Anda di halaman 1dari 236

Bangsa Pengumbar Hasrat

Dari Filsafat Anti-Gosip sampai

Kaderisasi Terorisme

Kumpulan Esei Filsafat Populer

Reza A.A Wattimena

2010

Surabaya
Prakata

Buku ini adalah kumpulan tulisan filsafat saya

yang telah dipublikasikan, baik secara nasional, lokal

Surabaya, dan blog pribadi di internet dalam kurun waktu

2008-2010. Berbagai tulisan di dalam buku ini lahir dari

pergulatan saya berhadapan dengan persoalan-persoalan

yang ada di masyarakat, mulai dari persoalan individual,

sampai persoalan negara yang mendesak. Pendekatan

yang saya gunakan adalah pendekatan filsafat.

Harapannya para pembaca dapat menyadari betul,

bahwa filsafat bisa menjadi pisau analisis yang sangat

tajam dan mencerahkan, guna memahami dan

menyelesaikan masalah-masalah kehidupan bersama.

Buku ini memiliki keunikannya tersendiri. Selama

ini filsafat dipandang sebagai ilmu yang rumit. Orang


perlu mengerutkan dahi untuk berpikir, guna memahami

teori-teori filsafat. Setelah membaca buku ini, saya

berharap anggapan tersebut dapat berubah. Filsafat

dapat digunakan untuk memahami hal-hal sehari-hari,

dan disampaikan dengan bahasa yang komunikatif, tanpa

mengurangi kedalaman refleksinya. Itulah yang kiranya

menjadi keunikan dan kelebihan buku ini dibandingkan

dengan buku-buku filsafat lainnya.

Saya memilih judul Bangsa Pengumbar Hasrat

dengan alasan khusus. Saya melihat bahwa bangsa

Indonesia senang sekali mengumbar hasrat mereka

untuk menguasai segala bidang, mulai dari bidang politik,

ekonomi, sampai pendidikan. Hasrat untuk berkuasa dan

mencapai kenikmatan seolah menutupi akal budi dan

kontrol diri. Akibatnya kekacauan terjadi hampir di semua

bidang kehidupan. Buku ini ditulis untuk meredam


pengumbaran semacam itu, serta mengembalikan akal

budi dan kontrol diri ke dalam kehidupan bersama.

Buku ini ditujukan untuk semua orang yang

memiliki kepedulian terhadap kehidupan bersama. Buku

ini juga ditujukan untuk semua orang merasa

memerlukan pencerahan di dalam menjalani

kehidupannya. Semoga buku ini bisa menjadi sumber

inspirasi bagi para pembaca, supaya dapat menjalani

hidup yang lebih bermutu dan bermakna. Selamat

membaca dan salam sejahtera.

Reza A.A Wattimena,

Surabaya, 2010
Melenyapkan Gosip dari Ruang Publik

Filsafat dapat menjadi obat untuk menyembuhkan

“penyakit” gosip yang menjangkiti masyarakat Indonesia.

Dengan sifatnya yang kritis dan mendalam, filsafat

sebagai displin berpikir mampu mengajarkan manusia

untuk membedakan gosip dan fakta, serta bertindak

seturut dengan pertimbangan akal budi yang jernih.

Filsafat juga dapat membantu manusia membuat

keputusan yang tepat dengan mengacu pada data-data

yang faktual dan koheren. Masyarakat Indonesia perlu

untuk mempelajari filsafat lebih mendalam, supaya lebih

mampu berpikir kritis dan rasional tentang masalah-

masalah sosial yang ada.

Gosip adalah simbol terkikisnya peradaban manusia.


Semakin suatu komunitas diselubungi gosip dan rumor,

semakin komunitas itu kehilangan peradabannya, dan

menjadi biadab. Semakin suatu keputusan didasarkan

pada gosip, semakin keputusan itu mencerminkan

kebiadaban pembuat keputusan tersebut. Pada tulisan ini

saya akan menjelaskan terlebih dahulu arti masyarakat

yang beradab, menggali anatomi gosip, menjelaskan

pembedaan antara ruang privat dan ruang publik, serta

mengajukan argumen, bahwa filsafat bisa menjadi alat

yang efektif untuk menangkis gosip yang seolah beredar

tanpa kendali di masyarakat Indonesia.

Filsafat dan Peradaban

Sudah sejak sekitar 2300 tahun yang lalu

Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, menulis bahwa

manusia adalah binatang yang rasional ( rational animal).


Yang membedakan manusia dari hewan adalah

kemampuannya untuk menggunakan akal budi, guna

membuat keputusan dan memahami dunia tempat

tinggalnya. Dan sebaliknya dapat dikatakan, jika manusia

tidak mampu, atau tidak mau, menggunakan akal

budinya untuk membuat keputusan ataupun memahami

dunianya, maka ia sama dengan hewan ataupun

tumbuhan. Manusia menjadi manusia seutuhnya, karena

ia mampu berpikir, dan bertindak seturut dengan

pikirannya itu.

Ia lebih jauh juga melanjutkan, bahwa hidup

yang baik adalah hidup yang dipimpin oleh akal budi,

yakni hidup yang berkeutamaan. Dalam arti ini

keutamaan adalah sifat-sifat baik yang ada di dalam diri

manusia, dan diperoleh melalui pembiasaan (habituasi).

Misalnya orang bisa jujur, karena ia terbiasa berkata dan


bertindak jujur. Orang bisa menjadi terampil bermain

musik, karena ia biasa bermain musik. Hidup yang

beradab adalah hidup yang berkeutamaan. Itulah yang

dikatakan Aristoteles.

Lalu apa kaitan antara hidup yang beradab

dengan peradaban manusia? Dengan lugas dapatlah

dikatakan, bahwa hidup yang beradab, yang

berkeutamaan, adalah dasar dari peradaban manusia

yang luhur. Peradaban muncul ketika sekumpulan orang

memutuskan untuk hidup berdasarkan akal budi dan

nilai-nilai kebaikan. Di dalam masyarakat yang beradab,

kedamaian adalah sesuatu yang wajar ditemukan di

kehidupan sehari-hari. Keadilan dan kebenaran lebih

terasa daripada kejahatan dan kemunafikan!

Sekarang ini di Indonesia, sikap beradab

diancam oleh mentalitas dan kultur gosip yang bersifat


menghancurkan. Orang lebih percaya gosip, daripada

menggunakan akal budinya untuk berpikir sendiri, dan

kemudian membuat keputusan. Akal budi dipasung oleh

kemalasan dan kebodohan. Di balik rasa nikmat yang

ditimbulkannya, gosip secara perlahan tapi pasti

menghancurkan kepercayaan (trust) yang menjadi dasar

dari kehidupan bersama.

Anatomi Gosip

Mengapa dan dari mana gosip itu muncul? Sulit

untuk menjawab pertanyaan tersebut secara lugas tanpa

terjebak pada kesesatan. Pandangan Francis Bacon

seorang filsuf asal Inggris yang hidup pada abad ke-17

kiranya bisa membantu kita memahami anatomi gosip. Ia

berpendapat bahwa di dalam proses untuk mencapai

kebenaran, manusia seringkali dihalangi oleh idola-idola.


Saya ingin mengajukan argumen, bahwa gosip tersusun

dari idola-idola yang menutupi mata dan pikiran manusia

dari kebenaran.

Ada empat bentuk idola yang dirumuskan oleh

Bacon. Yang pertama adalah idola tribus, yakni

kecenderungan manusia untuk melihat adanya tatanan di

dalam sistem lebih daripada apa yang sebenarnya ada.

Misalnya ilusi yang dibangun Suharto pada masa

pemerintahan orde baru membuat orang melihat adanya

kestabilan (peningkatan ekonomi dan kestabilan politis)

yang lebih daripada apa yang sebenarnya ada (korupsi

dan penculikan aktivis yang berpikiran kritis). Idola tribus

menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran.

Yang kedua adalah idola cava, yakni

kecenderungan orang untuk menilai orang lain ataupun

suatu peristiwa dengan berdasar pada sentimen pribadi,


dan bukan dengan kejernihan akal budi. Misalnya karena

seorang manajer perusahaan tidak menyukai

bawahannya, maka ia memecatnya tanpa alasan yang

jelas. Di dalam idola cava ini, rasa suka ataupun tidak

suka lebih kuat mempengaruhi keputusan, daripada fakta

obyektif dan penalaran yang jernih. Idola cava juga

menjauhkan manusia dari kebenaran.

Yang ketiga adalah idola fori, yakni kebingungan

yang diciptakan, karena orang tidak memahami makna

bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi

sehari-hari. Akibatnya orang terjebak di dalam

kesalahpahaman. Bahasa memang menjadi elemen kunci

di dalam komunikasi. Jika orang tidak mampu berbahasa

ataupun memahami makna bahasa yang digunakan

secara tepat, maka komunikasi untuk mencapai

kesepakatan akan sulit tercipta. Kebenaran pun semakin


jauh dari genggaman tangan.

Yang keempat adalah idola theatri, yakni

bangunan pemikiran ataupun teori yang dibentuk oleh

pendekatan yang tidak tepat. Misalnya orang memiliki

keyakinan, bahwa semua pria suka berselingkuh.

Keyakinan ataupun pemikiran semacam ini didasarkan

pada pendekatan yang sifatnya satu arah, karena

mengabaikan fakta, bahwa begitu banyak pria yang setia

pada pasangannya. Idola theatri menghalangi manusia

untuk sampai pada kebenaran.

Keempat idola ini dirumuskan oleh Bacon di

dalam bukunya yang berjudul Novum Organum (1620).

Ia memang hanya membatasi dirinya pada perumusan

metode saintifik yang dapat menjamin kebenaran dari

pengetahuan yang didapat. Baginya seorang ilmuwan

haruslah membersihkan dirinya dari idola-idola yang


menghalangi pikirannya untuk mencapai kebenaran.

Namun saya merasa bahwa argumen Bacon tidak hanya

cocok untuk para ilmuwan, tetapi juga untuk semua

orang, terutama mereka yang pikiran dan tindakannya

dipengaruhi oleh gosip, sehingga mereka tidak mampu

menemukan kebenaran! Mereka perlu untuk

membersihkan pikiran mereka dari idola-idola!

Membedakan Ruang Publik dan Ruang Privat

Kehidupan sosial manusia terdiri dari dua bentuk

ruang, yakni ruang publik dan ruang privat. Ruang publik

adalah tempat untuk membicarakan segala sesuatu yang

terkait dengan kepentingan bersama. Misalnya

masyarakat membicarakan tentang bagaimana

menangani korban gempa, memerangi korupsi, memilih

presiden, dan sebagainya. Ruang publik adalah ruang


politis.

Di sisi lain masyarakat juga mengenal adanya

ruang privat. Ruang privat adalah tempat bagi setiap

pribadi untuk mengembangkan diri dan bertindak sesuai

dengan dorongan pribadinya, tanpa perlu ada campur

tangan dari orang lain. Misalnya saya ingin tidur terbalik,

saya ingin punya pacar lebih dari satu, atau saya makan

sayur yang dicampur dengan buah. Semua itu adalah

urusan privat. Orang lain tidak boleh dan tidak berhak

untuk mencampurinya!

Pendapat itu dirumuskan oleh seorang filsuf

Amerika yang bernama Richard Rorty. Dalam arti ini gosip

adalah publikasi ruang privat. Artinya segala sesuatu

yang sebenarnya urusan pribadi kini menjadi bahan

pembicaraan publik. Gosip adalah pelanggaran atas

privasi!
Masyarakat yang beradab mengenal betul

pembedaan antara ruang publik dan ruang privat. Kedua

ruang itu tidak boleh dicampurkan. Sebaliknya

masyarakat yang tidak beradab mencampurkan keduanya

begitu saja. Masyarakat gosip adalah masyarakat yang

menjadikan urusan privat sebagai urusan publik.

Masyarakat gosip adalah masyarakat yang tidak beradab!

Jika ingin menjadi bangsa yang beradab, orang

Indonesia perlu untuk mencegah publikasi ruang privat.

Orang Indonesia perlu untuk menghormati privasi setiap

orang. Orang Indonesia juga perlu untuk membicarakan

masalah publik dalam konteks debat yang rasional.

Ruang publik bukanlah ruang gosip, melainkan ruang

untuk mencapai keadilan bagi kehidupan bersama. Gosip

harus dimusnahkan!

Gosip juga seringkali mencemari nama baik


seseorang. Sebuah fakta dipelintir sedemikian rupa,

sehingga kebenaran tidak lagi terkandung di dalamnya.

Akibatnya reputasi seseorang menjadi jelek di mata

masyarakat. Secara hukum hal ini tentu saja bisa dituntut

atas nama pencemaran nama baik. Jika anda mengalami

hal ini, jangan ragu untuk melakukan tuntutan hukum!

Filsafat sebagai Anti Gosip

Filsafat sebagai displin berpikir kritis, rasional,

dan mendalam dapat memberikan beberapa tips praktis

untuk menyembuhkan penyakit suka bergosip. Yang

pertama adalah cara berpikir skeptis, yakni cara berpikir

yang curiga pada semua bentuk pernyataan, sampai

pernyatan tersebut tidak bisa terbantahkan lagi

kebenarannya. Di dalam filsafat skeptisisme adalah

paham yang berpendapat, bahwa manusia tidak mampu


mencapai pengetahuan. Saya tidak mau berpikir seradikal

itu. Cukuplah dikatakan bahwa setiap orang harus

bersikap curiga terhadap apa yang ditemuinya, sampai ia

sungguh yakin, bahwa apa yang ditemuinya tersebut

sungguh benar.

Yang kedua adalah cara berpikir yang berpijak

pada prinsip verifikasi. Prinsip ini dikembangkan secara

sistematis oleh para filsuf positivisme logis yang

berkembang pada awal abad ke-20. Intinya sangat

sederhana yakni hanya pernyataan yang bisa diuji di

dalam kenyataanlah yang layak menjadi dasar dari

pengetahuan. Artinya pernyataan itu bisa dianggap

benar, jika dapat ditemukan bukti-bukti konkret yang

dapat diketahui oleh panca indera manusia.

Jika ditempatkan secara tepat, prinsip verifikasi

mampu mencegah kita mengambil kesimpulan terburu-


buru. Prinsip verifikasi mengajak kita untuk bersikap

obyektif di dalam membuat keputusan. Jika orang

menerapkan prinsip ini di dalam hidupnya, ia tidak akan

dibingungkan oleh gosip. Jika masyarakat menerapkan

prinsip ini sesuai konteksnya, maka mereka akan menjadi

masyarakat yang beradab.

Dengan demikian filsafat bisa menjadi obat yang

efektif untuk menyembuhkan penyakit suka bergosip.

Filsafat juga dapat menjadi pendorong manusia untuk

mewujudkan masyarakat yang beradab.

Dengan belajar dari filsafat Francis Bacon, kita bisa

menyadari adanya gosip-gosip yang bercokol di kepala

kita yang mungkin selama ini belum disadari. Dengan

belajar dari Aristoteles, kita bisa mendirikan suatu

masyarakat beradab yang berpijak pada akal budi dan

keutamaan. Dengan belajar dari Richard Rorty, kita bisa


membedakan antara ruang privat dan ruang publik, serta

tidak mencampurkan keduanya. Dengan belajar dari para

filsuf positivisme logis, kita bisa belajar untuk mengecek

secara tepat dan rasional setiap pernyataan yang kita

dengar.

Memang pada akhirnya kehidupan manusia baru

berharga dan bermakna, jika diarahkan untuk mencapai

kebenaran. Di dalam kebenaran manusia akan

menemukan kebahagiaan. Kebenaran yang mungkin

awalnya menyakitkan, tetapi secara perlahan akan

menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia yang

otentik. Sikap hidup yang semakin jarang ditemukan di

masyarakat kita sekarang ini.***


Mencari Pemimpin Sejati

Apakah seorang pemimpin lahir secara alami

atau diciptakan oleh situasi? Itulah pertanyaan yang

menggantung di berbagai refleksi filosofis tentang

kepemimpinan. Pertanyaan itu semakin terasa penting

untuk dipikirkan, mengingat lemahnya kepemimpinan

nasional sekarang ini. Kultur permisif dan miskinnya

integritas menjadi ciri pokok dari berbagai tingkat

kepemimpinan di Indonesia, mulai dari tingkat RT,

lembaga swasta, lembaga publik, sampai pada


kepemimpinan nasional! Akibatnya kepemimpinan tidak

berjalan efektif! Tatanan yang awalnya diciptakan untuk

menjamin keadilan dan kemakmuran justru menjadi

bumerang, yakni menghancurkan sang empunya tatanan

itu sendiri.

Sosok Pemimpin

Setidaknya ada dua teori yang mencoba

memahami asal usul para pemimpin. Teori pertama

bernada klasik. Seorang pemimpin adalah orang pilihan.

Sedari kecil ia dikondisikan dalam situasi yang membuat

dia memahami hakekat manusia dan masyarakat,

sehingga ia dapat memerintah sesuai dengan hakekat

tersebut, dan membawa bangsa menuju kejayaan. Pola

pendidikannya juga sangat khas, yakni menekankan

kemampuan berpikir holistik yang melihat suatu masalah


dari kaca mata keseluruhan, dan bukan dari kaca mata

personal, ataupun kelompok semata.

Pola ini banyak ditemukan di negara-negara

yang masih menganut sistem pemerintahan monarki.

Seorang pemimpin dianggap orang terpilih, yang harus

hidup dan dididik secara khusus. Pola ini memang

terkesan ideal. Namun dalam prakteknya banyak raja-raja

monarki cenderung memerintah sekehendaknya, dan

tidak menerapkan ajaran-ajaran yang telah diberikan

kepadanya. Fakta ini meninggalkan trauma yang sangat

besar pada sistem pemerintahan monarki. Sebab

utamanya adalah tidak ada kontrol atas kekuasaan,

sehingga tidak ada jaminan, apakah seorang pemimpin

akan memimpin secara tepat atau tidak.

Teori kedua menyatakan bahwa seorang

pemimpin tidak dilahirkan, namun dibentuk oleh


keadaan. Seorang pemimpin hidup dan berkembang

tidak dengan privilese, namun justru di dalam

keterbatasan. Situasi sulit menempa mental dan

intelektualitasnya. Sosok tersebut memiliki integritas

yang lahir dari kerasnya dunia, dan bukan dari

kemewahan monarkis.

Banyak gerakan politik yang membawa

perubahan besar lahir dari tangan para pemimpin ini.

Lihat saja Julius Caesar, sang pendiri imperium Romawi,

yang lahir dan berkembang di dalam kerasnya perang

antar bangsa, dan kentalnya korupsi dunia politik Roma

pada waktu itu. Atau Napoleon –seorang tokoh

pembaharu republik Perancis pasca Revolusi Perancis

yang legendaris- yang lahir juga dari keterbatasan, maju

dalam tempaan krisis, serta membawa Perancis menjadi

salah satu negara terkuat di Eropa pada jamannya. Atau


Sukarno yang menjadi bapak proklamasi Republik

Indonesia, yang lahir dari sulitnya situasi, tekanan politik,

perang, dan kemiskinan pada masa hidupnya.

Dari dua teori ini, kita bisa menemukan satu

kesamaan mendasar, pemimpin lahir dari proses

kehidupan! Pemimpin tidak turun dari langit, atau

merupakan titisan dewa! Sebaliknya pemimpin sejati

pada akhirnya adalah manusia biasa yang ditempa oleh

keadaan, baik keadaan yang direkayasa, seperti pada

sistem monarki, atau keadaan politis liar, seperti pola

kepemimpinan kedua. Pertanyaan selanjutnya adalah

bagaimana kita bisa melahirkan pemimpin sejati di

Indonesia tidak hanya untuk generasi sekarang, namun

juga untuk generasi mendatang?

Pola Kepemimpinan Dewasa Ini


Ada dua ciri para pemimpin di Indonesia

sekarang ini. Yang pertama adalah mental permisif, yakni

mental yang memperbolehkan segala sesuatu berjalan,

tidak berani mengambil keputusan yang tidak populer,

dan pada akhirnya kehilangan kewibawaan di hadapan

orang yang dipimpinnya. Mental permisif sebenarnya

berakar pada mental pengecut, yakni mental ketakutan

akan kehilangan posisi, atau ketakutan kehilangan

popularitas. Hal ini juga terkait dengan mental selebriti

yang menjangkiti banyak pemimpin kita! Seperti layaknya

artis yang pekerjaannya menghibur dan membuat hati

orang senang, para pemimpin juga berubah menjadi

seorang penghibur, dan lupa pada tugas dan tanggung

jawab sesungguhnya.

Pemimpin permisif semacam ini tidak lahir dan

berkembang dalam proses. Sama seperti lahirnya


fenomena artis instan sekarang ini, para pemimpin dan

politikus pun juga lahir dari proses yang sangat instan.

Mereka tidak ditempa oleh situasi! Mereka juga tidak

menjalani proses pendidikan yang selayaknya diperlukan

untuk menjadi pemimpin. Tanpa proses penempaan

seorang pemimpin pada akhirnya hanya akan menjadi

birokrat yang kinerjanya mengecewakan.

Pola kedua para pemimpin di Indonesia sekarang

ini adalah miskinnya integritas. Pemimpin menjadi begitu

pragmatis, sehingga mereka bersedia melakukan apapun

untuk memperoleh keuntungan sosial maupun finansial,

mempertahankan posisi, menjatuhkan saingan dan

oposisi, serta melebarkan popularitas, seperti halnya

selebriti. Pendek kata keputusan dan kebijakan para

pemimpin dijual untuk penawar tertinggi. Inilah akibat

dari miskinnya proses yang dijalani oleh para pemimpin


di Indonesia!

Pemimpin yang dibentuk secara instan akan memiliki cara

berpikir pragmatis, yakni cara berpikir yang berfokus

pada hasil, dan melupakan pentingnya proses. Ia hanya

akan menjelma menjadi birokrat yang menghisap roh

kreativitas dan kebenaran itu sendiri!

Kepemimpinan Sejati

Indonesia sedang dilanda oleh krisis

kepemimpinan! Pernyataan itu tidak dapat diragukan lagi.

Saya melihat setidaknya dua kemungkinan solusi. Yang

pertama adalah pemisahan antara dunia politik dan dunia

hiburan. Politisi bukanlah artis! Maka politisi harus

berhenti menjual wajah mereka di media, membuat

album musik guna mencari popularitas, dan mulai

berfokus pada pekerjaan nyata sesungguhnya seorang


pemimpin. Masyarakat juga tidak boleh memilih seorang

pemimpin, hanya karena ia memiliki karakter selebritis,

populer, dan memiliki wajah yang cantik atau ganteng!

Yang kedua para pemimpin harus mengingat

kembali hakekat dari kepemimpinan, yakni proses

penempaan karakter, pengorbanan diri, pengabdian, dan

ketulusan! Keempat aspek ini berakar para satu prinsip,

yakni prinsip askese. Prinsip askese berbunyi begini,

ikatlah keinginan dan hasrat sesaatmu untuk mencapai

keberhasilan dan keutamaan yang lebih luhur, dan

memiliki dampak luas pada masyarakat. Prinsip askese ini

yang semakin langka di dalam diri para pemimpin kita.

Seorang pemimpin sejati siap hidup asketis dalam

kesederhanaan dan pengabdian! Ingatlah, Indonesia

merindukan munculnya pemimpin sejati!


