Anda di halaman 1dari 4

AKU GENERASI UNGGUL KEBANGGAAN BANGSA INDONESIA

Menjadi kaum muhsinun yang ahsanu amalan adalah capaian


paripurna seorang makhluk. Begitu pula dengan menjadi generani
berprestasi, generasi unggul kebanggaan bangsa bukan hanya dengan
meraih kejuaraan, tropi, atau penghargaan. Manusia teramat berharga jika
hanya dinilai dengan sebuah ketidakhadiran (angka, bahasa) pada
hakikatnya puncak prestasi ialah ‫ للناس انفعهم خيرالناس‬yakni bermanfaat bagi
orang lain.
Nama saya HALIMATUS SA'DIYAH anak bungsu dari 3
bersaudara. Saat ini saya menempuh pendidikan di Universitas Jember
tepatnya dijurusan Pendidikan Fisika (Physic Education Departement). Saya
mengenyam pendidikan pesantren kurang lebih 6 tahun lamanya, yakni dari
SLTP hingga SLTA. Bagi saya, tempat belajar yang mempertemukan
ketuhanan dan kemanusiaan serta agama dan negara secara santun adalah
pesantren. Model pendidikan pesantren memadukan 4 unsur yakni: ta'lim
(pengajaran ilmu), tadris (pengalaman ilmu), ta'dib (disiplin ilmu dan
moral), dan tarbiyyah-ruhaniyyah (kepekaan spiritual) yang semuanya
dicontohkan langsung oleh kyai. Oleh karena itu, ke-khas-an islam
Indonesia adalah pesantren. Begitulah yang dikatakan Prof. DR. Frans-
Magnis Suseno, SJ
Pesantren adalah cakrawala tak berujung, laut tak bertepi, sumur
tanpa dasar, yang takkan pernah habis dikaji dan diarungi khususnya di
Nusantara ini. Kitab kuning warisan para ulama klasik dari berbagai penjuru
dunia, sekian disiplin intelektual dan khazanah spiritual dengan berbagai
madzhab dan matra, menyatu dan berpadu dengan kearifan tradisi khas
Indonesia di pesantren. Jika kebanyakan orang terjebak pada gegap gempita
lalu beramai-ramai ingin menjadi Arab, Eropa, dan Amerika, maka disaat
inilah para santri lebih memilih menjadi Indonesia. Apapun itu, pesantren
adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan ke-Indonesia-an.
Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, pesantren
berlomba lomba memanjatkan doa untuk keamanan bangsa dan kepulihan
dunia.
Kehidupan saya di pesantren berjalan sebagaimana santri pada
umumnya, saya lebih senang berkumpul dan memulai diskusi ringan
dihalaman depan gang. Teman teman sengaja menamainya "Kelas Semesta"
karena diskusinya dilakukan di ruang terbuka di bawah langit semesta serta
dengan dengan harapan kelas ini benar-benar dibimbing langsung oleh
semesta, oleh keadaan dan kehidupan.
Setelah ngopi (Ngobrol Pintar) bersama sekelompok teman kelas
semesta, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap diri manusia terpancar
sebuah potensi yang luar biasa. Dan salah satu bakat paling besar dalam diri
manusia memang menjadi binatang: makhluk tingkat ketiga setelah benda
dan tumbuhan. Binatang plus akal adalah manusia. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KKBI), manusia adalah makhluk yang berakal budi
sebagai lawan binatang, insan kamil. Dalam situasi yang sama pula manusia
adalah binatang sekaligus lawan binatang (insan kamil) seperti yang telah
saya ulas sebelumnya. Manusia adalah pusat peradaban, apakah santri bisa
mengubah kultur atau bahkan peradaban manusia khususnya di Nusantara?
tentu saja, mengapa tidak?. Jika ingin mengubah hidup, mula mula kita
harus mengubah cara pandang terhadap hidup, sehingga aspek aspek
spiritual, moralitas, dan intelektualitas juga akan berubah.
Di tahun 2021 ini, Indonesia dituntut untuk cakap digital, bijak
bermedia terlebih pada saat ini kita dihadapkan dengan pandemi yang sangat
berdampak pada seluruh sistem tatanan khususnya dalam pendidikan.
Semisal sistem pembelajaran sebelum datangnya Covid-19, sistem
pembelajaran secara normal berjalan secara offline dengan tatap muka
dalam setiap pembelajaran. Namun sejak masa pandemi Covid-19 dan
adanya kebijakan social distancing, sistem tersebut berubah menjadi daring,
menjadi pembelajaran yang sama sekali tidak ada interaksi secara langsung
