Anda di halaman 1dari 14

MENANGGULANGI HOAX DI MEDIA SOSIAL

DALAM PERSPEKTIF ALQURAN

Pardiana_082216230677

A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi dan informasi merupakan suatu keniscayaan,
sunatullah yang tidak bias ditolak. Seiring berjalannya waktu, berbagai
inovasi dan gagasan bermunculan di bidang teknologi dan informasi tersebut.
Media social merupakan salahsatu produk yang dilahirkan berkat
perkembangan teknologi dan informasi. Media social telah menimbulkan
kebebasan manusia dalam berpendapat dan menyalurkan berita di media social
tersebut (Arsyad dan Nadjib, 2011: 77). Awalnya, tentu lahirnya media social
tersebut lahir atas I’tikad dan niat baik umat manusia. Namun, media social
tersebut selain satu sisi melahirkan suatu dampak positif pun juga di sisi lain
melahirkan pula suatu dampak negative. Maraknya jual beli online yang
terlarang, merebaknya hate speech, mengalir derasnya budaya asing ke dalam
negeri, juga mewabahnya berita bohong atau yang dikenal dengan istilah hoax
di media social tersebut.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, masalah hoax menjadi pembahasan
yang ramai diperbincangkan di berbagai forum baik forum kajian lembaga,
forum seminar, forum pemerintah bahkan forum lembaga survei pun turut
andil dalam mengkaji masalah hoax tersebut. Kementerian Komunikasi dan
Informatika (KEMKOMINFO) mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk
salah satu negara dimana masyarakatnya paling mudah percaya dengan konten
yang tersebar di dunia maya. Berdasarkan data riset yang dirilis Centre for
International Governance (CIGI) IPSOS pada tahun 2017 diperlihatkan
bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-7 dengan pengguna internet yang
paling mudah terhasut dengan berita bohong atau hoax. Tingkatannya bias
mencapai 65% dari total 132 juta penduduk Indonesia (www.liputan6.com).
Hoax sekarang telah menyebar ke seantero negeri. Hasil survei
Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun 2017 merilis hasil

1
survei tentang hoax yang tengah marak di Tanah Air yang menyatakan bahwa
media social merupakan saluran utama peredaran hoax dengan presentase
sebanyak 92,40% yang meliputi social media jenis facebook, twitter,
instagram dan path. Adapun jenis berita hoax yang tertinggi berdasarkan
survei tersebut adalah isu social politik (pilkada dan pemerintah) dan isu Suku
, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) (MASTEL, 2017: 19-20). Sungguh
mengerikan memang jika kita berkaca pada hasil survei tersebut. Apalagi
tidak bisa dipungkiri bahwa media social kini sangat mudahnya diakses
masyarakat di seluruh penjuru negeri. Hal tersebut berarti begitu mudahnya
pula hoax menyebar dan menjamur. Isu social politik dan SARA yang
merupakan konten hoax tertinggi notabene bersifat sangat sensitif sehingga
akan memicu perpecahan kedaulatan negara.
Hoax memang telah menarik perhatian banyak pihak sehingga kajian
dalam berbagai perspektif pun dilakukan, salahsatunya adalah perspektif
Alquran. Dalam Q.S An-Nur [24]: 14-15, Allah Swt. dengan tegas
mengancam orang yang melakukan tindakan hoax serta orang yang
menyebarkan berita hoax tersebut. Dalam ayat lain, yakni Q.S. Al-Ahzab [33]:
70, Allah Swt. Menghimbau agar manusia senantiasa berkata benar dan jujur.
Dengan mewabahnya masalah hoax di media sosial tersebut, maka
diperlukan suatu upaya dalam hal menanggulanginya. Dalam tulisan
sederhana ini, penulis akan mencoba memberikan interpretasi dengan
mengajukan beberapa pertanyaan, yakni: 1) Bagaimanakah tinjauan umum
hoax? 2) Bagaimanakah potret suram hoax di Indonesia? Selanjutnya, 3)
Bagaimanakah pandangan Alquran tentang hoax? Serta, 4) Bagaimanakah
tawaran solusi menanggulangi hoax di media sosial? Keempat pertanyaan
tersebut diajukan sebagai upaya menanggulangi hoax di media sosial dalam
perspektif Alquran. Penulis berharap dengan hadirnya tulisan sederhana ini
akan tercipta pemahaman yang bijak serta solusi yang tepat dalam merespon
masalah hoax yang kini tengah dirasakan masyarakat.

2
B. Pembahasan
1. Tinjauan Umum Hoax
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks ditulis hoax
berarti berita bohong. Sedangkan, dalam kamus Oxford hoax berarti
deceive somebody with a hoax (memperdaya banyak orang dengan
sebuah berita bohong). Hoax juga dipahami dengan deceive someone by
making them believe something which has been maliciously or
mischievously fabricated (memperdaya beberapa orang dengan membuat
mereka percaya sesuatu yang telah dipalsukan (Buckley, 1978: 211). Oleh
sebab itu, dapat disimpulkan bahwa hoax adalah berita bohong yang
dipalsukan kebenarannya dengan tujuan untuk memperdaya banyak orang
serta membuat mereka percaya akan berita bohong tersebut.
Walsh (2016) dalam bukunya berjudul “Sins Against Science, The
Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others” menuliskan bahwa
istilah hoax sudah ada sejak tahun 1800 awal era revolusi industry di
Inggris. Asal kata hoax diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya,
yakni “hocus” dari mantra “hocus pocus”, frasa yang kerap disebut oleh
pesulap, serupa “sim salabim”(Juditha, 2018: 33).
Perlu diketahui bahwa tidak semua berita bohong dikatakan hoax.
Menurut Boese (2002) dalam bukunya “Museum of Hoaxes”, dikatakan
hoax tersebut apabila memberikan dampak kepada publik. Apabila tidak
memberikan dampak kepada public maka hal tersebut tidak dikatakan
hoax. Tidak ada hoax yang bersifat pribadi menurutnya (Boese, 2002:
34). Jadi, dalam hal ini kuncinya adalah hoax tersebut dapat
menyebabkan dampak terhadap public atau masyarakat luas.
Hoax biasanya digunakan pihak-pihak tertentu untuk menyulut
kebencian, ketegangan, bahkan konflik. Hoax di sampaikan melalui
narasi yang hiperbolis, dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan, tetapi
miskin data. Narasi semacam ini disusun untuk mempermainkan emosi
social public sehingga mereka dengan cepat tergerak untuk menanggapi
dengan cara menyukai, mengikuti, membenci, menolak, membagikan,
dan lain-lain (Ulya, 2018: 290).

3
Mewabahnya hoax di media sosial tentu menimbulkan berbagai
dampak negatif yang sangat signifikan. Beberapa dampak yang dihasilkan
tersebut, antara lain: Merugikan masyarakat, karena berita-berita hoax
berisi kebohongan besar dan fitnah; Memecah belah public, baik
mengatasnamakan kepentingan politik maupun organisasi tertentu;
Memengaruhi opini publik, karena hoax menjadi provokator untuk
memundurkan masyarakat; Berita-berita hoax sengaja dibuat untuk
kepentingan mendeskriditkan salah satu pihak, sehingga bisa
mengakibatkan adu domba terhadap sesama umat; serta hoax sengaja
ditujukan untuk menghebohkan masyarakat, sehingga menciptakan
ketakutan terhadap masyarakat (Maulana, 2017: 213).

2. Potret Suram Hoax di Indonesia


Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa hoax merupakan bagian
dari era keterbukaan yang harus dihadapi. Presiden meminta seluruh pihak
menghentikan penyebaran hoax yang dapat memecah belah bangsa,
terutama yang beredar melalui social media (Juditha, 2018: 32). Sementara
itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko
Polhukam), Wiranto mengatakan bahwa masyarakat akan dirugikan
dengan banyaknya persebaran berita yang tidak jelas, diantaranya, dengan
adanya keraguan terhadap segala informasi yang diterima, masyarakat
menjadi bingung. Kebingungan masyarakat tersebut dapat dimanfaatkan
pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menanamkan kebencian,
sehingga berpeluang terjadinya perpecahan dan permusuhan
(www.antaranews.com).
Sayangnya, hoax kini telah menjamur pesat. Pada tahun 2018
misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO)
secara resmi merilis konten-konten hoax yang paling berdampak dan
sangat viral di Indonesia, diantaranya seperti hoax gempa susulan di Palu,
hoax penculikan anak, hoax konspirasi imunisasi dan vaksin, hoax
rekaman black box Lion Air JT610, dan lain-lain (www.kominfo.go.id).
Contoh lain yang sempat viral juga di tahun sebelumnya (2017) yakni

4
hoax terjadinya pemurtadan para muslimin di Cianjur Jawa Barat akibat
misionaris yang dilancarkan umat Kristiani. Hoax tersebut memicu serta
menyulut kebencian dan kemarahan umat Islam (Ulya, 2018: 295).
Lebih menyedihkan lagi, seorang Kakek warga Pontianak
Kalimantan Barat, tewas setelah dikeroyok massa gara-gara tersebarnya
hoax penculikan anak untuk dijual organ tubuhnya. Kunjungan korban ke
desa tersebut untuk mengunjungi cucunya. Akan tetapi, pada saat di
perjalanan korban tidak tahu persis rumah anaknya sehingga Kakek
tersebut kebingungan. Kebingungan korban menimbulkan kecurigaan
masyarakat setempat. Karena gerak-gerik korban mencurigakan,
masyarakat setempat langsung bertindak sendiri, anarkis, dan membabi-
buta (Adhiarso, 2017: 216).

3. Pandangan Alquran Tentang Hoax


Istilah hoax dilukiskan dalam Alquran dengan berbagai kata namun
secara tersirat senada. Istilah hoax dalam Alquran teridentifikasi dari kata
Buhtan (tuduhan yang dusta) yang disebutkan sebanyak 5 kali, kata Ramy
(melempar) yang disebutkan sebanyak 2 kali, kata Kadzibun (bohong)
yang disebutkan sebanyak 100 kali, kata Iftara (mengada-ada) yang
disebutkan sebanyak 23 kali, serta kata Al-Ifk (kebohongan besar) yang
disebutkan sebanyak 28 kali. Namun, dalam tulisan sederhana ini penulis
hanya akan membahas kata Al-Ifk saja.
Di dalam Alquran, kata Al-Ifk salahsatunya terdapat dalam Q.S.
An-Nur [24]: 11.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu
buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka
akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di
antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang
diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula)”(Kemenag RI, 2010:
488).

5
Didalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab dijelaskan
bahwa kata Al-Ifk terambil dari kata Al-Afku yang berarti keterbalikan,
baik material (seperti akibat gempa yang menjungkirbalikan negeri)
maupun immaterial (seperti keindahan bila dilukiskan dalam bentuk
keburukan atau sebaliknya). Yang dimaksud Al-Ifk disini adalah
kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta
(Shihab, 2002: 492). Sedangkan, dalam Tafsir Ibnu Katsir (Al-
Mubarafakturi, 2000: 330) dan Tafsir Al-Azhar (Hamka, 2017: 155), kata
Al-Ifk diartikan sebagai berita bohong. Saat ini, kata “berita bohong”
tersebut merupakan istilah lain dari kata hoax.
Ayat diatas dalam Tafsir Ibnu Katsir dipaparkan bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan peristiwa berita bohong (hoax) yang
menimpa Ummul Mukminin, Siti Aisyah RA. yakni saat orang-orang
munafiqin, komunitas manusia-manusia pembohong, melontarkan
tuduhan-tuduhan yang tidak benar kepada Siti Aisyah RA yang dituduh
berzina dengan sahabat Shafwan bin Al-Mu’athal. Orang-orang munafik
yang di provokatori oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik
yang terkenal) membawa berita bohong tersebut sampai terdengar di
telinga Rasulullah Saw. sehingga membuat sikap Rasulullah Saw. berubah
kepada Siti Aisyah RA. selama satu bulan, hingga turunlah wahyu Allah
Q.S. An-Nur [24]: 11 tersebut yang menyucikan pribadi Siti Aisyah RA.
(Al-Mubarafakturi, 2000: 330-331).
Mengenai Q.S. An-Nur [24]: 11 tersebut, terdapat beberapa
hikmah dan kandungan yang sangat dalam notabene dapat menjadi
mutiara berharga bagi generasi manusia setelahnya yakni tentang
munculnya hoax tersebut adalah hasil dari sebuah konspirasi . Sayyid
Qutub dalam Tafsir fi zhilal Alquran menyatakan bahwa hoax yang
dilemparkan kepada Siti Aisyah RA. merupakan sebuah konspirasi para
pembenci dakwah Islam saat itu, yang hendak bertujuan untuk
merendahkan kemuliaan diri Rasulullah Saw. sehingga dengan hal tersebut
Islam menjadi rendah dan hina. Peristiwa tersebut juga menyingkap bagi
kaum muslimin tentang urgensi diharamkannya tuduhan dan menghukum

6
para penuduh itu dengan hukuman had yang diwajibkan oleh Allah
(Quttub, 2004: 220).
Perlu diresapi, bahwa Allah Swt. dengan tegas mengancam orang
yang melakukan tindakan hoax serta orang yang menyebarkan berita hoax
tersebut. Ancaman tersebut berupa ditimpakannya azab yang besar kepada
mereka. Hal tersebut sebagaimana yang tersurat dalam Q.S. An-Nur [24]:
14-15. Menurut Al-Qurthubi (2009: 522), kedua ayat tersebut berisikan
teguran yang dikhususkan kepada kaum yang beriman, agar tidak
membenarkan berita yang belum jelas apalagi menyebarkannya (Qurthubi,
2009: 522). Tanpa disadari, menyebarkan berita bohong sama dengan ikut
menjadi orang yang berbohong. Padahal, Allah Swt. dengan tegas
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertaqwa kepada Allah
Swt. dan mengucapkan perkataan yang benar (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70).
Menurut Ibnu Katsir, perkataan yang benar tersebut maksudnya adalah
perkataan yang lurus, jujur serta tidak menyimpang (Nasib, 2000: 907).
Oleh sebab itu, sejatinya, jika memang mengaku atau merasa
beriman, maka hendaklah bertaqwa kepada Allah Swt. dengan berkata
baik dan benar (Hamka, 1998: 109). Karena “Sesungguhnya orang yang
selalu berkata jujur maka dia tercatat sebagai orang jujur, sedangkan
orang yang selalu berdusta maka dia tercatat sebagai orang yang
pendusta” (H.R. Muslim No.4718).

4. Tawaran Solusi Menanggulangi Hoax di Media Sosial


Hoax menurut Mursalin Basyah adalah senjata paling ampuh
dalam menghancurkan umat di tiap generasi manusia. Menurutnya,
informasi hoax biasanya selalu masuk akal dan menyentuh sisi emosional,
sehingga orang yang menerima berita tersebut tidak sadar sedang
dibohongi. Bahkan menganggap dengan mudah bahwa berita tersebut
adalah fakta dan harus disampaikan pada orang lain yang dianggap
membutuhkan (Istriyani dan Widiana, 2016: 300). Oleh sebab itu,
dibutuhkanlah suatu solusi sebagai upaya menanggulangi hoax tersebut.
Penulis menawarkan beberapa solusi sebagai upaya menanggulanggi hoax

