Anda di halaman 1dari 6

KEMERDEKAAN BELAJAR MENURUT KI HADJAR DEWANTARA DAN JOHN

DEWEY : ALIRAN PROGRESIVISME

A. PENDAHULUAN

Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu tokoh pahlawan Indonesia yang memberikan
pengaruh besar terhadap dunia pendidikan. Salah satu kekhawatiran Ki Hadjar Dewantara dalam
dunia pendidikan saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang. Rekayasa politik pada masa
penjajahan tersebut membatasi jumlah sekolah dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia
(Bartolomeus Samho & Oscar Yasunari, 2010). Hal tersebut dilakukan oleh penjajah karena
mereka mengetahui bahwa upaya untuk mencerdaskan bangsa terjajah merupakan upaya yang
berbahaya sebab dapat mengancam stabilitas pemerintahan. Maka dari itu, pendidikan yang
terabaikan dan membatasi sarana pendidikan serta menimba ilmu bagi generasi Indonesia
membuat mereka tidak memiliki pikiran yang terbuka untuk meraih kemerdekaan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan merupakan wahana pengembangan kemanusiaan


secara utuh dan penuh bahkan pendidikan merupakan kata kunci untuk mendapatkan
kemerdekaan secara politis. Keyakinannya terhadap dunia pendidikan direalisasikan melalui
pembangunan Perguruan Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air serta berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan (Bartolomeus Samho & Oscar Yasunari, 2010). Ki Hadjar
Dewantara menganut prinsip dengan cita-cita Paguyuban Selasa-Kliwon yang berarti
membahagiakan diri, membahagiakan bangsa, dan membahagiakan manusia. Di sisi lain, Ki
Hadjar Dewantara juga menyebutkan bahwa tujuan pendidikan memajukan segala bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku budaya, adat, kebiasaan, status
ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.

Prinsip kemerdekaan dalam pendidikan yang dianut Ki Hadjar Dewantara sama dengan
progresivisme milik John Dewey. Menurut John Dewey pendidikan adalah upaya menolong
manusia agar dapat berefleksi terhadap masalah yang timbul dalam amsyarakat dan upaya
memperlengkapi mereka agar menghasilkan perubahan nyata dalam kehidupan. Tujuan
pendidikan menurutnya didasarkan pada lingkungan masyarakat tempat anak didik hidup dan
tempat pendidikan berlangsung. Oleh karena itu, tujuan pendidikan sebagai instrumen untuk
bertindak dan hasilnya menjadi instrumen untuk pencapaian tujuan berikutnya serta dijadikan
alat untuk bertumbuh.

Berdasarkan latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini untuk
membandingkan kebebasan dalam pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menumbuhkan
kemampuan sosial serta memasukkan kebudayaan sedangkan John Dewey kebebasan yang
demokratis.

B. PEMBAHASAN

Ki Hadjar Dewantara membangun Perguruan Taman Siswa karena ia merasa bahwa


pendidikan Barat yang ada di Indonesia tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia.
Pendidikan Barat bersifat regering (perintah), tucht (hukuman), dan orde (ketertiban). Karakter
pendidikan yang dianut pendidikan Barat merupakan suatu paksaan untuk anak-anak sehingga
merusak budi pekerti dikarenakan adanya paksaan atau tekanan. Menurut Ki Hadjar Dewantara
pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan, batin),
pikiran (intelek), dan tubuh anak (kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya
(Dewantara, 1962: 14-15).

