Anda di halaman 1dari 26

STOA: KETENANGAN ORANG

BIJAKSANA
1

MATERI KULIAH ETIKA BARAT


Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
IAIN Kediri © 2020.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Latar belakang
2

Di samping Epikureanisme, Stoa adalah aliran filsafat


yang besar pasca-Aristotle. Aliran ini dibangun oleh Zeno
dari Kition, sekitar tahun 300 SM.
Nama Stoa diambil dari tempat para filosof berkumpul
(stoa poikile, balai bertiang warna-warni).
Ada tiga tahap perkembangan Stoa:
 Stoa tua, abad ke-3 SM (Zeno, Kleanthes, dan Chrysippos);

 Stoa menengah, abad ke-2 dan ke-1 SM (Panaetios dan


Paseidonios, Cicero);
 Stoa muda, mulai abad pertama Masehi (Seneca, Epiktet,
dan Kaisar Marcus Aurelius).

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Kosmologi
3

Berbeda dengan filsafat Plato dan Aristotle, Stoa


menyatakan bahwa Yang Ilahi dan alam menyatu,
tidak ada Tuhan di balik alam semesta ini.
Stoa mengajarkan monisme: dunia itu sekaligus
materi, Ilahi dan rasional. Ia merupakan kesatuan
homogen, tetapi dalam kesatuannya itu tertata secara
hierarkis.
Seluruh realitas adalah bersifat material. Namun ada
materi yang lebih padat (benda) dan yang halus, yaitu
kekuatan yang menggerakkannya (pneuma, jiwa).

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Antara kosmos dan logos
4

Kosmos, alam semesta, diresapi seluruhnya oleh logos,


akal budi Ilahi.
Namun logos itu bukan sesuatu yang berada di luar dan
terpisah dari alam, tetapi berupa tatanan atau jiwanya
sendiri.
Logos adalah hukum alam universal yang mendasari
segala gerak, yang menentukan segala yang terjadi.
Dalam alam semesta berlaku determinisme mutlak:
segala hal terjadi dengan pasti. Manusia, termasuk akal-
pikirannya, tidak lepas dari determinisme mutlak ini.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Etika dan kosmologi
5

Atas dasar pandangan kosmologi di atas kaum Stoa


membangun ajaran etikanya, dan kemudian menjadi
sangat berpengaruh di dunia Barat.
Jika segala hal sudah dipastikan, bagaimana mungkin
kita bertanya tentang bagaiman kita harus bertindak.
Harus diakui bahwa ajaran filsafat Stoa tidak memiliki
konsistensi logis yang tajam.
Etika pun lebih didasarkan pada penghayatan daripada
ketetapan logika yang ketat. Sama dengan tradisi
filsafat Yunani lainnya, etika Stoa dipandang sebagai
seni hidup menuju kebahagiaan.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Kebahagiaan menurut Stoa
6

Kebahagiaan dalam pandangan Stoa sangat berbeda


dengan Epikureanisme. Jika Epikureanisme mencari
perasaan yang tenang dan nikmat, Stoa menuntun
kebahagiaan dari keberhasilan hidup manusia,
sehingga lebih dekat dengan pandangan Aristotle.
Namun jika Aristotle mengembangkan potensi dasar
manusia secara aktif, Stoa tegaskan bahwa segala hal
sudah ditentukan. Kalau segala hal sudah pasti, apa
yang mau dikembangkan? Bagi Stoa kehidupan
manusia akan berhasil jika ia dapat pertahankan diri
terhadap ketentuan (hukum) alam yang sudah pasti.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Makhluk yang memiliki logos
7

Kekhususan manusia ialah karena ia miliki logos,


akal budi. Melalui pikirannya ia berpartisipasi dalam
logos alam semesta, dalam hukum Ilahi yang
rasional yang mengatur dan menentukan segala hal
yang terjadi.
Prinsip dasar etika Stoa ialah penyesuaian diri
dengan hukum alam.
Untuk menjelaskan cara penyesuaian itu Stoa
menggunakan istilah oikeiosis yang berarti
“mengambil sebagai milik.”

