Anda di halaman 1dari 6

Saat Soewardi kembali dari pengasingan Negara Belanda menuju Indonesia pada bulan

September 1919. Segera setelah itu, dia bergabung dengan sekolah yang dibina oleh saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakan untuk mengembangkan konsep mengajar untuk
sekolah yang didirikannya pada 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
Perguruan Nasional Tamansiswa. Semboyan sistem pendidikan yang sekarang ia gunakan
terkenal di kalangan pendidikan Indonesia. Seutuhnya, bunyi semboyan itu dalam bahasa Jawa
yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi
contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”). Semboyan ini masih
digunakan dalam dunia pendidikan masyarakat Indonesia, khususnya di sekolah Perguruan
Tamansiswa. Semboyan tersebut menggambarkan peran seorang guru atau pendidik dalam dunia
pendidikan. Kumpulan peran meliputi menjadi teladan, memberi semangat, dan memberikan
dorongan. Menjadi guru sangatlah luar biasa, ketika dimaknai dan dilaksanakan dengan serius
akan memiliki efek yang sangat baik pada murid-muridnya. Dari ketiga semboyan tersebut, yang
paling kita kenal saat ini adalah Tut Wuri Handayani, biasa ditulis di topi siswa SD sampai
SLTA. Tapi sampai sekarang saya tidak tahu (apakah saya lupa atau tidak pernah tahu) kenapa
semboyan Tut Wuri Handayani ini lebih popular (dari belakang mendorong) bukan Ing Ngarso
Sungtulodo (dari depan memberi teladan) atau Ing Madya Mangunkarso (dari tengah
memberikan semangat).
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan
seseorang, jauh lebih penting dan tentu saja tidak sama dengan apa yang menjadi miliknya dan
apa yang telah dia lakukan. Karena manusia bukan hanya sekedar pemilik kekayaan dan juga
melakukan fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya melestarikan
keberadaan manusia, dalam arti menjadikan manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai
manusia yang berkembang sepenuhnya. Demikian menurut Ki Hajar Dewantara yang harus
dikembangkan karena pendidikan juga melibatkan daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan
daya karsa (konatif). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Pendidikan merupakan proses yang ditujukan untuk mengembangkan potensi individu
(peserta didik) baik potensi fisik maupun cipta, rasa, maupun karsanya supaya potensi itu
menjadi nyata dan dapat berfungsi sepanjang hidupnya. Filsafat sangat erat kaitannya dengan
pendidikan, karena filsafat merupakan akar dari segala ilmu, termasuk ilmu pendidikan. Peran
dari filsafat sangat terlihat dari penggunaan filsafat sebagai sudut pandang dalam memecahkan
masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh teori. Salah satu tokoh yang dapat direpresentasikan
dengan pendidikan di Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Tak bisa dipungkiri, beliau telah
banyak berkontribusi dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini dipertegas dengan
gelar Bapak Pendidikan Nasional, dan tanggal kelahirannya, tepatnya 2 Mei diperingati sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Sebelum menelisik lebih jauh filsafat Ki Hajar Dewantara tentang
pendidikan di Indonesia, pertama-tama kita simak pengertian filsafat dari Ki Hajar. Nama Hajar
Dewantara sendiri berarti seorang guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan baik dalam bidang
keagamaan dan keimanan, maupun masalah sosial kemasyarakatan. Sebagai seorang pendidik
yang merupakan perantara Tuhan maka guru yang sejati harus memiliki karakter pandita, yaitu
dapat menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Semboyan pendidikan yang
diusung oleh Ki Hajar Dewantara adalah “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani”, dapat dipahami sebagai berikut: Ing ngarso sung tulodho: seorang pemimpin
jika dia di depan harus bisa memberi contoh atau menjadi panutan bagi yang dipimpin (warga
atau peserta didik). Ing madyo mangun karso: seorang pemimpin ketika berada di tengah
masyarakat harus mampu membangkitkan semangat atau motivasi untuk menjadi lebih baik atau
lebih maju. Tut wuri handayani: pemimpin apabila berada di belakang harus tahu bagaimana
memotivasi mereka yang dipimpin agar mereka senantiasa lebih maju. Landasan pendidikan
yang terpenting menurut Ki Hajar Dewantara adalah ada kesamaan persepsi di kalangan penegak
atau pimpinan pendidikan tentang arti “mendidik” itu sendiri. Beliau menyatakan bahwa
mendidik itu sifatnya humanisasi, yakni mendidik adalah proses memanusiakan manusia melalui
pendidikan diharapkan derajat kehidupan manusia dapat bergerak vertikal ke atas ke tingkat
manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara terdapat dua hal yang perlu dibedakan,
yaitu, "Pengajaran" dan "Pendidikan" harus bekerja bersama-sama. Menurut beliau sifat
pengajaran yaitu membebaskan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan).
Sedangkan pendidikan mengarah pada pembebasan manusia dari aspek kehidupan batin
(pengendalian diri dalam berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Jadi sudah jelas bahwa manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki kehidupan lahiriah
dan batin yang tidak terganggu oleh orang lain, tetapi dapat menopang dirinya sendiri dan berdiri
di atas kedua kakinya sendiri. Artinya, sistem pendidikan dapat memastikan bahwa setiap
individu hidup mandiri dan berpikir sendiri. Sistem pendidikan benar-benar memelihara adalah
bersifat mengasuh, melindungi, dan meneladani. Maka untuk dapat mencapainya perlulah
ketetapan pikiran dan batin yang akan menentukan kualitas dari seseorang sehingga dapat
tercapainya rasa mantap tadi. "Sifat umum pendidikan yang beliau canangkan adalah segala
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran,
(kecerdasan) dan tubuh anak: dalam pengertian taman siswa tidak dapat dipisahkan menjadi
beberapa bagian supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunia mereka.” Dari pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa arti kata pendidikan itu jauh lebih luas dari pengajaran. Pendidikan
mencakup manusia seutuhnya, baik itu Pendidikan intelektual, moralitas (nilai), dan budi pekerti.
Pendidikan dalam pengertian ini adalah pendidikan yang didasarkan pada garis kehidupan
bangsa dan ditujukan pada kebutuhan kehidupan dapat meningkatkan status negara dan rakyat,
sehingga mereka dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan semua
manusia di dunia. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dapat diterjemahkan menjadi
pendidikan di Indonesia harus memiliki tiga landasan filosofis, yaitu: nasionalistik maksudnya
adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen dalam bidang politik, ekonomi,
universalistik dan spiritualistik. Universal artinya berdasarkan hukum alam, segala sesuatu
adalah perwujudan kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, pendidikan harus
membantu peserta didik menjadi bebas dan independen secara fisik dan mental. Spiritual, yaitu
pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek intelektual, tetapi pendidikan juga harus
memperkuat kepercayaan diri dan mengembangkan harga diri.
Menurut Ki Hajar Dewantara, metode yang cocok untuk sistem pendidikan ini adalah
sistem among , yaitu metode pengajaran dan metode pendidikan berdasarkan pada asih, asah, dan
asuh. Metode ini secara Teknik pengajaran meliputi kepala, hati, dan panca indera. Sehingga
output pendidikan menjadi peserta didik yang berkepribadian mandiri, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan diri
sendiri dan kesejahteraan orang lain. Orientasi asas dan dasar pendidikan dari Ki Hajar
Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada saat itu. Pengaruh
pemikiran pertama dalam pendidikan merupakan landasan kemerdekaan bagi setiap orang untuk
mengatur dirinya sendiri. Ketika diterapkan pada praktik mengajar maka hal itu merupakan
upaya dalam mendidik peserta didik agar mereka dapat berperasaan, berpikir dan bekerja secara
mandiri untuk mencapai tujua dan perlu kemajuan nyata untuk diperoleh selama perkembangan
alami. Hak mengatur diri sendiri berdiri bersama dengan tertib, damai dan bertumbuh sesuai
dengan kodratnya. Ketiganya menjadi dasar suatu alat pengajaran bagi anak-anak yang dikenal
dengan “among metode”, salah satunya adalah meminta guru sebagai pemimpin yang berdiri di
belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi peserta didik kesempatan untuk berjalan sendiri.
Maka pendidikan di Indonesia akan dan selalu demikian prosesnya berdasarkan semboyan “Ing
ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani".
Di era kemajuan teknologi sekarang ini, kebanyakan orang terpengaruh menyikapi
perkembangan teknologi (teknologi informasi) yang begitu cepat dan canggih. Banyak orang
terbuai oleh kecanggihan teknologi dan melupakan aspek yang lain dalam kehidupannya, seperti
pentingnya menjalin hubungan dengan orang lain, kebutuhan melakukan kegiatan sosial dalam
masyarakat, pentingnya lebih menghargai orang lain daripada apa yang dia lakukan.