Manusia yang berbudi pekerti memiliki kekuatan batin dan berkarakter. Pendidikan
diarahkan untuk meningkatkan citra manusia di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk
berpihak pada nilai-nilai kebenaran (Samho & Yasunari, 2010). Kebenaran tersebut dipancarkan
melalui tutur kata, sikap, dan perbuatan terhadap lingkungan alam, diri senidir, dan sesama
manusia. Dapat disimpulkan bahwa budi pekerti adalah sarana yang memayungi perkataan,
sikap, dan tindakan yang selaras dengan ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan tidak
bertentangan degan nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi lain, pendidikan juga membuuthkan
pemikiran yang cerdas secara kognisi (tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasan tersebut
membebaskan seseorang dari kebodohan dan pembodohan dalam hal apapun. Manusia yang
memiliki pemikiran maju adalah manusia yang berpikir tentang realitas yang membatasi
kebebasannya dan berani melawan segala bentuk pembodohan. Terakhir, pendidikan memajukan
keadaan tubuh seseorang. Artinya, manusia yang berpendidikan tidak hanya sehat secara jasmani
tetapi juga memiliki pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi tuuhnya dan memahami
fungsi tersebut untuk memerdekakan dirinya dari segala dorongan kea rah tindakan kejahatan
(Samho & Yanuari, 2010).
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara menganut prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Artinya, seseorang di depan memberikan contoh, di tengah
memberikan semangat, dan yang terakhir memberikan motivasi. Di sisi lain, pendidikan Ki
Hadjar Dewantara dilandasi oleh Panca Dharma: 1) takdir alam; 2) kebebasan; 3) berbasis
budaya; 4) kebangsaan; dan 5) kemanusiaan. Peran pendidikan Taman Siswa berlandaskan
sekolah berbasis kebudayaan untuk menggambarkan bangsa dan negara Indonesia. Sekolah
Taman Siswa mengajarkan moral, tata krama, dan teladan Ki Hadjar Dewantara; seni, musik
(lagu yang edukasional).

Pendidikan Taman Siswa mengusung pembelajaran dengan sistem Among. Kata tersebut
berasal dari Bahasa Jawa, ngemong atau momong yang berarti mengasuh dengan penuh dengan
pengabdian. Dua hal yang mendasari sistem Among, yaitu 1) potensi alam, kepercayaan terhadap
potensi alamiah manusia sebagai ciptaan Tuhan sebagai bekal manusia untuk tumbuh dan
mempertahankan kemajuannya, manusia mencari keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat; 2) kebebasan, manusia dilahirkan bebas serta
mereka memiliki hak untuk hidup damai dan bahagia untuk membangun hubungan sosial, order
en vrede, toto lan tentrem.

Perguruan Taman Siswa menggunakan praktek pembelajaran Among yang diartikan sebagai
usaha untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti, karakter (perasaan, pikiran, dan semangat),
dan jasmani anak dengan cara pengajaran, pembiasaan, dan pemberian contoh bukan dengan
paksaan, hukuman atau perintah. Landasan utama dalam sistem Among mendorong ketertiban
dan kedamaian atau Wiromo, rukun, bebas, dan mandiri (mandiri secara pribadi). Kebebasan
berarti; a) tidak hidup dalam peirntah; b) berdiri di atas kekuatan sendiri; dan c) mengatur
kehidupannya sendiri (Dewantara, 1977: 4).

Teknik dan prinsip dalam pembelajaran Among memberikan kemandirian dan kebebasan
kepada peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kekuatannya melalui bimbingan dalam
diri serta tujuan kebudayaan. Prinsip kebebasan dalam belajar tersebut juga dianut oleh John
Dewey.

John Dewey menciptakan aliran progresivisme dalam dunia pendidikan. Progresivisme


berasalh dari kata progresif yang artinya bergerak maju dan dapat dimakanai sebagai suatu
gerakan perbuahan menuju perbaikan (Mustagfiroh, 2020). Dapat disimpulkan bahwa
progresivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menghendaki suatu kemajuan yang akan
membawa sebuah perubahan. Aliran tersebut akan berhasil diimplementasikan jika peserta didik
dilibatkan secara aktif dalma pembelajaran sehingga mereka mendapatkan banyak pengalaman
untuk bekal kehidupannya. Pendidikan menurut aliran progresivisme tidak hanya memberikan
pengetahuan kepada peserta didik tetapi juga berisi aktivitas yang mengarah pada pelatihan
kemampuan berpikir secara menyeluruh sehingga dapat berpikir secara sistematis melalui cara
ilmiah (penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis,
pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan untuk pemecahan masalah).

