Anda di halaman 1dari 6

5.

ABU HAMID BIN MUHAMMAD BIN


MUHAMMAD AL-GHAZALI.
(450-505 H. 1058-1111 M.).

APRIL 1937.

Sedikit perbandingan dengan David Hume (1711 — 1776).


Langkah pertama kepada Causaliteitsleer (Al-Musabbibat).

Sedjarahnja.
Al-Ghazali, ialah seorang ulama ilmu-kalam jang terbesar dalam
mazhab Sjafe'i pada zamannja, dilahirkan di Thus, jakni satu kota
di Churasan, dalam th. 450 H. (1058 M.).
Setelah mempeladjari beberapa ilmu dinegeri tersebut, berang-
katlah Al-Ghazali kenegeri Nisapur. Disanalah mulai kelihatan
tanda2 ketadjaman otaknja jang luar biasa. Berhubung dengan ke-
mahirannya dalam falsafah dan ilmu-alam, ia lantas dilantik djadi
guru di Perguruan Nizhamijah di Bagdad.
Dalam umur 33 tahun, Al-Ghazali telah termasjhur dalam kalang-
annja dimasa itu. Dalam tahun 484 H. ia pergi ke Mekah menjem-
purnakan rukun Islamnja. Setelah selesai mengerdjakan hadji, ia
terus ke Damaskus, Baitulmakdis, dan Aleksandria memberi pela-
djaran diuniversitet jang ada di-kota2 tersebut. Kemudian kembali
ke Thus dan mulai dari waktu inilah Al-Ghazali menghabiskan
umurnja dengan berfikir dan menulis bermatjam kitab, menerang-
kan bagaimana perbedaan dan kelebihan Agama Islam dari agama2
jang lain dan dari falsafah jang mana sadja. Oleh karena itulah, ia
digelari dengan „Huddjatul'Islam" dan „Zainud'din". (Hiasan
Agama).

Pusaka. 1

Siapakah dalam golongan agama dinegeri kita ini jang tak kenal
dengan kitab Ihja'-'Ulumud-din jang empat djilid besar itu dengan
Mau'izhatulmuk'minin dan lain2-nja buah tangan Al-Ghazali ?
Kitab „lh]a" ialah suatu buku-standard, terutama tentang achlak
jang mendapat perhatian besar sekali di Eropah, dan telah diterdje-
mahkan kedalam beberapa bahasa jang modern. Dalam hal ini
adalah Imam Al-Ghazali dalam kalangan umat Islam sebagaimana
Thomas a Kempis*) dalam kalangan kaum Kristen jang masjhur
berhubung dengan karangannja „De Imitatione Christi" jang
sifatnja mendekati „lhja"', tapi dipandang dari pendidikan Kristen.
Dua kitabnja- jang kurang dikenal dinegeri kita ini, akan tetapi
sangat terkenal didunia Barat, malah menjebabkan perang pena
antara ahli2 falsafah, ialah kitab Maqashidul-falasifah (Maksudnja
ahli falsafah) dan Tahafutul-falasifah (Kesesatan ahli falsafah).
Kitab jang pertama berisi ringkasan dari bermatjam ilmu falsafah,
mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini diterdjemahkan oleh Do-
minicus Gundisalvus kebahasa Latin diachir kurun ke 12 M.
Kitab jang kedua memberi kritik jang tadjam atas sistem falsafah
jang telah diterangkannja satu persatu dalam „Maqashidul-falasi-
fah". Malah kenjataan, Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam ki-
tabnja jang kedua itu, bahwa maksudnja menulis kitab Maqashid,
ialah guna terkumpulnja lebih dulu bahan2 untuk orang jang mem-
batja,. jang nantinja akan dikritiknja satu persatu dalam kitab
„Tahafut".
Dibelakang harinja Ibnu Rusjd membantah akan pendirian Gha-
zali dalam hal falsafah itu dengan menulis satu kitab jang ia na-
makan „Tahafut-tahafutul-falasifah".

Al-Ghazali dan David Hume.