Indonesia dan Politik Eskapisme

Di dalam salah satu pidatonya, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menyatakan, bahwa demokrasi harus

memperhatikan kesantunan. Dia meneladani sikap Nabi

Muhammad yang bijak dan adil dalam memimpin

berbagai kelompok yang berbeda latar belakang. Di

tempat lain Wakil Presiden Budiono menyatakan, bahwa

hidup ini penuh resiko, termasuk berbagai tuduhan politis

yang datang padanya juga dipandang sebagai bagian

dari resiko hidup. Dia menyatakan bahwa di senja

hidupnya, ia akan mengabdi untuk kepentingan bangsa

dan negara. (Kompas, 27 Februari 2010)

Apa yang dapat kita analisis dari dua pernyataan para

pemimpin bangsa ini? Di satu sisi Presiden SBY

mencampurkan argumentasi politis dengan argumentasi


religius, yakni meneladan sikap hidup Nabi Muhammad

yang menyebarkan salah satu agama terbesar di dunia.

Di sisi lain Wakil Presiden Budiono mencampurkan antara

argumentasi politis dengan argumentasi eksistensial,

yakni refleksi pribadi serta tujuan hidupnya. Keduanya

menunjukkan gejala eskapisme, yakni melarikan diri dari

permasalahan utama, dan bergerak ke retorika yang

luhur, namun sesungguhnya tidak ada hubungan

langsung. Keduanya menolak untuk berhadapan

langsung dengan substansi masalah sebenarnya!

Eskapisme

Rupanya gejala melarikan diri dari substansi

masalah ini sudah cukup umum. Di dalam salah satu

opininya di harian Kompas, Ignas Kleden sudah

mengajukan analisis atas fenomena ini dengan


menyatakan, bahwa para politikus harus berani

menggunakan paradigma argumentum ad rem, yakni

argumentasi yang langsung menghadapi isi persoalan,

dan bukan berputar-putar untuk membingungkan. Dia

menyoroti banyaknya kampanye partai dan presiden di

2009 yang tidak mampu melakukan hal ini.

Sebenarnya mengapa orang sering

berargumentasi tidak langsung menghadapi isi

permasalahan, tetapi malah berputar ke hal-hal yang

tidak substansial? Saya setidaknya bisa menemukan tiga

sebab. Yang pertama, sebab dari fenomena ‘melarikan

diri dari substansi permasalahan’ ini adalah

ketidakmampuan pihak terkait untuk berargumentasi.

Ketidakmampuan tersebut disembunyikan. Yang

ditampilkan adalah pola komunikasi berputar yang seolah

luhur, tetapi sebenarnya bertujuan untuk


menyembunyikan kelemahan! Hal semacam ini mudah

sekali ditemukan di kalangan para pejabat publik,

terutama yang sedang menjadi sorotan masyarakat.

Yang kedua, keinginan untuk menggeser tema

masalah, sehingga kesalahan utama yang dilakukan

menjadi tidak tampak. Inilah yang disebut mekanisme

kamuflase, yakni mekanisme untuk memutar pola

komunikasi sedemikian rupa, sehingga pembicaraan

mengarah ke tema yang sama sekali berbeda, dan pihak

terkait terselamatkan dari tuduhan ataupun

pertanggungjawaban. Berbeda dengan sebab

sebelumnya, keinginan untuk menggeser tema masalah

didasarkan pada pengetahuan dan kemampuan penuh

untuk berargumentasi. Pengetahuan dan kemampuan itu

digunakan untuk mengarahkan wacana, dan meloloskan

diri dari sorotan!


Yang ketiga, dorongan untuk mempertahankan

citra menjadi alasan, mengapa orang melarikan diri untuk

berdiskusi soal substansi masalah. Akar persoalan

diabaikan. Yang dibicarakan adalah hal-hal luhur,

sehingga yang terlihat adalah sosok yang baik, religius,

dan tidak layak menjadi terdakwa. Seperti yang banyak

dikatakan oleh para analis, politik Indonesia jauh lebih

memperhatikan citra daripada isi. Hal ini pulalah yang

mendorong para politikus mengumandangkan hal-hal

luhur, dan melarikan diri dari diskusi yang sungguh serius

dan kritis tentang hal-hal yang menjadi masalah di

kehidupan bersama.

Akibat dari Politik Eskapisme

Apa akibat dari kecenderungan politik

eskapisme, atau politik melarikan diri, ini? Saya melihat


setidaknya tiga akibat. Yang pertama, berbagai masalah

yang ada di dalam kehidupan bersama tidak akan pernah

terselesaikan, karena tidak pernah menjadi tema yang

sungguh secara serius dan kritis dibicarakan di dalam

ruang publik. Korupsi akan terus menjadi kanker di dalam

kehidupan sosial!

Kepemimpinan yang efektif dan legitim akan menjadi

sesuatu yang langka di dalam kehidupan politik. Semua

itu terjadi karena tidak pernah ada diskusi tentang

substansi masalah! Yang ada adalah seremonial politik

yang penuh dengan retorika luhur, tetapi tidak tepat

membidik masalah. Jika sudah begitu rakyat akan

semakin tidak peduli dengan politik. Egoisme akan

menjadi paham yang secara luas dianut masyarakat.

Solidaritas sosial menipis!

Inilah gejala kedua yang saya sebut sebagai kedangkalan


politik dan kultural. Semua bidang kehidupan tidak ada

yang memiliki akar kuat, karena tidak pernah sungguh

dipikirkan secara matang dan mendalam. Pendidikan

berubah menjadi pabrik manusia. Kesehatan berubah

menjadi bisnis untuk mengeruk keuntungan sebesar-

besarnya. Politik menjadi ajang perebutan kuasa, dan

bukan lagi soal pengabdian publik. Semua bidang

kehidupan bersama akan menjadi dangkal, karena tidak

pernah dipikirkan secara serius, namun hanya diisi

dengan retorika-retorika luhur yang sebenarnya miskin

substansi!

Mengingat itu semua bangsa Indonesia perlu untuk

berani menatap substansi permasalahan. Politik

eskapisme harus ditinggalkan! Pembenaran-pembenaran

luhur bernada religius dan moral memang membuat

situasi menjadi dingin, namun tidak pernah sungguh


menyelesaikan masalah. Ada waktunya kita bernostalgia

tentang nilai-nilai kebaikan yang pernah ada. Namun ada

waktunya kita bekerja secara efektif, efisien, dan kritis

menanggapi berbagai persoalan-persoalan bersama

dengan cerdas dan tepat guna!***


Manusia, Tulisan, dan Peradaban

Peradaban manusia dibentuk oleh pemikiran,

dan pemikiran dirumuskan serta disebarkan melalui

tulisan. Bangsa tumbuh dan hancur, namun ingatan

atasnya tetap melekat dan menjadi kajian wacana.

Semua dimungkinkan karena adanya tulisan yang

memotret dan mengabadikan peristiwa. Tulisan adalah

kisah tentang jatuh bangunnya manusia memahami dan

memaknai dirinya sendiri.

Tulisan juga merupakan tanda, bahwa manusia

merupakan mahluk yang hidup dan memaknai dirinya

dalam simbol. Manusia adalah mahluk yang berpijak

sekaligus mencipta sejarah, dan sejarahnya menjadi

abadi selama itu tertulis, serta diwariskan ke generasi


berikutnya. Maka tidak dapat diragukan lagi, budaya tulis

menulis sangat penting untuk mengembangkan

peradaban manusia secara keseluruhan.

Manusia dan Tulisan

Ernst Cassirer pernah menulis, bahwa manusia

adalah animal symbolicum, yakni mahluk simbol.

(Cassirer, 1944) Manusia hidup, berkembang, dan

memaknai eksistensi dirinya di dalam kepungan simbol.

Simbol tersebut bisa beragam, mulai dari bahasa, sampai

dengan simbol-simbol matematis yang merupakan

abstraksi dari realitas. Tidak hanya itu konsep ‘manusia’

pun sebenarnya suatu simbol yang mengabstraksi entitas

bertubuh, berdarah, berdaging, berotot, dan mampu

berpikir.

Cassirer lebih jauh berpendapat, bahwa manusia


adalah mahluk hidup yang selalu berada dalam lingkup

ekosistem tertentu. Ekosistem inilah yang memberikan

kehidupan pada manusia. Dalam arti ini secara lebih luas,

manusia adalah mahluk yang hidup dalam simbol, dan

simbol itulah yang memberikan arti bagi segala sesuatu

yang ada di sekitarnya. Salah satu simbol yang dominan

di dalam peradaban manusia adalah tulisan. (Basyir,

2008)

Kebudayaan dan peradaban merupakan hasil

dari perkembangan simbol. Manusia tidak lagi pasif di

hadapan alam, melainkan menjadi aktif mengartikan dan

memberi makna pada dunia secara personal. Ide muncul

dari pemikiran, dan menyebar melalui tulisan. Tulisanlah

yang membentuk peradaban, dan melepaskan manusia

dari insting dasariah yang seringkali bersifat hewani.

Di sisi lain manusia adalah mahluk historis.


Identitasnya ditentukan oleh sejarah hidupnya. Ia

menjadi apa yang ada sekarang, karena ia telah

menempuh proses historis tertentu. Tidak hanya itu

manusia pun adalah mahluk yang menyejarah. Ia terjun

langsung secara kreatif mencipta ulang realitas seturut

dengan pemikiran dan tindakannya.

Oleh karena itu peran dokumentasi yang

permanen amatlah penting. Sejarah yang merentang ke

masa lalu, masa kini, dan mengembang menjadi harapan

ke masa depan perlu untuk digoreskan dengan tinta di

atas kertas, supaya orang selalu jelas akan apa yang

menjadi identitasnya. Ia pun bisa mewariskan ke

generasi berikutnya. Tulisan adalah alat untuk

mewariskan apa yang penting di masa lalu dan masa kini

kepada generasi berikutnya.


Tulisan dan Peradaban

Tulisan juga melatih orang untuk menganalisis apa yang

dilihat dan dialaminya. Di dalam proses menulis, orang

diminta untuk sekaligus tenggelam dan mengambil jarak

dari peristiwa. Sikap mengambil jarak itu memungkinkan

orang untuk menganalisis dan berpikir kritis. Dalam arti

ini tulisan bisa mengembangkan kesadaran kritis bagi

orang-orang yang terbiasa melakukannya.

Dengan kesadaran kritis orang tidak lagi hanyut di dalam

arus peristiwa, namun mampu mengambil jarak dan

menentukan sikap. Peradaban adalah hasil dari

kemampuan manusia untuk mengambil jarak dan

bersikap kritis terhadap alam semesta yang penuh

dengan ketidakpastian. Dengan akal budinya manusia

memahami dan mematuhi hukum-hukum alam. Namun

di dalam kepatuhan itu, manusia justru bisa bersikap


bebas di hadapan alam, karena ia tidak lagi ‘dijajah’ oleh

alam, melainkan mampu memanipulir hukum-hukum

alam itu untuk memenuhi kebutuhannya. (Bacon, 1620)

Itulah sebenarnya hakekat dari teknologi dan peradaban.

Manusia mampu menaklukan alam justru dengan terlebih

dahulu memahami serta mematuhi hukum-hukumnya.

Semua itu bisa berkembang, karena manusia

mendokumentasikan hasil pengetahuannya dalam bentuk

tulisan, dan kemudian menyebarkannya untuk

memperoleh tanggapan. Tulisan adalah medium untuk

mengasah dan mempublikasikan pemikiran, terutama

yang berguna untuk menegaskan status manusia sebagai

subyek yang mampu mencipta ulang realitas.

Dengan demikian tulisan memiliki peran penting di dalam

proses penciptaan identitas, penegasan eksistensi, serta

pembentuk peradaban manusia secara keseluruhan.


Sebuah masyarakat baru dikatakan beradab, jika budaya

tulis sudah berkembang dan mengakar di dalam

masyarakat tersebut. Indonesia juga perlu menjadikan

tulis menulis sebagai budaya untuk menyampaikan

pendapat dan menyebarkan pemikiran. Hal ini berlaku

bukan hanya untuk kaum terdidik, tetapi untuk semua

orang memiliki kepentingan dan pemikiran untuk

didengar. Saya jadi teringat diktum lama; “yang

terkatakan akan lenyap, yang tertulis akan abadi.”

Dengan berpikir serta menulis, manusia yang rapuh dan

fana ini akan mampu mewujudkan mimpi kecilnya yang

sampai sekarang masih terlihat mustahil, yakni

berpartisipasi di dalam keabadian. ***


Homo Mimesis dan Plagiarisme

Belakangan ini Indonesia sedang dihebohkan oleh

fenomena plagiarisme di dunia akademik. Fenomena

yang menurut beberapa ahli merupakan puncak gunung


es dari bobroknya dunia pendidikan kita. Namun sejauh

ini belum ada yang mengajukan analisis cukup mendalam

terhadap fenomena terebut. Para guru besar ‘terhormat’

dari berbagai perguruan tinggi masih berperan sebagai

moralis yang menilai plagiarisme sebagai sebuah

kejahatan. Itu sebenarnya klise.

Tentu saja penilaian itu benar. Namun ada sesuatu yang

lebih mendalam di dalam fenomena tersebut, yang

bercokol pada kodrat manusia itu sendiri. Alih-alih

berperan menjadi moralis bagaikan malaikat agung yang

menilai kejahatan para plagiat, lebih konstruktif jika kita

memahami pengandaian antropologis dari plagiarisme.

Dari titik ini kita bisa lebih bijak memahami gejolak jiwa

para plagiat, dan tidak menghakimi sembarangan, seperti

para moralis akademik yang merasa diri seperti malaikat.


Manusia sebagai Mahluk Peniru

Manusia adalah mahluk yang multidimensi. Salah satu

dimensi yang tertanam di dalam kodratnya adalah hasrat

untuk meniru, atau mimesis. Mimesis sendiri memiliki

beragam arti, seperti imitasi, dan berbagai bentuk

tindakan yang meniru suatu obyek tertentu. Dasar

filosofis dari mimesi sangatlah dalam. Banyak pemikir

sepanjang sejarah mencoba memahami fenomena

mimesis ini. Mimesis adalah hasrat yang mendasari

tindak plagiarisme.

Sebagaimana dibaca dari Wikipedia, Plato, seorang filsuf

yang hidup di masa Yunani Kuno, berpendapat bahwa

mimesis adalah hasrat manusia untuk meniru alam.

Hasrat mimesis ini kental ditemukan pada diri penyair

dan pelukis, karena mereka menjadikan alam sebagai

obyek kreativitas mereka. Dengan kata lain para pelukis


dan penyair meniru alam, dan mengubahnya menjadi

obyek seni untuk diapresiasi. (Plato, The Republic)

Apakah para pelukis ini bisa disebut plagiat alam,

terutama karena mereka tidak mencantumkan catatan

kaki di bawah lukisan mereka?

Murid Plato –Aristoteles- memiliki pendapat yang kurang

lebih serupa dengan gurunya. Ia yakin bahwa seni

merupakan mimesis dari alam. Tidak hanya itu seni

merupakan representasi sekaligus penyempurnaan dari

alam. Ia menyatakan dengan jelas, bahwa manusia

adalah mahluk peniru (homo mimesis). Manusia didorong

dari dalam dirinya untuk merefleksikan alam semesta,

dan menuangkannya dalam sebuah karya, baik karya

seni maupun tulisan. (Wikipedia, 2010)

Di dalam masyarakat kita terdapat pepatah bijak, bahwa

orang pertama kali belajar dengan meniru. Dengan


meniru orang terbantu untuk menemukan bentuk

pemikirannya sendiri. Di balik pepatah tersebut terdapat

pengandaian antropologis, bahwa manusia hidup dan

berkembang dengan meniru. Kita berbicara, berjalan,

berelasi, dan bahkan buang air dengan meniru orang-

orang yang ada di sekitar kita. Manusia adalah homo

mimesis. Apakah ketika kita berjalan, dan tidak

mencantumkan ‘catatan kaki’ di mana kita belajar, kita

disebut sebagai plagiat?

Mimesis dan Plagiarisme

Saya tidak mau membenarkan tindak

plagiarisme. Tindakan tersebut jelas salah. Mengambil

ide atau karya orang tanpa mencantumkan keterangan

apapun jelas merupakan pelanggaran. Namun ada sisi

lain yang perlu juga dilihat, yakni sisi manusiawi,


terutama manusia yang memang sudah dari akarnya

adalah mahluk peniru (homo mimesis). Hukuman dan

pandangan terhadap para pelaku tindakan plagiarisme

juga harus mempertimbangkan faktor manusiawi ini, dan

tidak menjadi moralis “malaikat” yang merasa tidak

punya dosa, dan berubah menjadi hakim-hakim

akademik dalam sekejap mata.

Jelaslah bahwa plagiarisme adalah tindakan yang

berakar pada hasrat untuk meniru. Suatu tindakan

meniru tidak akan disebut plagiarisme, selama

mencantumkan keterangan secukupnya dari sumber yang

diacu. Yang diperlukan adalah kejelian dari memberi

catatan referensi. Kegagalan memberikan referensi juga

memiliki banyak motif, mulai dari ketidaktahuan (karena

tidak pernah diajari-ini yang banyak terjadi di Indonesia,

terutama di kalangan mahasiswa!), ketidaksengajaan,


niat jahat untuk mencuri ide orang lain, atau mencari

popularitas.

Berpijak pada fakta ini, maka cap plagiarisme

jangan terlalu gampang diberikan. Tuduhan tersebut

tidak boleh sembarangan diajukan, terutama untuk

menjatuhkan nama baik, atau pembunuhan karakter.

Praduga tak bersalah tetap harus diutamakan, sampai

terbukti sebaliknya. Masyarakat harus berhenti menjadi

hakim-hakim akademik. Para nara sumber juga harus

cukup bijak mempertimbangkan fakta sederhana, bahwa

manusia hidup dengan meniru, dan tindak meniru itu

seringkali tidak disertai dengan referensi. Dan juga

bahwa motif plagiarisme itu beragam. Dibutuhkan

kebijaksanaan untuk menilai, dan bukan emosi untuk

menjatuhkan reputasi orang lain.***


Memahami Makna Persahabatan

Mengapa manusia bersahabat? Apa hakekat atau

inti terdalam dari persahabatan yang mewarnai cerita

Amir dan Hasan di dalam novel The Kite Runner?

Pertanyaan tersebut memang terdengar retoris, namun

itulah yang muncul di kepala saya, ketika diminta untuk

menuliskan beberapa patah kata mengenai


persahabatan. Sejarah filsafat penuh dengan refleksi soal

persahabatan. Dan karena psikologi adalah anak

kandung filsafat, maka ada baiknya saya

memperkenalkan anda dengan sebuah refleksi filsofis

tentang persahabatan.

Hakekat Persahabatan

Ijinkan saya memperkenalkan mas Plato,

seorang filsuf yang hidup lebih dari 2400 tahun yang lalu.

Dapat juga dikatakan Plato adalah filsuf pertama yang

membuka percakapan yang sifatnya rasional dan

sistematis di dalam sejarah pemikiran manusia. Apa

pendapatnya tentang hakekat persahabatan? Coba kita

teliti pandangannya.[1]

Di dalam persahabatan terselip sebuah kata dan

konsep luhur yang seringkali digunakan, namun sulit


sekali untuk dipahami; cinta. Dapat pula dikatakan

pendapat Plato tentang persahabatan terkait dengan

pendapatnya soal cinta. Apa itu cinta? Menjawab

pertanyaan itu Plato memperkenalkan tiga konsep; philia,

eros, dan agape.

Secara singkat philia dan eros adalah jenis cinta

yang masih berfokus pada kualitas orang yang dicintai.

Misalnya saya mencintai kamu, karena kamu ganteng,

cantik, pintar, dan sebagainya. Jadi tindak mencinta

(termasuk bersahabat) muncul, karena orang yang

dicintai memiliki kelebihan tertentu. Eros biasanya terkait

dengan cinta yang melibatkan nafsu seksual. Eros

dengan mudah ditemukan pada pasangan yang tengah

bercinta.

Sementara philia adalah cinta antar saudara,

teman, sahabat, rekan kerja, ataupun cinta terhadap


orang-orang yang berasal dari bangsa maupun suku yang

sama. Persahabatan antara Amir dan Hasan sangat

mungkin didasarkan pada philia yang sangat kuat. Cirinya

ada dua yakni keduanya mengagumi sosok sahabatnya

(Amir ke Hasan, dan Hasan ke Amir), serta keduanya

merasa kecewa, terutama ketika menghadapai fakta,

bahwa sahabatnya ternyata tidak sesuai dengan persepsi

yang mereka bangun masing-masing. Ciri khas philia dan

eros adalah, bahwa keduanya hancur, ketika orang yang

kita cintai (termasuk sahabat) tidak lagi menjadi seperti

yang kita inginkan.

Bagi Plato tingkat cinta tertinggi adalah agape,

yakni cinta yang tidak lagi berfokus pada keunggulan

ataupun kehebatan orang yang dicintai, melainkan justru

ingin mengembangkan orang yang dicintai untuk

mempunyai keunggulan yang sebelumnya tidak ada.


Dengan kata lain cinta agape adalah cinta yang

membangun. Orientasi utama agape bukanlah

kepentingan dan kepuasan diri, melainkan kepentingan

dan perkembangan orang yang dicintai. Dengan mudah

kita menemukan cinta ini pada ibu yang merawat

anaknya dengan penuh kasih sayang, dan seorang suami

yang dengan setia dan tulus mencintai istri dan anaknya.

Alasan Persahabatan

Dengan filsafatnya tentang cinta (yang memang

menjadi dasar kokoh untuk persahabatan), Plato tetap

tidak menjawab pertanyaan mengapa manusia

bersahabat. Ia menjelaskan hakekat persahabatan,

namun tidak menjelaskan alasan mengapa orang

bersahabat. Muridnya yang bernama Aristoteleslah yang

akan menjawab pertanyaan ini. Uraiannya tentang


persahabatan terdapat di dalam bukunya yang

legendaris, Nicomachean Ethics.

Menurut Aristoteles ada tiga alasan orang

menjalin persahabatan, yakni kenikmatan

(hedonic/pleasure), kegunaan (utility), dan keutamaan

(arete/virtue). Artinya sederhana saya bersahabat

dengan anda, karena anda memberikan saya kenikmatan

(pleasure), seperti bisa diajak diskusi, pintar, suka

berbagi ilmu, suka mentraktir saya, suka berpetualang

bersama (untuk yang suka jalan-jalan), atau suka

membelikan saya barang-barang mewah. Alasan lainnya

adalah bahwa saya bersahabat dengan anda, karena

anda berguna untuk saya. Ketika menjelang ujian anda

mau membagikan ilmu dengan diskusi, atau dengan

berteman dengan anda, saya memiliki koneksi lebih

banyak, serta motif-motif ‘berguna’ lainnya. Dan alasan


ketiga adalah, saya bersahabat dengan anda, karena

anda adalah orang yang memiliki keutamaan, seperti

anda rendah hati, murah hati, sabar, penyayang, dan

sebagainya.

Dari pemaparan di atas dapatlah disimpulkan,

bahwa bagi Aristoteles persahabatan tidak pernah

sungguh-sungguh murni, karena selalu diwarnai motif-

motif di balik persahabatan itu. Namun begitu tidak

berarti persahabatan lalu menjadi ternoda. Justru di

dalam konsep persahabatan sudah selalu terkandung

konsep ‘motif’, yakni motif kenikmatan, kegunaan, dan

keutamaan. Persahabatan dan motif tidaklah bisa

dipisahkan.

The Kite Runner

Persahabatan Amir dan Hasan adalah persahabatan yang


didasari oleh cinta. Seperti sudah saya tekankan

sebelumnya, dasar dari hubungan mereka adalah philia,

yakni cinta yang berorientasi pada persaudaraan. Sekilas

philia memang tampak luhur, namun philia juga

sangatlah rapuh, karena ketika orang yang dicintai tidak

lagi sesuai dengan gambaran kita, maka kita dapat

segera meninggalkannya. Akhir dari philia adalah

kekecewaan, karena harapan yang tidak menjadi

kenyataan. Hal itu dengan jelas dapat terlihat di dalam

tragedi yang memisahkan Amir dan Hasan.

Pada hemat saya hubungan Amir dan Hasan

adalah hubungan yang mencerminkan ketiga motif yang

diutarakan oleh Aristoteles. Amir mengagumi Hasan

karena ia memiliki keutamaan (berani, gagah, dan

sebagainya). Keduanya mendapatkan keuntungan

(kegunaan) dari relasi persahabatan mereka. Akibatnya


persahabatan pun membawa kenikmatan (pleasure) bagi

keduanya, yakni kenikmatan yang muncul dari rasa

kebersamaan dan persaudaraan. Itulah motif-motif yang

mendasari persahabatan mereka. Namun dasar itu

tetaplah lemah, karena masih melulu didasarkan pada

philia.

Kunci sukses terpenting (berdasarkan

pemaparan ini) di dalam dunia perkuliahan (dan juga di

dalam kehidupan) adalah persahabatan, dan bagaimana

mengelola persahabatan itu. Dari Plato kita semua bisa

belajar untuk memiliki cinta konstruktif kepada orang

yang kita cintai (termasuk sahabat kita), yakni cinta yang

membangun dan mengembangkan. Dari Aristoteles kita

bisa belajar untuk memiliki cinta yang berkeutamaan,

yakni cinta yang mau belajar untuk menjadi orang yang

berkeutamaan (rendah hati, jujur, sabar, murah hati,


rajin) dari orang yang kita cintai.

Cinta yang membangun (agape), dan cinta yang

mau belajar untuk berkeutamaan (virtue), adalah kunci

sukses kehidupan. Bentuklah pemikiran seperti ini sedari

awal, maka segalanya (termasuk harta, kuasa, dan

kebahagiaan sejati) akan ditambahkan kepadamu. Have

faith and have hope (yakin dan berharaplah).***

Demokrasi Cacat Hati Nurani


Jumat 5 Februari 2010, ratusan imigran asal Sri

Lanka memasuki Indonesia, tepatnya di kawasan Cilegon,

Provinsi Banten. Beberapa di antara mereka sakit. Ada

satu orang yang telah meninggal dunia. Sampai saat ini

belum ada keputusan final soal status para imigran

tersebut. Pejabat setempat masih menunggu perintah

dari pemerintah pusat. Memang para imigran yang sakit

telah memperoleh perhatian medis. Namun sebagian di

antara mereka telah ditempatkan di rumah detensi di

Jakarta (Kompas, Sabtu 6 Februari 2010) Mereka

terjebak tanpa status legal di tanah asing.

Apa hubungan antara keberadaan para imigran

tersebut dengan demokrasi, terutama aspirasi Indonesia

untuk sepenuhnya menjadi negara demokratis yang

sejahtera dan sehat secara politis? Dengan lugas

dapatlah dikatakan, bahwa perhatian yang penuh hormat


dan empati kepada para imigran adalah ekspresi konkret

dari nilai-nilai demokrasi yang paling mendalam.

Empati pada para imigran adalah suatu sikap yang

sepenuhnya beririsan dengan nilai-nilai demokrasi,

terutama nilai-nilai hak-hak asasi manusia universal. Di

dalam masyarakat demokratis, hak-hak asasi manusia

adalah suatu postulat yang menjadi dasar dari semua

kebijakan maupun praktek politis.

Sikap Pemerintah Indonesia yang mengabaikan

para imigran, seolah mereka itu binatang yang menjadi

beban, adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai demokrasi

tidak sungguh dihidupi. Dalam arti ini demokrasi telah

berfungsi dengan mengabaikan hati nurani. Demokrasi

menjadi impersonal, dan seringkali mengorbankan

manusia untuk memastikan terlaksananya prosedur.

Indonesia adalah negara demokratis yang cacat hati


nurani.

Dekonstruksi Stigma

Yang perlu untuk terus ditegaskan adalah,

bahwa lepas dari semua kekurangan yang mereka miliki

dan beban yang mereka bawa, imigran adalah manusia.

Konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah; mereka

memiliki hak-hak asasi yang bersifat inheren di dalam

kemanusiaan mereka, lepas dari status legal politis yang

mungkin tidak jelas.

Beberapa hak-hak asasi yang bersifat fundamental adalah

hak untuk hidup, hak untuk secara bebas mengejar

aspirasi kehidupan, dan hak untuk memperoleh serta

mempertahankan kepemilikan. Dari ketiga hak tersebut

dapat dijabarkan hak asasi untuk mendapatkan

perawatan kesehatan, fasilitas pendidikan, dan pekerjaan


manusiawi. Hak-hak inilah yang wajib untuk dimiliki oleh

para imigran.

Banyak orang berpendapat bahwa imigran adalah beban.

Mereka adalah manusia yang tidak berguna, pelarian,

orang bodoh, miskin, dan pemalas. Ini adalah stigma

yang telah lama dilekatkan pada diri imigran. Pandangan

ini tidak memiliki dasar yang kokoh.

Imigran bukanlah alien. Mereka memang berbeda suku,

bangsa, ataupun agama dari kita, namun mereka adalah

manusia, sama seperti manusia-manusia lainnya. Dalam

bahasa filsafat pasca modernisme, imigran adalah “yang

lain” (berbeda suku dan agama), namun tetap dalam

kaitan dengan “yang sama” (manusia) dengan kita.

(Levinas, 1985) Mereka berbeda sekaligus sama dengan

kita. Di mana kesamaannya?

Imigran adalah orang-orang yang melarikan diri dari


tanah kelahirannya, baik karena bencana alam ataupun

bencana sosial dalam bentuk represi politis, kemiskinan,

perang, penyakit, dan sebagainya. Mereka di dorong oleh

hasrat untuk pelestarian diri ( self-preservation). Hasrat

ini berpijak pada hasrat yang lebih mendasar yang

bercokol di dalam kodrat manusia, yakni hasrat untuk

menyelamatkan diri (survival). (Hobbes,1651) Dua hasrat

ini dimiliki oleh semua manusia, lepas dari suku, ras,

bangsa, jenis kelamin, ataupun agama. Dalam arti ini kita

sama dengan para imigran.

Jika anda mengalami perang saudara, wabah penyakit

mematikan, bencana alam yang menghancurkan semua

milik anda, kemiskinan akut karena ketidakadilan politis,

atau pengejaran oleh penguasa karena anda dianggap

pengkhianat, maka hasrat untuk menyelamatkan diri

akan mendorong anda untuk mencari tempat aman di


daerah asing. Ini adalah hasrat dan tindakan yang

manusiawi. Inilah yang dirasakan oleh para imigran.

Imigran adalah orang yang hidup dalam situasi terjepit.

Dan di dalam situasi terjepit, seperti pernah dinyatakan

oleh Anthony Giddens, kesadaran diskursif untuk

bersikap kreatif dan inovatif akan bertumbuh dan

menjadi semakin tajam. (Giddens, 1989) Para imigran

siap bekerja keras. Mereka rela mengerjakan pekerjaan-

pekerjaan berat, supaya bisa hidup layak sebagai

manusia di tanah asing. Dalam bahasa manajemen para

imigran adalah aset sumber daya manusia yang berharga

untuk perkembangan bangsa, selama ditata secara tepat

dan manusiawi.

Dengan demikian stigma bahwa imigran adalah bebas

tidaklah benar. Jika dipahami dan ditata secara tepat

serta manusiawi, imigran bisa menjadi bagian integral


dari sebuah bangsa, dan bahkan bisa menjadi pendorong

kreatifitas ekonomi maupun kultural. Cara pandang yang

merendahkan dan meremehkan imigran haruslah diubah.

Imigran juga manusia sama seperti kita semua.

Demokrasi dan Imigran

Demokrasi berdiri atas pilar pengakuan,

penghormatan, dan penerapan hak-hak asasi manusia.

Demokrasi berdiri dan berkembang secara maksimal di

atas pluralisme. Demokrasi memberi ruang bagi warga

untuk memperjuangkan kesejahteraannya masing-

masing sejalan dengan hukum yang adil. Demokrasi

adalah pemerintahan dengan berpijak pada hati nurani

yang peka pada kebutuhan dan kegelisahan rakyat.

Demokrasi Indonesia pun harus memiliki hati

nurani yang terwujud dalam perhatian penuh hormat dan


empati pada para imigran. Stigma imigran sebagai beban

haruslah dilenyapkan secara perlahan. Tanda kebesaran

sebuah bangsa adalah seberapa ramah bangsa tersebut

terhadap pihak yang paling lemah di dalamnya, yang

dalam hal ini adalah para imigran. Demokrasi menjadi

hidup ketika dihayati dan diterapkan dengan hati nurani.

Demokrasi yang berjalan tanpa hati nurani bukanlah

demokrasi, melainkan tirani.***


Demokrasi Penuh Kontradiksi

Jumat 29 Januari 2010, Tony Blair, mantan Perdana

Menteri Inggris, diinterogasi oleh Komisi Penyelidikan

Perang Irak di London, Inggris. Selama enam jam Blair

diminta bersaksi dalam dengar pendapat ( hearing)

tentang dukungan Inggris untuk menyerang Irak pada

2003 lalu. Walaupun pada waktu itu sebagian besar

rakyat Inggris menentangnya, Blair tetap nekat

mengirimkan tentara Inggris untuk membantu Amerika

Serikat menginvasi Irak. Kini ia diminta bertanggung

jawab atas keputusannya itu. (Kompas, 30 Januari 2010)


Demokrasi dan Kontradiksi

Ada dua hal yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini.

Yang pertama, elit politik tidak kebal hukum. Hukum

menjadi tolok ukur utama bagi penentuan keputusan.

Ketika orang yang paling berkuasa melanggarnya, dan

dengan demikian menusuk rasa keadilan masyarakat,

maka ia juga akan dikenakan sanksi legal.

Para elit politik di Indonesia juga tidak boleh kebal

hukum. Tugas masyarakatlah untuk memastikan, bahwa

semua elit politik maupun ekonomi yang melanggar

hukum, dan menodai rasa keadilan masyarakat, harus

menerima sanksi legal yang memadai. Tentu saja

tantangan pasti datang beragam dengan intensi yang

besar. Namun walaupun bumi hancur, keadilan tetap

harus ditegakkan. Inilah prinsip yang tidak bisa diubah.


Yang kedua, pemerintah sesungguhnya dari sebuah

negara adalah rakyat. Rakyat memilih wakil-wakilnya,

dan kemudian wakil-wakil tersebut duduk bersama untuk

merumuskan hukum dan kebijakan yang mendukung

kesejahteraan rakyat. Relasi antara rakyat-perwakilan-

hukum itu adalah sistem di dalam masyarakat

demokratis. Sistem itulah penguasa politis sesungguhnya.

Ketika para wakil dan elit politik yang memerintah

membuat hukum ataupun kebijakan yang merugikan

rakyat, maka terjadi kontradiksi kekuasaan. Stabilitas

politis goyah. Peluang untuk terjadinya perubahan

muncul, entah ke arah yang baik ataupun justru buruk.

Oleh karena itu elit politik perlu untuk terus mengontrol

dirinya sendiri dan memastikan, bahwa manuver politis

yang mereka buat berpihak pada kepentingan rakyat.

Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah elit politik


seolah kebal hukum. Penguasa sesungguhnya bukanlah

rakyat, melainkan para elit politik maupun ekonomi yang

memainkan pion kekuasaan di meja-meja nyaman

mereka. Sulit untuk membayangkan dua hal ini terjadi di

sebuah negara yang mengklaim dirinya demokratis. Inilah

esensi dari demokrasi yang penuh dengan kontradiksi,

yakni demokrasi yang menghancurkan prinsip-prinsip

dasarnya sendiri. Indonesia adalah negara demokrasi

yang penuh dengan kontradiksi kekuasaan di dalamnya.

Hakekat Kekuasaan

Ketika orang tersesat maka ia perlu kembali

meniti jalannya dari awal. Dan ketika orang mengalami

disorientasi dalam hidupnya, maka ia perlu untuk

menanyakan kembali tujuan awal ia bertindak, dan

bahkan tujuan awal hidupnya. Demokrasi yang penuh


dengan kontradiksi adalah sebuah tanda disorientasi.

Para elit politik sudah tersesat. Mereka tidak bisa

membedakan antara kepentingan publik yang harus

mendapat prioritas, dan kerakusan kepentingan privat

yang harus ditunda terlebih dahulu.

Jika meniti jalan sampai ke awal, kita akan

menabrak sebuah pertanyaan sederhana, apa hakekat

kekuasaan? Para filsuf politik sepanjang sejarah telah

berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Di dalam

masyarakat totaliter, hakekat kekuasaan adalah

pemuasan kebutuhan sang pemimpin. Sebagai timbal

baliknya sang pemimpin akan membuat rakyatnya

sejahtera, namun itupun bukanlah sebuah kewajiban.

Kesejahteraan rakyat bisa terjadi, karena kebaikan hati

sang pemimpin.

Pada masyarakat teokratis kekuasaan adalah


untuk memuliakan Tuhan yang ada di dalam suatu tradisi

agama tertentu. Negara diperintah dengan mengacu

secara harafiah pada ajaran agama tertentu.

Kesejahteraan rakyat menjadi nomor dua. Jika rakyat

sejahtera akibat pemerintahan teokratis, maka itu

hanyalah akibat sampingan, dan bukan tujuan utama.

Kedua bentuk kekuasaan di atas sudah banyak

ditinggalkan, walaupun belum sepenuhnya. Kritik atas

dua bentuk kekuasaan tersebut melahirkan bentuk

kekusaan baru, yakni kekuasaan demokratis. Di dalam

masyarakat demokratis, kekuasaan ada di tangan rakyat

yang kemudian secara bebas memilih wakil-wakilnya di

pemerintahan eksekutif. Para wakil tersebut kemudian

merumuskan hukum dan kebijakan yang menjadi

protokol pengaturan negara. Pada titik ini kekuasaan

tertinggi ada di tangan hukum yang merupakan cerminan


langsung dari kehendak rakyat.

Di Indonesia sekarang ini, seperti sudah

ditegaskan sebelumnya, demokrasi menelan prinsip-

prinsipnya sendiri. Elit politik yang dipilih rakyat berada

lebih tinggi dari hukum. Akibatnya ketika mereka

merugikan rakyat, mereka lolos begitu saja tanpa sanksi

legal. Para wakil rakyat semakin jauh dari usaha-usaha

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi

sungguh mengalami kontradiksi. Cara untuk mengurangi

kontradiksi itu adalah dengan mengingat dan

menegaskan kembali hakekat kekuasaan di dalam

masyarakat demokratis.

Ketika tersesat kita perlu untuk meniti jalan ke

awal berdirinya negara Indonesia. Kontradiksi di dalam

demokrasi Indonesia tidak boleh berbuah menjadi anarki

ataupun revolusi berdarah. Sebaliknya kontradiksi harus


dilampaui dengan menciptakan sintesis demokrasi. Dan

mungkin suatu saat, kita bisa berbesar hati mengadili

para pemimpin kita yang korup di hadapan hukum yang

sah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Inggris

terhadap Tony Blair. Semoga.***

Diplomasi Tanpa Keadilan

Dalam salah satu pernyataan persnya, Marty Natalegawa,


Menteri Luar Negeri RI, menyatakan, bahwa Indonesia

akan menempatkan diplomasi untuk mencapai konsensus

sebagai paradigma hubungan luar negerinya pada tahun

2010. Diplomasi yang bermuara pada konsensus akan

menjadi senjata utama Indonesia untuk menanggapi isu-

isu bilateral dan multilateral dunia, baik yang berskala

domestik, internasional, ataupun intermestik, yakni ketika

perbedaan antara isu domestik dan internasional tidak

terlalu jelas. (Kompas, 9 Januari 2010)

Sekilas argumen tersebut terlihat masuk akal dan luhur.

Namun ada problem besar di baliknya. Apakah konsensus

itu semata-mata merupakan bentuk konformisme

terhadap dunia internasional, dan mengakibatkan

kepentingan fundamental RI, seperti soal TKI dan batas-

batas teritorial Indonesia, dikorbankan demi rasa aman

dan reputasi? Apakah diplomasi dan konsensus itu adalah


selubung untuk menutupi ketakutan, kepengecutan, dan

ketidakmampuan RI untuk menegaskan hak-haknya

sebagai bangsa yang berdaulat? Atau diplomasi sungguh

upaya yang tulus untuk menyelesaikan konflik dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan fundamental

kedua belah pihak yang terlibat konflik?

Diplomasi untuk mencapai konsensus adalah cara yang

tepat untuk menyelesaikan tegangan ataupun konflik di

berbagai bidang. Namun diplomasi tidak harus mencapai

konsensus, terutama bila ada pihak yang kepentingan-

kepentingan fundamentalnya dirugikan. Disensus –lawan

dari konsensus- dimungkinkan terjadi demi terwujudnya

rasa keadilan. Politik luar negeri RI tidak boleh

mencerminkan kepengecutan dalam bentuk hasrat

berlebihan untuk mencapai konsensus, namun pada

akhirnya mengakibatkan terlukanya rasa keadilan


masyarakat.

Disensus dan Pascamodernisme

Di dalam filsafat, seni, dan ilmu-ilmu sosial,

paradigma pascamodernisme lahir sebagai revolusi

terhadap semua bentuk pemikiran yang memiliki klaim

universal. Salah seorang pemikir pascamodernis, Jean-

Francois Lyotard, menyatakan bahwa narasi-narasi besar,

yakni pemikiran-pemikiran universal, telah kehilangan

legitimasinya, dan tidak lagi menjadi otoritas tunggal di

dalam dunia. Yang lahir kemudian adalah narasi-narasi

kecil yang tertanam pada lokalitas kultur ataupun cara

pandang dunia tertentu. (Lyotard, 1979) Akibatnya

perbedaan lebih penting daripada kesatuan, dan disensus

–ketidaksepakatan- lebih mendapatkan prioritas dari

konsensus yang seringkali hanya menutupi fakta


ketidakadilan di belakangnya.

Argumen Lyotard tersebut menggetarkan dunia

filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada jamannya. Filsafat yang

selama berabad-abad mengendepankan pencarian

kebenaran dalam bentuk sintesis yang absolut, baik

secara sekular maupun religius, kini berhadapan dengan

tantangan dari berbagai penjuru. Perbedaan ( difference)

dan disensus dianggap lebih mampu menampung

keadilan daripada kesatuan (unity) dan konsensus.

Perbedaan dan disensus menunjukkan keterbukaan pada

ketidakpastian realitas, serta kerendahan hati untuk terus

mencari solusi dengan tetap mempertahankan ketegasan

jati diri.

Politik luar negeri Indonesia tahun 2010, seperti

yang diutarakan oleh Marty Natalegawa, perlu untuk

memperhatikan catatan dari Lyotard tersebut. Kerinduan


berlebihan untuk mencapai konsensus, tanpa ada upaya

untuk menegaskan jati diri dan –jika perlu- menciptakan

disensus, hanya akan mengorbankan rasa keadilan

masyarakat. Itulah kiranya yang menjadi politik luar

negeri Indonesia selama ini. Terlihat di dalamnya sikap

pengecut, cari aman, dan konformisme berlebihan yang

berselubungkan retorika luhur ‘diplomasi untuk mencapai

konsensus’, namun faktanya justru mengorbankan

kepentingan fundamental bangsa, serta mencoreng rasa

keadilan masyarakat.

Diplomasi adalah sarana untuk memperjuangkan

hak-hak bangsa, dan bukan sarana untuk mengorbankan

hak-hak bangsa demi mencari keamanan sesaat.

Konsensus yang Sejati

Pandangan Lyotard ditantang oleh seorang


pemikir Jerman yang bernama Jürgen Habermas. Baginya

politik disensus tidak akan menyelesaikan masalah-

masalah masyarakat. Politik disensus akan bermuara

pada anarkisme yang akhirnya menghancurkan

masyarakat itu sendiri. Maka diplomasi untuk mencapai

konsensus adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan

politik yang stabil sekaligus adil. Namun diplomasi yang

macam apa?

Habermas memberi catatan tentang syarat-

syarat untuk mencapai diplomasi yang adil. Secara

sederhana ia menulis, bahwa diplomasi haruslah

mematuhi setidaknya tiga rambu, yakni jujur, benar, dan

komprehensif. Jujur berarti menyatakan fakta seadanya

tanpa rekayasa. Benar berarti mengikuti jalur logika

argumentasi yang bisa diterima oleh akal sehat.

Komprehensif berarti diplomasi berpijak pada data yang


menyeluruh, dan berorientasi pada konsensus yang

menyeluruh pula. Tujuan akhir dari diplomasi –Habermas

menyebutnya diskursus- adalah konsensus rasional yang

bebas dominasi. (Habermas, 1994)

Walaupun tampak berseberangan Lyotard dan

Habermas sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yakni

mencipakan keadilan melalui diplomasi. Lyotard ingin

memberikan ruang bagi keadilan di dalam konsensus

semu yang seringkali terjadi. Ruang keadilan itu

disebutnya sebagai disensus. Sementara Habermas ingin

menegaskan kembali hakekat dari diplomasi, yakni untuk

mencapai konsensus rasional yang bebas dominasi yang

menjadikan keadilan sebagai tujuan utamanya.

Politik luar negeri Indonesia perlu untuk

memperhatikan catatan dari dua pemikir besar dunia ini.

Diplomasi untuk mencapai konsensus memang jalan yang


baik dan layak diperjuangkan. Namun konsensus

haruslah merupakan konsensus yang sejati, yang

dibangun atas dasar komunikasi yang jujur, benar, dan

komprehensif.

Jika itu tidak bisa dicapai, maka disensus adalah jalan

yang harus ditempuh. Dalam situasi semacam ini,

disensus adalah jalan untuk mencapai keadilan. Kita tidak

boleh terpesona oleh slogan-slogan luhur, seperti

diplomasi untuk mencapai konsensus, dan lupa, bahwa

seringkali slogan-slogan luhur hanyalah selubung dari

ketidakadilan yang bersembunyi di belakangnya.***


Bersembunyi di Balik Birokrasi

Birokrasi adalah prosedur yang diselimuti aturan untuk

memperlancar proses kerja dan menghindari kebocoran

administratif. Kebocoran administratif itu bisa berupa

penyalahgunaan wewenang yang bermuara pada

kerugian ekonomis dan kerugian sosial ( social lost) dalam

bentuk krisis kepercayaan. Jelaslah bahwa alasan

keberadaan birokrasi adalah sesuatu yang positif. Namun

dalam prakteknya birokrasi seringkali menjadi

penghalang perubahan ke arah yang lebih baik, sekaligus

sebagai pembunuh kreatifitas.

Banyak orang yang bersikap pengecut bersembunyi di

balik birokrasi untuk mematahkan gejolak

perubahan,baik dalam hukum maupun dalam praksis


manajemen sehari-hari. Alasan sebenarnya adalah

ketakutan untuk berubah dan ketakutan untuk

kehilangan posisi. Namun alasan tersebut dibalut dengan

argumentasi birokratis, guna menutupi mentalitas

pengecut yang bersembunyi di baliknya. Birokrasi

menjadi pembenaran bagi sikap pengecut dan ketakutan

berlebihan pada sesuatu yang tidak diketahui ( fear of the

unknown).

Sistem dan Rasionalitas Instrumental

Darimanakah akar pemikiran untuk mendirikan

birokrasi di negara modern maupun perusahaan bisnis?

Menurut Horkheimer dan Adorno, birokrasi adalah nyawa

dari sistem di dalam pemerintahan maupun bisnis

modern. (1944) Sistem sendiri menurut Niklas Luhmann,

seorang pemikir teori sistem, bertujuan untuk


mengurangi kerumitan di dalam dunia, sehingga

produktivitas bisa meningkat sejalan dengan proses

pengurangan kerumitan tersebut. (Luhmann, 1984) Akar

dari cara berpikir yang terdapat di dalam birokrasi dan

sistem adalah rasionalitas instrumental, yakni cara

berpikir yang mengedepankan kontrol, efisiensi,

efektivitas, dan bersifat impersonal. Birokrasi dan sistem

menjadi pilar penyangga hampir semua institusi modern.

Perlu dicatat bahwa tujuan awal dari keberadaan

rasionalitas instrumental di dalam birokrasi dan sistem

adalah untuk mengurangi kerumitan. Semua itu

bermuara pada pembentukan prosedur kerja. Di dalam

hukum prosedur menjamin bahwa tuntutan atau kasus

hukum tertentu dapat dikatakan sah. Di dalam ilmu

pengetahuan, prosedur, dalam bentuk metode, menjadi

penjamin kesahihan suatu penelitian.


Kesalahan muncul ketika orang memperlakukan

dunia manusia, yang sangat rumit, melulu sebagai sistem

dan birokrasi. Ketika itu terjadi relasi antar manusia

kehilangan spontanitasnya, dan menjadi impersonal.

Kehangatan dan makna hidup hilang ditelan oleh

prosedur yang kering dan mekanis. Spontanitas dan

kreativitas menjadi sesuatu yang langka di dalam sistem

negara modern. Tidak heran banyak orang menderita

kelainan jiwa, karena ia merasa terasing di tempat

tinggalnya sendiri. Dalam kasus yang ekstrem, orang

akan bunuh diri.

Dunia Kehidupan yang Spontan

Jürgen Habermas –salah seorang pemikir

Jerman kontemporer- berpendapat bahwa dunia manusia

tidak hanya terdiri dari sistem yang mekanis, melainkan


juga terdiri dari dunia kehidupan. Dunia kehidupan

adalah ruang-ruang di masyarakat yang tidak terjamah

oleh birokrasi. Di dalamnya orang menemukan identitas

dan makna keberadaan dirinya di dunia. Di dalamnya

pula lahir spontanitas dan kreativitas yang memberi

warna bagi kehidupan manusia. (Habermas, 1984)

Di dalam negara modern, menurut Habermas,

dunia kehidupan semakin terkikis oleh sistem dan

birokrasi. Akibatnya banyak orang mengalami krisis

makna, karena ia tidak memiliki ruang untuk menemukan

identitas dirinya. Banyak orang hanya hidup di dalam

sistem yang sifatnya mekanis dan impersonal. Dalam

jangka panjang psikopatologis adalah konsekuensi dari

cara hidup semacam itu.

Dunia kehidupan tidak bergerak dengan

rasionalitas instrumental, tetapi dengan rasionalitas


komunikatif. (Habermas, 1984) Rasionalitas komunikatif

berfokus pada komunikasi yang dilakukan secara adil,

guna menemukan persetujuan bersama. Manusia

membentuk dirinya melalui komunikasi dengan

lingkungannya. Sebagai bagian dari masyarakat modern,

kita wajib memberikan ruang yang mencukupi bagi dunia

kehidupan, dan membatasi keberadaan sistem sesuai

kebutuhan saja. Dalam bahasa yang lugas, spontanitas

dan kreativitas haruslah diberikan tempat, bahkan di

dalam birokrasi yang paling rumit sekalipun.

Birokrasi Dinamis

Apa implikasi refleksi kecil ini bagi Indonesia?

Indonesia adalah sebuah negara yang tengah menapaki

jalan untuk menciptakan birokrasi modern yang

sempurna. Dalam perjalanan tersebut haruslah terus


diingatkan, bahwa birokrasi diciptakan untuk

mempermudah kehidupan manusia. Maka ketika birokrasi

justru mempersulit, mungkin sudah waktunya mengubah

atau bahkan melenyapkan birokrasi tersebut demi

berkibarnya spontanitas dan kreativitas. Pikiran dan

kehidupan manusia lebih luas dari aturan dan birokrasi.

Birokrasi harus cukup lentur, sehingga

memungkinkan kreativitas berkembang bebas. Dan

sebaliknya birokrasi harus cukup kuat, sehingga korupsi,

dalam bentuk apapun, dapat dipatahkan sejak awal. Di

dalam penerapan birokrasi juga tidak pernah boleh

menjadi selimut yang menutupi mental pengecut. Tugas

kita bersama untuk memastikan semua itu terwujud.***


Indonesia Perlu Evaluasi Diri

Di awal tahun 2010 ini, ada baiknya kita sebagai

bangsa mulai melakukan evaluasi diri, dan melihat

peluang-peluang yang terbuka di masa depan. Di dalam

proses evaluasi diri, kita bisa menyimpulkan beberapa hal

yang dapat menjadi alasan untuk bersikap optimis

menghadapi tahun 2010 dan dekade yang baru. Namun

di sisi lain, kita bisa menyimpulkan beberapa hal yang

kiranya membuat kita memiliki alasan untuk bersikap

pesimis. Di tengah himpitan optimisme dan pesimisme,


kita diminta untuk tetap setia bekerja dan berharap.

Alasan untuk Bersikap Optimis

Setidaknya ada lima alasan bagi kita untuk

bersikap optimis sebagai bangsa. Yang pertama adalah

fakta nyata, bahwa bangsa Indonesia masih ada dan

tegas berdiri. Lepas dari begitu banyak tantangan yang

dihadapi secara nasional ataupun global, bangsa

Indonesia masih ada, masih memiliki rakyat, tata

pemerintahan, dan pengakuan dari dunia internasional.

Ini adalah fakta yang sungguh harus kita syukuri

bersama.

Yang kedua lepas dari segala keterbatasan yang

ada, bangsa Indonesia masih memberikan ruang besar

bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama.

Dua hal ini merupakan pilar penyangga masyarakat


demokratis yang pluralistik, seperti Indonesia.

Perdebatan seputar buku George Junus Aditjondro baru-

baru ini, lepas dari segala kekurangannya, menunjukkan

bahwa, bangsa kita sudah maju selangkah di dalam soal

membangun opini di ruang publik. Dan juga lepas dari

begitu banyak diskriminasi atas nama agama, kebebasan

beragama sungguh terasa di seluruh Indonesia. Konflik

dan kebencian atas nama agama semakin luntur diwarnai

oleh dialog dan kebersamaan. Upaya-upaya positif

membangun harmoni sosial ini perlu untuk dilanjutkan.

Yang ketiga lepas dari begitu banyak bencana alam dan

krisis energi, bangsa kita masih mampu mencukupi

kebutuhan energi dasarnya. Di beberapa daerah tidak

adanya listrik dan air bersih memang masih menjadi

masalah utama. Namun itu pun masih minoritas, jika

dibandingkan dengan mayoritas tempat yang sudah


tersentuh oleh listrik dan air bersih. Lepas dari segala

kekurangan yang ada, kita patut mensyukuri

ketersediaan energi dan air bersih ini. Usaha-usaha

konkret untuk mengembangkannya, terutama di daerah-

daerah terpencil, perlu dilakukan di masa depan.

Yang keempat, konflik sosial horisontal antar etnis,

agama, ras, dan suku tidak lagi terjadi. Masyarakat sudah

semakin sadar, bahwa konflik lebih banyak didalangi oleh

provokator terselubung. Maka mereka tidak lagi gampang

terpancing untuk melakukan tindakan agresif. Walaupun

di beberapa tempat konflik sosial horisontal masih

meletus, namun jumlah itu amat kecil dibandingkan

keberhasilan kita sebagai bangsa melestarikan

perdamaian. Ini adalah fakta yang patut kita banggakan

dan syukuri bersama.

Yang kelima, beberapa peristiwa politis belakangan ini,


seperti kasus KPK, Prita, dan Bank Century, menunjukkan

bahwa bangsa kita semakin aktif berpartisipasi di dalam

soal politis. Apatisme secara perlahan namun pasti mulai

terkikis. Rasa keadilan masyarakat diguncang oleh

peristiwa-peristiwa yang mengusik hati nurani. Perlu

diacungi jempol peran media massa dalam

menyampaikan dan mengolah pemberitaan, walaupun

seringkali media massa bermain menjadi hakim di ruang

publik –ini harus dicegah di masa depan.

Semua ini patut menjadi kebanggaan kita sebagai

bangsa. Pemerintahan SBY -yang memang memiliki

banyak kekurangan- tetap mampu menjamin eksistensi

bangsa Indonesia, baik di level nasional, regional,

maupun internasional. Kita bisa tersenyum kecil melihat

fakta ini, sambil tetap berupaya untuk menambal

kekurangan-kekurangan yang ada. Setidaknya dengan


lima fakta ini, kita bisa memulai tahun 2010 dengan

wajah cerah.

Alasan untuk Pesimis

Wajah yang cerah belum tentu tanpa hambatan.

Justru wajah yang cerah untuk menatap suatu momen

mengandung makna, bahwa tantangan yang ada di

depan mata begitu besar, namun –dengan segala

keterbatasan yang ada- merasa mampu melampauinya.

Ada beberapa tantangan besar yang dihadapi oleh

bangsa Indonesia sekarang dan di masa depan. Jika

dipersepsi secara kurang tepat, tantangan itu bisa

menciptakan pesimisme sosial.

Tantangan utama dan terbesar bangsa Indonesia

adalah melenyapkan kemiskinan di berbagai bidang.

Dalam hal ini kemiskinan terbesar bangsa Indonesia


adalah kemiskinan cara berpikir, yang mewujud di dalam

ketidakmampuan untuk mencari alternatif serta membuat

terobosan secara kreatif. Buah dari kemiskinan cara

berpikir ini adalah kemiskinan ekonomi, sosial, dan

politik. Perilaku para elit politik adalah cerminan dari

kemiskinan cara berpikir ini. Rendahnya tingkat

kewirausahaan di berbagai bidang di Indonesia juga

adalah wujud nyata dari miskinnya cara berpikir.

Yang kedua adalah kesenjangan sosial yang

masih sangat besar. Jumlah orang miskin di Indonesia –

dilihat dari pendapatan per hari- masihlah sangat besar.

Namun di sisi lain, pameran mobil mewah selalu laku

keras. Rumah-rumah di kawasan mewah sudah terbeli

semua. Konglomerasi dan monopoli sumber daya di

berbagai bidang menciptakan sekelompok orang kaya di

tengah lautan orang miskin. Ini tentunya bisa menjadi


potensi konflik yang sangat besar di masa depan.

Yang ketiga adalah tata hukum yang hampir

tidak memiliki kepastian. Para penegak hukum seringkali

terjebak dalam kasus korupsi, dan ini membawa kita

pada tantangan keempat, yakni korupsi di berbagai

bidang, terutama korupsi di kalangan para penegak

hukum. Semua ini diperparah oleh lemahnya

kepemimpinan politik pemerintah Indonesia. Pola

komunikasi yang reaksioner, negatif, dan agresif dari

presiden meracuni ruang publik kita. Maka tepatlah

dikatakan bahwa Indonesia memiliki pemerintahan,

tetapi tidak memiliki pemimpin.

Kelima hal ini adalah tantangan yang harus

dihadapi dengan cara berpikir yang jernih dan tindakan

yang tepat. Tanpa kejernihan berpikir dan tindakan yang

tepat, tantangan ini akan menjadi masalah sosial yang


besar. Dan sudah merupakan reaksi dasar manusia,

bahwa di hadapan masalah besar, ia akan melarikan diri

ke dalam kamar-kamar pribadinya, dan menjadi tidak

peduli. Sikap inilah yang harus dicegah.

Masalah harus dihadapi sebagai tantangan, dan

tantangan harus dipersepsi sebagai sesuatu yang mesti

dilampaui, dan bukan dijauhi. Evaluasi diri adalah

langkah awal untuk memetakan kekuatan dan kelemahan

yang ada. Evaluasi diri dapat menjadi pendorong

perubahan sosial ke arah yang lebih adil, jika

diterjemahkan ke dalam kebijakan politik. Kualitas

sebuah bangsa dilihat dari sejauh mana bangsa itu

mampu melampaui pesimismenya, dan merengkuh masa

depan yang penuh ketidakpastian dengan wajah yang

cerah. Saya harap Indonesia bisa menujukkan

kualitasnya sebagai bangsa besar di tahun dan dekade


baru ini.***

Tahun baru, Jejak Trauma,

dan Dialektika Harapan


Apa yang baru dari ‘tahun baru’? Waktu tetap berjalan.

Bumi tetap berputar pada porosnya. Hari tetap berganti

dari pagi, siang, dan menuju malam. Yang baru dari

tahun baru adalah pemaknaan manusia pada waktu dan

peristiwa. Apa yang berjalan secara rutin kini dipahami

sebagai sesuatu yang lepas dari rutinitas, yakni kebaruan

itu sendiri. Oleh karena itu tahun baru tidak boleh jatuh

menjadi rutinitas, karena itu hanya akan melucuti esensi

–kebaruan- yang terdapat didalamnya.

Perjalanan Indonesia sebagai bangsa adalah perjalanan

yang penuh dengan peristiwa traumatis. Bermula dari

kolonialisme dan represi selama lebih dari 20 tahun,

Indonesia bagaikan bangsa yang merangkak untuk

menjadi dewasa, dan melepaskan diri dari masa lalunya

yang kelam. Berbagai konflik antar etnis, krisis ekonomi,

korupsi yang tak kunjung habis menggores jati diri kita


sebagai bangsa. Kini di ambang dekade baru, kita

mencoba menggores harapan di tengah lautan trauma

yang ada.

Setiap pergantian tahun selalu ditandai dengan

tumbuhnya harapan. Harapan tersebut tumbuh

dihadapan tanah berduri yang penuh dengan peristiwa

negatif. Namun sebagai bangsa Indonesia tidak boleh

terus berkubang di dalam trauma. Trauma adalah negasi

dari peristiwa negatif kehidupan yang harus dilampaui

untuk mencapai sintesa kehidupan yang lebih sempurna.

Tahun Baru

Tahun baru juga melahirkan masalah dan

tantangan-tantangan baru yang perlu untuk ditanggapi

secara tepat dan jernih. Tantangan dan masalah baru

tidak bisa ditanggap dengan kerangka berpikir dan


tindakan-tindakan lama. Oleh karena itu tahun baru juga

berarti keberanian untuk melihat dunia dengan cara baru,

yakni cara yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan.

Tanpa keberanian semacam itu, tahun baru hanyalah

merupakan tahun lama yang mengganti nama, namun

tanpa mengubah substansi di dalamnya.

Tahun baru menjanjikan harapan akan

perubahan ke arah yang lebih baik. Jamak ditemukan

orang yang membuat janji untuk melenyapkan kebiasaan

jeleknya di masa lalu. Hal yang sama sebenarnya berlaku

untuk sebuah bangsa. Tahun baru adalah momen untuk

menyatakan dan menegaskan komitmen untuk

perubahan ke arah yang lebih baik. Tanpa pernyataan,

ketegasan, dan tindakan konkret untuk mewujudkan

harapan serta menggulirkan perubahan, perayaan tahun

akan kehilangan maknanya, dan menjadi ritual semata


yang miskin substansi.

Setidaknya ada dua agenda yang menuntut

ketegasan dan tindakan konkret, yakni upaya untuk

melenyapkan korupsi dari ibu pertiwi, dan perubahan

gaya hidup yang lebih ramah terhadap lingkungan hidup.

Itulah dua agenda yang menjadi isi dari komitmen kita

untuk menjadi ‘baru’ di tahun baru ini. Kedua agenda itu

juga dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk

mengikis dan melampaui trauma sosial yang menjangkiti

kesadaran bangsa kita. Tahun baru adalah momen

harapan untuk menegasi trauma, dan mencapai sintesa.

Trauma Bangsa

Seperti yang pernah ditulis oleh Budi Hardiman (2005),

trauma sosial adalah bekas dari suatu peristiwa negatif

yang tergores di dalam ingatan sebuah bangsa. Trauma


adalah bekas dari peristiwa negatif yang terus

mengulang dirinya sendiri, walaupun di dalam realitas,

peristiwa itu sudah lama berlalu. Dampak dari trauma

sosial berskala nasional, dan bahkan berskala universal,

yakni menggores rasa kemanusiaan kita sebagai insan

ilahi. Efek dari trauma juga terasa dalam jangka waktu

yang lama, jika tidak ada upaya-upaya konkret untuk

melampauinya.

Pada 2009 yang telah berlalu, kita dihadapkan pada

trauma sosial yang tak kalah besarnya. Sulitnya untuk

membongkar korupsi di Indonesia menjadi trauma sosial

tersendiri yang menciptakan ketidakpercayaan publik

(Suharyo, 2009). Masyarakat menjadi tidak percaya pada

pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan

penyalahgunaan wewenang para pejabat publik yang

bertujuan untuk memperkaya diri sendiri. Di dalam


proses tersebut, banyak korban yang berjatuhan, baik

korban manusia, alam, dan korban sosial.

Setiap peristiwa selalu meninggalkan jejak. Peristiwa

yang positif akan meninggalkan jejak dalam bentuk

harapan dan teladan. Sementara peristiwa negatif seperti

konflik sosial, korupsi, penipuan, dan diskriminasi akan

meninggalkan jejak dalam bentuk trauma. Jejak tersebut

seringkali tidak kelihatan, namun secara langsung

mempengaruhi perilaku masyarakat secara umum.

Jejak harapan akan menciptakan teladan yang akan

menginspirasi tindakan-tindakan positif lainnya.

Sementara jejak trauma akan memasung kesadaran

publik, dan menciptakan aura kecurigaan di dalam

kehidupan bermasyarakat. (Kellermann, 2007) Jejak

harapan akan menciptakan peradaban yang akan

menjadi contoh bagi generasi selanjutnya. Sementara


jejak trauma akan meninggalkan cacat dan konflik yang

pada akhirnya akan menggores trauma baru di dalam

kesadaran masyarakat.

Dialektika Harapan

Tahun baru adalah momen untuk membangun

harapan, menyatakan, dan menegaskan komitmen untuk

berani menghadapi tantangan-tantangan baru juga

dengan cara berpikir baru yang mungkin sebelumnya

tidak terpikirkan. Untuk melenyapkan korupsi dan

mengubah gaya hidup ke arah yang lebih ramah

lingkungan, masyarakat Indonesia perlu untuk

melampaui trauma yang menjangkiti kesadarannya.

Trauma adalah jejak dari peristiwa negatif yang

mengulang dirinya sendiri, walaupun peristiwa aktualnya

sudah lama berlalu. Efek dari trauma adalah apatisme,


ketidakpercayaan, dan mentalitas korup yang cenderung

untuk menggunakan kekuasaan guna mencapai tujuan-

tujuan yang salah. Sikap-sikap inilah yang menjadi

musuh kita bersama.

Trauma janganlah ditempatkan sebagai

penghalang kemajuan. Sikap pengecut yang diciptakan

oleh trauma janganlah dilestarikan dan ditanam dalam

kultur. Sebaliknya trauma haruslah ditempatkan sebagai

negasi dari peristiwa itu sendiri. Dan seperti yang pernah

ditulis oleh Hegel, setiap negasi atas peristiwa selalu

mengajak peristiwa tersebut melampaui dirinya sendiri,

dan mencapai sintesa. Sintesa adalah penerimaan dan

pelampauan dari aspek negatif dari peristiwa, serta

upaya untuk menonjolkan sisi positif peristiwa, guna

menciptakan harapan. Inilah esensi dari dialektika

harapan yang menjadi agenda kita sebagai bangsa yang


memasuki dekade baru.

Selamat berharap dan selamat melampaui

trauma.

Perubahan Iklim dan Panik Moral

Wacana terkait dengan perubahan iklim ( climate change)

menimbulkan panik moral (moral panics) di seluruh

dunia. Wacana tersebut berkembang menjadi pusat

perhatian yang menyedot hampir seluruh pikiran dan

tenaga para ahli dari berbagai bidang ilmu. Diskusi publik

mengenai perubahan iklim diselenggarakan di berbagai

belahan dunia. Para pemimpin dunia berkumpul di


Kopenhagen, Denmark untuk secara serius

membicarakan berbagai upaya guna mencegah

kerusakan lebih jauh yang diakibatkan oleh pemanasan

global.

Namun panik moral tersebut tampak kurang terasa di

Indonesia. Alih-alih menjadi bagian dari wacana publik,

perdebatan seputar perubahan iklim dan pemanasan

global hanya menjadi trend intelektual semata. Gaya

hidup masyarakat serta kebijakan pemerintahan di level

nasional sama sekali belum mencerminkan panik moral

ataupun keprihatinan terhadap masalah tersebut.

Panik Moral

Menurut Kenneth Thompson konsep panik moral

sebenarnya menandakan sesuatu yang positif, yakni

masyarakat mulai terfokus pada problematika sosial yang


sungguh penting untuk dihadapi. Pada takaran yang

tepat, panik moral akan menghasilkan kesadaran yang

tinggi untuk mencegah terjadinya krisis sosial lebih jauh.

(Thompson, 1998)

Perubahan iklim dan pemanasan adalah suatu

fakta yang harus dihadapi dengan kejernihan berpikir

serta ketepatan bertindak. Cukup tepat jika problem ini

layak menjadi bagian dari panik moral. Dengan itu

problem terkait dengan perubahan iklim dan pemanasan

global sungguh akan menjadi bagian dari keprihatinan

umat manusia keseluruhan. Setidaknya ada empat ciri

dari panik moral yang sehat, seperti yang telah

dirumuskan Thompson.

Yang pertama adalah keberadaan suatu

fenomena yang mengancam nilai-nilai kehidupan

masyarakat. Perubahan iklim dan pemanasan global


mengancam kehidupan manusia secara langsung. Potensi

bencana dalam bentuk kelaparan, kekeringan, dan

anomali alam lainnya, seperti badai dan tsunami,

langsung menghantam eksistensi manusia secara utuh.

Sudah selayaknya perubahan iklim dan pemanasan global

menjadi bagian dari panik moral dan keprihatinan

masyarakat di seluruh dunia, dan terutama di Indonesia.

Yang kedua, ancaman dari suatu fenomena yang

sungguh dapat dikenali dan didefinisikan secara tepat

oleh masyarakat, terutama media. Perubahan iklim dan

pemanasan global dapat langsung dikenali gejalanya oleh

masyarakat. Suhu bumi yang memanas, ditambah

dengan semakin meluasnya padang gurun di beberapa

bagian dunia, adalah akibat langsung dari masalah

tersebut. Media massa dan LSM, baik nasional dan

internasional, telah berulang kali menyuarakan


keprihatinan mereka soal hal ini. Berbagai kajian ilmiah di

berbagai bidang ilmu telah dilakukan untuk mempertegas

pentingnya berbagai negara di seluruh dunia berhadapan

langsung dengan problematik ini.

Yang ketiga, fenomena tersebut berhasil

menggerakan sebagian besar masyarakat untuk segera

bertindak. Di Indonesia wacana tentang korupsi dan

keadilan publik sedang menjadi panik moral, namun

belum wacana mengenai perubahan iklim dan

pemanasan global. Ketiganya memang wacana yang

sangat penting. Oleh karena itu ketiganya harus menjadi

bagian dari keprihatinan moral masyarakat luas.

Yang keempat, panik moral akan bermuara pada

terjadinya perubahan sosial. Para pembuat kebijakan dan

tokoh publik akan menggerakan opini publik ke arah yang

sama sekali baru. Dalam hal ini perubahan iklim dan


pemanasan global harus sungguh menjadi fenomena

yang mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia, dan

bukan sebatas diskusi semata. Penghematan energi

berbasis fosil di bidang industri dan transportasi,

penanaman hutan kembali, dan pelestarian daerah hijau

di kota-kota besar adalah wujud konkret dari perubahan

gaya hidup tersebut.