Aliran progresivisme termasuk dalam aliran pragmatism yang menekankan manfaat


pendidikan bagi hidup praktis. Kedua aliran tersebut menekankan pada potensi manusia dalam
upaya menghadapi persoalan kehidupan secara maksimal. Di sisi lain, progresivisme dihubungan
dengan istilah the liberal road to culture, artinya liberal yang fleksibel (lentur dan tidak kaku),
toleran dan bersikap terbuka. Aliran progresivisme sangat menghargai kemampuan seseorang
dalam pemecahan masalah melalui pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu atau
pembelajaran yang disebut dengan active-learner.

Progresivisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya
perubahan pada diri peserta didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi
persoalan serta dapat menyesuaikan dengan kehidupan sosial di masyarakat (Mustagfiroh, 2020).
Manusia dipandang sebagai makhluk yang dinamis dan kreatif serta dipandang sebagai makhluk
yang memiliki kebebasan dan semua itu penting demi kemajuan yang diperlukan oleh manusia
itu sendiri.

Pendidikan menurut progresivisme memandang bahwa peserta didik diberikan kebebasan


dan kemerdekaan untuk melakukan eksperimen sesuai dengan bekal kemampuan dan
keterampilan yang dipelajari dan dimiliki sehingga dapat mencari dan emnemukan sendiri solusi
alternative yang dapat digunakan untuk mengatasi setiap permasalahan yang akan dihadapi di
masa mendatang.

John Dewey memaparkan bahwa manusia harus aktif, penuh inat, dan siap mengadakan
eksploreasi sehingga pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapa menuju
kedewasaan melainkan pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan
hidup. Di sisi lain, pendidikan diarahkan kepada efisiensi sosial dengan cara memberikan
kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kepentingan dan
kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal.

Pendidikan tradisional yang masih dianut dalam sekolah menjadi perhatian John Dewey. Ia
mengatakan bahwa pendidikan menjadikan anak sebagai objek pendidikan, bukan subjek
pendidikan sehingga konsep pendidikan tradisional menjadikan pusat pendidikan di luar anak
(guru, buku, sarana prasarana, dan lain-lain). Konsep pendidikan tradisional hanya menjadikan
sekolah sebagai tempat formal untuk mendengarkan, intruksi massal, dan terpisah dari
kehidupan. Maka dari itu, aliran progresivisme yang dipelopori John Dewey menyelenggarakan
pendidiikan secara demokratis. Siswa yang sudah dewasa didorong untuk memberikan
partisipasi dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama.

John Dewey juga mengungkapkan bahwa kebebasan dalam akademik untuk mengubah dan
memperbaharui suatu masyarakat agar pendidikan membantu peserta didik memiliki kesadaran
pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban paling fundamental pada setiap orang.
Suasana pendidikan yang demokratis akan mendorong dan memberikan kesempatan pada
seluruh siswa agar berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, merancang kegiatan, dan
melaksanakannya (Mustagfiroh, 2020).

C. KESIMPULAN

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan yang bebas adalah pendidikan yang tidak bersifat
bersifat regering (perintah), tucht (hukuman), dan orde (ketertiban). Ketiga hal tersebut dapat
merusak budi pekerti peserta didik. Pendidikan yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara
berbasis kebudayaan agar peserta didik dapat menunjukkan identitas bangsa dan negaranya
sesuai agama, adat-istiadat yang ada. Praktik pembelajaran yang ada dalam perguruan Taman
Siswa menggunakan sistem Among dan guru dipandang sebagai Pamong. Dalam sistem
pembelajaran Among peserta didik diberikan kebebasan sesuai dengan bakat dan kekuatannya
yang telah dipelajari dan dimiliki.

Di sisi lain, John Dewey memandang pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada peserta didik
untuk memecahkan masalah sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya untuk mencari
solusi alternatif yang lain.
Daftar Pustaka

Bartolomeus Samho & Oscar Yasunari. (2010). KONSEP PENDIDIKAN KI HADJAR


DEWANTARA DAN TANTANGAN-TANTANGAN IMPLEMENTASINYA DI
INDONESIA DEWASA INI. In LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG: Vol. (Issue April).
Universitas Katolik Parahyangan.

Mustagfiroh, S. (2020). Konsep “ Merdeka Belajar ” Perspektif Aliran Progresivisme di


Perguruan Tinggi. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3(1), 141–147.

Anda mungkin juga menyukai