Anda di halaman 1dari 5

Pancasila Hadir Penuh, Sadar Utuh

Apa kabar realitas negeri saat ini? Nampaknya, semakin baiknya perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan tak dapat menjamin kebaikan moralitas manusia. Manusia –
si makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, katanya – yang dibekali akal budi untuk
bertindak serasional mungkin, justru kerap kali melakukan sesuatu di luar nalar sehat.
Terbukti, berbagai polemik akibat keserakahan diri masih menjadi “pekerjaan rumah”
sepanjang hayat. Ketika manusia mendahulukan nafsu di atas apapun, segala cara akan
ditempuh tanpa pikir panjang. Manifestasinya tercermin pada bagaimana mereka
mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai kepentingan publik, berdalih bahwa semua
demi kesejahteraan rakyat. Nyatanya, semua itu utopis bagi rakyat, laris manis bagi penguasa
penghianat. Ya, korupsi, istilah terkutuk yang masih menghantui sejak zaman kolonial hingga
detik ini, menciderai nilai-nilai luhur yang telah dipupuk subur oleh pendiri bangsa.
Tak jarang kita bertanya-tanya, “Bagaimana bisa seseorang tega melakukan korupsi?”
“Apa tidak takut dengan konsekuensinya?” “Bagaimana dengan dosanya nanti?” dan pikiran-
pikiran sejenisnya, hal ini tak mengherankan. Ketika nafsu dan ambisi telah mengambil alih
rasionalitas, segepok uang di ladang penuh ular berbisa pun akan digapainya. Namun, yang
lebih penting adalah bagaimana akar masalah dari korupsi itu sendiri yang semakin lama
dibiarkan akan semakin kuat tertancap. Sadar atau tidak, masyarakat terlalu mewajarkan
tindakan yang sudah jelas salah, namun dibiarkan begitu saja karena dianggap sepele.
Padahal, terlalu lama menimbun kesalahan bagaikan menciptakan kotak pandora bagi semua
orang.
Contoh paling sederhana dan mendasar adalah bagaimana kita melanggengkan
perilaku tak terpuji yang secara sengaja maupun tidak untuk ditiru anak-anak kita. Bayangkan
sebuah situasi dimana kita sedang mengantri bersama anak, tapi kita sengaja menyerobot
antrian supaya anak tidak kelelahan menunggu. Maksud hati memang tidak ingin anak
kesusahan, namun cara yang dilakukan jelas menyusahkan orang lain. Anak pun jadi berpikir
sah-sah saja untuk menyerobot antrian demi kebaikan diri. Atau mungkin, kita dihadapkan
pada situasi dimana kita terjebak macet di jalan saat mengantarkan anak sehingga anak telat
masuk sekolah. Agar anak bisa tetap masuk sekolah dan terbebas dari hukuman, kita
memberi uang tip atau rokok pada satpam sekolah untuk membukakan pintu gerbang. Lagi-
lagi, kita ingin anak tetap belajar dengan baik, tetapi mereka harus memahaminya melalui
cara yang tidak patut. Mereka juga beranggapan bahwa selama ada hadiah atau uang tutup
mulut, segala urusan akan dilancarkan tanpa harus menerima sanksinya. Hal-hal inilah yang
kemudian terinternalisasi dalam diri mereka dan bisa saja terbawa hingga anak menginjak
usia dewasa. Padahal, masa depan bangsa terletak pada generasi mereka.
Ketika dihadapkan dengan dunia kerja, batas antara baik dan buruk terasa semakin
mengabur. Jika sejak kecil anak sudah terbiasa melihat kebohongan dan kecurangan, tentu
bukan hal yang mengejutkan apabila ia terlibat pada pusaran setan bernama korupsi itu.
Apapun pekerjaannya, jika hal buruk sudah diniatkan, celah sekecil apapun akan dicoba
untuk melancarkan aksinya. Terlebih lagi, pekerjaan selalu berkaitan dengan perolehan upah,
sehingga semua pekerja tentu membutuhkan pundi-pundi rupiah untuk menyambung
hidupnya dan keluarga. Meski kerap kali menjerat mereka yang berada di jajaran eksekutif
sebuah lembaga atau perusahaan, benih-benih korupsi juga rentan ditemukan pada mereka
yang sedang dilanda kesulitan finansial. Bisa saja, beratnya beban yang dipikul membuat
mereka berpikir bahwa selama tanggungan dan keperluan dapat tercukupi, mereka dapat terus
melanjutkan hidup tanpa mengindahkan dari mana sumber uang tersebut. Pada akhirnya,
korupsi tetap menjadi isu bersama dan upaya pemberantasannya memerlukan keterlibatan
masyarakat dari seluruh lapisan.

Gagalnya mentalitas masyarakat khatulistiwa dalam mencegah penyebarluasan


praktik korupsi juga tak luput dari bagaimana mereka meyakini sesuatu yang dianggap benar
maupun salah. Ketika kita tak memiliki sebuah pegangan, pedoman, arahan untuk
membangun batasan diri terhadap hal positif dan negatif, kita akan berlaku sekenanya tanpa
berpikir ada individu-individu lain yang dirugikan. Lambat laun, kita menjadi manusia tak
peduli hak asasi sesama, merasa tak membutuhkan insan lain, berlagak layaknya raja dari
segala raja. Ketika sudah demikian, kita tak lagi layak dicap sebagai “manusia”, sebab
manusia apa yang sudah hilang kemanusiaannya? Bagaimapun juga, sebebasnya kehendak
manusia, ia tetaplah sebagian kecil dari semesta, sehingga sudah selayaknya kita hidup
berdampingan dan saling menghargai hak-hak sesama.