Seingkali teknologi yang dibuat manusia untuk menolong manusia yang tidak lagi
dikuasai oleh manusia melainkan sebaliknya manusia yang dikuasai oleh kemajuan teknologi.
Manusia tidak lagi bebas mengembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya karena segala
aspeknya. Keberadaan manusia pada zaman ini biasa diukur dari “to have” (apa saja materi yang
dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang berhasil/tidak berhasil untuk dilakukan) dari pada
keaadaan pribadi yang bersangkutan (‘to do” atau “being”nya). Dalam pendidikan harus
ditanamkan sejak kecil agar keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tidak persis sama
dengan apa yang dimilikinya dan apa yang sudah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar
pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis lebih
anusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang ( menurut Ki Hajar
Dewantara yang berkaitan dengan daya cipta(kognitif), daya rasa(afektif), dan daya karsa
(konatif)).
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia semakin
bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, terpesona dengan penemuan-penemuan
barang-barang baru didalam bidang iptek yang semakin canggih, sehingga cenderung melupakan
kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek-aspek
sosialitas pada dirinya. Oleh sebab itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki
sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan
bersama sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran harusnya dikembangkan ke
aspek-aspek kemanusiaan yang harus dikembangkan pada diri peserta didiknya.
Ki Hajar Dewantara, pendidik yang asli dari indonesia, melihat bahwa manusia lebih
pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya manusia itu mempunyai daya jiwa yakni cipta,
karsa, dan karya. Perkembangan manusia semuanya menuntut perkembangan semua daya secara
sama. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada suatu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangannya sebagai manusia. Beliau juga mengatakan bahwa pendidikan
yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan membuat peserta didik menjauhkan
dirinya dari masyarakat. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada
perkembangan daya cipta saja, dan kurang melihat perkembangan rasa dan karsa. Jika ini
berkelanjutan terus menerus akan membuat manusia kurang humanis /manusiawi. Dari sudut
pandang sosio-anthropologis, ke khasan manusia yang mebedakan dirinya dengan makhluk
lainnya ialah bahwa manusia itu memiliki budaya, sedangkan makhluk lainnya tidak memiliki
budaya/ tidak berbudaya. Maka salah satu caranya yang efektif untuk menjadikan manusia
menjadi lebih manusiawi itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah “ lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” . manusia akan benar-benar menjadi manusia jika
dirinya menjadi manusia yang hidup dalam budayanya sendiri. Dan manusia yang seutuhnya
ialah mengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang ada
disekitarnya.
Ki Hajar Dewantara sendiri mengubah namanya untuk menunjukkan perubahan sikapnya
dalam melaksanakan pendidikan yakni dari satria pinandita ke panindita satria yaitu dari
pahlawan yaang bewatak guru spiritual yang memiliki jiwa ksatria, untuk mempersiapkan diri
dan peserta didik yang melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian
menyediakan dirinya untuk menjadi pahlawan dan juga untuk menyiapkan para peserta untuk
menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan ialah sebagai seorang
peserta didik untuk membela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai
pendidik pertama-tama ialah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian
sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki arti
sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan, kesopanan. Seorang pendidik
atau Sang Hajar adalah seseorang yang mempunyai kelebihan di bidang agama dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial masyarakat. Modelnya ialah kyai semar (menjadi perantara
antara tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak tuhan di duunia ini). Sebagai seorang pendidik
yang merupakan perantara tuhan maka guru yang sejati itu sebenarnya ialah berwatak pandta
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka merupakan tujuan pendidikan taman siswa. Merdeka baik secara fisik,
mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib dan damainya
kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan,
musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab, dan disiplin. Sedangkan yang
di maksud dengan pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup
sendiri dengan cara mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media
pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah
nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik sendiri merupakam budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomi, maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada prinsip hukum alam, segala sesuatunya merupakan perwujudan dari kehendak
tuhan. Prinsip dasarnya ialah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagian,
keadilan, dan kedamaian tumbuh dari dalam diri manusia. Membutuhkan suasana yang ada
dalam dunia pendidikan seperti suasana yang memiliki prinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati,
empati, cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu itu hendaknya dihormati, pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual : pendidikan seharusnya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab yang memisahkan dari kebanyakaan manusia;
pendidikan harusnya memperkaya setiap individu tapi memiliki perbedaan masing-masing
pribadi yang harus tetap dipertimbangkan; pendidikan harusnya memperkuat rasa percaya dir,
mengembangkan hara pada diri; semua orang harus hidup sederhana dan guru seharusnya rela
mengorbankan kepentingan-kepentingan dirinya demi kepribadian peserta didiknya. Peserta
didik yang didapatkan ialah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan memiliki tanggung jawab atas
kebahagian dirinya dan kesejahteraan pada diri orang lain. Metode yang harus digunakan itu
sesuai dengan sistem pendidikan pada saat ini ialah sistem among seperti pada metodepengajaran
dan pendidikan berdasarkan pada asih, asah, asuh. Yang dimaksud ini dengan manusia merdeka
ialah seseorang yang bisa berkembang secara utuh dan selaras dari berbagai aspek
kemanusiaanya dan kita harus mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang-
orang pada umunya, oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat seperti “
educate the head, the head, the heart, and the hard.