antara guru dan murid.
Dari sini mulai kita sadari bahwa media sangat bermanfaat saat ini,
kita dituntut bijak untuk menggunakan teknologi. Hal ini sama sekali tidak
menjadi masalah. Sebab, saat ini kita memang dihadapakan dengan dua
pilihan, yakni antara tidak menjalani pembelajaran sama sekali atau lebih
baik menjalankannya meski kurang kondusif, jelas kita lebih memilih opsi
kedua, bukan? tanpa pembelajaran di sekolah, pendidikan karakter untuk
pelajar juga akan jarang dilakukan. Maka dari itu perlu kerja sama dengan
para orang tua untuk mendidik anak dengan sebaik-baik nya moral dan
pembentukan karakter. Belajar menghaluskan perasaan, menetralkan
idealisme dan keinginan yang tidak proporsional artinya ego manusia akan
menjadi netral dan selalu termotivasi untuk selalu melakukan hal-hal positif,
serta membangun sistem keikhlasan dan mekanisme kemanusiaan.
Moralitas generasi muda adalah tonggak awal bangunnya Macan Asia,
Megabiodiversitas pernah menjadi pusat peradaban dunia yang kini seakan
pulas seiring rabunnya usia. Pantas saja pemuda Indonesia mendapat
julukan Macan Asia yang tertidur. Indonesia kini haus akan pemuda sebijak
Tan Malaka yang gigih dalam perjuangannya serta memadu politik dengan
akalnya.
Seperti runtuhnya peradaban islam di abad pertengahan, dimana
kemunduran islam dimulai sejak terblokirnya ilmu filsafat itu sendiri. Pada
abad pertengahan, Ibnu Sina disanjung oleh kaum non muslim karna
berbagai karyanya sedang orang muslim sendiri mereka menghina bahkan
telah menganggap Ibnu Sina murtad. Begitu juga yang terjadi pada Tan
Malaka, kaum komunis menganggap Tan berhianat dan kaum nasionalis
mengecap Tan sebagai PKI padahal PKI adalah alat bagi Tan Malaka untuk
mencapai indo merdeka. Terbukti, kemerdekaan Indonesia jelas terdalangi
oleh beliau akan tetapi nama Tan sengaja disembunyikan dari dunia
pendidikan. Dari sini kita sebagai generasi muda harapan bangsa harus lebih
Open Minded dalam menanggapi berbagai problematika.
Seiring berjalannya waktu, pandemi Covid-19 telah memberi warna
baru untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi wabah yang belum
terkontrol berakibat pada aktifitas serta kepedulian sosial saat ini. Informasi
media sosial yang beredar dan tak terfilter atau bahkan propaganda menjadi
momok menakutkan bagi setiap orang, ditambah lagi tanggapan masyarakat
awam yang salah presepsi cukup mengganggu mentalitas. Dalam bermedia,
kita tidak boleh menjadi objek permainan mereka yang akan melunturkan
beberapa aktifitas positif. Akan tetapi kita harus tetap mrnjadi subjek yang
mengarahkan media sesuai kebutuhan dan sesuai dengan hal yang maslahah
bagi kita. Selain itu lebih umum lagi di era globalisasi ini, kita harus
bergerak diberbagai link. Kita sadar bahwa dunia nyata kekurangan
penghuni karena kebanyakan penduduknya ngungsi ke dunia maya. Oleh
karena itu kita sebagai generasi milenial dan tumbuh di era digital, generasi
cerdas dengan berbagai fasilitas, harus lebih bijak dalam bermedia terlebih
dalam meng-explore ilmu pengetahuan. Sebab, jika dunia maya hanya
dipenuhi dengan hal negatif lalu dimana penduduk dunia maya akan
menemukan hal positif didalamnya?
Setelah melakukan banyak perenungan, saya sadari bahwa esensi
dari sebuah prestasi tak sebatas tropi dan kejuaraan, akan tetapi bagaimana
kita mengembangkan bakat mulai dari tau, bisa, lalu terbiasa membuat
karya, kemudian menjadi ahli. Untuk terus melengkah ke arah yang lebih
baik, terus menebar manfaat kepada sesama, dan terus berupaya untuk
mencapai titik prestasi yang di hakikatkan kita perlu proses yang panjang.
Jadi, tujuan saya mengikuti ajang ini sebagai upaya dari proses yang
panjang menjadi kaum muhsinun serta untuk menyuarakan presepsi dan
menyalurkan aspirasi saya kepada teman-teman terlebih kepada diri saya
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai