A. Pendahuluan
Ibarat orang mau makan, filsafat memang tidak menyediakan nasi. Filsafat hanya menyediakan tungku
dan perangkat-perangkat yang diperlukan untuk memasak. Artinya, filsafat tidak menyajikan hasil akhir
yang bisa langsung dinikmati manusia. Namun filsafat memberikan jalan agar manusia meraih apa yang
diharapkan. Karenanya, term filsafat ada dalam setiap aspek kehidupan dan semua disiplin ilmu. Misalnya,
filsafat agama, filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat hukum, filsafat ekonomi, bahkan ada juga yang
disebut filsafat atau falsafah hidup.
Ini menunjukkan bahwa tidak satupun dari sisi kehidupan manusia yang tidak terjamah oleh filsafat.
Menurut Fichte filsafat adalah suatu refleksi tentang pengetahuan. Ia sepakat dengan Immanuel Kant
bahwa semua ilmu pengetahuan membahas salah satu obyek tertentu, sedangkan filsafat bertugas
memandang pengetahuan sendiri. Oleh karena itu filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mendasari
ilmu-ilmu pengetahuan lain.[1] Filsafat selalu ada dimana-mana. Dan hingga kapanpun, filsafat pasti
relevan dengan kondisi kekinian dan kedisinian.
Relevansi ini terkonsentrasikan dalam kata wisdom (kebijaksanaan). Alasannya, kebijaksanaan
merupakan ruh kehidupan manusia. Bila “kebijaksanaan” sudah hilang dalam perbendaharaan manusia,
pada hakikatnya kehidupan ini sudah sirna. Yang tanpak hanyalah manusia-manusia tak
berperikemanusiaan, manusia egois yang tidak memperhatikan orang lain, yang penting menguntungkan
atau menyenangkan dirinya sendiri. Maka tidak ada lagi keindahan dalam hidup ini. Yang ada hanyalah
rimba dengan “hewan-hewan” yang saling mencabik, mencakar dan menerkam satu sama lain. Akhirnya,
ibarat dinosaurus, manusia akan segera musnah dari peredaran planet ini. Tungga saja!
Biar lebih afdhal, saya ambil contoh yang kini tengah menjadi perbincangan global. Kasus kartun Nabi
Muhammad dari salah satu media Denmark yang kini menuai protes dari seluruh umat muslim dunia
merupakan contoh tidak adanya kebijaksanaan dalam diri manusia. Seharusnya hal itu tidak terjadi bila
pihak penerbit memiliki secercah kebijaksaan. Mereka sebenarnya sadar-sesadarnya bahwa jika kartun itu
diterbitkan akan menimbulkan gejolak pada umat Islam secara massif. Namun, atas nama kebebasan pers,
mereka tetap saja menerbitkan kartun tersebut. Mereka sengaja mengabaikan perasaan orang lain, umat
Islam. Jelas, sikap demikian jauh dari sikap bijaksana (wise).
Perlu juga dicatat bahwa kebijaksanaan tidak berkonotasi negatif. Kebijaksanaan hanya ada dalam bingkai
positif pada semua sikap dan aktivitas manusia. Taruhlah, permohonan kebijaksanaan seorang pelanggar
lalu lintas kepada pak/ibu polisi agar meloloskan dirinya dengan jalan damai (baca: suap), bukanlah sikap
bijaksana. Itu tidak lebih lebih dari “kongkalikong” yang mencederai aturan main (rule of the game) yang
ada. Sekali lagi kebijaksaan tidak pernah bersanding dengan sesuatu yang negatif, ia hanya ada dan hanya
beriringan bersaama kebaikan. Walaupun kebaikan sendiri masih relatif.
Dari dua contoh diatas, saya hanya ingin menegaskan bahwa kebijaksanaan merupakan sesuatu yang
amat signifikan. Kebijaksanaan itu, salah-satunya, diperoleh melalui filasafat. Dari filsafatlah lahir sosok
manusia yang selalu menjadi pelita zaman yang tanpa lelah menyinari alam kehidupan yang kian meredup
ini. Bahkan demi mewujudkan kehidupuan yang lebih baik dan bijaksana, mereka rela mempertaruhkan
nyawa.
D. Penutup
Filsafat yang lahir dari proses kreativitas berpikir dengan dinamika masyarakat dan dalam lingkup
historisnya memberi nilai berharga tentang bagaimana membangun tradisi tersebut. Tradisi untuk mencari
kebenaran dan bersemangat mencari, menyelami dan menemukan kebenaran fundamental secara kritis,
reflektif dan logis bagi perkembangan masyarakat. Proses kreatif para filosof juga meninggalkan jejaknya
berupa cara pandang, cara pikir dan cara merespon situasi sosialnya, dimana jejak metodologi tersebut
sangat bermanfaat bagi masyakat untuk melihat, menanggapi atau mengubah lingkungan sosialnya secara
bijaksana. Sehingga tidak menjadi “masyarakat kaget-an” (shock society) manakala melihat perubahan
yang begitu cepat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin (a), Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996
_____________ (b), Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1997
Asy’arie, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berpikir, LESFI, Yogyakarta, 1999
Beltran, Federico Villagas, The Jakarta Pos, Vol. 23 No. 144, Monday, September 19, 2005
Bertens (a), K., Ringkasan Sejarah Fislafat, Kanisius, Jakarta, 1976
______ (b), Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Mudhafir, Ali, Teori dan Aliran dalam Filsafat Teologi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Muhadjir, Noeng, Integrasi Filosofis Ilmu dengan Wahyu Pengembangan Metodologi Telaah
Ilmu Masa Depan, dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (ed), Dinamika Pemikiran di
Perguruan Tinggi, Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, Logos, Jakarta, 2002
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Siswomihardjo, Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August
Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 19965
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999
Titus, Harold, Living Issues in Philosophy, Introductory Text Book, New York, 1959