7
di media social. Solusi tersebut berupa sikap yang seharusnya dilakukan
oleh 3 elemen utama, yakni individu, masyarakat, serta pemerintah.
Pertama, Sikap Individu. Sikap individu dalam upaya
menanggulangi hoax di media sosial, yakni dengan ber-Tabayyun setiap
menerima suatu berita serta dengan menjaga diri.
a. Ber-Tabayyun Setiap Menerima Suatu Berita
Secara etimologis, tabayyun merupakan bentuk Masdar Taukid
yang berasal dari kata tabayyana-yatabayyanu-tabayyunan yang
berarti tampak, jelas, terang (Al-Munawwir, 1984: 47). Sedangkan,
secara terminologis, Gus Dur (1998: 14) mendefinisikan Tabayyun
yakni menjernihkan dan memperjelas suatu perkara atau asal muasal
suatu peristiwa sebelum berdebat dan berselisih faham.
Kata Tabayyun salahsatunya terdapat dalam Q.S. Al-Hujurat
[49]: 6.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang
fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena
kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali
perbuatanmu itu”. (Kemenag RI, 2010: 745).
Menurut Tafsir Al-Misbah, kata fatabayyanuu berarti teliti
dengan sungguh-sungguh (Shihab, 2002: 678). Dalam Tafsir Al-
Qurthubi dijelaskan bahwa fatabayyanuu bukan hanya teliti tetapi juga
harus disertai dengan sikap yang tidak tergesa-gesa (Qurthubi, 2009:
26).
Ayat diatas menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam
Tafsir Al-Aisar dijelaskan bahwa hendaknya siapa pun, baik itu
perseorangan, kelompok atau negara, hendaknya tidak menerima suatu
berita yang disampaikan kepada mereka dan jangan langsung berbuat
sesuai dengan berita tersebut, melainkan setelah mengeceknya dengan
teliti akan kebenarannya. Karena dikhawatirkan akan menimpakan
musibah kepada seseorang ataupun kelompok tertentu tanpa ada alasan
yang mendukungnya, dan juga jangan cepat memutuskan suatu

8
keburukan atau tuduhan yang terkadang seseorang melakukannya
karena adanya kemanfaatan untuk dirinya dengan mengambil maslahat
atau mencegah kemudharatan darinya. Oleh sebab itu, bertindak atas
dasar dan prinsip “cek and ricek” dan tabayyun ketika mendengar
sebuah berita dari seseorang yang tidak terkenal dengan ketaqwaan
dan keistiqomahan dan keadilan yang sempurna itu adalah suatu
kewajiban dalam rangka menjaga kehormatan orang dan melindungi
jiwa dan harta mereka (Al-Jazairi, 2017: 906).
Ketika menerima suatu berita, individu salahsatunya haruslah
bertabayyun dengan prinsip cek and ricek akan kebenaran berita
tersebut melalui identifikasi berita tersebut. Berikut ini adalah 5
langkah Tabayyun di media sosial ala KEMKOMINFO sebagaimana
yang dilansir dalam https:kominfo.go.id. yang individu bisa lakukan
dalam mengidentifikasi mana berita hoax dan mana berita asli.
Pertama, hati-hati dengan judul provokatif; Kedua, Cermati alamat
situs; Ketiga, Periksa Fakta; Keempat, cek keaslian foto; dan kelima,
ikut serta grup diskusi anti-hoax.
b. Menjaga Diri
Dalam hal ini, sikap individu dalam upaya menanggulangi
hoax di media sosial yakni dengan menjaga diri. Menjaga diri yang
dimaksud adalah menjaga diri dari perkataan tidak baik, baik perkataan
secara lisan maupun perkataan secara tulisan di media sosial. Dengan
bersikap menjaga diri dari perkataan tidak baik tersebut berarti
individu tersebut telah terindikasi sebagai individu yang beriman
kepada Allah Swt dan Hari Akhir. Hal tersebut sebagaimana Hadits
Rasulullah Saw. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam” (HR.Bukhari dan
Muslim).