Situasi Indonesia

Semua ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari

kehidupan banyak negara maju, kecuali Amerika Serikat

dan Cina. Di Eropa Barat dan negara-negara Skandinavia,

masyarakat sudah menjadikan perubahan iklim dan

pemanasan global sebagai panik moral ( moral panics)

masyarakat mereka. Namun masyarakat Indonesia masih

tertinggal jauh dalam hal ini. Memang berbagai diskusi


publik telah dilakukan. Namun perubahan gaya hidup

masih belum kelihatan.

Pemborosan energi fosil terus dilakukan di

berbagai industri. Konsep industri hijau ( green industry)

seringkali hanya menjadi bagian dari promosi semata,

tanpa ada substansi di dalamnya. Mobil-mobil besar yang

boros bahan bakar masih menjadi kebanggaan para

orang kaya di Indonesia. Kantor dan sekolah belum

memiliki kepekaan dalam soal penghematan penggunaan

kertas.

Singkat kata, Indonesia belum menjadikan

fenomena perubahan iklim dan pemanasan global

sebagai bagian dari panik moral nasional. Sebagai negara

tropis Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk

membuat perbedaan, terutama dengan penanaman

kembali hutan tropis dan penghijauan di kota-kota besar.


Di tengah silau badai sidang korupsi dan pertarungan

politik para elit yang berskala nasional, masyarakat luas

perlu untuk secara perlahan namun pasti mengubah gaya

hidup mereka dalam soal penggunaan energi. Bukankah

sia-sia ketika korupsi berhasil kita musnahkan dari negeri

ini, namun kita sudah tidak lagi memiliki tanah untuk

diinjak dan air untuk diminum?***


Merumuskan Standar

Kelulusan yang Manusiawi

Standar penilaian untuk kelulusan tetaplah diperlukan.

Yang perlu diperhatikan adalah kriteria standar penilaian

dan kelulusan tersebut.

Standar kelulusan yang ideal berpijak pada penilaian

kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif melibatkan

data numerik tentang prestasi peserta didik, seperti nilai

ujian, absensi, jumlah aktivitas di dalam organisasi.

Sementara penilaian kualitatif melibatkan deskripsi naratif

yang menggambarkan penghayatan terdalam peserta

didik, seperti arti pendidikan baginya, motivasinya


mengikuti pendidikan, dan apa harapan-harapan

terdalamnya bagi sekolah secara khusus, ataupun bagi

institusi pendidikan secara umum.

Kemalasan Para Birokrat

Perdebatan tentang masih diperlukannya Ujian Nasional

(UN) juga dapat dilihat dengan kerangka berpikir

kuantitatif-kualitatif di atas. Seorang peserta didik tidak

boleh dinyatakan tidak lulus, hanya karena prestasi

akademiknya (kuantitatif) buruk. Ada begitu banyak

variabel lainnya yang mesti diperhatikan, dan variabel

tersebut biasanya bersifat naratif-kualitatif, sehingga

membutuhkan kerja keras untuk memahaminya.

Masalah pendidikan di Indonesia mayoritas berpijak pada

kemalasan para birokrat pendidikan untuk memahami

variabel kualitatif tersebut. Bagi mereka para peserta


didik hanyalah angka yang tersebar ke seluruh Indonesia.

Para peserta didik hanyalah angka pucat tanpa

kepribadian. Padahal para peserta didik adalah manusia

yang memiliki latar belakang sejarah, kepribadian, dan

harapan-harapan dalam hidupnya.

Ketidakmampuan para birokrat pendidikan memahami ini

akan berujung pada hancurnya kepribadian dan harapan

para peserta didik, karena mereka merasa ‘dibendakan’.

Selama para birokrat pendidikan masih memandang para

peserta didik dengan gaya ‘pembendaan’ semacam ini,

selama itu pula dunia pendidikan di Indonesia akan

berjalan di tempat.

Intelektual Satu Dimensi

Standar kelulusan yang hanya melihat peserta didik dari

nilai-nilai akademiknya semata akan menghasilkan


intelektual-intelektual satu dimensi. Ciri dari intelektual

seperti ini ketidakmampuannya untuk menghargai nilai-

nilai lain di dalam kehidupan manusia, selain nilai yang

dapat diukur secara matematis. Maka seringkali uang

menjadi tujuan utama. Pola pendidikan yang mengabdi

pada bisnis adalah hasil cara berpikir para intelektual

satu dimensi ini.

Seorang pemikir Sekolah Frankfurt, Herbert Marcuse,

pernah menulis buku yang berjudul One Dimensional

Man. Di dalam buku itu, ia ingin mengungkap krisis

masyarakat modern yang diakibatkan oleh keberadaan

manusia satu dimensi, yakni manusia yang segala

orientasi pikiran ataupun pilihan hidupnya hanya berpijak

pada untuk mengkonsumsi barang-barang secara

berlebih. Mereka tidak mampu menghargai nilai-nilai

kehidupan lainnya, seperti solidaritas, cinta, dan


pengorbanan.

Manusia semacam inilah yang akan menjadi warga

negara Indonesia di masa depan, jika proses pendidikan

masih berpijak pada standar kuantitatif dan memiliki

kecenderungan untuk membendakan para peserta didik,

seperti yang terjadi sekarang ini. Manusia satu dimensi

adalah manusia yang terorientasi untuk mengkonsumsi.

Mereka tidak lagi memiliki kesadaran kritis di dalam

melihat dunia, walaupun bergelar intelektual publik.

Pendidikan yang Manusiawi

Wacana tentang pendidikan yang memanusiakan, yang

tidak hanya berorientasi pada lapangan kerja teknis guna


menghasilkan nilai ekonomis sebesar-besarnya, baru

dapat terwujud, jika standar penilaian terhadap peserta

didik juga mencerminkan kemanusiaannya. Artinya

standar penilaian tersebut tidak mereduksi para peserta

didik menjadi angka dan data numerik semata, tetapi

juga mampu menangkap kerumitan jiwanya sebagai

manusia yang memiliki sejarah, kepribadian, dan

harapan.

Hal ini berlaku bukan hanya di level Ujian Nasional, tetapi

juga bagi standar penilaian di dalam pendidikan sebagai

keseluruhan. Peserta didik bukanlah produk material

yang menjadi output dari sekolah ataupun institusi

pendidikan lainnya. Kosa kata tersebut mencerminkan

paradigma pendidikan yang bercokol di belakangnya.

Para peserta didik adalah manusia yang memiliki

martabat dan persona, maka semua kriteria penilaian


terhadapnya harus juga mencerminkan martabat dan

kerumitan persona tersebut.

Rekonstruksi dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat

dimulai dengan membuat kebijakan yang reaktif

(Koesoma, 2009), seperti dengan memperbanyak SMK

untuk memenuhi tenaga kerja praktis yang murah, tetapi

dengan mengubah cara berpikir di dalam memandang

apa dan siapa itu manusia. Kebijakan politik yang

berpijak dengan konsep manusia yang tepat akan

mengantarkan manusia-manusia Indonesia menjadi

unggul, kompetitif, dan, yang paling penting,

bermartabat. ***
Metamorfosis Demokrasi

Ada dua peristiwa yang menjadi tanda meningkatnya

gerakan demokrasi di Indonesia. Yang pertama adalah

demonstrasi damai anti korupsi di beberapa daerah di

Indonesia, dengan perkecualian konflik di Makassar. Yang

kedua adalah partisipasi ratusan ribu warga untuk

mengumpulkan uang koin, guna membantu Prita dalam

kaitannya dengan tuntutan Rumah Sakit OMNI.

Pengumpulan koin yang dilakukan oleh masyarakat

hampir menyentuh angka 200 juta rupiah.

Dua hal ini merupakan bentuk nyata dari metamorfosis


demokrasi. Metamorfosis demokrasi tidak hanya

mengandaikan perubahan struktur pemerintahan menjadi

lebih demokratis, misalnya dengan pemilu berkala, tetapi

juga perubahan konsepsi manusia di dalamnya, yakni

dari manusia Indonesia menjadi warga negara Indonesia

yang aktif dan partisipatif di dalam setiap peristiwa

politis, serta perubahan konsep sosiologis dari

masyarakat yang pasif menjadi komunitas politis yang

aktif.

Di dalam konsep warga negara sebagai pembentuk

komunitas politis terkandung kemampuan manusia untuk

menjadi subyek politik yang bebas dan rasional. Dengan

menjadi warga negara dari suatu komunitas politis, orang

akan terlibat secara aktif untuk menunjukkan

kepeduliannya pada persoalan bersama.


Apatisme yang Terkikis

Sudah lama masyarakat merasa tidak peduli

dengan persoalan politis. Bagi banyak orang politik

adalah hal yang kotor. Banyak pula orang yang

sebelumnya dengan tegar memperjuangkan kepentingan

rakyat menjadi berubah sama sekali, ketika ia terlibat di

dalam politik praktis. Jabatan politis yang membuahkan

harta dan takhta mengikis hati nurani yang dimilikinya. Ia

pun berubah menjadi sosok pribadi yang dibenci oleh

rakyat.

Semua itu membuat masyarakat apatis terhadap

politik. Mereka pun menjauhkan diri dari politik, dan

sibuk dengan urusan pribadi. Ruang publik menjadi sepi,

karena hanya beberapa orang yang peduli. Sementara

banyak orang lainnya terhisap oleh upaya untuk

memuaskan kepentingan pribadi.


Namun apatisme pun bisa pecah.

Ketidakpedulian pun ada batasnya. Dua hal itu akan

hancur, jika masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan

perilaku para elit politik dan bisnis yang jauh dari rasa

keadilan masyarakat. Kontroversi KPK dan kasus Prita

sungguh mengusik hati nurani masyarakat. Mereka pun

tidak lagi diam, melainkan mulai berteriak untuk

mewujudkan keinginannya, yakni pemerintahan yang adil

dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Manusia

Indonesia mulai mengalami metamorfosis dari manusia

yang pasif dan apatis menjadi warga negara yang kritis,

aktif, dan partisipatif di dalam persoalan-persoalan politis.

Metamorfosis demokrasi mengandaikan

perubahan mentalitas manusia. Di dalam proses

perubahan mentalitas itu, apatisme yang selama ini

begitu kuat tertanam di masyarakat mulai terkikis. Hal ini


terjadi akibat pendidikan demokrasi yang semakin kuat di

masyarakat, walaupun tidak menempuh jalur formal.

Tulisan-tulisan di media massa dan diskusi-diskusi publik

semakin membuka mata banyak orang tentang apa yang

harus mereka lakukan untuk memperbaiki bangsa ini.

Tidak boleh ada tindakan, baik oleh pemerintah ataupun

oleh perusahaan bisnis, yang lolos dari mata publik.

Metamorfosis Kekuasaan

Di dalam biologi metamorfosis merupakan proses

perubahan bentuk fisik yang terjadi, karena pertumbuhan

ataupun diferensiasi sel yang secara radikal berbeda. Hal

yang sama yang sekarang ini terjadi di dalam politik

Indonesia. Pertumbuhan sel dapat dibayangkan sebagai

pertumbuhan berbagai kelompok demokrasi di

masyarakat yang aktif berdiskusi dan menyoroti berbagai


tindakan pemerintahan ataupun perusahaan bisnis. Di

dalam proses pertumbuhan itu, perbedaan argumen

muncul dan mengalir di dalam ruang publik dalam bentuk

opini.

Opini tersebut bertarung. Argumen yang paling masuk

akal akan menang dan memperoleh dukungan publik.

Inilah dinamika ruang publik yang sehat. Memang faktor

kekuasaan masih sangat dominan. Namun di masyarakat

sekarang ini, tidak ada kekuasaan tunggal yang dominan.

Yang ada adalah beberapa kelompok yang memiliki

kekuasaan besar, dan saling mengerem satu sama lain.

Di dalam masyarakat demokratis, kekuasaan tetap ada.

Namun semua kekuasaan yang ada saling mengontrol

satu sama lain, sehingga menciptakan sintesis politis,

yakni politik yang didasarkan pada kepentingan rakyat

yang mampu diartikulasikan secara rasional, dan


memperoleh persetujuan publik berdasarkan konstitusi

dasar Indonesia. Semua ini adalah bagian dari

metamorfosis demokrasi yang sedang berlangsung di

Indonesia sekarang ini.

Metamorfosis Demokrasi

Sekarang ini manusia Indonesia mulai

menunjukkan sosoknya sebagai warga negara yang aktif

dan kritis di dalam arena politik. Namun juga diperlukan

adanya metamorfosis sosiologis, yakni perubahan konsep

dari masyarakat menjadi komunitas politis. Komunitas

politis bukan hanya sekumpulan manusia, tetapi juga

kumpulan ingatan yang membentuk identitas, dan

kumpulan harapan tentang hidup bersama yang baik.

Indonesia tidak boleh menjadi hanya sekedar

masyarakat, melainkan juga harus menjadi komunitas


politis. Oleh karena itu metamorfosis demokrasi tidak

boleh berhenti. Proses metamorfosis akan semakin

lancar, jika tercipta momen-momen yang mampu

menggerakan warga. Maka momen politis harus

diciptakan untuk mengajak warga masyarakat

berpartisipasi secara aktif di dalam persoalan bersama.

Peran media massa dan kelompok-kelompok independen

di masyarakat sangat besar untuk menciptakan momen

politis tersebut.***

Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan


Proses penafsiran dan penerapan rumusan hukum selalu

mengundang dilema. Jika diterapkan secara ketat sesuai

dengan rumusan yang ada, maka kemungkinan besar

akan melanggar rasa keadilan yang ada di masyarakat.

Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum

demi penyesuaian terhadap rasa keadilan masyarakat,

hukum pun menjadi tidak berguna, karena ia tidak lagi

memiliki otoritas untuk dipatuhi. Hukum yang ideal

adalah hukum yang berada di titik seimbang antara

positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan

mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan

(moralitas dan norma-norma yang menurut suatu

masyarakat dianggap sebagai adil). Namun bukankah

titik seimbang itu hanya merupakan abstraksi matematis

dari realitas yang tidak pernah seimbang?


Problematik Penafsiran Hukum

Sama seperti teks-teks Kitab Suci dan filsafat,

pasal-pasal hukum pun bukanlah benda mati, melainkan

suatu rumusan yang perlu terus ditafsirkan sesuai

dengan perubahan dunia. Oleh karena itu di satu sisi,

hukum harus cukup detil menampung semua aspek dari

kehidupan manusia yang perlu untuk diatur guna

mencegah terjadinya kerugian sosial ( social lost). Di sisi

lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa

ditafsirkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan

yang lebih tinggi daripada pasal-pasal hukum itu sendiri.

Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan

pemberantasan korupsi menunjukkan kurangnya otoritas

hukum yang berlaku (kurang detil di dalam penerapan

pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan seorang


nenek berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao

untuk ditanam sungguh mengganggu rasa keadilan

masyarakat (hukum tidak mengacu pada prinsip-prinsip

keadilan yang lebih tinggi).

Andang L. Binawan pernah menegaskan, bahwa

hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda,

walaupun tidak bisa dipisahkan. (Binawan, 2004)

Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah dari

kehidupan manusia. Sementara hukum adalah ciptaan

manusia yang sudah sejak proses pembentukannya

menggendong ketidakadilan. Ada tiga hal yang cukup

penting untuk diperhatikan di dalam proses penafsiran

hukum, yakni soal ketidakmungkinan untuk duduk dan

merumuskan pasal-pasal hukum secara bebas dan

setara, soal bahasa di dalam pasal-pasal hukum, serta

soal jarak dan waktu yang memisahkan sang legislator


hukum dengan orang yang nantinya akan mematuhinya.

(Binawan, 2004)

Yang pertama para legislator hukum bukanlah

orang-orang yang bebas dan setara. Ada relasi-relasi

kekuasaan yang mempengaruhi mereka. Ada legislator

yang lebih kuat secara argumentatif, sehingga ia

mempengaruhi proses pembuatan hukum secara

signifikan. Ada pula legislator yang lemah secara

argumentatif, sehingga ia tidak mampu menyuarakan

kepentingan rakyat yang diwakilinya. Di sisi lain

kepentingan politik partai, golongan, wacana dominan

dan paradigma di masyarakat, serta kepentingan

ekonomi sudah secara nyata mempengaruhi jalannya

proses legislasi hukum.

Yang kedua menurut Binawan, bahasa hukum

adalah bahasa manusia, dan bahasa manusia sudah


sejak awal selalu merupakan reduksi dari realitas. Bahasa

adalah simbol untuk menangkap dan menyampaikan

makna. Di dalam proses tersebut, bahasa secara

langsung mereduksi makna ke dalam simbol-simbol

alfabet, yang juga berarti secara otomatis mereduksi

makna keadilan yang sesungguhnya ingin ditampung di

dalam bahasa hukum. Bahasa dan makna adalah dua hal

yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Makna

adalah sesuatu yang lebih kaya daripada bahasa. Dalam

soal penafsiran hukum, makna adalah prinsip keadilan

yang ingin ditampung di dalam bahasa hukum, namun

tidak akan pernah identik.

Yang ketiga menurut Binawan, para legislator

merumuskan hukum dalam konteks ruang dan waktu

tertentu. Seringkali konteks tersebut sudah jauh berbeda

dengan saat penerapan hukum tersebut. Ada jarak ruang


dan waktu yang cukup jauh, yang memisahkan sang

legislator (dengan asumsi ia ingin mewujudkan cita-cita

keadilan) dan masyarakat sebagai yang terkena dampak

dari hukum. Oleh karena itu seringkali suatu rumusan

hukum tidak lagi relevan dengan situasi masyarakat.

Hukum yang tidak relevan adalah hukum yang tidak adil.

Dimana Keadilan?

Di dalam segala problematika penafsiran hukum

tersebut, di mana keadilan? Dapat dikatakan seorang

legislator yang baik adalah mereka yang sungguh peka

adalah ketiga hal yang telah dirumuskan Binawan di atas.

Mereka sadar akan halangan bahasa, jarak ruang dan

waktu, serta ketidakmungkinan untuk merumuskan

hukum secara ideal. Di dalam keterbatasan itu, mereka

berpikir dan bertindak secara terbuka. Hal yang sama


juga berlaku untuk para penegak hukum. Mereka juga

perlu sadar, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang

mutlak, melainkan sesuatu yang sudah sejak awal perlu

untuk mendapatkan sentuhan manusiawi.

Di dalam bukunya yang berjudul The Force of

Law, Jacques Derrida menegaskan, bahwa keadilan

adalah ‘sesuatu yang akan datang’. (Derrida, 2004)

Keadilan adalah suatu momen yang perlu untuk

diharapkan dan diperjuangkan. Keadilan adalah sebuah

momen yang selalu lolos dari genggaman hukum,

walaupun untuk mewujudkan keadilan, manusia

memerlukan hukum. Para legislator dan para penegak

hukum di Indonesia perlu sadar akan hal ini, sehingga di

dalam menjelaskan tugasnya, mereka berani untuk

memberikan sentuhan personal guna menjamin

terwujudnya keadilan.
Namun tetaplah harus disadari, bahwa

kehidupan manusia bukanlah rumusan matematis. Maka

keseimbangan lebih merupakan sebuah cita-cita daripada

fakta. Begitu pula keadilan tidak akan pernah terwujud

secara sempurna di dunia nyata, persis karena dunia

manusia bukanlah dunia ideal, melainkan dunia real.

Ketidakmungkinan itu tidak boleh mematahkan semangat

kita untuk memperjuangkan keadilan. Sebaliknya semua

upaya justru harus dilakukan untuk mendekatkan hukum

ke prinsip keadilan. Keadilan adalah suatu momen yang

akan datang, selama kita, manusia yang fana ini,

bersedia berjerih payah memperjuangkannya.***


Kesadaran Kritis

dan Pendidikan Demokrasi

Pendidikan perlu untuk menumbuhkan

kesadaran kritis peserta didiknya. Pendidikan harus

mengajak peserta didik untuk jeli melihat ketidakadilan di

dalam kehidupan sosial, bersikap reflektif, merumuskan

pemikirannya tentang ketidakadilan itu, dan kemudian

mengajukan solusi untuk melenyapkannya. (Amelia,

2009) Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran

teknis yang sempit di dalam tembok-tembok displin ilmu

tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik

yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat

demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus


pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan.

Sebuah negara yang masih berfokus pada penciptaan

‘tukang-tukang’ ilmiah tidak akan mampu menciptakan

kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan

masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan

demokratis.

Pendidikan sebagai Penyadaran

Argumen tersebut dirumuskan oleh Paulo Freire

untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi

pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa ia hidup.

Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari

politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di

dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar

pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di

dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya


dinamika ekonomi, politik, dan budaya.

Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu

untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan

yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini

belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa

realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan

di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu

yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan

adalah proses untuk menyadarkan peserta didik,

sehingga mereka tergerak untuk membongkar

ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata

mereka.

Di Indonesia mayoritas guru dan dosen belum

mengetahui atau meresapi pemikiran Freire tersebut.

Mereka berfokus pada transfer pengetahuan teknis,

tanpa ada dorongan lebih jauh untuk membuka mata


peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi

sehari-hari di Indonesia. Akibatnya peserta didik menjadi

tidak peka terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih

parah lagi, mereka justru menjadi orang-orang yang

melestarikan dan bahkan mengembangkan penindasan

sosial yang ada.

Pada hemat saya pola pendidikan semacam itu

sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan.

Sebaliknya pola pendidikan semacam itu pada akhirnya

akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para

peserta didik menjadi orang yang angkuh dan berpikir

konservatif. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya

penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru

memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan

telah gagal sejak awal.


Dipaksa untuk Bebas

Proses penyadaran dan pembebasan memang

tidak datang dari surga. Sebaliknya proses tersebut harus

diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan.

Secara normatif hal tersebut memang tidak bisa

dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk

kebebasan selalu muncul dari adanya penindasan dan

paksaan.

Setiap orang bebas untuk memilih makanan

kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara

makan yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan

tentang cara makan yang tepat, ia harus dipaksa belajar

oleh orang tuanya. Setiap orang berhak untuk

menuliskan pemikirannya secara bebas. Namun untuk

bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk belajar oleh guru

dan orang tuanya.


Dengan demikian kesadaran dan kebebasan

adalah sesuatu yang muncul dari bangkai peradaban

yang memang berisi penindasan. Konsep Hak Asasi

Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman traumatis

atas perbudakan dan penjajahan. Maka sudah

sewajarnya untuk bisa berpikir kritis, orang perlu untuk

dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih dahulu.

Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak

dari dalam untuk mengembangkan kesadarannya itu.

Pendidikan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis, setiap orang

berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya

tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun

organisasi, dan menyampaikan pemikirannya di dalam

organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah disimpulkan, bahwa


konsep kebebasan sangatlah penting di dalam

masyarakat demokratis. Namun kebebasan macam apa

yang perlu untuk dirawat dan dikembangkan?

Kebebasan yang diperlukan adalah kebebasan

yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak

oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi

di depan matanya. Kebebasan di dalam masyarakat

demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis,

melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-

upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang adil dan

sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis

adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan

memainkan peranan yang sangat penting untuk

menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta

didik. Ingat, ditangan merekalah masa depan Bangsa

Indonesia ditentukan.***
Soft Skill, Komunikasi,

dan Kemajuan Demokrasi

Komisi tiga DPR meminta keterangan dari Kapolri dan

KPK mengenai kasus penangkapan Bibit-Chandra dan

kerumitan kasus di balik penangkapan tersebut. Di dalam

proses meminta keterangan dan mengajukan pendapat

terlihat sekali kurangnya kemampuan para wakil rakyat

kita di dalam berkomunikasi. Mereka cenderung berbicara

berputar, dan sedapat mungkin menyembunyikan inti

pembicaraan sampai akhir. Akibatnya pendengar yang

ingin menyimak isi pembicaraan menjadi lelah dan bosan

terlebih dahulu.
Ketidakmampuan berkomunikasi secara baik itu rupanya

bukan hanya menjadi ‘penyakit’ DPR, tetapi juga

sebagian besar rakyat Indonesia. Hal ini terjadi karena

pola pendidikan yang terlalu berfokus pada ketrampilan

teknis displin ilmu, seperti teknik, hukum, dan ekonomi,

dan mengabaikan pendidikan soft skill dalam bentuk

kemampuan berkomunikasi dan menyusun argumen

secara singkat dan tepat. Akibatnya banyak orang sangat

ahli di bidang ilmunya masing-masing, tetapi tidak

mampu berkomunikasi ataupun menyampaikan

pendapatnya secara singkat, padat, dan tepat.

