Tragedi Komunikasi ditandai dengan semakin banyaknya orang yang suka berkata
bohong (menciptakan Hoax), memutar balikkan fakta, memelintir perkataan sehingga
menimbulkan penafsiran yang salah, menggiring opini publik ke tujuan tertentu sampai
mengorbankan orang lain dan membunuh karir seseorang karena stigma (cap) yang
ditorehkan pada seseorang/kelompok oleh orang atau kelompok lain.
Tragedi kemanusiaan itu terjadi karena propaganda Hitler (Nazi) pada bangsa
Jerman, melalui Joseph Goebbels. Hoax disebut sebagai berita bohong, namun karena
kebohongan ini diulang-ulang berkali-kali dan tidak ada proses klarifikasi dari lembaga
independen yang memiliki kekuatan hukum, maka kebohongan yang menyebar ini
seakan-akan menjadi sebuah kebenaran lalu disebarkan kemana-mana dan akhirnya
menjadi “kebenaran” publik padahal sebenarnya merupakan kebohongan publik.
Hoax bisa merusak reputasi seseorang, membunuh karir politik seseorang. Ahok
(Basuki Tjahaja Poernama) adalah contoh orang yang reputasi dan karir politiknya
dihabisi oleh kelompok tertentu agar ia tidak menjadi pemimpin publik. Ahok identik
dengan peleceh agama, padahal hidup Ahok jauh dari sikap diskriminatif dan rasis. Ahok
yang diakui keberhasilannya oleh 70% orang Jakarta, diubah oleh musuh politiknya
menjadi musuh bersama yang harus disingkirkan. Stigma yang diberikan kepada Ahok
merupakan upaya untuk menyingkirkan Ahok dari pertarungan politik merebut posisi DKI
no 1. Politik identitas dilakukan oleh musuh politik Ahok dan menyebarkan propaganda
kebohongan (hoax) secara masif dan terus menerus. Sampai sekarang stigma sebagai
peleceh agama masih melekat dalam diri Ahok, khususnya bagi orang-orang yang sudah
termakan oleh kebohongan publik yang diciptakan lawan politiknya. Propaganda dengan
politik identitas seperti ini (sara) memang sangat efektif untuk masyarakat yang tidak
otonom, sektarian, fanatis buta dan kurang kritis-analitis dalam berpikir.
Prinsip dari propaganda seperti ini adalah memberitakan keburukan lawan politik
secara terus menerus, menutupi dan menolak kebaikan lawan politiknya, menakut-nakuti
masyarakat jika sampai memilih Ahok dengan menyebut kafir, tidak akan disolatkan jika
mati, dll. Pendekatan yang dilakukan menakut-nakuti sisi sensitif masyarakat, misalnya
Islam akan dikriminalisasi, ulama dikriminalisasi, dll.
Tidak hanya itu, hoax juga bisa memicu konflik politik, sosial (masyarakat), konflik
keagamaan bahkan peperangan. Pilkada Jakarta dan pilpres 2019 merupakan konflik
politik dan sosial (konflik horisontal) yang telah membelah masyarakat menjadi dua
kelompok yang saling bersitegang antara Cebong dan Kampret. Konflik keagamaan juga
mencuat di negara ini karena adanya provokasi dari kelompok tertentu, sehingga tensi
hubungan umat beriman jadi terganggu. Kasus penolakan kehadiran orang kristen di
suatu daerah, pengeboman gereja, pencabutan salib pada makam orang katolik, sulitnya
mendirikan tempat ibadah meskipun sudah memiliki IMB bagi kelompok agama tertentu
merupakan cerita klasik yang terjadi di negara +62. Kisah seperti ini selalu ditutupi dan
tidak diakui, tetapi peristiwanya terjadi.
Dalam kisah pewayangan ada perang Pamoksa. Perang antara Pandu dengan
muridnya sendiri, yaitu Prabu Tremboko dari Pringgodani. Perang ini terjadi karena
adu domba yang dilakukan Sengkuni, adik ipar Raja Pandudewanata. Sengkuni
memang memiliki kepentingann politik ingin menghancurkan Pandu dan keturunannya
agar bisa menempatkan Kurawa (anak-anak dari kakak kandungnya Sengkuni yang
bernama Gendari) dan menyingkirkan anak-anak Pandu dalam tampuk pemerintahan
Negara Astina, yang sebenarnya hak sah Pandawa sebagai keturunan Pandu.
Dalam dunia nyata, kita mengenal perang Jerman dengan Polandia, Swedia dengan
Rusia, Perancis dan Prusia yang disebabkan oleh karena berita bohong. Berita bohong
tanpa klarifikasi dan verifikasi sudah menghancurkan masyarakat dan negara. Di zaman
modern, kita bisa menyebut negara Suriah dan negara-negara di Timur Tengah yang
hancur karena Hoax.
Hoax adalah tragedi komunikasi masa kini yang sebenarnya tidak layak terjadi. Tetapi
de facto, justru masyarakat modern mudah sekali diprovokasi oleh berita-berita bohong
karena hoax ini dilakukan dengan cara yang sangat canggih, menyentuh dimensi paling
sensitif manusia.
Sebagai orang modern, seharusnya kita belajar mengenali propaganda seperti ini
dan bersikap lebih rasional. Untuk orang yang otonom dalam berpikir, ketika otak
menerima informasi yang salah dan mengganggu keyakinannya, maka amigdala akan
memotongnya, sehingga tidak diteruskan untuk dianalisa. Otak akan langsung menolak
informasi yang diterima. Seharurnya ketika menerima berita-berita yang menyebabkan
rasa takut dan khawatir, masyarakat agar menerapkan sikap ragu dengan semua
informasi yang diterima. Apapun yang masuk ke otak jangan mentah-mentah diterima,
tetapi dibikin ragu. Apa iya, seperti ini? Ketika masyarakat bersikap ragu atau
menyangsikan dan mempertanyakan, maka ada ruang terbuka untuk berpikir jernih
dan mencari informasi. Tetapi ketika seseorang langsung meyakininya tanpa
mempertanyakan informasi tersebut, maka orang bersumbu pendek ini akan mudah
terprovokasi oleh hoax.
Ketakutan adalah kondisi mental yang muncul akibat ancaman serta kecemasan yang
berimbas pada kekhawatiran. Peran amigdala, sebenarnya membuat manusia untuk
selalu waspada dalam bertindak. Misalnya, ketika hidup di alam liar atau menghindari
buruan dari hewan predator amigdala sangat diperlukan, karena jika tidak ia akan
dimangsa predator. Dalam konteks bermasyarakat peran amigdala seharusnya dikurangi
dan dibangun trust atau kepercayaan antar individu dengan lingkungan di sekitarnya.
Masayarakat harus memberikan rasa aman, bukan ketakutan dan kekawatiran.
Tantangan menciptakan masyarakat yang penuh trust seringkali dirusak oleh para
marketing surga, pedagang agama dan petualang politik yang membutuhkan dukungan
publik. Banyak penceramah yang menjual provokasi demi mendapatkan rupiah dari koar-
koarnya, tanpa memperhatikan dampak sosial yang ditimbulkannya. Kita bisa belajar
pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, yang telah membelah masyarakat menjadi dua
kubu yang saling bertentangan sampai saat ini. Para petualang politik tidak pernah
memikirkan kerusakan sosial yang ditimbulkan oleh jurus-jurus yang mereka gunakan.
Mereka tidak peduli dengan perseteruan anak cucu Adam di Nusantara ini hanya demi
ambisi politik mereka.
Jiancuk Sodara????
Tugas:
Jika anda mengumpulkan 100 semut hitam dan 100 semut merah dalam satu toples kaca,
tidak akan terjadi apa-apa. Tetapi jika anda guncang toples itu dengan kencang lalu anda
letakkan di atas meja, maka semut itu akan saling membunuh, karena semut hitam
percaya bahwa semut merah adalah musuhnya, demikian juga sebaliknya. Padahal
sejatinya, musuh mereka adalah orang yang mengguncang toples tersebut.
Apa yang anda pikirkan ketika melihat cerita semut ini? Cobalah
comparing dengan alam manusia. Dan nasihat apa yang perlu anda
berikan kepada semut ini jika semut ini sebagai gambaran dari sikap umat
manusia dalam bermasyarakat. Materi di atas saya tulis bukan tanpa
maksud. Silahkan dipakai untuk membantu anda me-nalar dengan akal
anda. Ke-nalar-an itu ingin saya lihat dalam jawaban anda.