Indonesia adalah negara yang dirahmati Tuhan lewat perenungan mendalam dan kerja
keras pendiri bangsa dengan semangat untuk berserikat, bersatu. Dalam menjalani kehidupan
di negeri yang kita pijaki sekarang, kita diwariskan sebuah sistem etika yang amat hebat nan
fundamental. Ya, Pancasila, ideoogi bangsa yang di dalamnya memuat lima butir petunjuk
bagaimana seharusnya berperilaku dalam bernegara. Sayangnya, masih banyak dari kita yang
tidak menyadari betapa arifnya pedoman itu dirumuskan. Pancasila bukan sekedar prosa
romantis karangan pujangga. Pancasila hadir melalui perjalanan panjang dari sejarah dan
budaya lokal setempat, sehingga bukan waktunya untuk mempertanyakan relevansi nilainya
meski zaman sudah banyak memberi perubahan.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pandangan masyarakat terhadap pancasila


turut mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi baik buruknya sesuatu. Masyarakat masa
kini kurang memiliki rasa kepemilikan atas ideologinya sendiri. Padahal, jika mereka sadar
akan indahnya dasar negara ini, dunia mungkin dapat menjadi tempat tinggal yang lebih baik.
Maka dari itu, untuk meningkatkan kesadaran dan sense of belonging terhadap Pancasila, kita
dapat meresapinya secara sadar penuh, hadir utuh.

Sadar penuh hadir utuh (mindfulness) menurut Kabat-Zinn pada tahun 2003 (dalam
Sutanto & Immanuela, 2022) merupakan sebuah konsep untuk mampu mengerahkan atensi
secara sadar penuh terhadap segala hal pada saat ini. Definisi ini tentu sangat relevan dengan
bagaimana sebaiknya pancasila dipahami. Pancasila bukan deretan teks yang perlu dihafalkan
terus menerus agar kemudian terinternalisasi dengan sendirinya. Hadirnya merupakan sebuah
filosofi kehidupan yang tak lekang oleh waktu, karena sejatinya sistem etika tak akan pernah
mati selama kita terus membuatnya hidup dalam sendi-sendi keseharian. Mindfulness terdiri
atas dua poin utama, yaitu kesadaran/awareness dan penerimaan/acceptance. Kesadaran
berarti menempatkan atensi untuk hadir pada peristiwa saat ini dengan melibatkan seluruh
panca indra. Sedangkan, penerimaan adalah bagaimana kita mengamati dan kemudian
menyerap seluruh pengalaman untuk diterima. Pada intinya, dengan menerapkan
mindfulness, kita belajar merelakan sesuatu yang sudah lampau dan tidak merisaukan apapun
yang belum terjadi di masa mendatang.

Jika kembali dikaitkan dengan Pancasila, tiap butirnya dapat kita terapkan secara
sadar penuh, hadir utuh. Belajar menerima Pancasila di masa kini mampu memberi
kedamaian diri, entah itu berkaitan dengan koneksi kita dengan Tuhan, kerabat, maupun
masyarakat sekitar. Harapannya, dengan melibatkan Pancasila dengan penuh kesadaran, kita
mampu menyelesaikan segala krisis moralitas yang kerap terjadi, terutama korupsi.

Sila ketuhanan mengajarkan kita untuk bersyukur atas kesempatan hidup yang Tuhan
berikan, sehingga kita tidak boleh menyia-nyiakannya untuk berlaku keburukan. Melibatkan
tuhan dalam kesadaran kita akan menjadi rambu moril agar lebih berhati-hati dalam
berperilaku. Sila kemanusiaan pun mengajarkan kita untuk memanusiakan manusia lain.
Sadar penuh hadir utuh terhadap sesama membuat kita memahami bahwa tak layak rasanya
apabila kita mencurangi hak satu sama lain, salah satunya adalah korupsi. Sila persatuan pun
menguatkan sila kemanusiaan, bahwa dengan menyadarinya secara penuh dan utuh, kita
punya semangat sebangsa di dalam berbagai perbedaan yang ada. Sebab, perbedaan itulah
yang menjadi keindahan bumi khatulistiwa. Inilah semangat yang diperlukan untuk melawan
korupsi di berbagai bentuk. Sila kerakyatan pun mengajarkan penerimaan bahwa masyarakat
perlu berhimpun, perlu bermusyawarah, bergotong royong untuk kepentingan bersama.
Alangkah tak mencerminkannya gotong royong apabila kita masih dengan tega saling
menjerumuskan dan menyesatkan melalui korupsi. Terakhir, sila keadilan menjadikan kita
sepenuhnya menyadari bahwa kita punya kesamaan nasib dan sepenanggungan, sehingga tak
sepatutnya kita berlaku mengatasnamakan penderitaan orang lain untuk kepentingan pribadi
lewat tindak pidana korupsi.

Intisari dari Pancasila mindfulness adalah bagaimana kita selalu menyediakan ruang
untuk merenungkan, mengapresiasi, dan menerima sepenuhnya apa-apa saja yang seharusnya
kita terapkan dalam kehidupan bernegara. Dengan begitu, tahap kita bukanlah si sok paling
benar, menawar Pancasila karena irelevansinya. Tetapi, tahap terbijak adalah menjadi
pelaksana Pancasila dengan khidmat, dan salah satu caranya adalah menerimanya dengan
sadar penuh, hadir utuh.
DAFTAR PUSTAKA

Sutanto, S. H., & Immanuela, G. (2022). Mengenal Mindfulness Bagi Siswa SMA
( Understanding Mindfulness for High School Students ). 1(1), 11–20.

Anda mungkin juga menyukai