Padahal komunikasi sangatlah penting di dalam

kehidupan manusia. Kegagalan berkomunikasi akan

menciptakan kesalahpahaman. Kesalahpahaman adalah

awal dari semua bentuk konflik. Konflik akan bermuara

pada terciptanya korban, baik korban jiwa ataupun


material. Kita sebagai bangsa harus mulai memberikan

perhatian pada pendidikan soft skill yang akan

memungkinkan peserta didik mampu berkomunikasi

secara jelas, singkat, dan tepat. Para wakil rakyat dan

politikus di masa depan diharapkan mampu mengajukan

argumen dan pemikiran mereka secara jelas, singkat,

dan tepat.

Soft Skill dan Roh di Baliknya

Sekarang ini banyak sekolah ataupun universitas

menyelenggarakan pendidikan soft skill. Pendidikan itu

biasanya melibatkan kurikulum yang mengajarkan

peserta didik untuk mampu berkomunikasi, bersikap pro

aktif, jujur, mampu berbicara di depan umum secara

jelas, padat, dan tepat, mampu bekerja di dalam tim, dan

mampu bertahan di dalam tekanan pekerjaan ataupun


tugas. Kurikulum tersebut terlihat ideal. Namun seperti

yang berulang kali dikatakan oleh B. Suprapto,

pendidikan soft skill tidak boleh terjatuh di dalam

teknikalitas, seperti transfer ilmu ataupun pengetahuan

semata, tetapi juga harus mengedepankan semangat dan

roh pencarian kebenaran di dalamnya. (B.Suprapto,

2009)

Rupanya B. Suprapto masih mengidealkan

semangat pencarian kebenaran yang sungguh terasa di

kalangan para filsuf Yunani Kuno 2500 tahun yang lalu.

Mereka tidak memiliki kurikulum soft skill, tetapi mereka

menerapkannya secara nyata di dalam proses pencarian

kebenaran dan kebijaksanaan. Itulah fajar filsafat di

dalam peradaban manusia, yakni ketika beberapa orang

berkumpul untuk berdiskusi, guna mencari kebenaran

dan kebijaksanaan di dalam hidup mereka. Dengan


mengedepankan diskusi dan argumentasi rasional, para

filsuf tersebut memulai sebuah pencarian yang nantinya

akan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Banyak institusi pendidikan sekarang ini mulai

memperhatikan pentingnya soft skill. Namun perhatian

dan pendidikan yang mereka berikan masih bersifat

teknis semata. Semangat mencari kebenaran dan

kebijaksanaan tidak ditularkan oleh para guru ataupun

dosen, karena mereka sendiri tidak memiliki semangat

tersebut. Para guru, dosen, maupun peserta didik harus

kembali mempelajari semangat pencarian kebenaran dan

kebijaksanaan yang diajarkan oleh para filsuf Yunani

Kuno.

Soft skill juga harus didasarkan pada semangat pencarian

kebenaran. Tanpa itu soft skill hanya akan terjebak pada

teknikalitas transfer pengetahuan, seperti pada ilmu-ilmu


lainnya. Tujuan soft skill untuk meningkatkan

kemampuan berkomunikasi secara tepat, jelas, dan

singkat pun tidak akan tercapai. Kesalahpahaman dan

konflik sosial kemungkinan besar akan terjadi, seperti

yang sudah seringkali dialami oleh bangsa ini.

Soft Skill dan Demokrasi

Di dalam masyarakat demokratis seperti

Indonesia, proses komunikasi memainkan peranan yang

sangat penting. Di dalam bukunya yang berjudul The

Theory of Communicative Action , Habermas, seorang

filsuf Jerman, berpendapat, bahwa tindakan komunikatif

yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama

adalah kunci integrasi masyarakat majemuk, seperti

Indonesia. (Habermas, 1984) Paradigma komunikatif

juga dapat menjadi paradigma ideal di dalam penelitian


ilmu-ilmu sosial yang sebelumnya masih sangat bersifat

positivistik (hanya mengakui hal-hal yang dapat diketahui

oleh panca indera sebagai dasar pengetahuannya). Di

dalam filsafat politiknya, Habermas juga berpendapat,

bahwa inti dari negara demokratis adalah proses

diskursus yang melibatkan warga negara di dalam proses

komunikasi, guna mencapai kesepakatan mengenai

segala sesuatu yang terkait dengan persoalan bersama.

(Habermas, 1994).

Dengan demikian kemampuan untuk

berkomunikasi secara jelas, singkat, dan tepat adalah

sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat

demokratis. Jika para wakil rakyat, pemerintah, dan

jajaran birokrasi pemerintahan, bisnis, serta masyarakat

sipil telah menguasai soft skill berkomunikasi secara

tepat, jelas, dan singkat yang kemudian dibalut oleh


semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan, maka

proses demokrasi di Indonesia akan berjalan dengan

lancar. Kesalahpahaman akan dapat dihindari. Rakyat pun

akan semakin bergairah terlibat di dalam diskusi-diskusi

publik yang terkait dengan permasalahan bersama.

Rakyat tidak lagi bingung, lelah, dan bosan, ketika

mencoba mendengarkan sidang DPR, ataupun diskusi-

diskusi demokrasi lainnya.***

Dilema Jembatan Suramadu


Walaupun secara fisik dan ekonomi Jembatan Suramadu

mendekatkan Surabaya dan Madura (Kota Bangkalan),

namun secara kultural, jembatan itu justru semakin

menjauhkan kedua tempat tersebut. Jembatan Suramadu

memungkinkan terjadinya perpindahan populasi yang

cepat, baik dari Madura ke Surabaya, ataupun sebaliknya.

Semakin banyak penduduk Madura datang dan menetap

di Surabaya, serta penduduk Surabaya ke Madura.

Padahal kedua kelompok tersebut memiliki

prasangka kultural yang sangat besar satu sama lain.

Pembangunan Jembatan Suramadu kurang diikuti

dengan pembangunan mentalitas dan kultural kedua

kelompok tersebut. Akibatnya prasangka kultural di

antara kedua kelompok tersebut semakin besar. Maka

walaupun secara fisik semakin dekat, namun karena

prasangka negatif yang semakin besar di antara


keduanya, penduduk Surabaya dan Madura justru

semakin menjauh secara kultural.

Prasangka Kultural

Jembatan Suramadu menghubungkan kota

Surabaya di Jawa timur dan kota Bangkalan di Madura.

Jembatan ini diharapkan mampu memperlancar distribusi

barang dan jasa, sehingga dapat memajukan ekonomi

kedua kota tersebut. Jembatan tersebut kini

membentang sepanjang 5,4 km. Jembatan Suramadu

diharapkan dapat menjadi ikon kota Surabaya yang

membanggakan.

Walaupun niat awal pendirian Jembatan

Suramadu baik, namun realitasnya berbeda. Selama ini

penduduk Surabaya memiliki prasangka yang sangat

besar terhadap orang-orang Madura, seperti mereka


cenderung tidak patuh pada hukum dan aturan, sulit

untuk diajak berdiskusi, cenderung tidak bersih,

cenderung tidak jujur dalam berdagang, dan sebagainya.

Banyak dari prasangka ini tidak benar, dan lebih

merupakan generalisasi salah arah.

Namun dengan intensitas perpindahan penduduk

Madura ke Surabaya dan kota-kota lainnya di Jawa Timur,

prasangka kultural negatif ini justru semakin menguat.

Prasangka hanya bisa dipecah dengan komunikasi antar

pribadi yang mendalam. Namun prasangka itu pulalah

yang kerap kali menghalangi proses komunikasi antar

pribadi yang mendalam. Hal yang sama berlaku untuk

penduduk Surabaya yang pindah ke Madura. Prasangka

bahwa orang-orang Surabaya itu arogan juga akan

bertambah besar, jika tidak ada proses untuk

mendekatkan kedua kelompok tersebut melalui proses


komunikasi yang berkualitas.

Di dalam refleksi filsafat, prasangka kultural

tertanam pada trauma kolektif. Trauma kolektif adalah

ingatan tentang suatu peristiwa negatif yang terjadi di

suatu tempat pada kelompok tertentu. Peristiwa itu

sudah lewat, namun ingatan atasnya masih segar,

sehingga peristiwa negatif tersebut seolah mengulang

dirinya sendiri. (Budi Hardiman, 2002) Prasangka berakar

pada trauma yang merupakan peristiwa negatif yang

terus mengulang dirinya sendiri.

Penduduk Surabaya dan Madura juga memiliki prasangka

kultural satu sama lain yang berbasis pada trauma.

Pengalaman pertemuan satu sama lain selama puluhan

tahun pada akhirnya menciptakan anggapan negatif di

antara kedua kelompok tersebut. Anggapan itulah yang

mengental menjadi prasangka. Prasangka lebih sering


merupakan suatu anggapan yang tidak tepat, yang

terbentuk akibat generalisasi yang salah arah.

Menjauhkan yang Dekat dan Mendekatkan yang

Jauh

Di dalam refleksi filsafat, perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi seringkali

mendekatkan dua manusia yang saling berjauhan, dan

menjauhkan manusia yang saling berdekatan. Dua orang

yang terletak di benua yang berbeda sibuk berkomunikasi

dengan menggunakan komputer. Sementara dua orang

yang berdekatan secara fisik justru merasa asing satu

sama lain, karena tidak terjalin komunikasi di antara

keduanya. Teknologi informasi dan komunikasi

mendekatkan dua orang yang saling berjauhan, dan pada

saat yang sama menjauhkan dua orang yang saling


berdekatan.

Dalam hal ini pembangunan Jembatan Suramadu

juga dapat digolongkan sebagai perkembangan teknologi

komunikasi dan informasi, atau lebih tepatnya

perkembangan teknologi transportasi yang

memungkinkan meningkatnya intensitas komunikasi dan

informasi antara Surabaya dan Madura. Dalam hal ini

Surabaya rupanya ingin menjadi sebuah kota modern

yang memiliki ikon yang dapat dibanggakan. Namun di

dalam upanya untuk menjadi kota modern, Surabaya

justru lebih menyerupai Jakarta yang memiliki aspirasi

besar untuk menjadi kota global, tetapi justru semakin

menjauh dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia,

dalam hal ini adalah Madura. (B. Herry Priyono, 2009)

Dengan demikian walaupun secara fisik dan

ekonomi Jembatan Suramadu mendekatkan Surabaya


dan Madura, namun tanpa upaya untuk meningkatkan

komunikasi yang berkualitas di antara kedua kelompok

masyarakat tersebut guna melenyapkan prasangka di

antara keduanya, jembatan itu justru akan semakin

menjauhkan penduduk Surabaya dan Madura secara

kultural. Pemerintah di kedua daerah tersebut haruslah

mulai memikirkan masalah ini. Pembangunan yang tepat

tidak hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan

ekonomi semata, tetapi juga pembangunan kultural yang

bertujuan untuk membentuk masyarakat yang memiliki

cara berpikir rasional dan bebas dari prasangka

kultural.***
Bangsa Pengumbar Hasrat

Di bilangan Pejaten Barat, Pasar Minggu, ada sebuah

gedung yang tengah dibangun. Gedung itu besar,

kelihatan mewah, dan proses pembangunannya tampak

akan segera selesai.

Di sebelah gedung yang tengah dibangun tersebut, ada

beberapa area kosong yang ukurannya kecil. Pohon-

pohon hijau tumbuh disana, memberikan udara segar

bagi orang sekitarnya.

Di sisi lainnya, ada gedung kantor Republika. Gedung


tersebut tampak tua. Catnya sudah rusak. Rusaknya cat

tersebut tidak membuat gedung itu kelihatan jelek, tetapi

justru mengentalkan unsur historisnya.

Orang yang lewat daerah tersebut, baik yang

menggunakan kendaraan ataupun pejalan kaki, pasti

tertegun melihat gedung yang baru akan selesai

dibangun tersebut, terutama jika gedung itu

dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Tampak jelas,

gedung tersebut mewah dan menonjol di tengah daerah

yang kondisi arsitekturnya “biasa-biasa saja”.

Anda tentu sudah bisa menebak, akan dijadikan apakah

gedung baru tersebut? Museum? Tidak mungkin.

Sekolah? Bisa saja, tetapi tetap tampak terlalu mewah

untuk sebuah gedung sekolah bergengsi sekalipun.

Hmmm.. jawaban pasti sudah “menggantung” di mulut

anda, mall? YA! Itulah jawabannya.


Pada titik ini, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri,

apakah kita masih memerlukan mall? Bukankah sudah

terlalu banyak Mall di Jakarta ini, sehingga kehadiran

satu lagi mall justru hanya akan tampak sia-sia dan

menjengkelkan buat kita semua? Apa yang terjadi disini?

Pertimbangan Strategis

Sudah bukan rahasia lagi, jika pemerintah tidak lagi

memperhatikan kondisi lingkungan Jakarta sekarang ini.

Tidak peduli suatu proyek ramah lingkungan atau tidak,

dibutuhkan atau tidak, yang penting yang empunya

proyek tersebut punya cukup modal untuk membangun,

maka proyek itu pun pasti akan berlangsung.

Coba kita lihat secara strategis. Pejaten dikelilingi oleh

Pondok Indah, Cilandak, dan Depok. Di Pondok Indah,

kita semua tahu bahwa di sana ada Pondok Indah Mall


yang bergengsi itu. Di Cilandak, kita semua juga tahu

ada Cilandak Town Square, yang dikenal sebagai tempat

nongkrong-nya anak muda Jakarta Selatan. Di depok,

ada Margo City dan Depok Town Square yang siap

memuaskan kebutuhan akan hiburan orang-orang yang

tinggal di sana. Lalu, buat apa lagi dibangun Mall di

Pejaten? Apa logika di balik semua ini?

Wabah Konsumerisme

Saya punya lima alternatif jawaban atas pertanyaan itu.

Pertama, bangsa ini adalah bangsa yang konsumeristik,

yakni bangsa yang warganya ketagihan untuk

memuaskan hasratnya untuk membeli barang-barang

yang mungkin saja tidak mereka butuhkan.

Hasrat konsumeristik ini melampaui kemampuan finansial

orang yang bersangkutan. Walaupun pendapatan kecil,


tetapi yang penting adalah gaya hidup yang ditunjang

dengan sikap konsumeristik tanpa batas. Jika tidak ada

uang cash, kartu kredit menjadi pilihan alternatif.

Tidak heran, mentalitas yang mengumbar hasrat

konsumeristik ini kemudian melahirkan mentalitas

berhutang. Jadi, kita tidak hanya merupakan bangsa

yang doyan mengumbar hasrat konsumeristik, tetapi juga

bangsa yang doyan berhutang. Dua mentalitas ini adalah

mangsa yang empuk bagi para serigala kapitalisme dan

modal asing!

Perluasan Lapangan Kerja?

Ada alasan kedua bernuansa lebih positif, yakni bahwa

keberadaan mall berarti pembukaan lapangan kerja baru.

Pengangguran pun akan berkurang. Orang-orang miskin

di daerah itu akan mendapatkan kesempatan untuk


menyambung hidup mereka lagi.

Alasan tersebut memang terdengar indah. Akan tetapi,

apakah sungguh seperti itu? Apakah motif didirikannya

sebuah mall besar di bilangan kawasan yang cukup elit

adalah untuk memperluas lapangan kerja? Jawabannya:

Tidak.

Motif terdasar seseorang melakukan bisnis adalah

meraup untung yang sebesar-besarnya. Jika nanti bisnis

tersebut akan membantu kehidupan masyarakat

setempat, itu alasan sekunder. Jika tidak, ya tidak apa-

apa. Bussiness must go on!

Sekarang ini, banyak perusahaan menggunakan sistem

outsourcing. Di dalam sistem ini, pekerja tidak akan

pernah mendapatkan status tetap beserta hak-hak yang

berasal dari status itu. Pekerja akan terus menjadi

pekerja kontrak.
Jika bekerjanya bagus, maka kontrak akan diperpanjang.

Jika kinerjanya mulai menurun, atau dia mulai

mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang

statusnya sebagai pekerja, maka ia dengan mudah

dilepaskan dari kontrak, dan dibiarkan menganggur. Toh,

masih banyak pekerja lain yang mengantri kok.

Jadi, sistem outsourcing memandang buruh melulu

sebagai modal, dan bukan sebagai manusia. Sistem

semacam ini menyangkal kapasitas manusiawi dari

buruh, dan memperlakukannya seolah sebagai barang

yang bisa diganti atau dibuang, jika rusak.

Dengan kata lain, alasan membuka sebuah mall lagi di

Jakarta dengan alasan memperluas lapangan kerja

sesungguhnya adalah alasan yang sangat lemah. Alih-alih

memberi dampak positif, kehadiran sebuah mall justru

makin mempertegas status pekerja sebagai barang!


Bangsa Pengumbar Hasrat

Ketiga, bangsa ini adalah bangsa pengumbar hasrat,

sehingga apapun akan dilakukan untuk memuaskan

hasratnya mendapatkan hiburan, prestise, walaupun

sesungguhnya sumber daya yang ada untuk

memperolehnya tidak lagi memadai.

Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke sembilan belas,

pernah menulis, bahwa dorongan terdasar manusia

adalah kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk

berkuasa inilah yang bergerak di balik semua ciri

peradaban yang tampak luhur di depan mata kita.

Kehendak untuk berkuasa ini yang mendikte kita

bagaimana harus bertindak. Dengan memberikan ruang

yang besar untuk kehendak semacam ini, kita

sebenarnya sudah kehilangan kebebasan kita sebagai


manusia untuk menjadi subyek atas dirinya sendiri.

Jika hasrat mendominasi, maka rasio akan turun. Jika

rasio turun, banyak keputusan akan dibuat di dalam

suasana irasionalitas. Tepat inilah yang kiranya terjadi di

Indonesia sekarang ini: mengumbar hasrat dan

memelihara irasionalitas! Tak heran, jika bangsa ini

semakin hari semakin saja tidak bisa membedakan mana

yang benar dan mana yang salah, mana yang patut

dijalankan dan mana yang harus ditabukan.

Apatisme Publik

Keempat, ketidakpedulian masyarakat terhadap semakin

mendominasinya hasrat atas rasio di Indonesia justru

semakin mempersubur irasionalitas yang terjadi. Hati

nurani kita mulai kehilangan kepekaannya. Kita tidak lagi

peduli, apakah yang terjadi di depan kita itu salah atau


benar. Kita menjadi apatis.

Di dalam teori-teori tentang totalitarianisme dinyatakan

dengan jelas, bahwa masyarakat massa adalah kondisi

yang paling subur bagi terciptanya pemerintahan

totaliter. Masyarakat massa disini adalah masyarakat

yang terdiri dari orang-orang yang tidak lagi kritis

terhadap kehidupan publik, melainkan terdiri dari para

pengikut arus yang tunduk dan patuh.

Mereka tunduk dan patuh bukan karena bodoh, tetapi

karena mereka tidak peduli. Ada paradoks disini: massa

terdiri dari orang-orang yang teratomisasi satu sama lain,

sekaligus kemudian bergabung dan memecah nyaris

dalam sekejap mata. Yang terjadi disini bukanlah

kebodohan publik, melainkan gejala ketidakmauan

berpikir yang dialami secara kolektif. Ketidakmauan

berpikir itulah benih dari apatisme publik.


Di dalam masyarakat yang apatis, kultur penggunaan

akal secara publik (public use of reason ) tidak lagi

ditemukan. Yang dengan mudah ditemukan adalah

perayaan hasrat: masyarakat menjadi masyarakat

pengumbar hasrat, karena di mana akal meredup, di

sana hasrat menjadi raja.

Solusinya apa? Dengan mudah saya menjawab: marilah

kita mulai peduli terhadap kehidupan bersama kita!

Marilah kita mulai peduli dengan hal-hal yang sungguh

bermakna bagi masyarakat kita, dan bukan hanya bagi

kita pribadi. Hanya dengan menembus selubung

egoismelah kita bisa sungguh mendirikan masyarakat

politis yang ideal.

Mall sebagai Candu

Kelima, ingatlah diktum Marx yang mengatakan, bahwa


agama adalah candu. Agama adalah alat kekuasaan

untuk meredam tendensi pemberontakan yang mungkin

saja muncul, akibat ketidakadilan dan penindasan yang

tengah terjadi.

Pola yang mirip bisa ditemukan disini. Masyarakat dibuai

dengan rayuan barang-barang dan kenikmatan material,

sehingga mereka lupa (sudah tidak peduli dan juga

lupa..) untuk bergulat dengan persoalan-persoalan yang

sungguh-sungguh bermakna tentang bangsa ini, seperti

tentang ketidakadilan, solidaritas sosial, kemiskinan, dan

pengangguran yang terus membesar jumlahnya.

Jika menurut Marx agama adalah candu, maka menurut

saya, mall adalah candu bagi rakyat: tempat rakyat untuk

melarikan diri dari realitas, dan masuk ke alam buaian

kenikmatan semu yang ditawarkan kapitalisme dan

antek-anteknya. Mall yang menjamur adalah tanda


faktual bahwa kita mulai menjadi bangsa yang

diperbudak oleh hasratnya sendiri. Kita menjadi bangsa

pengumbar hasrat!

Gayung Bersambut

Salah satu hukum baja ekonomi menegaskan, bahwa

suatu produk tidak akan pernah bisa bertahan, jika tidak

ada pasar konsumen yang menunjang produk tersebut.

Begitu pula sebuah mall tidak akan bertahan, jika tidak

ada pasar konsumen yang menunjang eksistensi mall

tersebut.

Jadi, kedua belah pihak bertemu bagaikan gayung

bersambut: para pemodal yang haus mencari untung

bertemu dengan para konsumen yang ingin dipuaskan

hasrat konsumeristiknya. Mentalitas konsumeristik di

masyarakat adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi


terwujudnya hegemoni kapitalisme di dalam suatu

masyarakat. Tanpa yang satu, yang lain tidak akan ada.

Jika dibahasakan secara sederhana: selama kita masih

datang dan belanja secara eksesif di mall, semakin

kuatlah cengkraman kapitalisme dalam bentuk mall di

dalam ruang publik kita. Ruang untuk paru-paru kota

semakin berkurang. Kemacetan mulai terjadi nyaris di

setiap tempat. Trotoar untuk pejalan kaki semakin

sedikit.

Kesenjangan sosial antara si minoritas kaya, yang sering

datang dan belanja di mall, dan mayoritas yang miskin,

yang sudah langsung terseleksi sebagai orang yang tidak

mampu belanja di mall, akan semakin besar. Anarki pun

akan siap datang. Tatanan hidup bernegara terancam!

Hidup bersama menjadi semakin tidak mungkin.


Lalu Bagaimana?

Tentu saja, tidak ada solusi praktis untuk semua masalah

di atas. Problem-problem sosial di Indonesia sudah

begitu berakar di dalam kultur, sehingga selama kita

masih hidup dengan cara berpikir yang sama, perubahan

nyaris tidak mungkin dilakukan.

