribadi merangkap
tanggapan materi-materi kuliah Kyai Faiz. Sayang, waktu itu MJS
sedang mengalami kendala pengurusan akta pendirian penerbit
MJS Press. Sehingga, buku itu tidak bisa diterbitkan melalui MJS.
Akhirnya, Darwin menerbitkannya bersama komunitasnya sendi-
ri. Mudah-mudahan buku itu bisa diterbitkan ulang oleh MJS.

Nasib Filsafat
Kira-kira begitulah sejarah padat Ngaji Filsafat di MJS. Sam-
pai hari ini Ngaji Filsafat boleh didatangi oleh semua umat agama,
semua suku-bangsa, semua jenis kelamin, semua mazhab, semua
usia. Yang paling menarik untuk kami secara pribadi adalah fak-
ta bahwa dengan lantaran Ngaji Filsafat, masjid menjadi medan
budaya yang ditawafi oleh orang-orang berpakaian belel, berbaju
kaos, bercelana jeans robek-robek, bercelana pendek, para pero-
kok, para pengopi, dan para pejilbab dari berbagai macam gaya.
Tak ketinggalan, tentu saja, orang-orang jomblo yang berniat
menjadi keren bersama filsafat. Memang, kalau direnung-renung-
kan lebih jauh, masjid tidak harus diramaikan oleh orang-orang
yang melulu mau menyembah Tuhan melalui rapalan mantra-
mantra saja, tapi juga oleh para pencari kebenaran. Juga tentu saja
para setan. Kasihan setan seumur hidupnya tidak pernah diberikan
ruang kesalehan.
Terakhir, sebenarnya ada alasan heroik di balik penggelaran
Ngaji Filsafat ini. Tapi kami kira itu terlalu melangit-langit. Kami
F I LO S O F J U GA M A N US I A 193

masih terlalu dungu untuk membicarakannya. Biarlah itu menjadi


bahan diskusi di dunia-dalam MJS saja. Intinya, Ngaji Filsafat ini
dibuat hanya untuk mengisi kekosongan. Di masjid-masjid lain,
dapat dibilang nyaris belum ada yang memberikan ruang bagi fil-
safat. Kami rasa filsafat telah sedang dipinggirkan di masjid. Ia ka-
lah oleh kajian-kajian keagamaan populer, semisal fikih, dakwah,
ibadah, dan serial kajian beraroma ngepop tapi berciri purifikasi.
Jangankan di masjid, di kampus-kampus di Yogyakarta saja agak-
nya filsafat telah tersisihkan. Meskipun ada mata kuliah “Filsa-
fat Umum”, tapi belakangan mahasiswa generasi pop Korea telah
tampak tercerabut dari tradisi berpikir filsafati.
Karena itu, atas dasar kerja pengisian kekosongan itulah,
Ngaji Filsafat disuguhkan untuk ikhwan-akhwat fillah dan ikh-
wan-akhwat fil iblis sekalian. Senafas dengan ngaji-ngaji lain yang
senasib dengan filsafat. Wes ngono thok! Wallahu a’lam.

Medan, 15 Rajab 1437 H, sambil membakar dupa

Muhammad Yaser Arafat


(Buruh harian MJS, penyuka filsafat dan blues)

Anda mungkin juga menyukai