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Kordinat dasar
8

Dalam proses menyesuaikan diri itu manusia tahap


demi tahap menjadikan alam sebagai miliknya, mulai
dari tubuhnya, lingkungan dekat, dan akhirnya seluruh
realitas.
Dengan demikian, ia semakin menyatu dengan seluruh
realitas yang ada. Itulah identitas manusia yang
sebenarnya menurut Stoa.
Dengan begitu, Stoa merasa telah menemukan
kordinat dasar bagi kehidupan manusia: perbuatan
baik ialah hidup sesuai dengan hukum alam, dan
demikian pula sebaliknya.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Orang bijak
9

Dalam konteks seperti itulah orang bijak dapat


menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa
yang memang tidak dapat dihindari, karena,
menurut Seneca, ducunt volentem fata, nolentem
trabunt: “Jika kamu setuju, takdir akan
membimbing kamu. Jika tidak, takdir akan
memaksa.” Ini karena bagaimana pun juga kita tidak
dapat lepas dari fatum, takdir semesta.
Di sini tampak arti kebebasan bagi Stoa: kebebasan
bukan berarti manusia bebas dari takdir.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Arti kebebasan
10

Manusia akan mencapai kebebasan jika ia secara


sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam
yang tak terelakkan ini. Jika ia menerima apa yang
telah ditentukan oleh logos Ilahi maka tidak akan
terjadi sesuatu padanya yang bertentangan dengan
kehendaknya.
Ia seluruhnya dapat menentukan dirinya sendiri dan
tidak ditentukan oleh faktor-faktor dari luar, karena
apa yang sebelumnya berada di luar hukum alam,
melalui oikeiosis telah menyatu dengan dirinya.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Tunduk pada diri sendiri
11

Dengan tunduk pada hukum alam, manusia hanya


tunduk pada dirinya sendiri. Apa pun yang terjadi
pada dirinya adalah kehendaknya sendiri. Itulah
makna kebebasan yang sebenarnya.
Jadi bagi Stoa, kebebasan manusia tercipta dalam
kesadaran bahwa semua yang berada di bawah
keniscayaan alam semesta serta dalam memahami
keniscayaan itu sebagai hukumnya sendiri. Manusia
bijaksana menerima takdirnya sama seperti ia
menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Kesadaran akan keniscayaan
12

Hal itu sesuai dengan pandangan Hegel bahwa


kebebasan adalah kesadaran akan keniscayaan.
Cita-cita Stoa hampir sama dengan hasrat dasar
etika Jawa bahwa manusia bijaksana ialah yang telah
berhasil mengolah rasa, tidak lagi berontak terhadap
apa yang sudah semestinya terjadi, tetapi
menghadapinya dengan kembangkan sikap narimo.
Ia berusaha menempatkan diri ke dalam keselarasan
kosmis yang sudah ada untuk dapat menyatu dengan
dasar Ilahiyah dari segala yang ada.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Cita-cita autarkia
13

Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai


autarkia, bahwa manusia sama sekali berdiri pada
dirinya sendiri, juga berarti pertahanan diri secara
sempurna, sebagai bentuk akhir kehidupannya.
Dalam menyatu dengan seluruh realitas, manusia
tidak bergantung lagi pada apa pun di luarnya.
Dalam situasi apa pun ia berada pada dirinya
sendiri. Dia adalah autark.
Manusia autark menikmati ataraxia dan apathia,
dua keadaan yang juga dicita-citakan oleh Epikuros.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Cont’d
14

Dengan ataraxia dan apathia manusia bebas dari


kebingungan dan keresahan, sekaligus bebas dari
penderitaan. Nikmat atau merasa sakit baginya sama
saja. Namun, berbeda dengan pandangan Epikuros,
bagi Stoa dua keadaan itu tidak sekedar bersifat
psikologis yang dirasakan oleh orang yang ingin
menghindari kesusahan hidup dan coba tingkatkan
kemampuannya untuk mencari nikmat.
Ataraxia dan apathia adalah sikap mental yang kuat,
dengan tekad menyatu dengan alam, sehingga tidak
mudah goyah oleh gejolak alam.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Ciri lain etika Stoa
15