Sebagai filosof, Ghazali mengikuti aliran falsafah jang boleh
dinamakan „mazhab hissijat", jakni jang kira2 sama artinja dengan
„mazhab perasaan". wSebagaimana filosof Inggeris David Hume
(1711-1776 M), jang mengemukakan bahwa perasaan adalah se-
bagai alat jang terpenting dalam falsafah, diwaktu dia menentang
aliran rasionalisme, jakni satu aliran falsafah jang timbul diabad
ke 18, jang se-mata2 berdasar kepada pemeriksaan. pantjaindera
dan akal manusia, demikian pula Imam Ghazali membangkitkan
reaksi atas aliran falsafah jang sampai kezamannja.
David Hume mengemukakan bahwa: „Kesudahannja semua keja-
kinan kita kembali kepada perasaan. Akal se-mata2 tidak memberi
kejakinan jang sebenarnja, walaupun dimana".5)
4) Hidup 1379—1471.
5) Schliesslich kommt dennoch alle unsre Uberzeugung auf ein Gefiihl zuriica; blosses
Rasonnement versichert uns nirgends einer Wirklichtkeit (Rudolf Eucken: „Lebens-
anschauungen der grossen Denker" S. 387).
Demikian pulalah jang telah dikemukakan Imam Ghazali, 700
tahun terlebih dulu. Ghazali mengakui, bahwa perasaan (hissijat)
itu boleh keliru djuga akan tetapi akal manusia djuga tidak terpeli-
hara dari kesesatan dan tidak akan dapat mentjapai kebenaran se-
sempurna2-nja dengan sendirinja sadja, dan tidak mungkin dapat
dibiarkan bergerak dengan se-mau2-nja. Maka achirnja Imam G/ia-
zali kembali kepada apa jang beliau namakan „dharurijat" atau ak-
sioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidajah
jang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Kalau Imam Ghazali oleh karena ini tidak dinamakan seorang
filosof-'aqli, maka itu tidak berarti bahwa akalnja kurang dipakai-
nja dari pada filosof jang lain2.

Tak kurang Al-Ghazali mengupas falsafah Socrates, Aristoteles


dan memperbintjangkan pelbagai masalah jang sulit2 dengan tjara
jang halus dan tadjam sekali dalam kitabnja jang tersebut diatas.
Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan tak kurang pula
menjusun ilmu-kalam jang tahan udji dibandingkan dengan
karangan2 filosof jang lain. Semua ini menundjukkan ketadjaman
akalnja dan memakai akal itu sebagai salah satu ni'mat jang dikur-
niakan Allah kepada manusia. Tapi dalam pada itu, ia tidak hendak
lupa, bahwa akal inipun dapat bekerdja hanja sampai kepada suatu
batas jang tak dapat dilampaui. Apabila filosof jang lain masih
terus djuga menurutkan akal itu ke-mana2, dibawa oleh akal itu
sendiri, walaupun sudah tidak medan pekerdjaannja lagi, — serta
mendjadi akal sebagai hakim jang penghabisan dalam semua hal —,
disaat jang demikian itu Imam Ghazali tidak enggan berkata dengan
chusju' wallahu a'lam !, — „Allah jang lebih mengetahui!" — dan
kembali kepada „Kitab (Al-Quran), jang tak sjak lagi mendjadi
petundjuk bagi mereka jang takwa".6)

Causaliteitsleer.
Jang dimaksud dengan causaliteitsleer itu, ialah kaedah tentang
perhubungan sebab dengan musabbab. Kaedah ini mendjawab per-
tanjaan : Bilamana timbul dua hal, apakah sjaratnja maka boleh
kita menetapkan bahwa jang satu mendjadi sebab bagi jang lain ?
Maka umum ahli fikir Barat berpendapat bahwa David HumeAah.

6) Q.s. A'l-Bagarah: 2.
jang mula2 sekali mengupas masalah ini. David Hume memulai de-
ngan menolak bahwa kalau ada hal, A dan B maka tidak boleh
dikatakan begitu sadja bahwa A mendjadi sebab dari B. Ada tiga
sjarat jang dia kemukakan, jaitu :
(1) A — B mesti ada perhubungan antara satu dengan jang lain
(conjunction).
(2) A dan B harus berdahulu-berkemudian (priority).
(3) Perhubungan dan kedjadian jang sematjam itu harus ber-ulang2
beberapa kali (frequency).