Kedua, Sikap Masyarakat. Sikap masyarakat dalam upaya


menanggulangi hoax di media sosial, yakni dengan tidak menyebarkan
dusta dan melakukan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar.

9
a. Tidak Menyebarkan Dusta
Dalam hal ini, sikap masyarakat adalah tidak menyebarkan
dusta dengan cara tidak menyebarluaskan baik di media sosial
maupun di luar media sosial mengenai suatu berita yang notabene
masyarakat tersebut sudah tahu bahwa berita tersebut merupakan berita
hoax. Hal tersebut karena dengan ikut menyebarkan berita dusta
(hoax) berarti sama dengan ikut menjadi orang yang berdusta
(pendusta).
b. Amar Ma’ruf Nahyi Munkar
Dalam hal ini, sikap masyarakat adalah melakukan Amar
Ma’ruf Nahyi Munkar yakni mengajak dalam kebajikan dan mencegah
dalam keburukan. Amar Ma’ruf disini bisa dilakukan dengan
senantiasa mengingatkan satu sama lain untuk selalu menjaga diri serta
bertabayyun ketika menerima suatu berita. Sedangkan, Nahyi Munkar
sendiri bisa dilakukan dengan senantiasa mengingatkan satu sama lain
untuk tidak menyebarluaskan berita hoax.

Ketiga, Sikap Pemerintah. Sikap pemerintah dalam upaya


menanggulangi hoax di media sosial, yakni dengan melakukan langkah
preventif (pencegahan) serta langkah kuratif (penanggulangan). Langkah
preventif, bisa dilakukan pemerintah dengan cara membuat Undang-
Undang atau peraturan khusus yang menangani masalah hoax sampai ke
akar-akarnya. Setelah Undang-Undang atau peraturan khusus tersebut
dibuat pemerintah haruslah membumikannya secara intens serta
menyeluruh sehingga seluruh masyarakat mengetahuinya. Sedangkan,
langkah kuratif, bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan penegakan
hukum (law enforcement) kepada pelaku hoax secara adil dan
komprehensif, serta tidak pandang bulu. Karena apabila pemerintah
berlaku tidak adil maka dikhawatirkan akan muncul lagi hoax-hoax yang
baru sebagai sikap non pemerintah menerima ketidak adilan tersebut.

10
C. Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Hoax adalah berita bohong yang dipalsukan kebenarannya dengan tujuan
untuk memperdaya banyak orang serta membuat mereka percaya akan
berita bohong tersebut. Hoax biasanya digunakan pihak-pihak tertentu
untuk menyulut kebencian, ketegangan, bahkan konflik. Hoax di
sampaikan melalui narasi yang hiperbolis, dibesar-besarkan dan dilebih-
lebihkan, tetapi miskin data. Narasi semacam ini disusun untuk
mempermainkan emosi social public sehingga mereka dengan cepat
tergerak untuk menanggapi dengan cara menyukai, mengikuti, membenci,
menolak, membagikan, dan lain-lain.
2. Beberapa potret suram hoax di Indonesia yang berhasil penulis himpun,
antara lain seperti: Hoax gempa susulan di Palu, hoax penculikan anak,
hoax konspirasi imunisasi dan vaksin, hoax rekaman black box Lion Air
JT610, hoax terjadinya pemurtadan para muslimin di Cianjur Jawa Barat
akibat misionaris yang dilancarkan umat Kristiani (Hoax tersebut memicu
serta menyulut kebencian dan kemarahan umat Islam), serta seorang
Kakek warga Pontianak Kalimantan Barat, tewas setelah dikeroyok massa
gara-gara tersebarnya hoax yang berkaitan dengan Kakek tersebut.
3. Istilah hoax dilukiskan dalam Alquran dengan berbagai kata namun secara
tersirat senada. Istilah hoax dalam Alquran teridentifikasi dari kata Buhtan
(tuduhan yang dusta) yang disebutkan sebanyak 5 kali, kata Ramy
(melempar) yang disebutkan sebanyak 2 kali, kata Kadzibun (bohong)
yang disebutkan sebanyak 100 kali, kata Iftara (mengada-ada) yang
disebutkan sebanyak 23 kali, serta kata Al-Ifk (kebohongan besar) yang
disebutkan sebanyak 28 kali. Namun, dalam tulisan sederhana ini penulis
hanya membahas kata Al-Ifk saja yang salahsatunya terdapat dalam Q.S.
An-Nur [24]: 11.
4. Penulis menawarkan beberapa solusi sebagai upaya menanggulanggi hoax
di media social. Solusi tersebut berupa sikap yang seharusnya dilakukan
oleh 3 elemen utama, yakni individu, masyarakat, serta pemerintah. Sikap
individu dalam upaya menanggulangi hoax di media sosial, yakni dengan