Di sini tampak ciri lain dari etika Stoa. Etika Stoa
berwatak keras yang menekankan peran kehendak.
Stoa tidak mencari perasaan nikmat, perasaan
bahagia. Baginya, kebahagiaan terletak pada
keutamaan moral itu sendiri, dalam tekad kehendak
untuk melakukan kewajiban.
Stoa adalah etika pertama yang menempatkan istilah
kewajiban pada pusatnya. Mirip dengan pendapat
Immanuel Kant, bagi Stoa tindakan yang baik dalam
arti moral ialah tindakan yang dilakukan demi hukum
alam.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Kesadaran akan kewajiban
16

Keutamaan bagi Stoa terdapat dalam kesadaran akan


kewajiban, dengan melepaskan diri dari semua
kepentingan duniawi. Berhadapan dengan kewajiban
akal budi itu nilai-nilai duniawi tidak ada artinya,
indifferentes, adiaphora.
Stoa tekankan bahwa manusia harus bersikap keras
terhadap diri sendiri. Manusia harus bisa taklukkan
hawa nafsu dan kecenderungan rendahnya. Stoa
mengutamakan keadilan, keberanian, penguasaan diri,
dan kemanusiaan, di samping kebijaksanaan moral
(phronesisi).
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Ho sophos, si bijaksana
17

Cita-cita Stoa adalah ho sophos, si bijaksana, ketika


orang telah mengalahkan hawa nafsu dan dorongan
irasional. Ia bahagia karena mengetahui diri berada
dalam keselarasan sempurna dengan hukum Ilahi
yang meresapi seluruh alam semesta.
Ia tidak menderita karena telah mematikan hawa
nafsu dan mencapai ketenangan jiwa. Apa pun yang
terjadi tak akan membuatnya gusar lagi. Itulah sikap
stoical yang masuk ke dalam bahasa modern: tidak
tanggung-tanggung dalam cita-cita ketakterkejutan.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Bukan sekedar ketenangan dan kepasivan
18

Namun si bijaksana stoical itu bukan sekedar


mencari ketenangan dan kepasivan. Ketenangan
batin justru mendorongnya untuk berperan aktif
dalam kehidupan sosial.
Jadi ataraxia, ketidak-bingungan itu tidak berarti
sikap masa bodoh terhadap berbagai peristiwa yang
terjadi di masyarakat. Ataraxia justru mendorong
manusia untuk bersikap positif dan bertanggung
jawab. Terhadap sesama manusia si bijaksana harus
bersikap baik hati.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Humanisme
19

Etika Stoa mencapai puncaknya pada ajaran tentang


humanisme. Stoa adalah etika filosofis pertama di
dunia yang secara konsekuen mengakui kesamaan
derajat semua orang. Stoa mengajarkan bahwa
terhadap siapa pun manusia harus berbaik hati.
Wanita berhak atas perlakuan yang sama dengan
pria. Budak harus dihormati hak-haknya, dan musuh
berhak atas belas kasih dan pengampunan.
Etika Stoa bersifat kosmopolistis, mengatasi semua
batasan dan merangkul seluruh umat manusia.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Kesadaran akan hak asasi manusia
20

Dalam Stoa, kita untuk pertama kali dalam sejarah


moralitas menemukan kesadaran akan hak asasi
setiap orang sebagai manusia. Untuk pertama kalinya
pula Stoa merumuskan cita-cita negara sedunia dan
persaudaraan universal.
Copleston merumuskannya dengan ungkapan: Cita-
cita etika tercapai jika kita mencintai semua orang
sebagaimana kita mencintai diri sendiri, atau jika cinta
diri kita merangkul apa saja yang berkaitan dengan
diri kita, termasuk seluruh umat manusia, dengan
kehangatan yang sama.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Dampak terhadap pemikiran Eropa
21

Dampak etika Stoa sangat besar sekali terhadap


pemikiran Eropa di kemudian hari. Dilthey menyebut
etika Stoa sebagai “kekuatan dengan efek terbesar
yang pernah dicapai oleh sebuah etika filsafati.”
Pemikiran moral Kristen sangat banyak dipengaruhi
oleh ajaran Stoa.
Paham hukum kodrat yang begitu sentral dalam
teologi moral Kristen lebih banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Stoa daripada Aristotle dan Thomas
Aquinas. Di zaman modern, ajaran etika Spinoza
banyak segi kemiripannya dengan ajaran Stoa.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Pertahankan sikap sopan dan positif
22

Gagasan orang yang dengan tenang dan tidak mudah


bingung mempertahankan sikap sopan, positif dan
sekaligus easy going lahir kembali dalam pengertian
Inggris tentang gentleman.
Etika Stoa adalah etika filosofis murni. Tanpa mengacu
pada kehidupan lain di luar dunia ini, tanpa
mengharap pahala atau takut siksa, ia berhasil
kembangkan sikap-sikap etis yang paling tinggi.
Ia bersifat tenang dengan berikan tekanan pada
kebaikan hati, keutamaan tanpa pamrih dan
pengekangan hawa nafsu.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Memikat para pemikir Kristen
23

Justru karena ciri-ciri yang suci itu etika Stoa sangat


mengikat perhatian para pemikir Kristen, karena
mampu membuka kesadaran akan kekuatan batin yang
dapat membawa diri utuh di tengah-tengah segala
gangguan, ancaman dan kekacauan.
Dari Stoa, spiritualitas Kristen belajar tentang sikap
indifferentia atau lepas dari kekayaan, nama baik,
kesehatan, dan segala benda duniawi lainnya.
Yang paling mengesan adalah sikap humanisme etika
Stoa, dengan menganggap seluruh umat manusia
bersaudara.
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Tampak amat modern
24

Kosmopolitanisme, toleransi, dan tekanan pada


pendekatan positif tampak amat modern.
Stoa adalah etika bagi orang yang luas wawasannya,
yang mampu membebaskan diri dari daya tarik
duniawi dan goncangan hawa nafsu.
Tak ada etika non-religius yang mampu menyamai
Stoa dalam mendorong perkembangan sikap-sikap
etis yang sedemikian hakiki.
Memang ajaran etika Stoa bukan tanpa kritik,
terutama dalam mengartikan kebebasan manusia.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21


Menyoal arti kebebasan manusia
25

Apakah kebebasan manusia tidak lebih dari sekedar


kesadaran dan penerimaan terhadap keniscayaan?
Jika memang keniscayaan itu tak terelakkan, untuk
apa manusia harus berusaha untuk hidup bermoral?
Mungkin hal itu akan dijawab bahwa justru di situlah
arti keutamaan sejati, yaitu bahwa manusia menerima
dengan tenang dan positif adanya hukum kodrat yang
berlaku.
Namun apakah kebahagiaan akan terwujud hanya
dengan memenuhi kewajiban moral dengan menerima
keniscayaan hukum kodrat?
Ajaran Etika Stoa 8/13/21
Cont’d…
26

Bukankah kebahagiaan adalah suatu keadaan yang kita


alami, bukan sekedar sebuah kesadaran bahwa kita berada di
jalan yang benar?
Selain dari itu, ide tentang atarxia dan apathia, kebebasan
dari perasaan terkejut dan penderitaan, masih perlu
dipertanyakan.
Apakah ketika seorang ayah melihat anaknya disakiti oleh
orang jahat dia akan tetap tenang saja? Bukankah rasa cinta
kasih justru akan membuat kita tidak tenang dan ikut
menderita karenanya?
Kita tidak mungkin merasa tenang ketika melihat tindak
kejahatan berlangsung di sekitar kita.

Ajaran Etika Stoa 8/13/21

Anda mungkin juga menyukai