Bukan se-kali2 maksud kita hendak mengurangi djasa David Hu-


me sebagai „ontdekker" causaliteitsleer itu, tapi perlu, djangan di-
lupakan, bahwa 700 tahun sebelumnja David Hume, telah pernah
seorang filosof Muslim didaerah Timur mengupas masalah ini dalam
kitabnja Tahafutul-falasifah. Se-kurang2-nja harus diakui, bahwa
sesungguhnja sudah dilangkahkan langkah jang pertama kedjurus-
an ini. Marilah kita dengarkan sedikit kesimpulan perkataan Imam
Huddjatul-Islam ini tentang itu, sebagai tjontoh :
„Bahwasanja apabila berkumpul dua perkara (hal) bersama1
maka belum ada dalam keadaan itu dalil jang tepat, bahwa jang
pertama mendjadi sebab dari jang kedua...".
„Adapun jang dinamakan oleh ahli falsafah dengan kanun tabiat
(naiuurwet) atau kaedah 'Ulat (causaliteit) ialah suatu perkara, jang
terikat pada iradat Allah, dan jang kita terima sebagai urusan jang
benar kedjadian (positiviteit); karena Allah dalam ilmu-Nja men-
dahului segala perkatra, mengetahui kedjadian perkara*, kemudian
ia adjarkan kepada kita. Maka harus diinsafi tidak ada tabiat jang
mengikat iradat Tuhan jang Mahakuasa dan Mahatinggi itu".
Demikian Ghazali.
Aneh ! Hal ini rupanja tidak hendak diingat orang.
Dan kalau kita ketahui bahwa seorang filosof Barat sebagai Im-
manuel Kant mengakui, bahwa David Hume-lah jang membukakan
matanja, dapatlah kita me-ngira2-kan betapa besar kadarnja ke-
kuatan ruhani dari Ghazali dibandingkan dengan filosof2 jang
masjhur di Barat itu.

Tasauf dan Fiqh.


Dalam zaman Al-Ghazali masih berkobar pertentangan antara
ahli tasauf dan ahli fiqh. Maka salah satu dari usaha Imam Ghazali
ialah merapatkan kedua belah pihak jang bertentangan itu. Al-
Ghazali mendapat teman jang sepaham dan djuga mendapat lawan
jang menentang pendiriannja. Baik semasa hidup ataupun sesudah
berpulang kerahmatullah. Antara lain dari orang2 jang tidak se-
paham dengan Ghazali dalam beberapa hal, adalah ibnu Rusjd, Ibnu
Taimijah, Ibnu Qaijim, dan lain2 dari ahli fiqh.
Di Eropah Barat, Ghazali mendapat perhatian besar. Ia mendapat
penghargaan umpamanja dari filosof Perantjis, Renan, pudjangga2
Cassanova, Carra de Vaux, dll.
Dr. Zwemer, mustasjriq Inggeris jang kenamaan itu, pernah me-
masukkan Imam Chazali djadi salah satu dari empat orang pilihan
pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah s.a.w. sendiri sampai ke-
pada zaman kita sekarang ini, jakni:
( 1 ) Muhammad s.a.w. sendiri,
(2) Al-Buchari,
(3) Al-Asj'ari, dan
(4) Al-Ghazali.
Dalam tahun 505 H. (1111 M.), Imam Ghazali mendapat husnul-
chatimah, meninggalkan pusaka jang tak dapat dilupakan oleh kaum
Muslimin dan meninggalkan djuga pangkal perpetjahan paham an-
tara "mereka jang setudju dengan jang tak setudju dengan buah
fikirannja, ialah suatu hal jang galib diterima oleh tiap orang jang
berdjalan dimuka merintis djalan baru, jang mendengarkan suara
kejakinan jang teguh jang berbisik didalam hati, dan tidak hendak
turut2 kehilir-kemudik seperti putjuk aru diembus angin.

Dari Pedoman Masjarakat.


M.Natsir
.

Anda mungkin juga menyukai