Anda di halaman 1dari 5

CLBK (CERITA LAMA BERULANG KEMBALI) : MOS & OSPEK

“keledai saja tidak mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya – pepatah”

Kita tentunya sering mendengar istilah yang di atas. Ya, keledai memang dimetaforakan

untuk menggambarkan suatu kebodohan akut. Entah karena sifat yang bebal, atau memang sudah

bawaan dari lahir. Namun, sebodoh-bodohnya keledai, jauh dalam hati kecilnya, tentulah ia tidak

mau juga jatuh ke dalam lubang yang sama. Walaupun pada kenyataannya jatuh jua. Harap maklum

saja, namanya juga bodoh.

Ketidakterimaan keledai akan kondisi demikian, walaupun hanyalah ungkapan semata dapat

kita siratkan bahwasanya tidak ada makhluk yang mau mengulangi kesalahan dan mengalami

kejadian buruk yang sama, sekalipun itu makhluk terbodoh.

Berkaca dari hal tersebut, agaknya metafora mengenai keledai tersebut perlu diperbaharui

dan diganti mengikuti perkembangan zaman. Ternyata ada dalam tatanan kingdom animalia yang

lebih bodoh ketimbang keledai yakni Homo sapiens atau yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal

dengan nama manusia. Loh, kok manusia??? Tentunya kontradiksi dengan kodrat manusia sebagai

khalifah di muka bumi. Tentunya pemimpin harus lebih cerdas dong? Di situlah ironinya. Manusia

selaku makhluk sosial yang berbudi pekerti selalu meletakkan akal dan logika di atas segalanya.

Dalam berbuat banyak pertimbangan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil maksimal dan

meminimalisir kegagalan. Namun tak jarang bahkan seringkali manusia mengulangi kesalahan yang

sama dengan kondisi sadar. Artinya kesalahan tersebut sudah menjadi sistem dan menjadi sebuah

rutinitas dan keharusan untuk dilakukan. Tentunya tidak pada semua aspek, dalam kasus ini kita

ambil contoh pada bidang pendidikan.

Pendidikan yang ditujukan untuk melahirkan generasi terdidik dan cerdas justru dikelola

dengan sistem yang malah mengarah pada pembodohan dan pengkerdilan karakter. Secara

etimologi pendidikan dalam bahasa Inggris disebut education yang berasal dari bahas latin yaitu

educatum yang tersusun atas dua kata yaitu 'E' dan "Duco". Kata E berarti sebuah perkembangan
dari dalam ke luar atau dari sedikit menjadi banyak, sementara 'Duco' berarti perkembangan atau

sedang berkembang. Jadi pendidikan adalah berkembang atau bergerak dari dalam keluar, atau

dengan kalimat lain kata Education sering juga dihubungkan dengan 'Educere' (Latin) yang berarti

dorongan (propulsion) dari dalam keluar. Artinya untuk memberikan pendidikan melalui perubahan

yang diusahakan melalui latihan ataupun praktik. Oleh karena itu definisi pendidikan mengarahkan

untuk suatu perubahan terhadap seseorang untuk menjadi lebih baik.

Pengertian Pendidikan atau education menurut Plato, bahwa pendidikan adalah proses yang

dilakukan seumur hidup (life-long) yang dimulai dari seseorang lahir hingga kematiannya, yang

membuat seseorang bersemangat dalam mewujudkan warga negara yang ideal dan mengajarkannya

bagaimana cara memimpin dan mematuhi yang benar. Senada dengan pepatah arab yang

mengatakan pendidikan itu dimulai ketika kita lahir dan berakhir ketika ajal sudah menjelang.

Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh nasional yang dikenal sebagai Bapak pendidikan

Indonesia merumuskan pengertian pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti (karakter,

kekuatan bathin), pikiran (intelektualitas) dan jasmani selaras dengan alam masyarakatnya.

Intinya, garis besar dalam pola pendidikan yang ideal menuruh Ki hajar dewantara adalah

adanya Bintal (bina mental) dan Binsik (bina fisik) serta ditunjang oleh penanaman nilai moral yang

diperoleh dari agama serta nilai luhur budaya. Namun kenyataannya nilai-nilai pembentukan moral

yang seharusnya ditanamkan kepada siswa, dikemas dalam suatu konsep yang mengajarkan kita

menjadi makhluk yang lebih rendah dari binatang. Konsep demikian yang selama ini kita kenal

dengan nama MOS (masa orientasi siswa) atau Ospek (orientasi pengenalan kampus).

MOS ataupun Ospek ini dikhususkan bagi siswa/mahasiswa baru yang akan mengikuti

pendidikan di instansi terkait. Secara resmi, nama atau istilah ospek ini sudah dilarang semenjak

tahun 2004 setelah tersiar kabar mengenai terbunuhnya seorang praja STPDN ketika menjalani

proses Ospek. Kejadian ini juga yang nantinya menyebabkan berubahnya nama STPDN menjadi

IPDN. Dewasa ini istilah Ospek terjadi perubahan nomenklatur menjadi istilah yang lebih halus dan

manis didengar seperti Workshop, Kemah Mahasiswa, Kemah Keakraban, dan lain sebagainya. Tapi
berubah nama tidaklah menjadikan konsep dari MOS dan Ospek mengalami kemajuan. Masih

mengedepankan perploncoan. Tanpa adanya penanaman nilai moral, budi pekerti.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai meninggalnya seorang anak

ketika selesai mengikuti acara MOS. Diduga si anak tewas karena kelelahan. Belum lagi kejadian

serupa banyak terjadi di luar sana tanpa ada pemberitaan. Kegiatan MOS dengan tema pengenalan

sekolah dan civitas akademika di sekolah dikemas dengan konsep yang mengarahkan pada

pembodohan. Siswa disuruh mengenakan pakaian dengan ragam aksesoris layaknya orang gila dan

disuruh untuk melakukan hal-hal yang aneh dan semakin jauh dari tujuan adanya pendidikan.

Sebenarnya jika dikemas dengan baik, MOS dan Ospek tersebut banyak manfaatnya. Dengan

adanya MOS dan Ospek, siswa menjadi lebih kenal satu sama lain. Dan juga paling tidak siswa

mengetahui mengenai garis besar dari seluk beluk instansi yang akan ditempatinya nanti. Kita ambil

contoh di negara lain, MOS dan Ospek dilakukan dengan memacu siswa untuk membuat karya tulis

ilmiah dan mempresentasikan di depan umum. Hal yang Positif dari kegiatan ini adalah menstimulasi

keinginan dari siswa untuk mengembangkan soft skill yang dipunyainya serta melatih untuk berpikir

sistematis dan mahir untuk berkomunikasi di depan umum. Namun kekurangannya adalah kegiatan

ini cenderung satu arah sehingga kemungkinan antar siswa untuk saling mengenal sangat sedikit.

Terlepas dari plus dan minusnya, kegiatan MOS dan Ospek dipandang masih penting dilaksanakan.

Tapi dengan konsep dan cara yang benar.

Jadi, seperti apakah MOS dan Ospek yang ideal? Sampai sekarang memang belum

ditemukan formulasinya mengenai MOS dan Ospek yang ideal. Namun seyogyanya, hendaknya

ketika melaksanakan MOS dan Ospek tetap berpijak kepada tujuan pendidikan dan nilai-nilai dasar

pendidikan. Sehingga dengan cara pembinaan yang baik, pola didik yang baik, akan melahirkan

generasi pemimpin yang tangguh dan baik pula. Agar tidak ada lagi pengkambinghitaman sistem

pendidikan nasional kita yang masih belum bagus. Harapan kita tentulah terlahirnya generasi

terdidik dengan pola didik yang tepat yang berwawasan kebangsaan dan bermoral Pancasila.
Meminjam istilah dari Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan,

memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah

dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja

dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak

diberikan sama sekali".

Namun yang menjadi pertanyaaannya adalah, siapakah yang harus berperan dalam

menuntaskan permasalahn ini? Pemerintah kah? Pendidik? Atau orangtua siswa?

“Dari mana datangnya titik


Dari pena turun ke kertas
Bagaimana polemik proses didik?
Marilah bersama dibikin tuntas”
BIODATA SINGKAT

Nama : Windi Syahrian, S.Pi

Tempat/ tanggal lahir : Padang Panjang/ 19 September 1989

Usia : 25 Tahun

Pekerjaan : Praktisi

Alamat : Kantor BPSPL Padang Jalan raya


pertanian sei duo-sungai lareh,
kelurahan lubuk minturun, kecamatan
koto tangah, padang

Nomor HP : 085274146889

Alamat Email : Wsyahrian@gmail.com

Nomor Rekening : 8760 100 753 165 (Bank CIMB Niaga)

Anda mungkin juga menyukai