11
ber-Tabayyun setiap menerima suatu berita serta dengan menjaga diri.
Sikap masyarakat dalam upaya menanggulangi hoax di media sosial, yakni
dengan tidak menyebarkan dusta dan melakukan Amar Ma’ruf Nahyi
Munkar. Serta, sikap pemerintah dalam upaya menanggulangi hoax di
media sosial, yakni dengan melakukan langkah preventif (pencegahan)
serta langkah kuratif (penanggulangan).

12
DAFTAR PUSTAKA

Adhiarso, Dendi Suseno. (2017). Pemberitaan Hoax di Media Online ditinjau


dari Kontruksi Berita dan Respon Netizen. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.
15 (3), 215-225

Al-Jazairi. (2017). Tafsir Al-Aisar. Jakarta: Darus Sunnah Press

Al-Mubarafakturi. (2000). Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Riyadh: Pustaka Ibnu


Katsir.

Al-Munawwir. (1984). Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Arsyad dan Nadjib. (2011). Kebebasan Berpendapat pada Media Jejaring Sosial.
Jurnal Komunikasi Kareba, Vol. 1(1), 77-83.

Boese, A. (2002). The Museum of Hoaxes. Hardcover-November 11, 2002.

Buckley, Eric. (1978). The Oxford English Dictionary. Oxford: Oxford University
Press

Hamka. (1998). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Istriyani, Ratna dan Nur Huda Widiana. (2016). Etika Komunikasi dalam
Membendung Informasi Hoax di Ranah Publik Maya. Jurnal Ilmu
Dakwah, Vol 36 (2), 288-315.

Juditha, Cristiany. (2018). Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial. Jurnal


Pekomnas, Vol. 3 (1), 31-44.

Kemenag RI. 2010. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta: Kemenag RI.

Laporan Survei Mastel. (2017). Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax
Nasional. Jakarta: MASTEL

Maulana, Luthfi. (2017). Kitab Suci dan Hoax: Pandangan Alquran dalam
Menyikapi Berita Bohong. Jurnal Ilmu Agama dan Sosial Budaya, Vol.2
(2), 209-222.

Nasib, Muhammad. (2000). Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Press.

13
Qurthubi. (2009). Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.

Quthb, Sayyid. (2004). Tafsir fi zhilalil Qur-an. Jakarta: Gema Insani Press.

Shihab, M.Quraish. (2002). Tafsir Al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati

Ulya. 2018. Post-Truth, Hoax, dan Religiusitas di Media Sosial. Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 6 (2), 283-302.

Wahid, Abdurrahman. (1998). Tabayyun Gus Dur. Yogyakarta: LK2IS.

http://www.antaranews.com/berita/604730/menko-polhukam-berita-hoax-
buatmasyarakat-merugi.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/15702/siaran-pers-no-
317hmkominfo122018-tentang-10-konten-hoaks-paling-berdampak-di-
tahun-2018/0/siaran_pers.

https://kominfo.go.id/content/detail/8949/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-
maya/0/sorotan_media.

https://.www.liputan6.com/tekno/read/3200084/ups-pengguna-internet-indonesia-
mudah-terhasut-beritabohong.

14

Anda mungkin juga menyukai