Guru yang efektif itu mempunyai keunggulan dalam mengajar; dalam hubungan dengan
peserta didik dengan dan anggota komunitas sekolah, juga memiliki relasi dan komunikasinya
dengan pihak lain, segi adminitrasi sebagai seorang pengajaran dan sikap profesionalitasnya.
Sikap profesionalnya meliputi : kemauan untuk memperbaiki diri dan kemauan untuk mengikuti
pertumbuhan zaman. Maka penting untuk membangun suatu etos kerja yang positif seperti :
menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melakukan pekerjaan, dan keinginan
untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan seperti ini penting untuk performance penampilan
seorang profesional: secara nyata, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan
kerohanian serta bisa menjadi motivator. Sebaiknya perlu ada peningkatan mutu kinerja yang
profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara menyeluruh setiap peserta
didiknya.
Ki Hajar Dewantara memaknai pendidikan secara filosofis sebagai upaya untuk
membebaskan manusia di luar (kemiskinan dan kebodohan) dan di dalam (otonomi pemikiran
dan pengambilan keputusan, martabat manusia, cara berpikir yang demokratis). Filsafat
pendidikan menyiratkan kebijakan pendidikan baru, mengusulkan cita-cita baru tanpa
mempertimbangkan masalah filosofis seperti kebaikan hidup, ke mana pendidikan diarahkan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, guru harus menjadi pribadi yang kompeten secara pribadi dan
spiritual, baru kemudian mempersiapkan diri menjadi pahlawan, dan juga mempersiapkan siswa
menjadi pembela tanah air dan bangsa. Dengan kata lain, sebagai seorang pendidik, terlebih
dahulu memiliki peran sebagai panutan dan sebagai pendorong atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan,
keluhuran, keutamaan. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah pedoman dalam
kehidupan tumbuh kembang anak. Tujuannya adalah untuk mengarahkan semua kekuatan pada
anak-anak agar mereka dapat mencapai tingkat keamanan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Tidak semua tugas mendidik dapat
dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama mengenai pengetahuan dan berbagai
keterampilan. Dilihat dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya
merupakan pelimpahan tanggung jawab kepada orang tua, karena mereka tidak dapat lagi
mewariskan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu pada waktunya. Fungsi Sekolah antara
lain: (1) Sekolah membantu orang tua mengembangkan kebiasaan yang baik dan menanamkan
budi pekerti yang baik, (2) Sekolah memberikan pendidikan bagi kehidupan masyarakat yang
sulit atau tidak dapat diberikan di rumah, (3) Sekolah melatih anak untuk memperoleh
keterampilan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar dan ilmu lain yang
mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan (4). Di sekolah mereka menerima pengajaran
tentang etika, agama, estetika dan moralitas.
Ki Hajar Dewantara memandang manusia lebih banyak pada sisi psikologis kehidupan,
karena manusia memiliki kekuatan spiritual yaitu daya cipta, karsa dan karya. Pembangunan
manusia yang komprehensif membutuhkan pengembangan kemampuan yang seimbang.
Perkembangan yang terlalu terfokus pada satu kekuatan akan menyebabkan perkembangan yang
tidak sempurna sebagai pribadi. Beliau berpendapat bahwa pendidikan yang hanya menekankan
aspek intelektual hanya akan mengasingkan siswa dari masyarakat. Dan ternyata selama ini
pendidikan hanya terfokus pada pengembangan kreativitas dan kurang memperhatikan
pengembangan rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis
atau manusiawi. Jadi cara yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan budaya mereka.

Anda mungkin juga menyukai