Apa yang saya sarankan hanyalah sebuah langkah kecil

yang bersifat reflektif, namun jika banyak orang yang

melakukannya, niscaya akan segera terjadi perubahan.

Perubahan tersebut akan bergerak dari level individual,

kelompok, masyarakat, dan kemudian ke level negara.

Pertama, kita harus menyadari hasrat yang mendorong

semua tindakan kita. Nietzsche dan Schopenhauer sudah

mengingatkan kepada kita, bahwa daya dorong purba di

dalam diri kita bukanlah akal yang tercerahkan, tetapi

kehendak yang nyaris buta dan anarkis.


Kita harus mengenali dulu hasrat kita. Jangan

menolaknya, tetapi perlakukanlah hasrat tersebut sebagai

bagian dari keutuhan kita sebagai manusia, karena tanpa

hasrat, kita bukanlah manusia.

Akan tetapi, manusia tidaklah melulu didikte oleh

hasratnya, ia masih punya kebebasan untuk memilih.

Kebebasan inilah yang identik dengan kemampuan akal

sehat kita untuk membuat keputusan.

Sudah sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Plato

mengajarkan kepada kita, bahwa manusia memiliki akal

untuk berpikir, hati yang besar untuk bersikap berani,

dan dorongan-dorongan nafsu seks dan nafsu makan

untuk survivalnya. Di antara ketiga elemen itu hanya

akalah yang mampu mengatur lalu lintas pembagian

kekuasaan di antaranya.

Dengan kata lain, manusia memang memiliki banyak


hasrat di dalam dirinya. Akan tetapi, akal di dalam dirinya

mampu mengatur hasrat tersebut, supaya tetap dalam

kondisi yang terkontrol. Hanya orang bodohlah yang

membiarkan akalnya didikte oleh hasratnya. Jadi, kita

perlu menggunakan akal kita, baik secara individual

maupun secara kolektif, untuk menata hasrat kita, baik

hasrat individual maupun hasrat kolektif.

Terakhir, kita perlu ingat apa yang diajarkan oleh para

filsuf Idealisme Jerman pada abad pencerahan kepada

kita, bahwa kesadaran diri adalah elemen terpenting di

dalam diri manusia. Kesadaran diri itu terbentuk dalam

kemampuan manusia berpikir tentang dirinya sendiri,

melakukan refleksi, dan bertindak berdasarkan

pertimbangannya sendiri.

Tanpa kesadaran diri yang kuat, kita bagaikan perahu

yang hanyut di tengah laut tanpa tujuan. Dan persis


itulah yang kita alami sekarang ini….
Paradoks Memaafkan

Hampir semua agama dan kepercayaan di dunia ini

mengajarkan umatnya untuk saling memaafkan. Di

dalam tindak memaafkan, ada niat untuk berdamai

dengan kehidupan, baik kehidupan orang lain ataupun

kehidupan diri sendiri. Namun apa sebenarnya arti tindak

memaafkan ini? Mengapa kita perlu melakukannya?

Makna Memaafkan

Tindak memaafkan adalah tindakan paradoksal (Lazare).

Di dalam ucapan maaf selalu terkait dua hal, yakni


keinginan untuk mengingat sekaligus untuk melupakan.

Untuk mengingat berarti untuk menerima kejadian yang

negatif, yang harus dimaafkan, sebagai bagian dari

peristiwa hidup, dan juga sebagai bagian dari relasi antar

manusia. Untuk melupakan berarti berkomitmen untuk

tidak lagi mengungkap peristiwa negatif tersebut di

kemudian hari sebagai alat untuk menyakiti.

Di sisi lain tindak memaafkan juga selalu mengandung

aspek universal dan partikular. Di dalam semua

peradaban, tradisi memaafkan dapat dengan mudah

ditemukan. Fenomena memaafkan adalah fenomena

yang universal. Namun tindak memaafkan juga bersifat

partikular, karena pribadi-pribadi yang melakukannya

adalah pribadi yang unik. Mereka adalah person-person.

Semua tindakan terkait memaafkan selalu muncul dari

pengalaman personal, dan berawal dari ucapan orang


personal pula.

Level tertinggi dari memaafkan adalah memaafkan apa

yang sebenarnya tidak termaafkan (Derrida). Jika anda

memaafkan hal-hal yang sepele, yang sebenarnya tidak

merugikan anda, maka sebenarnya anda belum

memaafkan, karena anda masih melakukan hitung-

hitungan untung rugi dengan orang yang anda maafkan.

Namun jika anda sungguh dirugikan, baik secara mental

maupun fisik, dan anda mampu memaafkan, maka anda

sudah mencapai tingkat tertinggi dari memaafkan itu

sendiri. Inilah dimensi paradoksal terdalam dari tindak

memaafkan, yakni bahwa ia sungguh menjadi nyata,

ketika orang berani untuk memaafkan apa yang

sebenarnya tidak termaafkan.

Distorsi Memaafkan
Sekarang ini banyak orang memaafkan, jika mereka

dimaafkan. Pola yang berlaku adalah saya untung, dan

anda juga untung. Tidak ada beda antara transaksi bisnis

dengan memaafkan. Padahal tindak memaafkan memiliki

makna tepat karena tindakan itu tidak bersifat

transaksional, melainkan altruistik. Selain cinta ibu

kepada anaknya, mungkin tindak memaafkan adalah

satu-satu sumber keyakinan kita semua, bahwa manusia

mampu bertindak tulus terhadap sesamanya.

Sekarang ini banyak juga orang yang memaafkan hanya

sekedar di mulut. Mereka mengucapkan maaf atau

memaafkan, tetapi hatinya tetap membenci dan

menyimpan dendam. Tindak memaafkan dan meminta

maaf dilepaskan dari kejujuran. Padahal pada

hakekatnya, meminta maaf dan memaafkan

mengandaikan kejujuran. Tanpa kejujuran semua


tindakan itu tidak ada artinya.

Tradisi memaafkan memang tradisi yang mulia. Namun

orang tidak boleh hanya melakukannya, hanya karena itu

merupakan kewajiban. Dengan kata lain tindak meminta

maaf dan memaafkan tidak boleh hanya menjadi sekedar

formalitas dan ritualistik. Sekarang ini banyak orang

terjebak pada formalitas memaafkan. Formalitas dan

ritualitas memaafkan mengeringkan tindakan itu dari

maknanya yang sesungguhnya sangat dalam.

Memaafkan Secara Sosial

Di sisi lain tindak memaafkan memang berawal dari

pengalaman personal. Namun akhir dan puncak dari

tindak memaafkan sebenarnya ada di level sosial.

Kehidupan sosial manusia sudah sejak awal selalu

dilumuri dengan perang dan penderitaan. Tanpa


keberanian untuk menerima semua kepedihan yang

muncul dari peristiwa itu, kehidupan sosial yang

harmonis tidak akan pernah tercipta.

Tanpa keberanian untuk memaafkan di level sosial,

identitas kita sebagai bangsa tidak akan pernah

terbentuk secara utuh. Kita harus berani berani menatap

sejarah bangsa Indonesia yang penuh dengan perang

dan penderitaan secara terbuka dan berani. Ajakan ini

bukan untuk menguak luka lama, melainkan untuk

menjadikan perang dan penderitaan itu sebagai bagian

dari identitas bangsa ini. Tanpa kehendak dan keberanian

untuk menatap masa lalu yang negatif, kita tidak akan

pernah dewasa sebagai bangsa.

Di tingkat sosial memaafkan juga mengandaikan

keberanian untuk melupakan. Dalam arti ini melupakan

bukan sekedar untuk melupakan begitu saja, melainkan


melupakan untuk menerima, dan menerima untuk

mengingat (Ricoeur). Semua kepedihan bangsa ini, yang

muncul dari begitu banyak perang, krisis, dan konflik

antar kelompok, hanya dapat dilampaui dengan

dilupakan. Supaya dapat menerima orang perlu untuk

melupakan, karena hanya di dalam kemampuan untuk

melupakanlah orang dapat mengingat secara tepat

(Straub).***
Menggagas Politik Multikulturalisme

Kabinet Indonesia bersatu II sudah terbentuk.

Sumpah dan komitmen politis sudah diucapkan. Harapan

dan kesangsian bermunculan di masyarakat. Sama

seperti pemerintahan sebelumnya, Kabinet Indonesia

Bersatu II ini adalah hasil kompromi dari berbagai

kepentingan, terutama kepentingan yang ada di partai

politik. Namun apakah kompromi tersebut sungguh

mampu mencerminkan kepentingan dan kebutuhan

setiap kelompok yang ada di masyarakat? Ataukah

kompromi politik yang terjadi sifatnya hanya pembagian

kekuasaan, tanpa ada keterkaitan dengan kepentingan

masyarakat luas?
Pemerintahan Multikultural

Indonesia adalah negara dengan banyak bangsa. Tidak

hanya itu beragam ‘bangsa’ yang ada di Indonesia juga

memiliki kelompok-kelompok identitas partikular di

dalamnya. Dalam arti ini Indonesia adalah bangsa

multikultur. Kultur sendiri adalah pandangan hidup,

pandangan dunia, horison makna, dan nilai-nilai yang

diyakini oleh seseorang atuapun suatu kelompok sebagai

dasar pemikiran ataupun tindakannya. Adanya beragam

kultur bisa menjadi potensi kekayaan budaya bangsa

yang besar, sekaligus potensi pemecah dan pemicu

konflik.

Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme

haruslah memberikan ruang bagi semua identitas

partikular yang muncul dan berkembang di dalam


masyarakat. Setiap kelompok identitas partikular

haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet.

Inilah ide dasar dari parlemen dan kabinet

multikulturalisme. Kepentingan setiap kelompok identitas

kultural partikular haruslah diberikan tempat untuk

kemudian berdialog dengan kepentingan identitas

kultural partikular lainnya.

Selama ini parlemen hanya terdiri dari

perwakilan propinsi yang telah memenangkan pemilu

legislatif. Kabinet eksekutif pemerintahan pun hanya

merupakan hasil kompromi politik dari partai-partai politik

besar. Dalam kondisi ini kepentingan dan pemikiran yang

berkembang dari kelompok identitas partikular yang

tersebar di seluruh Indonesia seringkali tidak

mendapatkan ruang untuk didengar. Padahal kehadiran

jutaan kelompok identitas partikular di seluruh Indonesia


sangat menentukan jati diri bangsa secara keseluruhan.

Jika parlemen dan kabinet tidak memberi ruang

bagi perwakilan setiap kelompok identitas partikular,

maka demokrasi akan tersumbat. Kepentingan dan

pemikiran mereka yang unik seturut dengan kulturnya

tidak akan terdengar. Identitas kelompok mereka

akhirnya terancam musnah. Jika kelompok-kelompok

identitas partikular di Indonesia musnah, maka potensi

kekayaan budaya bangsa akan musnah. Indonesia dapat

terjatuh kembali menjadi negara totaliter.

Keberadaan parlemen dan kabinet

multikulturalisme memungkinkan setiap kelompok

identitas partikular yang tersebar di seluruh penjuru

Indonesia mendapatkan pengakuan yang selayaknya.

Adanya pengakuan terhadap keberadaan kelompok

identitas partikular merupakan awal perkembangan


identitas nasional bangsa Indonesia yang multikultur.

Pengakuan merupakan syarat eksistensi suatu kelompok

ataupun individu. Identitas kelompok partikular bisa

berkembang secara dialogal dengan identitas kelompok

lainnya, jika pengakuan sudah diberikan.

Prinsip dasar yang harus dijadikan acuan adalah,

bahwa setiap kultur memiliki nilai pada dirinya sendiri.

Setiap orang ataupun kelompok berhak hidup seturut

dengan kultur yang mereka yakini secara otentik.

Pemerintahan multikultural adalah cerminan dari

masyarakat Indonesia yang juga multikultur.

Pemerintahan multikultural bisa menjamin otentisitas

kehidupan dari individu ataupun kelompok yang

dipimpinnya. Di dalam masyarakat yang otentik, potensi

konflik sosial antar kelompok sangatlah kecil. Kekerasan

di dalam masyarakat pun bisa dikurangi.


Kompromi Politik

Pada level praktis keberadaan parlemen dan

kabinet multikulturalisme bisa memberi warna positif bagi

kompromi politik yang terjadi di pemerintahan, terutama

eksekutif dan legislatif. Dewasa ini kompromi politik yang

terjadi adalah kompromi antar kepentingan golongan

yang berkuasa di pemerintahan. Masyarakat secara

umum termasuk kelompok-kelompok identitas partikular

tidak mendapatkan ruang untuk sungguh

memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya banyak

kelompok identitas partikular tersebut merasa asing

dengan pemerintahan yang ada. Apatisme politik pun

tercipta. Orang tidak lagi peduli dengan politik

bangsanya.

Jika parlemen (legislatif) dan kabinet (eksekutif)


memberikan tempat yang memadai untuk setiap

kelompok identitas partikular, maka kompromi politik

yang terjadi adalah kompromi untuk memperjuangkan

kesejahteraan bersama, karena setiap kelompok identitas

partikular hanya bisa berkembang dalam relasi dengan

kelompok identitas partikular lainnya. Inilah inti dari

politik multikulturalisme. Kesejahteraan bersama hanya

dapat tercipta, jika setiap kelompok identitas partikular

memperjuangkan kepentingannya dalam relasi dialogal

dengan kelompok identitas partikular lainnya. Para

politikus dan akademisi bisa mulai melihat kemungkinan

terwujudnya politik multikulturalisme di Indonesia.***


Memelihara Narasi Demokrasi

Sekarang ini banyak orang berpendapat, bahwa

demokrasi adalah melulu soal politik. Mereka yang

berbicara demokrasi biasanya adalah para politikus

ataupun akademisi. Gaya bahasa yang digunakan di

dalam percakapan tentang demokrasi pun cenderung

tidak mendarat, sehingga banyak orang di luar dunia

politik ataupun akademik merasa asing mendengarnya.

Demokrasi menjadi slogan yang terdengar elitis di telinga

rakyat biasa pada umumnya.


Ironis ketika melihat seorang penjual rokok di depan

kantor universitas ataupun LSM yang pro demokrasi dan

seringkali membuat pernyataan keras atas nama

demokrasi tidak mengenal apa arti demokrasi, dan

bahkan arti dari hak asasi manusia! Cobalah ajak diskusi

penjaga keamanan di gedung MPR/DPR atau di depan

universitas-universitas pro demokrasi, apakah mereka

mengerti arti demokrasi, ataupun hak asasi manusia?

Dapat juga disimpulkan bahwa perjuangan demokrasi

masih bersifat eksklusif. Perjuangan untuk mendirikan

pemerintahan demokratis yang juga berdasar pada kultur

demokratis hanya dilakukan oleh sekelompok elit politik

ataupun elit intelektual saja.

Narasi Demokrasi

Narasi adalah cerita. Setiap orang hidup dengan cerita.


Sedari kecil mereka mendengar cerita, baik dalam bentuk

dongeng, ajaran moral, maupun ajaran agama. Setiap

orang hidup dengan mendengarkan dan menuturkan

cerita. Di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, narasi atau

cerita dianggap sebagai pembentuk identitas dan jati diri.

Maka jika anda ingin memahami orang dengan latar

belakang tertentu secara mendalam, telitilah narasi

macam apa yang ia dengarkan sedari kecil, dan narasi

macam apakah yang ia tuturkan di dalam kesehariannya

(Webster dan Mertova). Pada masa kecil seseorang,

narasi biasanya berbentuk ajaran moral dari orang tua

ataupun dari agama. Namun pada saat orang dewasa,

narasi lebih berbentuk berita, analisis saintifik, dan

bahkan gosip. Bangsa yang keseharian warganya

dipenuhi dengan gosip dan mistik tentu saja tidak akan

mampu menciptakan hal-hal baru yang bisa memperbaiki


keadaan.

Penyebab utama wacana dan perjuangan demokrasi

tampak ekslusif adalah, karena narasi tentang demokrasi

belum menjadi bagian dari cerita ataupun tutur warga

negara Indonesia. Demokrasi masih bersifat parsial, dan

belum menjadi budaya. Maka solusi untuk memperkuat

perjuangan menuju masyarakat demokratis adalah

dengan mendengungkan terus menerus isu demokrasi

tidak hanya di tataran politik, tetapi juga di dalam

praktek sehari-hari kehidupan rakyat pada umumnya.

Demokrasi harus menjadi bagian dari udara yang dihirup

oleh bangsa Indonesia.

Mengapa Harus Demokrasi?

Mengapa demokrasi harus menjadi bagian dari

percakapan sehari-hari bangsa Indonesia? Yang pertama,


bentuk konkret cara berpikir demokratis adalah

kemampuan untuk menyelesaikan masalah melalui dialog

rasional yang dilandasi nilai-nilai kejujuran dan

kebenaran. Jika setiap masalah bisa diselesaikan dengan

jalan demokratis, maka perdamaian abadi pun akan

tercipta.

Yang kedua, demokrasi adalah soal

pertanggungjawaban. Di dalam iklim demokratis, tidak

ada keputusan ataupun pernyataan yang bisa diterima

begitu saja tanpa diuji di dalam suatu perdebatan

rasional (Habermas). Iklim demokratis menjamin bahwa

penguasa ataupun pemimpin bekerja dengan mengacu

sepenuhnya pada kepentingan yang dikuasai ataupun

yang dipimpinnya. Setiap kebijakan yang ia buat haruslah

menempuh proses debat rasional dan dapat

dipertanggungjawabkan secara rasional.


Memang sekilas proses ini terlihat tidak efisien. Namun

nilai utama demokrasi adalah legitimasi dan keabsahan,

dan bukan efisiensi. Menilai demokrasi dengan kriteria

efisiensi itu bagaikan menilai proses belajar seorang anak

melulu dari uang ataupun sumber daya yang dikeluarkan.

Demokrasi adalah proses belajar yang membutuhkan

sumber daya yang bersifat multidimensional. Maka

kriteria untuk mengukurnya pun harus memiliki banyak

dimensi.

Memelihara Narasi

Iklim demokratis yang nyata bisa tercipta, jika

setiap harinya mayoritas warga negara Indonesia hidup

dengan mendengarkan dan bertutur soal kehidupan

sehari-hari secara demokratis. Dalam arti ini demokrasi

harus menjadi narasi atau cerita sehari-hari rakyat


Indonesia. Demokrasi harus meresap di dalam

keseharian. Ada dua cara untuk memfamiliarkan

masyarakat dengan wacana demokrasi, yakni melalui

pendidikan, baik formal ataupun informal, dan melalui

media massa, terutama media massa elektronik yang

semakin populer dewasa ini.

Demokrasi termasuk teori dan aplikasi haruslah

diperkenalkan di sekolah sejak tahap awal pendidikan,

baik di sekolah maupun di keluarga. Anak diajak untuk

berdiskusi di dalam pengambilan keputusan mulai dari

persoalan-persoalan paling sederhana, sampai yang

rumit. Di sekolah anak diajak untuk berani berpendapat

dan bertindak sesuai dengan keyakinannya sendiri, lalu

siap berdiskusi dan mendengarkan pihak lain yang

mungkin berbeda pendapat dengan dia.

Media massa terutama media massa elektronik,


seperti TV dan radio yang sangat digemari masyarakat

luas, haruslah mulai memperkenalkan konsep-konsep

dasar demokrasi di dalam tayangan-tayangan mereka.

Demokrasi tidak hanya menjadi bagian dari tayangan

berita, tetapi juga hiburan, seperti sinetron bertemakan

pendidikan demokrasi, iklan demokrasi, serta lagu-lagu

populer yang menyuarakan prinsip-prinsip demokrasi,

seperti kesetaraan antar manusia, keadilan,

kemanusiaan, dan tanggung jawab moral kekuasaan.

Hanya dengan itulah demokrasi bisa menjadi bagian dari

kultur masyarakat Indonesia.***


Menegaskan Kembali Tanggung Jawab

Para Pekerja Profesional

Ciri mendasar masyarakat modern adalah kehadiran

orang-orang yang memiliki keahlian mendalam pada satu

bidang tertentu. Mereka disebut para ahli ( experts).

Bentuknya beragam mulai dari profesi guru, sekretaris,

tukang listrik, tukang AC, pengacara, dokter, akuntan,

manajer, apoteker, mekanik mesin mobil, dan sebagainya.

Di dalam profesi-profesi tersebut terselip sebuah gelar

yang mulia, yakni para profesional.

Apa konsekuensi menjadi seorang profesional di satu

bidang? Pertanyaan itu semakin penting untuk diajukan,


mengingat begitu banyak pekerja profesional di segala

bidang sekarang ini yang melakukan penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power) terkait profesi mereka.

Misalnya seorang akuntan yang memalsukan pembukuan,

seorang dokter atau perawat yang tidak mau

bertanggungjawab atas kesalahan perawatan yang

mereka berikan, seorang pengacara yang menggunakan

argumen-argumen hukum untuk membebaskan orang

yang terbukti bersalah, seorang dosen yang

menggunakan statusnya untuk memeras mahasiswa, dan

sebagainya.

Makna Profesi

Profesi adalah sebuah panggilan. Profesi tidak

hanya sekedar seseorang belajar sampai level tertentu,

lalu bisa disebut profesional, melainkan suatu panggilan


untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat secara

keseluruhan, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Dari kata Inggris profess yang berarti menyatakan,

seorang profesional juga menyatakan diri mau dan

mampu untuk bekerja demi kepentingan orang banyak,

dan bukan hanya berfokus pada kepentingan pribadinya

sendiri. Ia adalah manusia-untuk-sesamanya

(woman/man for others).

Apa artinya menjadi seorang profesional dalam

bidang teknik sipil? Artinya anda memiliki kemampuan

teknis dalam bidang teknik sipil, dan bersedia bekerja

demi memajukan kehidupan bersama. Apa artinya

seorang disebut profesional dalam bidang kedokteran?

Artinya anda memiliki keterampilan dan pengetahuan

yang dibutuhkan untuk bekerja di bidang medis, serta

siap untuk mengabdikan diri untuk mengembangkan


kehidupan bersama.

Dua arti itu yakni keterampilan teknis dan

pengabdian diri tidaklah boleh dipisahkan! Yang sekarang

banyak terjadi adalah, dua hal itu dipisahkan, supaya si

profesional, apapun bidangnya, bisa mengeruk

keuntungan sebesar-besarnya, jika perlu dengan

merugikan kepentingan bersama. Si profesional menjadi

arogan karena keterampilannya, lalu melupakan tujuan

awal dari profesionalitasnya, yakni pengabdian diri.

Dalam konteks itu pengabdian diri kepada masyarakat

digantikan menjadi pengabdian diri untuk

mengembangkan diri sendiri.

Apa salahnya mengembangkan diri sendiri?

Bukankah seperti yang pernah diajukan secara tegas oleh

Adam Smith, filsuf moral dan bapak ekonomi, pengejaran

kepentingan diri sendiri adalah bentuk naluri dasariah


manusia yang tidak bisa dihindarkan? Tidak ada salahnya

mengembangkan diri sendiri. Bahkan sebaliknya orang

yang malas atau tidak mau mengembangkan diri sendiri

justru akan berakibat negatif untuk dirinya sendiri dan

orang lain.

Yang menjadi masalah adalah, ketika

pengembangan diri itu menjadi tujuan utama, dan

menghalalkan cara apapun untuk mencapainya, bahkan

dengan merugikan orang lain. Pada titik ini kita perlu

membedakan dua hal, tujuan (end) dan cara (means).

Cara berpikir yang tepat adalah, bahwa pengembangan

diri merupakan alat (means), dan pengembangan hidup

bersama adalah tujuan (end). Dengan kata lain orang

boleh mengembangkan diri sendiri semaksimal mungkin,

sejauh pengembangan diri itu bisa memberikan

kontribusi nyata bagi kebaikan masyarakat. Inilah esensi


dari tanggung jawab seorang profesional, apapun

bidangnya!

Krisis Profesionalitas

Apa yang saya jabarkan di atas adalah konsep

normatif, yakni apa yang seharusnya terjadi ( Das

Soellen). Konsep di atas bisa digunakan untuk melihat

situasi dunia profesional kita di Indonesia. Bagi saya

pribadi situasi kehidupan para pekerja profesional di

Indonesia tengah mengalami krisis, mungkin ini juga

disebabkan krisis multidimensional yang masih menimpa

kita sekarang ini. Saya menyebutnya sebagai krisis

profesionalitas.

Apa tanda dari krisis tersebut? Dan mengapa

krisis itu terjadi? Ada dua tanda yang jelas menandai

krisis profesionalitas di negara kita. Yang pertama adalah


semakin kurangnya keterampilan teknis maupun

pengetahuan komprehensif pada ahli kita di bidangnya

masing-masing. Hal ini menciptakan ketergantungan

pada para ahli dari negara lain, sekaligus mengurangi

kepercayaan diri pada ahli dalam negeri untuk berani

bersaing di level internasional.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua

akar masalah. Yang pertama adalah banyak pemuda

maupun pemudi yang menjalani pendidikan tidak memilih

langsung bidang keahlian yang mereka tekuni. Mereka

ditekan oleh lingkungan sosial untuk menekuni satu

bidang yang sebenarnya tidak mereka sukai. Jamak

ditemukan seorang anak yang sebenarnya tidak mau

mengambil kuliah kedokteran, namun karena paksaan

orang tua, ia kemudian terpaksa melakukannya.

Akibatnya ia belajar tidak sepenuh hati, dan keterampilan


maupun pengetahuannya sebagai dokter pun akhirnya

juga tidak maksimal. Kasus yang serupa juga dapat

ditemukan pada bidang keahlian lainnya.

Yang kedua adalah bangsa kita masih terpesona

oleh segala sesuatu yang berbau Amerika Serikat dan

Eropa. Antonio Gramsci menyebut keterpesonaan ini

sebagai hegemoni, yakni penjajahan halus yang lebih

mengutamakan rayuan daripada kekerasan. Akibatnya

sebuah bangsa bisa tetap terjajah, walaupun mereka

tidak menyadari, bahwa mereka sedang dijajah. Para ahli

dalam negeri hampir tidak memperoleh kesempatan

untuk membuktikan diri, karena mereka kalah bersaing

dengan para ahli dari negara lain, terutama Eropa dan

Amerika Serikat. Kedua sebab di atas, yakni keterpaksaan

menekuni suatu profesi dan hegemoni Eropa maupun

Amerika, saling berpaut tanpa bisa terpisahkan.


Tanda krisis profesionalitas kedua adalah,

lemahnya integritas moral dan kesadaran akan

pengabdian para pekerja profesional Indonesia hampir di

semua bidang. Buktinya jelas yakni semakin banyaknya

pelanggaran etika profesi yang dilakukan oleh para

profesional, baik pelanggaran oleh dokter, akuntan,

pengacara, dan sebagainya. Dan semakin banyaknya

para pekerja profesional yang giat memperkaya diri

sambil menipu dan merugikan kepentingan bersama.

Tingkat korupsi yang tinggi, baik di perusahaan

pemerintah ataupun swasta, adalah gejala permukaan

dari semua masalah ini.

Mengapa begitu banyak pelanggaran etika

profesi ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua sebab yang

bisa diajukan. Yang pertama terkait dengan kurangnya

penghargaan terhadap para pekerja profesional di


Indonesia. Penghargaan seringkali terjebak dalam

retorika belaka, dan tidak menjadi bukti nyata.

Pendapatan yang rendah adalah contoh nyata dari tidak

adanya penghargaan terhadap para pekerja profesional.

Orang yang paling baik di dunia pun bisa menjadi

koruptor, jika untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan

keluarganya pun ia tidak mampu.

Yang kedua adalah efek domino dari

pelanggaran moral yang sudah seringkali terjadi. Apa

yang dimaksud efek domino? Efek domino adalah efek

menular. Biasanya argumen yang diajukan begini,

“Karena semua orang melakukan korupsi, bahkan

termasuk atasan saya, maka kenapa saya tidak

melakukan korupsi juga?” Jadi orang melakukan

penyalahgunaan jabatan bukan karena ia terjepit, tetapi

karena ia terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.


Orang sering lupa bahwa kejahatan adalah

sesuatu yang menular, apalagi jika pelakunya adalah

orang yang memiliki status terhormat. Orang menjadi

tidak segan melakukan kejahatan, karena figur yang ia

kagumi pun melakukannya pula. Tentu saja masalah

mendasar disini adalah kurangnya integritas moral pelaku

kejahatan, karena ia terpengaruh oleh lingkungan

sosialnya. Namun faktanya adalah di Indonesia, para

pelaku kejahatan menjadi tidak peduli pada tindakan

mereka, karena tidak ada panduan dan figur yang bisa

menggerakkan hati mereka untuk bertindak sebaliknya.

Kejahatan pun menjadi tradisi.

Menegaskan Kembali Tanggung Jawab Profesional

Di hadapan rimba permasalahan di atas, teriakan

untuk mengingatkan pentingnya tanggung jawab moral


para pekerja profesional di Indonesia sangatlah masuk

akal! Profesionalitas adalah panggilan untuk

mengembangkan kehidupan bersama, dan bukan jalan

pintas untuk memperkaya diri. Profesionalitas adalah

panggilan untuk mengabdi, dan bukan untuk menipu!

Profesionalitas adalah panggilan kemanusiaan, dan

bukan panggilan untuk meraup uang ataupun kekuasaan

sampai sepuas-puasnya!

Cara berpikir luhur di atas akan terjebak menjadi

retorika belaka, jika tidak ditajamkan untuk menciptakan

solusi nyata atas permasalahan yang ada. Setidaknya ada

dua kemungkinan solusi yang bisa diajukan. Yang

pertama berada di level konseptual, yakni soal

penegasan makna etika di dalam kehidupan pekerja

profesional. Yang kedua merupakan solusi praktis untuk

memastikan para pekerja profesional tetap


memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan pengabdian

di dalam pekerjaan mereka.

Yang pertama secara konseptual, etika adalah

panggilan di dalam diri manusia untuk memahami apa

yang baik dan apa yang buruk, serta kemudian hidup

berdasarkan pengetahuan itu. Pada titik ini saya teringat

apa yang dikatakan oleh seorang filsuf Jerman bernama

Immanuel Kant sekitar 200 tahun yang lalu, bahwa

manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan

alat untuk tujuan lainnya. Tak berlebihan jika dikatakan,

seluruh profesi manusia, apapun bentuknya, didasarkan

pada pelayanan pada manusia lainnya sebagai tujuan,

dan bukan sebagai alat. Fokus dari profesi adalah

manusia dengan segala kebutuhannya, dan bukan uang

ataupun kekuasaan.

Saya ingin mengajak para profesional di berbagai


bidang untuk mengingat kembali dasar profesi mereka,

yakni sebagai pelayanan dan pengabdian untuk

mengembangkan martabat manusia. Saya ingin

mengajak para profesional untuk kembali ke dasar

motivasi mereka untuk mengabdi, sebelum komersialisasi

masuk menjadi cara berpikir yang dominan. Dan seperti

yang sudah disinggung sebelumnya, alasan keberadaan

para profesional adalah untuk mengembangkan hidup

bersama. Sudah saatnya kita semua kembali ke tujuan

awal profesionalitas itu.

Secara praktis pelanggaran etika profesi bisa

dicegah, jika para konsumen, baik dalam bidang hukum,

ekonomi, kedokteran, ataupun pendidikan, bersikap kritis

terhadap para ahli. Dasar dari sikap kritis adalah

keberanian untuk mengungkapkan kebenaran, terutama

yang terkait dengan kehidupan bersama. Jika terjadi


pemalsuan pembukuan dagang perusahaan, maka

pegawai terkait harus berani mengadukannya ke wilayah

hukum. Jika terjadi pelanggaran etis oleh dosen, maka

mahasiswa harus berani menggugatnya.

Dalam satu satu seminar di Jakarta, F. Budi

Hardiman menegaskan pentingnya keberanian sipil ( civil

courage) untuk memutus tali kejahatan yang ada.

Keberanian sipil adalah keberanian kita semua untuk

menggugat segala bentuk praktek profesional yang salah

yang terjadi di Indonesia. Memang awalnya kebenaran

itu menyakitkan. Akan tetapi kebenaran memiliki

kekuatan yang membebaskan. Dalam konteks tanggung

jawab profesional, pengungkapan kebenaran bisa

mencegah kerusakan sistemik lebih jauh, yang dalam

jangka panjang bisa merugikan banyak pihak yang tidak

bersalah.
Sebagai lembaga pendidikan sekolah dan

universitas, secara langsung maupun tidak, juga menjadi

penyebab dari rendahnya kualitas para profesional di

Indonesia. Namun institusi pendidikan terebut masih bisa

memilih, apakah akan tetap menjadi bagian dari masalah

(part of problem), atau menjadi bagian dari solusi ( part

of solution)? Saya menyarankan agar kita semua mulai

menjadi bagian dari solusi.

Caranya sederhana yakni coba selipkan pendidikan etika

menyangkut kesadaran moral di semua profesi yang

terkait aktivitas pembelajaran di sekolah maupun

universitas. Tidak perlu menambah subyek akademik

baru. Dosen dan guru cukup mengingatkan dua hal,

yakni bahwa siswa harus mencintai apa yang mereka

pelajari, dan mengingatkan bahwa mereka nantinya akan

menjadi abdi masyarakat, dan bukan semata pengejar


harta ataupun kuasa.

Dua hal itu tidak hanya harus diajarkan di dalam

kelas, tetapi juga menjadi praktek nyata di dalam

manajemen lembaga, sekaligus dalam perilaku para

pegawai sehari-hari. Pendidikan juga adalah sebuah

panggilan. Di dalamnya selalu terkait dua unsur, yakni

pengetahuan yang mendalam, dan pengabdian diri. Jika

sudah begitu uang dan kuasa akan mengalir dengan

sendirinya, bukan dalam bentuk yang merugikan,

melainkan dalam bentuk yang manusiawi. Marilah kita

tetap bertekun dalam pengharapan dan pengabdian.****

Demokrasi dan Sisi Gelap Manusia

Manusia itu terdiri dari sisi gelap dan sisi terang.

Di dalam dirinya terjadi pertarungan antara malaikat dan


iblis. Pertarungan itu bersifat abadi. Pemenangnya akan

menentukan karakter dari manusia itu, apakah ia akan

menjadi manusia yang baik atau buruk.

Itulah pandangan berbagai peradaban yang

tersebar di seluruh dunia. Manusia adalah arena

pertarungan. Dalam terang argumen ini, kita perlu

bertanya, model tata sosial politik macam apakah yang

kiranya bisa menampung kerumitan manusia tersebut?

Bagaimana supaya manusia –yang merupakan arena

pertarungan tersebut- dapat hidup bersama tanpa saling

menghancurkan satu sama lain?

Rheinhold Niebuhr –seorang teolog dan filsuf

abad 19- pernah mengajukan argumen menarik, bahwa

demokrasi adalah tata sosial politik yang cocok untuk

tujuan itu. “Kemampuan manusia untuk bersikap adil”,

demikian tulisnya, “membuat demokrasi menjadi


mungkin. Namun dorongan manusia untuk bertindak

tidak adil membuat demokrasi menjadi sangat

diperlukan.” (Dikutip dari Brooks, 2009)

Demokrasi lahir dari fakta, bahwa manusia

mampu bersikap adil. Keadilan adalah keutamaan terang

yang tertanam di dalam diri manusia. Namun sebaliknya

demokrasi juga lahir dari fakta, bahwa manusia itu jahat,

tidak adil, dan mampu berbuat kejam. Inilah sisi gelap

dari manusia yang membuat demokrasi, seperti ditulis

oleh Niebuhr, menjadi diperlukan. Demokrasi adalah

pemerintahan minus mallum.

Sisi Gelap Manusia

Kehidupan manusia adalah perjuangan untuk

melenyapkan sisi gelap dirinya sendiri. Kehidupan

manusia adalah upaya untuk menjinakkan naluri


destruktif yang tertanam di dalam hakekat dirinya.

“Adalah merupakan suatu fakta nyata”, demikian tulis

George Kennan, seorang ahli strategi Amerika Serikat

pada masa perang dingin, “bahwa ada secuil sisi totaliter

terkubur di dalam, jauh di dalam, diri setiap orang.”

(Brooks, 2009)

David Brooks –seorang jurnalis New York Times-

juga menegaskan, bahwa kejahatan itu nyata. Ia tidak

bisa dibantah. Buktinya adalah keberadaan Hitler dan

Stalin. Mereka mengorbankan begitu banyak nyawa

untuk mewujudkan ambisi politisnya.

Paul Ricoeur –seorang filsuf Prancis abad ke-20-

pernah mengajukan argumen, bahwa sisi gelap manusia

itu bisa dilihat secara langsung di dalam simbol. Simbol-

simbol itu tersebar di dalam kitab suci berbagai

peradaban. Ada tiga simbol yang dirumuskannya, yakni


simbol dosa, noda jiwa, dan rasa bersalah. (Ricoeur,

1969) Hampir semua peradaban memiliki cerita yang

mengandung tiga konsep itu. Dari fakta ini dapatlah

ditarik kesimpulan, bahwa kejahatan itu ada ( evil does

exist).

Hannah Arendt –seorang filsuf perempuan

Jerman- juga berpendapat, bahwa kejahatan itu muncul

di dalam banalitas kehidupan. Semakin manusia terbiasa

bertindak jahat, semakin tindakan itu tidak terasa lagi

sebagai jahat, melainkan sebagai sesuatu yang normal.

(Arendt, 1963) Arendt menulis ini untuk memahami

sepak terjang Hitler dan para perwira NAZI Jerman pada

masa perang dunia kedua.

Tentu saja sisi gelap manusia pun memiliki

tingkatan, dari maling ayam sampai koruptor, dan dari

tukang contek sampai pelaku genosida. Lain lagi


pendapat yang dikemukakan oleh Michel Foucault.

Baginya setiap bentuk pengetahuan adalah bentuk dari

kekuasaan. Kekuasaan itu memiliki fungsi penciptaan.

(Foucault, 1969) Segala sesutu diproduksi oleh

kekuasaan, termasuk pengetahuan kita tentang baik dan

buruk.

Maka dari itu kejahatan tidak buruk pada dirinya

sendiri. Suatu tindakan tidaklah jahat pada dirinya

sendiri. Manusialah yang menilainya sebagai jahat.

Seperti ajaran Buddhisme klasik, bahwa segala sesuatu di

dunia ini tidak memiliki esensi pada dirinya sendiri.

Segala sesuatu di dunia ini temporal. (dalam Billington,

1997) Manusia yang memberikan isi pada segala sesuatu.

Kejahatan itu nyata baik sebagai penilaian

subyektif dan juga sebagai fakta obyektif. Perilaku jahat

itu nyata. Motivasi jahat itu nyata. Manusia berperang


melawan sisi jahat di dalam dirinya sendiri. Perang itu

abadi.

Jangan Menyerah dengan Demokrasi

Lalu bagaimana menata jutaan manusia yang

memiliki sisi jahat di dalam dirinya tersebut? Represi

totaliter bukanlah jawaban. “Setiap bentuk kekerasan

untuk menyelesaikan kejahatan”, demikian perkataan

Gandhi, “hanya akan memunculkan kejahatan baru, dan

memperumit masalah.” (Dalam Obama, 2009) Demokrasi

adalah jawaban atas pertanyaan ini. Demokrasi

mengandaikan kebebasan dan hormat pada martabat

manusia.

Demokrasi juga hidup di atas hukum positif yang

adil. Dan seperti sudah ditegaskan oleh Neibuhr,

demokrasi lahir, karena manusia itu memiliki potensi


untuk bersikap adil. Manusia itu ingin hidup baik. Ia

menginginkan harmoni dengan sesamanya.

Namun demokrasi memiliki muka yang lain.

Demokrasi muncul karena kesadaran penuh, bahwa

manusia bisa berbuat kejam dan tidak adil. Demokrasi

dipandang perlu untuk meredam gejolak destruktif yang

memang tertanam di dalam kodrat manusia. Maka

jangan menyerah dengan demokrasi.

Proses demokratisasi adalah proses yang sulit.

Mentalitas demokratis berkembang di dalam tempaan

persoalan publik. Namun semua ini baik adanya. Bangsa

Indonesia perlu setia dan percaya, bahwa ini akan

bermuara pada terciptanya masyarakat yang adil dan

makmur yang menjadi cita-cita kita semua. Maka sekali

lagi; jangan menyerah dengan demokrasi.***


Terorisme dan Kegagalan Demokrasi

Penyergapan teroris di beberapa tempat, mulai dari Aceh

sampai Jakarta, belakangan ini menandakan satu hal

yang langsung tampak jelas, bahwa di tengah

perjuangan Indonesia untuk menjadi masyarakat

demokratis, kaderisasi yang mengedepankan fanatisme,

fundamentalisme, dan ekstrimisme masih menggejala

cukup subur di masyarakat kita. Penangkapan teroris

yang rata-rata masih berusia sangat muda itu sungguh

melukai proses bangsa ini untuk membangun kultur

demokratis. Dapat dengan lugas dikatakan,

berkembangnya kaderisasi terorisme adalah satu tanda

kegagalan bangsa ini untuk melakukan proses kaderisasi


demokrasi secara intensif di seluruh masyarakat.

Salah Siapa?

Masyarakat demokratis modern memiliki

setidaknya tiga pilar dominan, yakni negara, lembaga

bisnis, dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil masih dapat

dibagi lagi menjadi institusi agama dan media massa.

Ketiga pilar ini mengarahkan dan membentuk opini

publik. Gagal atau berhasilnya kaderisasi untuk

menghasilkan kultur demokratis berada di pundak tiga

pilar dominan masyarakat demokratis ini.

Di dalam masyarakat demokratis, negara adalah

otoritas sah yang dipilih oleh rakyat untuk memimpin.

Perilaku negara sebagai otoritas kepemimpinan nasional

sekarang ini tidak mencerminkan adanya niat untuk

melakukan pendidikan politik demokratis yang tepat.


Korupsi dan kultur tidak tahu malu menjangkiti

kepemimpinan di berbagai bidang, terutama politik. Di

dalam situasi ini, pendidikan demokrasi tidak akan

berlangsung. Di dalam kekosongan pendidikan demokrasi

oleh negara ini, kultur fanatisme dan ekstrimisme pun

bertumbuh subur.

Lembaga bisnis yang seharusnya menghargai

kreativitas dan inovasi kini juga gagal melakukan

pendidikan ke masyarakat. Sikap rakus dan tidak

menghargai konsumen menjadi cara yang ditempuh

untuk mencapai sukses. Berbagai surat keluhan dari

pembaca di koran nasional menunjukkan dengan jelas

hal ini. Di dalam kekosongan pendidikan yang dilakukan

oleh lembaga bisnis, kultur ekstrimisme dan fanatisme

yang melahirkan terorisme juga berkembang dengan

pesat di masyarakat.
Agama dan Media Massa

Di banding otoritas negara maupun lembaga

bisnis, agama dan media massa adalah pilar yang paling

dekat dengan masyarakat pada umumnya. Setiap orang

hidup dengan memeluk agama tertentu. Agama tersebut

menjadi pedoman hidup yang mengatur cara berpikir dan

pola perilakunya. Dan di era informasi komunikasi seperti

sekarang ini, setiap orang hidup dengan membaca koran,

mendengar radio, ataupun menonton televisi. Semua itu

juga mempengaruhi cara berpikir dan pola perilaku

masyarakat pada umumnya.

Dengan lugas dapatlah dikatakan, agama dan

media massa sekarang ini gagal melakukan pendidikan

demokrasi kepada masyarakat kita, terutama pada

generasi muda. Memang ada kelompok-kelompok kritis di


dalam agama maupun media yang melihat pentingnya

pendidikan demokrasi yang mengedepankan kultur

keterbukaan. Namun jumlahnya masih sangat kecil, jika

dibandingkan dengan kelompok agama yang mendidik

pola berpikir tertutup, dan kelompok media yang

mendangkalkan ruang publik dengan tayangan-tayangan

yang memperbodoh.

Di dalam atmosfir tertutup dan memperbodoh,

yang disebarkan mayoritas kelompok agama dan media,

pendidikan demokrasi tidak akan pernah sampai ke akar.

Bahkan pendidikan demokrasi pun terlupakan. Dan di

dalam kekosongan tersebut, kultur ekstrimisme dan

fanatis, yang melahirkan terorisme, bertumbuh dengan

subur. Demokrasi dianggap sebagai representasi “Barat”,

yang kental dengan kebijakan dominasinya ke seluruh

dunia, maka haruslah dijauhi. Kedangkalan cara berpikir


tidak melahirkan kultur demokratis yang mengakar di

masyarakat. Demokrasi pun berhenti hanya soal prosedur

voting dan populerisme tokoh semata.

Banalitas Kejahatan

Filsuf perempuan asal Jerman, Hannah Arendt,

pernah menegaskan, tidak diperlukan kehendak jahat

untuk melakukan kejahatan, cukup kedangkalan berpikir,

atau apa yang disebutnya ketidakberpikiran. Seorang bisa

menjadi teroris, bukan karena ia jahat, melainkan karena

ia dangkal dalam berpikir, sehingga mudah dipengaruhi.

Kedangkalan berpikir tersebut adalah bentukan dari

ketiga pilar masyarakat kita, mulai dari negara, lembaga

bisnis, dan masyarakat sipil, yang di dalamnya terdapat

agama dan media massa. Kedangkalan berpikir adalah

produk dari sistem.


Kaderisasi teroris yang masih berlangsung

sampai detik ini adalah tanda kegagalan kita

berdemokrasi. Kaderisasi teroris tersebut juga merupakan

tanda, bahwa bangsa kita terjebak di dalam kedangkalan

berpikir. Terorisme selalu akan ada di dalam sejarah.

Yang diperlukan adalah kekebalan sosial ( social

immunity) masyarakat, supaya mampu menyaring

propaganda terorisme, dan tidak mudah dipengaruhi.

Untuk itu diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis dan

mendalam.

Ketiga pilar demokrasi modern, yakni negara,

lembaga bisnis, dan masyarakat sipil, perlu untuk secara

intensif melakukan pendidikan demokrasi sampai ke akar

rumput masyarakat. Caranya adalah dengan menjadi

figur politis teladan dalam cara berpikir dan perilaku,

yang patut dicontoh oleh masyarakat. Lembaga bisnis,


media massa, dan agama juga perlu untuk mendidik

masyarakat untuk semakin hidup dalam kultur egaliter

dan terbuka perbedaan. Semua ini hanya dapat

ditempuh, jika ada komitmen dari seluruh elemen

demokrasi modern, dan bukan hanya kelompok-kelompok

kritis semata yang memang jumlahnya sangat

sedikit.***
[1] Untuk uraian tentang Plato dan Aristoteles, saya

mendasarkan diri pada

http://plato.stanford.edu/entries/friendship/ diakses

pada 1 Oktober 2009, Pk. 17.24. Tulisan-tulisan lain juga

membantu, seperti Annas, J., 1977, “Plato and Aristotle

on Friendship and Altruism”, Mind, 86:532–54, Lynch, S.,

2005, Philosophy and Friendship, Edinburgh: Edinburgh

University Press, Schoeman, F., 1985, “Aristotle on the

Good of Friendship”, Australasian Journal of Philosophy,

63:269–82, dan White, R.J., 1999a, “Friendship: Ancient

and Modern”, International Philosophical Quarterly,

39:19–34.

Anda mungkin juga menyukai