Anda di halaman 1dari 95

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN FILOSOFI

PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh:
Alwiyah
Lutvianti
Sudharma Halim

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UHAMKA
2016

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN FILOSOFI


PENDIDIKAN NASIONAL

I. Pendahuluan
Pendidikan adalah hal yang sangat dibutuhkan
oleh setiap insan sebagai salah satu modal agar dapat
berhasil dan meraih kesuksesan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha sadar manusia dalam
menciptakan diri dan masyarakat agar mempertahankan
hidup dalam arus perkembangan zaman. Pola dan gaya
hidup manusia selalu berubah-ubah menuju terpenuhinya
kebutuhan insanibaik yang bersifat jasmani maupun
rohani.
Sebagai usaha sadar, proses pendidikan dilakukan
secara terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan
kekuatan
kecerdasan,

potensi

spiritual
akhlak

dirinya

keagamaan,
mulia,

serta

untuk

memiliki

pengendalian

diri,

keterampilanyang

diperlukan dirinya dan masyarakat serta tuntutan

perkembangan zaman sesuai dengan kepribadian bangsa


Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila.
.

Hakikat Pendidikan
Dalam bahasa Yunani,

pendidikan

adalah

paedagogy, yang berasal dari kata paedos, yang


berarti anak laki-laki, dan agogos yang artinya
mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah
berarti membantu anak laki-laki pada zaman Yunani
kuno yang pekerjaannya mengantar anak majikannya ke
sekolah.
Dalam

bahasa

Inggris

istilah

pendidikan

menggunakan perkataan education, biasanya istilah


tersebut dihubungkan dengan pendidikan di sekolah ,
dengan alasan bahwa di sekolah tempatnya anak dididik,
dibimbing oleh para ahli yang khusus menangani
pendidikan latihan sebagai profesi. Kata education
berhubungan dengan kata Latin educere , yang berarti
mengeluarkan sesuatu kemampuan (e = keluar,
ducere= memimpin), jadi berarti membimbing untuk
mengeluarkan suatu kemampuan yang tersimpan dalam
diri anak (Sadulloh, 2010: 2)

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan


masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan
luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik supaya dapat memainkan peranan dalam
berbagai lingkungan hidup secara tepat pada masa yang
akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman
belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal,
nonformal, dan informal di sekolah dan luar sekolah
yang berlangsung seumur hidup, bertujuan untuk
mengoptimalkan kemampuan-kemampuan individu.
Dari pengertian di atas jika diamati secara saksama
ada beberapa komponen penting antara lain sebagai
berikut (Nuraeni, 2011: 16)
a. Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang dengan sengaja
memengaruhi

peserta

didik

agar

meraih

kedewasaan. Mereka bisa guru, orang tua, tokoh


masyarakat, dll. Mereka hendaknya memiliki:
kompetensi (ilmu, keterampilan)
sikap/moral
kewibawaan
b. Peserta didik

Peserta didik adalah anak manusia (subjek didik)


yang:
sedang tumbuh dan berkembang
butuh bimbingan dan perlakuan manusiawi
mampu mandiri
c. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan perpaduan tujuantujuan yang bersifat pengembangan kemampuankemampuan individu secara optimal dengan tujuan
yang bersifat sosial untuk dapat memainkan
perannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan
dan kelompok sosial.
d. Alat pendidikan dan pola asuh
Dikenal dua macam alat pendidikan yakni penguat
(reinforcement dan hypno-parenting).
Penguat (reinforcement) dibagi dua yaitu penguat
positif dan penguat negatif. Penguat yang bersifat
positif meliputi ajakan, nasihat, contoh/teladan,
pujian, dan hadiah/reward. Penguat yang bersifat
negatif meliputi teguran, peringatan, larangan,
pembatasan, hukuman (fisik/mental) dan menyita
miliki peserta didik yang membahayakan (token).
Bangsa Indonesia memilih pola asuh yang diajarkan
oleh Ki Hajar Dewantara yakni Ing Ngarso sing

Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri


Handayani.
Tentang alat pendidikan hypno-parenting lebih tepat
dilakukan pada balita. Balita diajak bicara oleh
orang tuanya (parent) pada saat tidur nyenyak agar
mau mengubah tingkah lakunya.
e. Masa pendidikan
Pendidikan berlangsung seumur
kegiatan-kegiatannya

tidak

hidup

yang

berlangsung

sembarangan tetapi pada waktu tertentu.


d. Bentuk kegiatan
Pendidikan dapat berlangsung formal, nonformal,
dan informal. Kegiatan pendidikan bisa berupa
bimbingan, pengajaran, atau latihan. Pendidikan
selalu merupakan usaha yang direncanakan oleh
masyarakat dan pemerintah.
e. Materi pendidikan
Materi pendidikan meliputi:
IPTEK
Nilai/norma
Seni
keterampilan
f. Lingkungan pendidikan
Lingkungan pendidikan berlangsung dalam sebagian
lingkungan hidup. Pendidikan tidak berlangsung

dalam kehidupan yang alami, pendidikan hanya


berlangsung dalam hidup kultural yaitu di luar
sekolah dan di sekolah.
Para ahli memberikan batasan-batasan tertentu
tentang hakikat pendidikan sesuai dengan sudut pandang
masing-masing , sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Langenveld mendefinisikan pendidikan sebagai
setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan
yang diberikan pada anak tertuju pada pendewasaan
anak itu, atau membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
2. John Dewey memberikan batasan

pendidikan

sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan


fundamental secara intelektual dan emosional ke
arah alam dan sesama manusia.
3. J.J.
Rousseau berpendapat pendidikan adalah
memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa
kanak-kanak akan tetapi diperlukan pasa masa
dewasa.
4. Ki Hajar Dewantara memberi definisi pendidikan
adalah tuntutan di dalam tumbuh kembangnya anakanak, yakni menuntun segala kekuatan yang ada

pada anak-anak berupa potensi agar mereka sebagai


manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai

keselamatan

dan

kebahagiaan

yang

setinggi-tingginya.
5. UU Nomor 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan
Nasional menegaskan pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi
perannya di masa yang akan datang.
6. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem

Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan


adalah

usaha

mewujudkan

sadar
suasana

dan

terencana

belajar

untuk

dan

proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif


mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian,
keterampilan

kecerdasan,
yang

akhlak

diperlukan

mulia,
oleh

serta

dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.


Dari beberapa batasan di atas meskipun berbeda
dengan redaksional, namun secara esensial terdapat
beberapa unsur atau faktor yang sama, di antaranya:
Pendidikan merupakan suatu proses,

Pendidikan merupakan kegiatan manusiawi,


Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi,
Pendidikan untuk mencapai tujuan.

1.1 Pengertian Ilmu Pendidikan


Pakar pendidikan memiliki pandangan yang berbeda
tentang pengertian ilmu pendidikan. Perbedaan pendapat
itu disebabkan karena sudut pandang yang berbeda.
1. Carter berpendapat bahwa ilmu pendidikan adalah
suatu

bangunan-bangunan

sistematis

yang

mencakup aspek-aspek kuantitatif dan objektif dari


proses belajar dan mengajukan instrumen secara
saksama

dalam

mengajukan

hipotesis-hipotesis

pendidikan untuk diuji berdasarkan pengalaman


yang sering kali dalam bentuk eksperimen.
2. Driyarkara berpendapat bahwa ilmu pendidikan
adalah pemikiran ilmiah,yakni pemikiran yang
bersifat kritis, memiliki metode, dan tersusun secara
sistematis

tentang

pendidikan.

Kritis

artinya

menerima pengetahuan atas dasar analisis dan


pemahaman serta argumen yang kuat. Memiliki
metode

berarti

dalam

proses

berpikir

dan

menyelidiki, orang menggunakan cara atau teknik

tertentu. Sistematis berarti dalam suatu proses,


pemikir ilmiah dijiwai oleh ide yang menyeluruh
dan menyatukan, sehingga pikiran-pikiran dan
pendapatnya tidak hanya berhubungan, namun juga
merupakan suatu kesatuan.
3. Langenveld mengemukakan

pendapat

bahwa

pedadogi atau ilmu mendidik adalah ilmu yang


bukan hanya menelaah objeknya untuk mengetahui
betapa keadaan atau hakiki objek itu melainkan
mempelajari pula betapa hendaknya bertindak.
Objek ilmu pendidikan ialah proses-proses situasi
pendidikan.
4. Brodjonegoro menjelaskan bahwa ilmu pendidikan
adalah

teori

pendidikan,

perenungan

tentang

pendidikan. Dalam arti yang luas pedadogi adalah


ilmu pelajaran yang mempelajari soal-soal yang
timbul dalam praktik pendidikan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat adanya
penekanan yang sama bahwa ilmu pendidikan adalah
ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah-masalah
yang berhubungan dengan pendidikan. Ilmu pendidikan
membicarakan masalah-masalah yang bersifat ilmu,

bersifat teori, ataupun yang bersifat praktis. Sebagai ilmu


pendidikan teoritis, maka ilmu pendidikan ditujukkan
pada penyusunan persoalan dan pengetahuan sekitar
pendidikan

secara

penyusunanteori,

ilmiah,

bergerak

dari

dan

penyusunan

praktik
sistem

pendidikan.Ilmu pendidikan termasuk ilmu pengetahuan


empiris, rohani, normatif yang diangkat dari pengalaman
pendidikan kemudian disusun secara teoritis untuk
digunakan secara praktis (Kadir dkk, 2012: 63)
1.2 Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu Normatif
Ilmu pendidikan selalu berhubungan dengan
siapa manusia itu?

Pembahasan tentang siapakah

manusia itu biasanya termasuk ranah filsafat, yaitu


filsafat antropologi. Pandangan filsafat manusia sangat
besar

pengaruhnyaterhadap

konsep

serta

praktik

pendidikan, karena pandangan filsafat itu menentukan


nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang
pendidik atau lembaga atau bangsa yang melaksanakan
pendidikan. Nilai-nilai luhur ini dijadikan norma untuk
menentukan ciri-ciri itu secara normatif bersumber dari
norma masyarakat, norma filsafat, dan pandangan hidup,
juga dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh

seseorang. Dengan demikian, ilmu pendidikan diarahkan


kepada perbuatan mendidik yang mempunyai tujuan.
Tujuan itu telah ditentukan oleh nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat atau bangsa. Selanjutnya nilai itu
sendiri merupakan ukuran yang bersifat normatif,
sehingga dapat ditegaskan bahwa ilmu pendidikan
adalah yang bersifat normatif.
1.3 Ilmu Pendidikan sebagai ilmu yang bersifat Teoritis
dan Praktis
Ilmu

pengetahuan

tidak

hanya

mencari

pengetahuan deskriptif tentang objek pendidikan, tetapi


juga ingin mengetahui bagaimana sebaiknya untuk
memperoleh manfaat terhadap objek didiknya. Jika
dilihat dari maksud dan tujuannya, ilmu pendidikan
dapat disebut ilmu praktis sebab ditujukkan kepada
praktik dan perbuatan-perbuatan yang memengaruhi
anak didik. Walaupun ilmu pendidikan ditujukan kepada
praktik pendidikan, namun untuk mendalami kajian
bagaimana praktik mendidik itu dilaksanakan diperlukan
suatu teori (ilmu teori) agar dapat dijadikan landasan
dalam mencari kebenaran melalui praktik (ilmu praktis),
seperti

teori

nativisme,

teori

naturalisme,

teori

empirisme, teori konvergensi. Hasil yang didapat


merupakan kajian yang sistematis, terarah, dan empirik.
Ilmu pendidikan lahir dan berkembang setelah praktik
pendidikan berlangsung lama sehingga tampilan ilmu
pendidikan sebagai ilmu masih belum final. Itu berarti,
ilmu pendidikan masih dalam proses membentuk jati
diri.
1.4 Pendidikan sebagai Upaya Sadar
Pendidikan sebagai upaya

sadar

untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia


menurut

Muhajir

(dalam

Kadir

dkk,2012:

65),

pendidikan berfungsi:

Menumbuhkan kreatifitas peserta didik,


Menjaga kelestarian nilai-nilai insani dan ilahi,
Menyiapkan tenaga-tenaga kerja produktif, dan
Memiliki metode
1.5 Pendidikan sebagai sebuah Ilmu
Sebagai sebuah ilmu, ilmu pendidikan juga memiliki
metode. Menurut Soedomo (dalam Kadir dkk,2012: 65),
metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan meliputi:

metode normatif, yaitu metode penentuan konsep


manusia

yang

diidealkan

menyangkut nilai baik dan buruk,


metode eksplanatori, yaitu
mengetahui

kondisi

dan

oleh

pendidikan

metode

untuk

kekuatan

yang

memengaruhi keberhasilan proses pendidikan,


metode teknologis, yaitu metode yang berfungsi
mengungkapkan cara agar berhasil mencapai tujuan
dengan mudah,
metode deskriptiffenomenologis, yaitu metode
untuk

memengaruhi

dan

mengklarifikasi

kenyataan ditemukan hakikatnya,


metode hermeneutis, yaitu metode

untuk

memehami kenyataan pendidikan secara konkrit


dan historis agar makna dan struktur pendidikan
menjadi jelas, dan
metode analitis kritis, yaitu metode yang
digunakan untuk menganalisi secara kritis istilahistilah, pernyataan-pernyataan, konsep dan teori
pendidikan.
. Filosofi Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban

bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan


kehidupan

bangsa,

bertujuan

untukberkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang


beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa ,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab Pasal 2 disebutkan bahwa
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU ini merujuk kepada dua halyakni fungsi atau peran
pendidikan Indonesia, yakni :
1. Mengembangkan kemampuan bangsa.
2. Membentuk watak dan peradaban bangsa.
Fungsi

pendidikan

adalah

mengembangkan

kemampuan bangsa. Pendidikan tidak sekedar transfer


of knowledge/ science, laksana menuang air ke dalam
ember tetapi juga memicu dan memacu potensi unik
pada peserta didik, sehingga terwujud aktualisasi diri
mereka yang matang. Pada akhirnya mereka mampu

mengaplikasikannya

demi

kesejahteraan

Pendidikan

umat.

kepentingan
juga

dan

berfungsi

membentuk watak dan kepribadian bangsa yang


berdasarkan Pancasila dan UUD 45. (Nuraeni, 2011:
48)
Mengenai Pancasila sebagai filosofi pendidikan
nasional hendaknya penerapannya ke dalam pendidikan
nasional tidak mengutamakan tujuan sosial politik
semata.

Sungguh

pendidikan

anak

bangsa

amat

memerlukan penafsiran filsafat hidup-sosial untuk


jangka panjang. Untuk itu Pancasila amat perlu
dikembangkan sebagai filsafat hidup-sosial seperti
dicontohkan oleh negarawan dwi tunggal SoekarnoHatta serta beberapa tokoh negarawan di negeri inipada
masa lalu. Pada waktu dulu jauh sebelum arus
globalisasi dan konsumerismemelanda seluruh dunia,
masyarakat kita masih menghargai cita-cita idealisme
dan spiritualisme dengan memadai.
Pada masa sekarang amat diperlukan para aktivis
dan pemikir yang memperjuangkan perumusan filsafat
hidup-sosial Pancasila agar hal tersebut dilaksanakan
secara

aktual

lebih

relavan

dengan

kehidupan,

kemanusiaan serta kebijakan negara dan pemerintahan


(Rasyidin, W, 2009: 29)
Pendidikan juga berfungsi membentuk watak dan
kepribadian manusia sebagai ciri bangsa yang beradab.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang memiliki nilainilai luhur universal sebagaimana tercantum dalam
uraian tentang konsep pendidikan yang berfalsafahkan
Pancasila, yakni cinta Tuhan dan alam semesta beserta
isinya, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, hormat
dan santun, cerdas, pantang menyerah, adil dan mampu
memimpin, rendah hati, toleransi, cinta damai, cerdas
(IQ,EQ,SQ) , rela mengubah diri dan mampu mengubah
lingkungan demi kesejahteraan umat.
Khusus tentang toleransi, cinta damai, jujur, dan
persatuan, kini bangsa Indonesia sedang menggali dan
menggalakkan kembali nilai-nilai budaya kearifan lokal.
Karena toleransi, cinta damai dan persatuan adalah ciri
khas budaya bangsa Indonesia di masa lalu. Nilai-nilai
ini kini memudar bahkan mengalami keruntuhan, dan
terjadilah konflik-konflik horizontal di beberapa daerah
seperti di Poso, Ambon, Aceh, Papua, dan lain-lain. Juga
berkembang konflik individu, tindak kekerasan serta

tingkat korupsi yang luar biasa di negeri ini ( Nuraeni,


2011: 49)

DAFTAR PUSTAKA
Kadir, Abdul dkk. 2012. Dasar-dasar Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nuraeni, M. Nurjaman. 2011. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Unindra Press.
Rasyidin, Waini. 2009. Filsafat Pendidikan dalam Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial
Bhakti Utama.
Sadulloh, Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik).
Bandung: Alfabeta.

PENGERTIAN, JENIS-JENIS, DAN


FUNGSI LANDASAN ILMU
PENDIDIKAN

Oleh :
Abdul Rahman
Nurul Fitri Aprilya
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UHAMKA
2016

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian penting dalam
kehidupan manusia, sekaligus membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Pendidikan tidak hanya
terkait dilingkungan sekolah, namun juga dilakukan
dalam setiap kehidupan. Di dalam sebuah pendidikan
ada istilah mengajar dan mendidik. Memacu pendidikan
yang baik dengan mengajar dan mendidik memerlukan
sebuah acuan. Acuan tersebut dikenal dengan landasan
pendidikan.
Landasan pendidikan sangat diperlukan dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam sebuah negara.
Pendidikan yang sedang berlangsung di dalam sebuah
negara memiliki pondasi atau pijakan yang berbeda.
Dalam negara Indonesia, diperlukan landasan pendidikan
berupa landasan agama, landasan filosofi, landasan
hukum, landasan psikologis, dan landasan sejarah.

B. Pengertian Landasan Pendidikan


John

Dewey

mengemukakan

bahwa

(dalam

hasbullah,

pendidikan

adalah

2013:2)
proses

pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara

intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama


manusia.
Menurut Driyarkara (1950: 74) pendidikan ialah
pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia
muda ketaraf insani.
Berdasarkan pengertian dari kedua tokoh ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
kegiatan yang dilakukan secara sadar yang berlangsung
sepanjang hayat dari segi pikiran maupun jasmani untuk
membentuk suatu kepribadian yang berlangsung dengan
alam maupun masyarakat.
Landasan pendidikan tergolong ke dalam jenis
yang bersifat konseptual. Landasan yang bersifat
konseptual pada dasarnya identik dengan asumsi, yaitu
suatu gaagasan, kepercayaan, prinsip, pendapat atau
pernyataan yang sudah dianggap benar untuk dijadikan
titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi)
dan dalam rangka bertindak (melakukan suatu praktik).
Suhartono (2008) mengatakan untuk berbicara
mengenai landasan, pijakan atau hakikat dari sesuatu hal,
kita

bisa

memakai

pendekatan

Aristoteles

yang

menyatakan bahwa setiap yang ada mempunyai 10

kategori. Kita akan menguraikan hakikat pendidikan dari


10 kategori itu.
a. Setiap hal mempunyai substansi atau dirinya sendiri.
Menelaah

pendidikan

dalam

substansinya

sendiri.Pendidikan adalah proses timbal balik dari


tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya
dengan alam semesta dan isinya. Pendidikan adalah
sebuah pergerakan, proses dan perkembangan.
b. Setiap hal berada dalam kualitas atau sifatnya
sendiri. Pendidikan bisa dikatakan sebagai seni
(mengikuti karakteristik individu), bisa dikatakan
sebagai profesi (mensyaratkan adanya keahlian
spesifik).
c. Setiap hal berada dalam relasi (hubungan dengan
yang lain). Pendidikan terkait dengan kondisi sosial,
budaya, ilmu psikologi, saraf, dan kinesiologi.
d. Setiap hal mempunyai aksi. Artinya, sesuatu itu
mempunyai

peran

dalam

predikat

tertentu.

Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk


mengembangkan potensinya.
e. Setiap hal berada di dalam passion atau derita atas
tindakannya. Dengan ditemukannya aksara oleh
bangsa Sumeria, maka berlangsunglah peradaban,

dan penciptaan teknologi. Namun kini dipertanyakan


lagi bahaya penghancuran bumi, kesenjangan sosial,
perubahan perilaku.
f. Setiap hal berada di dalam ruang. Pendidikan bisa
bersifat spesifik mengikuti tempat ia berada.
g. Setiap hal berada di dalam tempo (waktu tertentu).
Kurikulum pendidikan Indonesia, misalnya, berubah
dari masa ke masa.
h. Setiap hal berada dalam situs atau keadaan tertentu.
Misalnya, UNESCO membuat Komisi Internasional
Tentang Pendidikan untuk Abad XXI. Istilah
Pendidikan untuk Abad XXI menunjukkan keadaan
tertentu dari pendidikan (UNESCO Publishing).
i. Setiap hal berada di dalam habitus atau kebiasaan
tertentu. Pendidikan mempunyai kebiasaan, yaitu
harus diulang.
Dari penjabaran tentang pendidikan di atas,
dapatlah dipahami bahwalandasan pendidikan adalah
keseluruhan unsur yang secara mutlak bersama-sama
menentukan adanya pendidikan sebagaimana diripribadinya sendiri, dan mempunyai potensi.
C. Jenis-jenis Landasan Pendidikan

Menurut Abdul Kadir (2012: 94-97) berdasarkan


sumbernya,

jenis

landasan

pendidikan

dapat

dikelompokkan menjadi beberapa, yakni:


1. Landasan Agama (Religius)
Landasan agama merupakan landasan yang paling
mendasar dari landasan-landasan pendidikan, sebab
landasan agama merupakan landasan yang diciptakan
oleh Allah SWT. Pada landasan agama terdapat tuntunan
untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat, sebagaimana pada Hadist Nabi Muhammad
SAW, artinya Barang siapa menginginkan kebahagiaan
dunia, maka dengan ilmu.Dan barang siapa yang
menginginkan kebahagiaan akhirat, maka dengan ilmu.
Dan barang siapa menginginkan keduanya (kebahagiaan
dunia dan akhirat), maka dengan ilmu.

2. Landasan Filosofi
Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan
bermasyarakat sudah memiliki gambaran dan cita-cita
yang mereka kejar dalam hidupnya, baik secara individu
maupun secara kelompok. Gambaran dan cita-cita itu
makin

lama

makin

berkembang

sesuai

dengan

perkembangan budaya mereka. Gambaran dan cita-cita


itu yang mendasari adat istiadat suatu suku atau bangsa,
serta norma dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Demikian pula pendidikan yang berlangsung disuatu
suku atau bangsa tidak terlepas dari gambaran dan citacita. Hal ini yang memotivasi masyarakat untuk
menekankan aspek-aspek tertentu pada pendidikan
supaya memenuhi gambaran dan cita-cita mereka.
3. Landasan Hukum (Yuridis)
Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundangundangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di
negara didasarkan pada perundang-undangan tersebut.
Apabila terdapat suatu tindakan yang bertentangan
dengan

perundangan

itu,

dikatakan

tindakan

itu

melanggar

hukum.

Negara

Republik

Indonesia

mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan


yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945,
undang-undang, peraturan pemerintah, ketetapan sampai
dengan surat keputusan. Semuanya mengandung hukum
yang patut ditaati.
Landasan dalam hukum berarti melandasi atau
mendasari atau titik tolak. Landasan hukum seorang
guruboleh mengajar misalnya adalah adanya surat
keputusan tentang pengangkatannya sebagai guru. Hal
yang melandasi atau mendasari guru menjadi guru
adalah surat keputusan itu beserta hak-haknya.
4. Landasan Psikologis
Psikologis merupakan ilmu jiwa, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang jiwa manusia. Jiwa atau psikis
dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia
yang selalu berada dan melekat pada manusia itu sendiri.
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan
jasmani, jiwa balita baru berkembang sedikit sekali
sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan
sederhana

sekali.

Makin

besar

anak

itu

makin

berkembang pula jiwanya dengan melalui tahap-tahap


tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik
dari segi kejiwaan (psikis) maupun dari segi jasmani.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa
landasan

psikologis

pendidikan

harus

mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik,


peserta didik harus dipandang sebagai subjek pendidikan
yang

akan

berkembang

sesuai

dengan

timgkat

pertumbuhan dan perkembangan mereka. Pendidikan


harus akomodatif terhadap tingkat perkembangan dan
pertumbuhan mereka.
5. Landasan Sejarah
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan
segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari
oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah mencakup segala
kejadian dalam alam ini, termasuk hal-hal yang
dikembangkan oleh budi daya manusia. Sejarah penuh
dengan informasi yang mengandung kejadian pada masa
lampau. Landasan sejarah dapat dijadikan tumpuan
pendidikan mengenai suatu pengalaman, dari landasan
sejarah, seseorang dapat belajar mengenai pengalaman

yang pernah dialaminya sehingga dapat diterapkan untuk


dijadikan sebuah pelajaran hidup.
D. Fungsi Landasan Pendidikan.
Dalam praktik pendidikan, para guru dituntut agar
melaksanakan dan menerapkan peranannya sebagai
semboyan Tut Wuri Handayani. Untuk itu para guru
idealnya harus memahami dan meyakini asumsi-asumsi
dari semboyan tersebut.
Tirtaraharja (dalam Abdul Kadir, 2012: 112)
menyatakan asas tut wuri handayani pada awalnya
merupakan salah satu dari Asas 1922, yakni tujuh
buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa yang
didirikan pada 3 juli 1922. Sebagai asas pertama, tut
wuri handayani merupakan inti dari sistem pamong dan
perguruan. Asas tut wuri handayani yang disampaikan
oleh Ki Hadjar Dewantara mendapat tanggapan positif
dari Drs. R. M. Pung Tulada dan Ing Madya Mangun
Karsa. Ketiga semboyan tersebut telah menjadi satu
kesatuan asas, yakni:

Ing ngarsa sung tulada (Jika di depan, menjadi

contoh)
Ing madya mangun karsa (jika di tengah,

membangkitkan motivasi)
Tut wuri handayani (jika

di

belakang,

mengikuti dengan awas)


Dilihat dalam hal ini, fungsi landasan pendidikan
adalah sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktik
pendidikan dan studi pendidikan. Landasan pendidikan
memiliki

fungsi

bagi

para

pendidik,

tenaga

kependidikan, dan para ahli pendidikan, yakni:


1. Bagi

pendidik,

landasan

pendidikan

berfungsi

sebagai titik tolak acuan dalam rangka melaksanakan


tugas profesionalnya, merencanakan, melaksanakan,
dan mengevaluasi pendidikan. Oelh karena itu,
sebagai seorang pendidik perlu mengetahui dan
memahami landasan pendidikan yang terarah dalam
melaksanakan pendidikan.
2. Bagi tenaga kependidikan, landasan pendidikan juag
berfungsi sebagai tempat berpijak atau dasar dalam
melaksanakan
mengembangkan

tugas

profesionalnya,

kurikulum,

seperti

melaksanakan

penelitian dan pengembangan pendidikan, dan

mengelola pendidikan baik dalam lingkup mikro


maupun makro. Fungsi landasan pendidikan bagi
tenaga

kependidikan

pengembangan

juga

wawasan

bertuju

kependidikan,

kepada
yaitu

berkenaan dengan berbagai asumsi yang bersifat


umum tentang pendidikan yang harus dipilih dan
diambil oleh tenaga kependidikan sehingga menjadi
cara

pandang

dan

bersikap

dalam

rangka

melaksanakan tugasnya untuk memberikan dasar


rujukan konseptual pada praktik pendidikan dan studi
pendidikan.
E. Kesimpulan
Manusia dan pendidikan merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan karena sejak manusia lahir telah
diajarkan pendidikan yang mendasar oleh kedua orang
tuanya maupun orang-orang disekitarnya hingga akhir
hayatnya.Selain itu, peran guru sebagai pendidik di
sekolah harus memahami fungsinya dengan baik karena
sebagai

guru

bukan

hanya

mengajar

untuk

menyampaikan suatu ilmu tetapi juga mendidik,


mengarahkan dan memotivasi anak didiknya untuk

menggapai prestasi tanpa melupakan norma-norma


kehidupan dan juga guru harus memahami mengenai
fungsi landasan pendidikan tersebut yang menerapkan
asas Tut Wuri Hadayani.

F. Saran
Dalam hidup, kita dianjurkan untuk menggapai ilmu
sampai akhir hayat karena ilmu merupakan sesuatu hal
yang dapat dikembangkan dan diterapkan ke dalam
kehidupan

sehari-hari.

Oleh

karena

itu,

untuk

mendapatkan ilmu manusia bisa belajar dari sebuah


proses yang dinamakan pendidikan. Dalam pendidikan
manusia dapat mencapai kehidupan yang seutuhnya, di
mana dengan pendidikan manusia bisa belajar dalam
sebuah proses pengalaman hidup, selain itu pun
berkaitan dengan religi di mana kita tidak lupa akan
penciptaa kita. Dengan demikian, kita akan menjadi
manusia yang seutuhnya menerapkan pendidikan dalam
kehidupan sehari-hari sampai akhir hayat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Rulam. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014.
Driyarkara.1950. Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan
Kanisius.
Hasbullah. 2013. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Kadir, Abdul. 2012. Dasar-dasar Pendidikan. Jakarta:
Kharisma Putra Utama.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
UNESCO. 2002. Pendidikan untuk Abad XXI. Penerj.
W.P. Napitupulu. Jakarta: Komnas Indonesia
untuk Unesco, Departemen Pendidikan Nasional.

ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN :


NATIVISME, EMPIRISME,
NATURALISME, KONVERGENSI

KELOMPOK 3 :
NANANG SETIABUDI
RINI SETYOWATI
SITTA NURINDAH

SEKOLAH PASCASARJANA UHAMKA


FAKULTAS BAHASA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2015/2016

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri.
Pendidikan

merupakan

aspek

membangun

karakter

manusia.

terpenting

dalam

Namun,

dalam

perkembangannya, pendidikan sering dianggap tidak


penting bahkan dianggap tidak diperlukan. Akan tetapi,
pendidikan pada waktunya menempati posisi penting
dalam kehidupan. Saat manusia sadar, bahwa pendidikan
merupakan aspek luar yang membangun keterampilan
dan kemampuan manusia lain
Aliran-aliran

pendidikan

adalah

pemikiran-

pemikiran yang membawa pembaharuan dalam dunia


pendidikan. Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan yang telah
dimulai pada zaman Yunani Kuno, dan dengan kontribusi berbagai
bagian dunia lainnya, akhirnya berkembangdengan pesatnya di
Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, baik aliran-aliran
klasik maupun gerakan-gerakan baru dalam pendidikan pada
umumnya berasal dari kedua kawasan itu. . Fase-fase tersebut
dapat terlihat dari teori-teori pendidikan yang muncul,

mulai dari teori empirisme, nativisme, naturalisme, dan


konvergensi.Pemikiran
suatu

diskusi

tersebut

berkepanjangan,

berlangsung
yakni

seperti

pemikiran-

pemikiran terdahulu selalu ditanggapi dengan pro dan


kontra oleh pemikir berikutnya, sehingga timbul
pemikiran yang baru, dan demikian seterusnya. Oleh
karena itu, setiap calon tenaga kependidikan harus
memahami berbagai jenis aturan-aturan pendidikan.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas empat teori
tersebut.
B. Pengertian Nativisme
Menurut Zahara Idris(1992:6) nativisme berasal
dari bahasa latin nativus berarti terlahir. Seseorang
berkembang berdasarkan pada apa yang dibawanya sejak
lahir. Pelopor aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (filsuf
Jerman 1788-1880) berpendapat bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk.
Aliran

nativisme

berasal

dari

kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya


memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah
membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar).

Aliran

nativisme

ini,

bertolak

dari leibnitzian

tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak,


sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan,
kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam
proses pembelajaran.
Dengan kata lain bahwa aliran nativisme
berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktorfaktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan
individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan
oleh dasar turunan, misalnya, kalau ayahnya pintar, maka
kemungkinan besar anaknya juga pintar. Para penganut
aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk.
Oleh

karena

itu,

hasil

akhir

pendidikan

ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak


lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan
pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Ditekankan bahwa yang jahat akan menjadi jahat, dan
yang baik menjadi baik. Pendidikan yang tidak sesuai
dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan
berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses
belajarnya. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada

artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam


memengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan
ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan
jahat, maka dia akan menjadi jahat. Sebaliknya, apabila
mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang
yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini
tidak dapat diubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah
Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1880). Tokoh lain
seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan
dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa
pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun
dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip
orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi
bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi,
pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor
yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor
yang

dapat

memengaruhi

pembentukan

dan

perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.


Berdasarkan pendapat tersebut jelas bahwa aliran
nativisme menganggap bahwa anak ketika lahir sudah
memiliki pembawaan dan kemampuan untuk belajar.

Anak sudah memiliki pembawaan baik dan buruk,


sehingga faktor lingkungan tidak terlalu berpengaruh
terhadap keberhasilan pendidikan. Namun, teori ini juga
tidak mengingkari jika faktor bawaan bukan satu-satunya
penentuk keberhasilan pendidikan, melainkan masih
banyak faktor-faktor lain.
C. Pengertian Empirisme
Menurut Zahara Idris (1992: 5) Empirisme
berasal dari bahasa latin dari kata empericus artinya
pengalaman.

Aliran

ini

dinamakan

juga

aliran

tabularasa, artinya meja berlapis lilin yang belum ada


tulisan di atasnya atau dengan kata lain seseorang
dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulisi.
Sedangkan

Ngalim

Purwanto

(2000:

59)

berpendapat bahwaaliran empirismebertentangan dengan


paham aliran nativisme karena dalam perkembangan
anak menjadi manusia dewasa itu tidak sama sekali
ditentukan lingkungannya atau oleh pendidikan dan
pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Dalam
pendidikan, pendapat kaum empiris ini dikenal dengan
nama optimisme pedagogis.

Empirisme

(empiri =

pengalaman),

tidak

mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa


lahir manusia. Dengan kata lain, manusia itu lahir dalam
keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran
ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik
dipengaruhi faktor lingkungan. Dalam teori belajar
mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean
Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam
perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang
diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari
dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini
berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang
dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang
filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori Tabula Rasa, yakni anak lahir di
dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman
empirik

yang

diperoleh

dari

lingkungan

akan

berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan


anak.

Dengan

demikian,

dipahami

bahwa

aliran

empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan


penting terhadap keberhasilan peserta didiknya. Menurut

Redja Mudyahardjo, aliran nativisme ini berpandangan


behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang
tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap
menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil
belajar semata-mata. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran
empirisme

ini,

adalah

lingkungan

sekitarnya.

Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan


dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Ketika
aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme dan empirisme,
dikaitkan dengan teori belajar mengajar, kelihatan bahwa
kedua aliran ini mempunyai kelemahan. Adapun
kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang
ekslusif

dengan

cirinya

ekstrim

berat

sebelah.

Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan


dengan

aliran-aliran

dalam

pendidikan,

diketahui

beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu


dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa
seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan,
sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru
lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.

Pendapat aliran nativisme ini lebih menekankan


lingkungan sebagai hal yang berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa. Nativisme beranggapan jika hasil belajar
siswa bukan bakat bawaan melainkan suatu proses
belajar melalui proses pengalaman dari lingkungan.

D. Pengertian Naturalisme
Menurut Zahara Idris (1992: 6) naturalisme
berasal dari bahasa Latin dari kata nature artinya alam,
tabiat, dan pembawaan. Aliran ini dinamakan juga
negativisme. Negativisme ialah aliran yang meragukan
pendidikan untuk perkembangan seseorang karena ia
dilahirkan dengan pembawaan yang baik. Ciri utama
aliran naturalisme dalam medidik seseorang kembalilah
kepada alam agar pembawaan seseorang yang baik tidak
dirusak oleh pendidik.
Sedangkan Ngalim Purwanto (2000: 59) bahwa
nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir.
Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini
berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak
(manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Bagaimana hasil

perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh


pendidikan

yang

diterimanya

atau

yang

memengaruhinya. Naturalisme merupakan aliran yang


menyakini

adanya

pembawaan

dan

juga

milieu

(lingkungan). Namun demikian, ada dua pandangan


besar mengenai hal ini. Pertama disampaikan oleh
Rousseau yang berpendapat bahwa pada dasarnya
manusia baik, namun jika ada yang jahat, itu karena
terpengaruh oleh lingkungannya. Kedua, disampaikan
oleh Mensius yang berpendapat bahwa pada dasarnya
manusia itu jahat. Ia menjadi manusia yang baik karena
bergaul dengan lingkungannya (Ahmadi dan Uhbiyati,
1991: 296). Dua pendapat ini jelas memiliki perbedaan
yang sangat mendasar. Satu sisi memandang sisi jahat
manusia bersumber dari lingkungan, sementara pendapat
lain menyatakan bahwa sisi jahat itu sendiri yang justru
berada pada diri manusia. Namun, jika memerhatikan
dua pendapat ini memiliki sisi kebenaran yang sama jika
ditilik dari sudut genetis. Memang, jika melihat faktor
ini. Manusia yang secara genetis tidak baik, maka ia
akan menjadi manusia yang seperti ini, begitupun
sebaliknya.

Aliran

naturalisme

senada

dengan

aliran

nativisme, jika anak lahir sudah dengan pembawaan baik


dan buruk. Nativisme juga beranggapan bahwa ketika
mendidik kembalilah ke alam agar tidak merusak
pembawaan awal seorang anak. Pembawaan anak
tersebut anak rusak ketika lingkungannya memberikan
dampak yang negatif.
E. Konvergensi
Menurut

Ngalim

Purwanto

(2000:60),

Konvergensi dipelopori oleh William Stern. Gagasan


Stern mengenai konvergensi ini didasari pada dua teori
sebelumnya,

yakni

nativisme

dan

empirisme.

Ia

berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan keduaduanya menentukan perkembangan manusia. Hal ini
dapat ditilik dalam teori konvergensi yang menyatakan
bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia itu
bergantung pada faktor bakat/pembawaan dan faktor
lingkungan, pengalaman/pendidikan. Jika diidentifikasi
teori tersebut, maka jelas bahwa unsur nativisme dan
empirisme membangun kedua teori itu. Hal itu tercermin
pada, faktor bakat merupakan gagasan teori nativisme

sedangkan

faktor

lingkungan

merupakan

gagasan

empirisme.
Sedangkan Zahara Idris (1992: 8) konvergensi
berasal dari bahasa Inggris. Asal katanya convergency
yang berarti pertemuan pada satu titik. Aliran ini
mempertemukan atau mengawinkan dua aliran yang
berlawanan antara nativisme dan empirisme.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam
proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan
maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran
yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu
anak tersebut dilahirkan tidak akan berkembang dengan
baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang baik
sesuai dengan perkembangan bakat anak itu. Sebaliknya,
lingkungan

yang

baik

tidak

akan

menghasilkan

perkembangan anak yang optimal kalau memang pada


diri anak itu tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk
dikembangkannya.

F. Kesimpulan
Aliran-aliran pendidikan klasik yaitu nativisme,
empirisme,

naturalisme,

konvergensi

merupakan

kontribusi penting dalam pendidikan. Aliran nativisme


ajarannya yang memandang manusia (anak manusia)
sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang
disebut potensi (dasar). Aliran empirisme memberikan
pendapat perkembangan anak menjadi manusia dewasa
itu tidak sama sekali ditentukan lingkungannya atau oleh
pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak
kecil.Aliran

naturalisme

berpendapat

bahwa

pada

hakikatnya semua anak (manusia) sejak dilahirkan


adalah

baik.

Bagaimana

hasil

perkembangannya

kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang


diterimanya

atau

yang

mempengaruhinya.Aliran

konvergensi menyatakan bahwa pertumbuhan dan


perkembangan manusia itu bergantung pada faktor
bakat/pembawaan

dan

pengalaman/pendidikan.

faktor

lingkungan,

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Idris, Zahara.1987. Dasar-Dasar
Padang: Angkasa Raya.

Kependidikan 1.

Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar


Pendidikan 1. Jakarta: Grasindo.
Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendikan Teoritis dan
Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

TEORI KOGNITIVISME

Oleh :
Anggi Anggraeni
Endah Widyawati
Nur Ummiati
Yulinar Kadri

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UHAMKA
2016

TEORI KOGNITIVISME
A. Pendahuluan
Untuk membahas teori kognitivisme di dalam
pendidikan, kita bahas dahulu mengenai pengertian
pendidikan.

Ada

beberapa

pendapat

mengenai

pendidikan. Dahama & Bhatnagar (dalam Ahamadi,


2014) mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses
membawa perubahan yang diinginkan dalam perilaku
manusia. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
adalah difusi sikap, informasi dan keterampilan belajar
yang

diperoleh

dari

partisipasi

sederhana

dalam

program-program yang berbasis masyarakat (La Belle


dalam Ahamadi, 2014). Richey (dalam Ahamadi, 2014)
mengatakan bahwa pendidikan berkenaan dengan fungsi
yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan
suatu

masyarakat,

terutama

membawa

warga

masyarakatnya yang baru bagi penunaian kewajiban dan


tanggung jawab di dalam masyarakat.
Dari berbagai pengertian pendidikan di atas kami
menyimpulkan

bahwa

pendidikan

terkait

dengan

perubahan perilaku manusia dari satu kondisi ke kondisi

yang lebih baik. Dalam upaya perubahan itu, terjadi


proses

adaptasi

yang

disebut

belajar.

Untuk

melaksanakan proses pembelajaran, pendidik perlu


memahami tentang teori-teori belajar, di antaranya
behaviorisme,

kognitivisme,

humanistik

dan

konstruktivisme. Dengan memahami teori belajar,


seorang pendidik dapat melakukan strategi pembelajaran
agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik.
Pada makalah ini kami berfokus pada teori
kognitivisme, sebagai salah satu dari teori belajar yang
cukup dominan di dunia pendidikan.
B. Pengertian Kognitivisme
Kognitivisme

adalah

psikologi

belajar

yang

menekankan pada kognisi atau kecerdasan sebagai


perangkat

khusus

yang

memungkinkan

manusia

membentuk hipotesis dan berkembang secara intelektual


(Feldman dalam Amsel, 1989).
Teori kognitivisme menjelaskan bagaimana belajar
terjadi dan menjelaskan secara alami kegiatan mental
internal dalam diri kita (Sukardjo, 2009: 50).

Teori

kognitivisme pada hakikatnya menjelaskan hal-hal yang

berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami


berbagai pengalaman sehingga bermakna bagi manusia.
Menurut Gagne dalam Martini Jamaris dijelaskan bahwa
proses kognisi adalah proses yang terjadi secara internal
di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang
berpikir

(Gagne,

1976:

91).

Maksudnya,

teori

kognitivisme menekankan pada peran struktur ingatan


dan pengetahuan yang telah dimiliki terhadap proses
penerimaan,

pemrosesan,

penyimpanan,

dan

pemanggilan kembali informasi yang telah ada di dalam


memori manusia.
Sependapat dengan hal di atas, Djaali yang
menyatakan bahwa kognisi mencakup studi kehidupan
mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir
dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesan
yang

masuk

melalui

indra,

pemecahan

masalah,

menggali ingatan pengetahuan, dan prosedur kerja yang


dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Djaali, 2013:
63). Berdasarkan pendapat Djaali di atas, dapat
dikatakan bahwa aliran kognitivisme meyakini bahwa
belajar adalah hasil dari usaha individu dalam memaknai
pengalaman-pengalaman

yang

berkaitan

dengan

lingkungan

di

sekitarnya.

Dengan

demikian,

pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki


seorang individu di waktu sebelumnya menjadi dasar
mempelajari pengetahuan yang baru.
Pemikiran Piaget tentang perkembangan kognisi
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lawrence
Kohlberg

(Stephan

&

Stephan,

1990).

Menurut

Kohlberg, tahap perkembangan moral seorang anak


bersifat paralel dengan keempat tahap perkembangan
kognisinya (Hanurawan, 2015: 59). Keempat tahap
perkembangan

kognisi

menunjukkan

bahwa

ada

hubungan antara yang satu dengan lainnya. Setiap tahap


perkembangan

menggambarkan

kecenderungan

pemikiran moral yang berbeda, mencakup ide-ide yang


berbeda, tentang sesuatu yang baik, dan pertimbangan
moral yang berbeda tentang melakukan suatu perilaku
yang baik.
C. Sejarah Kognitivisme
Kognitivisme lahir sebagai protes terhadap aliran
behaviorisme. Kognitivisme dan behaviorisme meyakini
bahwa reinforcement atau penguatan merupakan hal

yang

penting

dalam

belajar, akan

tetapi

dalam

penerapannya berbeda. Behaviorisme menggunakan


reinforcement

sebagai

faktor

kognitivisme

menggunakan

penguat,

sedangkan

reinforcement

sebagai

feedback atau umpan balik (Jamaris, 2013: 126). Jadi,


kognitivisme bukan sekadar menjelaskan kegiatan yang
berkaitan dengan latihan dan penguatan atau reward,
seperti

yang

menjadi

fokus

pembicaraan

pada

pendekatan behaviorisme.
Teori kognitivisme banyak digunakan dalam
dunia pendidikan. Teori kognitif memberikan penekanan
pada cara menstruktur pengetahuan yang ada di dalam
memori yang merupakan dasar operasi mental pada
waktu kegiatan berpikir berlangsung (Jamaris, 2013:
126). Oleh karena itu, banyak para pendidik yang
menerapkan pendekatan dan pembelajaran berbasis
kognitivisme yang melibatkan kemampuan kognitif dari
kemampuan yang awal hingga kemampuan yang tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai
teori kognitivisme di atas dapat disimpulkan bahwa teori
kognitivisme adalah suatu teori yang menekankan pada
pemahaman terhadap pengalaman dan pengetahuan yang

telah dimiliki seorang individu sewaktu mempelajari


pengetahuan yang baru sehingga menjadi bermakna bagi
manusia tersebut.
D. Tokoh Tokoh Kognitivisme
1. Jean Piaget
Piaget lahir di Neuchatel, Swiss pada tanggal 9
Agustus 1896. Ayahnya, Arthur Piaget adalah seorang
Profesor

Sastra

Abad

Menengah

yang

sangat

menyenangi sejarah lokal. Sementara ibunya, Rebecca


Jackson adalah seorang wanita yang cerdas dan penuh
semangat, namun menurut ibunya, dia sedikit mengidap
neoretik, kesan yang akhirnya membuat dia tertarik
dengan disiplin ilmu psikologi.
Ketika masih anak-anak, dia sangat tertarik
dengan

ilmu

pertanmanya

alam.
ketika

Dia
berusia

menerbitkan
10

tahun.

makalah
Dia

pun

menerbitkan karya ilmiah ketika masih berada di sekolah


menengah tentang Moluska. Karya tentang Moluska ini
kemudian dikenal hampir oleh semua mahasiswa di
Eropa. Mereka, para mahasiswa itu mengira penulis
makalah tersebut adalah orang dewasa.

Setelah meraih gelar doktor, pada tahun 1921


artikel pertamanya tentang psikologi kecerdasan dimuat
dalam Journal de Psychologie. Selain itu, dia pun
mendapat kesempatan mengajar di Institut J.J. Rousseau,
Jenewa. Di kampus ini, dia bersama mahasiswanya
mulai mengadakan penelitian tentang proses penalaran
anak-anak sekolah dasar. Hasil penelitian ini kemudian
menjadi buku pertama dari lima bukunya tentang
psikologi anak.
Jean Piaget sangat tertarik dengan biologi,
khususnya bidang malakologi. Namun, ketertarikannya
pada sains dan sejarah sains mengalahkan minatnya
untuk menyelidiki siput dan kerang. Karena itu, dia
semakin larut dengan penyelidikan proses pikiran yang
bekerja dalam sains. Akhirnya, dia tertarik pula untuk
menyelidiki apa sesungguhnya pikiran itu sendiri
khususnya tahap perkembangannya. Dengan sedikit
bahan-bahan

yang

penelitian-penelitian

berhasil
awalnya,

dikumpulkan
akhirnya

dalam
dia

berkesempatan menamai bidang yang jadi fokus


penelitiannya, yakni epistemologi genetik, yang berarti
studi tentang perkembangan ilmu pengetahuan manusia.

Terkait dengan penelitiannya, Jean Piaget pernah


mengatakan bahwa sejak usia balita seseorang telah
memiliki kemampuan tertentu untuk menghadapi objekobjek yang ada di sekitarnya. Kemampuan ini memang
sangat sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan
sensor-motorik, namun dengan kemampuan inilah balita
tadi

akan

mengeksplorasi

lingkungannya

dan

menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia


yang akan dia peroleh kemudian, serta akan berubah
menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan
rumit. Kemampuan-kemampuan ini disebut Piaget
sebagai Skema.
Terkait dengan penjelasan ini Piaget menjelaskan
dengan contoh berikut. Tentu seorang anak tahu
bagaimana cara memegang mainannya dan membawa
mainannya itu ke mulutnya. Dia dengan mudah dapat
membawakan skema ini. Lalu, ketika bertemu dengan
benda lain, katakanlah jam tangan ayahnya yang mahal,
dia dengan mudah dapat menerapkan skema ambil dan
bawa ke mulut terhadap benda lain tersebut. Inilah yang
disebut oleh Piaget asimilasi, yakni pengasimilasian
objek baru kepada skema lama.

Ketika anak tadi bertemu lagi dengan benda lain


misalnya sebuah bola- dia tetap akan menerapkan
skema ambil dan bawa ke mulut. Tentu skema ini tidak
akan berlangsung dengan baik karena bendanya sudah
jauh berbeda. Oleh karena itu, skema pun harus
menyesuaikan dengan objek yang baru. Inilah yang
disebut akomodasi, yakni pengakomodasian skema lama
terhadap objek baru.
Asimilasi adalah dua bentuk adaptasi, isitilah
Piaget yang barangkali mirip dengan apa yang disebut
dengan pembelajaran. Akan tetapi, Piaget mengartikan
asimilasi

dan

adaptasi

lebih

luas

dibandingkan

pembelajaran. Dia melihatnya sebagai sebuah proses


benar-benar bersifat biologis. Setiap makhluk hidup
harus beradaptasi, termasuk yang tidak memiliki sistem
saraf pun.
Cara kerja asimilasi dan akomodasi sama seperti
gerak

bolak-balik

pendulum

dalam

memperluas

pemahaman dan kemampuan kita mengolah dunia


sekitar. Keduanya bertugas menyeimbangkan struktur
pikiran dengan lingkungan, menciptakan porsi yang
sama antara keduanya. Kalau keseimbangan ini terjadi,

Anda akan mengetahui bahwa Anda sampai pada taraf


gambaran dunia yang baik. Tahap ini disebut Piaget
sebagai ekuilibrium.
Dalam penelitian terhadap anak-anak, Piaget
mencatat adanya periode di mana asimilasi lebih
dominan, periode di mana akomodasi lebih dominan,
dan

periode

di

mana

keduanya

mengalami

keseimbangan. Periode-periode ini relatif sama dengan


dalam diri setiap anak yang ia selidiki. Barulah ia
kemudian

memeroleh

ide

tentang

tahap-tahap

perkembangan kognitif yang diakui dunia sebagai


sumbangan terebsar Piaget dalam bidang psikologi.
2. Jerome Bruner
Salah satu teori perkembangan kognitif yang
terkemuka adalah teori yang dikembangkan Jerome
Bruner. Bruner dalam Jamaris berpendapat bahwa dalam
proses perkembangan kognitif, berlangsung sejalan
dengan perkembangan anak (Jamaris, 2013: 131).
Artinya,

melalui

interaksi

dengan

lingkungannya,

seorang anak secara perlahan dan terus menerus akan


mengorganisasi

pikirannya

dan

proses

ini

akan

berlangsung sepanjang perkembangan sang anak. Hal ini


disebabkan proses berpikir akan berkembang sejalan
proses belajar.
Melalui
perkembangan

penelitiannya
manusia,

Bruner

tentang

evolusi

membagi

derajat

perkembangan kognitif manusia dalam tiga tahap.


Tahapan pertama derajat perkembangan kognitif manusia
adalah enaktif. Tahap kedua adalah ikonik. Tahapan
terakhir adalah representasi simbolik.
Tahapan pertama derajat perkembangan kognitif
manusia adalah enaktif. Menurut Sukarjo, enaktif
merupakan representasi pengetahuan dalam melakukan
tindakan (Sukarjo, 2009: 53). Pada tahapan ini, seorang
anak akan membangun kognitifnya melalui pengalaman
nyata. Misalnya seorang anak mengetahui nama sebuah
benda jika makanan tersebut ditunjukkan kepadanya dan
disebutkan namanya. Jadi, sebelum seorang anak
mengetahui

nama

benda

tersebut,

anak

pasti

menyebutkan nama benda tersebut dengan kata itu.


Tahapan kedua derajat perkembangan kognitif
manusia adalah ikonik. Ikonik berkaitan kemampuan
manusia dalam menyimpan pengalaman empirik di

dalam ingatan (Jamaris, 2013: 134). Dengan demikian,


anak yang telah mencapai kemampuan ini sudah dapat
menyebutkan berbagai nama benda dan peristiwa yang
dilihatnya melalui gambar atau untuk mengekspresikan
pikirannya, anak dapat menggunakan gambar yang
dibuatnya.
Tahapan ketiga derajat perkembangan kognitif
manusia adalah representasi simbolik. Tahapan ini
adalah tahapan yang paling maju. Representasi simbolik
berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami
konsep dan peristiwa yang disajikan melalui bahasa
(Jamaris, 2013:134). Dengan demikian, seorang anak
dapat menyatakan sesuatu yang mengandung konsep dan
karakteristik konsep serta makna yang berkaitan dengan
konsep tersebut.
Berkaitan
pembelajaran,
disebutnya

dengan
Bruner

free

dunia

pendidikan

mengusulkan

discovery

learning.

teori
Teori

dan
yang
ini

menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan


baik dan kreatif jika guru member kesempatan kepada
siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep,
teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh contoh

yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi


sumbernya (Eveline Siregar dan Hartini Nara, 2011: 34).
Maksudnya, proses belajar sebaiknya berlangsung secara
induktif, bergerak dari fakta khusus dan spesifik ke arah
generalisasi.

Contohnya,

anak

diajarkan

untuk

memahami suatu konsep kebersihan maka anak


tersebut tidak perlu diberitahukan definisi kebersihan
tetapi cukup diberikan contoh contoh yang berkaitan
dengan kebersihan sehingga pada akhirnya anak tersebut
dapat menyimpulkan sendiri konsep kebersihan.
Adapun keuntungan belajar menemukan adalah
sebagai berikut:
1) Menimbulkan rasa ingin tahu siswa, dapat
memotivasi untuk menemukan

jawaban

jawaban
2) Menimbulkan

keterampilan

memecahkan

masalah secara mandiri dan mengharuskan


siswa untuk menganalisis dan memanipulasi
informasi (Eveline Siregar dan Hartini Nara,
2011: 34)

Berdasarkan keuntungan yang diungkapkan di


atas, pembelajaran kognitif Bruner dapat memotivasi
siswa untuk belajar memecahkan suatu masalah secara
mandiri.
3. Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik
jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik
dan tepat kepad asiswa (advance organizers). Dengan
demikian, akan memengaruhi pengaturannya kemajuan
belajar siswa. Advance organizers adalah konsep atau
informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. Advance organizers
dapat

memberikan

tiga

macam

manfaat:

(1)

menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi


yang akan dipelajari, (2) berfungsi sebagai jembatan
yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan
yang akan dipelajari, (3) dapat membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu,
pengetahuan guru terhadap terhadap isi pembelajaran
harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu

menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan


inklusif yang mewadahi apa yang akan memilah-milah
materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan
yang singkat dan padat serta mengurutkan materi
tersebut dalam stuktur yang logis dan mudah dipahami.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat
mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses
belajar yang bermakna. Belajar bermakna adalah belajar
yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna akan
terjadi apabila infromasi yang baru diterima pembelajar
mempunyai kaitan erat dengan konsep yang sudah ada
atau diterima oleh siswa sebelumnya dan tersimpan
dalam struktur kognitif. Namun, informasi baru ini dapat
saja

diterima

atau

dipelajari

siswa

tanpa

menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan


yang sudah ada. Cara belajar seperti ini disebut belajar
menghapal.
a.

Klasifikasi

Belajar

Ausubel

dan

Cara

Pembelajaran
Berdasarkan pandangan Ausubel ini, makna
belajar dapat diklasifikasikan ke dalam 2 dimensi.
Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi

atau materi disajikan siswa, sedangkan dimensi kedua


berhubungan dengan bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi yang diterima dengan struktur kognitif yang
sudah dimiliki. Dalam hal ini, siswa menghubungkan
atau mengaitkan informasi yang diterima dengan
pengetahuan yang telah dimiliki. Ini disebut sebagai
belajar bermakna. Siswa juga dapat mencoba-coba
menghapal informasi baru tanpa menghubungkannya
dengan

konsep

yang

telah

ada

dalam

struktur

kognitifnya. Menurutnya, belajar penerimaan tidak sama


dengan belajar hapalan. Namun, belajar penerimaan
dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan
hubungan antara konsep-konsep.
b. Struktur Kognitif
Struktur kognitif didefinisikan sebagai struktur
organisasional yang ada dalam ingatan seseorang, yang
mengintegrasikan

unsur-unsur

pengetahuan

yang

terpisah ke dalam suatu unit konseptual. Struktur


kognitif berisi konsep-konsep yang telah tersusun secara
hierarki dan tetap berada dalam kesadaran siswa.

Langkah-langkah yang dilakukan guru untuk


menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagai
berikut:
a) Pengaturan awal (Advance Organizer)
Pengaturan awal ini berisi konsep-konsep atau
ide-ide

yang

diberikan

kepada

pembelajar

yang

sesungguhnya diberikan. Ada 3 hal yang dapat dicapai


dengan menggunakan pengaturan awal ini, yaitu:
-

Pengaturan

awal

memberikan

kerangka

konseptual untuk belajar yang akan terjadi


berikutnya.
-

Dapat menjadi penghubung antara informasi


yang sudah dimiliki siswa saat ini dengan
informasi baru yang akan diterima atau dipelajari

Berfungsi sebagai jembatan penghubung antara


struktur kognitif yang lama dengan struktur
kognitif yang baru.

b) Progressive Differensial
Menurut

Ausubel,

pengembangan

konsep

berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara


menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus

sampai pada hal-hal khusus, kemudian dijelaskan


disertai dengan pemberian contoh-contoh.
c) Rekonsiliasi Integratif (Integratif Reconsiliation)
Dalam

hal

ini

guru

menjelaskan

dan

menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan


materi yang baru dengan materi yang telas dijelaskan
terlebih dahulu dan telah dikuasai siswa.
d) Konsolidasi (Consolidation)
Dalam hal ini, guru memberikan pemantapan atas
materi

pelajaran

yang

telah

diberikan

untuk

memudahkan si pembelajar memahami dan memelajari


materi selanjutnya.
d. Vygotsky
Pandangan Vygotsky tentang kognitif

berbeda

dengan Piaget, Bruner, dan Ausubel. Menurut Driscoll


dalam Jamaris mengatakan bahwa Sebagian besar para
peneliti di bidang kognitif menekankan penelitiannya
pada perkembangan tujuan kognitif

(Jamaris, 2013:

141). Hal ini berarti sebagian besar para peneliti hanya


membahas

masalah

penelitian

sebatas

bagaimana

mekanisme perkembangan kognitif sejak manusia lahir

sampai dewasa dan bagaimana proses transformasi tahap


perkembangan kognitif seorang anak hingga dewasa.
Teori Vygotsky berkaitan dengan kemampuan dalam
merekonstruksi
interaksi

berbagai

individu

pengalaman

dengan

aktual

lingkungan

hasil

sekitarnya

(Jamaris, 2013: 141). Dengan demikian, penelitian yang


dilakukan

oleh Vygotsky ini

permasalahan

yang

bertitik

berkaitan

tolak

dengan

dari
proses

perkembangan intelektual dari lahir sampai meninggal


atau proses intelektual sepanjang hayat.
Dalam membahas teori kognitif Vygotsky ada
beberapa lima hal yang perlu ditelaah. Hal pertama yang
ditelaah yaitu kognitif berkembang secara alamiah.
Vygotsky menyimpulkan bahwa perilaku kognitif tingkat
tinggi

manusia

dilakukannya

terlihat

dalam

dari

cara

memodifikasi

cara

yang

stimulus

atau

memodifikasi situasi yang berkaitan dengan masalah


yang dihadapinya dan hal ini merupakan bagian dari
proses merespons masalah yang dihadapinya dalam
rangka pemecahan masalah (Jamaris, 2013: 142).
Dengan demikian, proses kognitif manusia berkembang

secara alamiah dengan melalui proses interaksi dengan


lingkungan sekitar.
Hal kedua yang ditelaah oleh Vygotsky adalah
perbandingan Phylogenetic. Menurut Wertasch (1985)
dalam (Jamaris, 2013: 142) dijelaskan bahwa dalam
penelitiannya tentang evolusi perkembangan fungsi
kognitif manusia, Vygotsky sangat banyak menerapkan
hasil penelitian Kohler tentang Simpanse. Namun,
berbeda

dengan

Kohler,

Vygotsky

menggunakan

manusia sebagai subjek penelitian, yaitu buruh yang


bekerja dan terikat dalam ikatan buruh. Ikatan tersebut
memengaruhi bagaimana cara buruh itu berpikir,
bertindak serta berkomunikasi. Vygotsky mengemukakan
bahwa perkembangan biologis dan kultural manusia
berjalan seiring dan tidak terpisah (Jamaris, 2013: 142).
Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa setiap
faktor yang berkaitan dengan sosial dan kultural akan
memengaruhi perkembangan kognitif manusia.
Hal ketiga yang ditelaah oleh Vygotsky adalah
sejarah perkembangan sosio-kultural. Vygotsky (1978)
dalam Jamaris mengemukakan bahwa perkembangan
fungsi budaya pada anak terjadi dalam dua fase, yaitu

interaksi sosial yang terjadi pada lingkungan sosial di


sekitar anak (interpsychological process) dan interaksi
sosial yang terjadi dalam diri anak (intrapsychological
process) (Jamaris, 2013: 142). Dengan kata lain,
interaksi sosial memberikan kesempatan secara luas
untuk

menumbuhkembangkan

kemampuan

kognitif

seseorang.
Berkaitan dengan perkembangan sosio kultural,
Vygotsky juga mengemukakan bahwa interaksi sosial
berfungsi sebagai perantara budaya yang berlangsung
dalam komunikasi interpersonal antara anak dengan
orang dewasa atau teman sebayanya (Jamaris, 2013:
142).

Artinya,

proses

interaksi

sosial

akan

mengembangkan mental tingkat tinggi manusia melalui


kebiasaan-

kebiasaan

dan

cara

berpikir

yang

diungkapkan dalam bentuk bahasa lisan dan tertulis serta


simbol simbol yang bermakna tertentu dalam
kebudayaannya.
Hal keempat yang ditelaah oleh Vygotsky adalah
zone of proximal development atau ZPD. Vygotsky
mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara kemampuan
yang dikuasai yang tercermin dari kemampuan dalam

memecahkan masalah secara mandiri dan kemampuan


yang sedang berkembang dan membutuhkan pertolongan
melalui interaksi sosial, yang dapat dilihat dari
kemampuan anak dalam memecahkan masalah dengan
bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang telah
memiliki kemampuan tersebut (Vygotsky, 1978: 86).
Dengan demikian, seorang anak yang berada di wilayah
ZPD untuk tugas tugas tertentu memerlukan bantuan
atau scaffolding kareana tanpa scaffolding siswa
dikhawatirkan

mengalami

kesulitan

dalam

menyeleseikan tugas tersebut.


Scaffolding adalah proses yang perlu dilakukan
oleh pendidik atau teman sebaya yang memiliki
kompetensi dalam membantu anak untuk menyeleseikan
tugas tugas yang harus dilakukannya (Jamaris, 2013:
142). Dapat dikatakan, scaffolding berfungsi sebagai
bantuan yang diberikan kepada seorang anak untuk
mengkonstruksi
dikembangkannya.

kemampuan

yang

sedang

e. Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan
taksonomi untuk domain kognitif. Taksonomi adalah
metode untuk membuat urutan pemikiran dari tahap
dasar ke arah yang lebih tinggi dari kegiatan mental
dengan enam tahap, yaitu pengetahuan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Syah, 2008: 77).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pemikiran
seorang manusia diawali dari suatu konsep sederhana
hingga menjadi konsep yang lebih kompleks.
f. Kurt Lewin
Teori belajar cognitive field menitikberatkan
perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial, karena
pada hakikatnya masing-masing individu berada di
dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis,
yang

disebut

life

space.

Life

space

mencakup

perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi,


misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan yang
dimiliki dan objek material yang dihadapi (Dalyono,
2005:75). Teori ini menunjukkan bahwa kepribadian

seseorang dapat dibentuk dari lingkungan tempat ia


berada. Jika seseorang berada dalam lingkungan yang
bebas,

maka

dengan

bebas

pula

ia

dapat

mengekspresikan dirinya. Namun sebaliknya, jika ia


berada dalam lingkungan yang tertutup, maka ia akan
menjadi pribadi yang menutup diri.

E. Kognitif dan Proses Penerimaan Informasi


Pemrosesan informasi merupakan salah satu
bentuk pendekatan kognitivisme. Menurut Kail dan
Bisanz (1992) dalam Jamaris menjelaskan seluruh proses
penerimaan informasi melibatkan aktivitas kognitif, yang
mencakup proses perseptual, proses mencari dan
mengorganisasi, merespon serta menyimpan informasi
dalam ingatan jangka panjang (Jamaris, 2013: 128).
Pendapat Kail dan Bisanz tersebut dapat diuraikan
bahwa pemrosesan informasi berkaita dengan cara
individu untuk memproses informasi yang diterimanya
dari lingkungannya, proses mengirimkan informasi
tersebut ke dalam pikirannya, mengolah dan menyimpan
informasi menjadi ingatan, mentransformasikan serta

memanggil kembali informasi yang telah disimpan


dalam ingatan dan menjadikannya ingatan aktif yang
diguanakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
individu tersebut.
F. Kesimpulan
Pendidik perlu mengetahui teori belajar untuk
Kognitivisme merupakan salah satu teori belajar agar
dapat melakukan strategi yang tepat dalam proses
pembelajaran. Salah satu teori belajar itu adalah
kognitivisme. Teori ini merupakan gugatan terhadap
behaviorisme yang hanya mendasarkan pada hal kasa
mata, tetapi tidak melihat sisi mental.
Tokoh-tokoh dalam teori ini di antaranya adalah
Piaget, Ausubel, Bloom, dan lain-lain.
Meskipun muncul teori baru, teori ini dianggap
masih dapat menjawab masalah pendidikan hingga saat
ini.

Daftar Pustaka
Ahmadi, Rulam. 2014. Pengantar Pendidikan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Amsel, Abram. 1989. Behaviorism,
Neobehaviorism, and Cognitivism in
Learning Theory: Historical and
Contemporary Perspectives. Lawrence
Erlbaum Associates. Hillsdale, NJ:
Djaali. 2013.
Aksara.

Pikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT


Rineka Cipta
Hanurawan, Fattah. 2015. Psikologi Sosial. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya
Jamaris, Martini. 2013. Orientasi Baru dalam Psikologi
Pendidikan. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Siregar, Eveline & Hartini Nara. 2011. Teori Belajar dan
Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Sukardjo. 2009. Landasan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Teori Konstruktivisme
Dosen Pengampu : Prof. Dr.Yoce Aliah Darma, M.Pd

Disusun :
Anissa Riadiyanti
Dessy Octaviani
Kokoh Taufan Setiawan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN


SASTRA INDONESIA
SPS UHAMKA
JAKARTA
2016

A. Pendahuluan
Belajar adalah sebuah proses yang
terjadi

pada

manusia

dengan

berpikir,

merasa, dan bergerak untuk memahami


setiap kenyataan yang diinginkannya untuk
menghasilkan

kecakapan

pengetahuan,

sebuah

atau
perilaku,

pengetahuan, atau teknologi atau apapun


yang berupa

karya

dan karsa

manusia

tersebut untuk menjadi yang lebihbaik ke


depan. Belajar berarti sebuah pembaharuan
menuju pengembangan diri individu agar
kehidupannya
sebelumnya.

bisa

lebih

Belajar

pula

baik
bisa

dari
berarti

adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi


seorang

manusia

tersebut.

Berpijak

Konstruktivisme
pengetahuan

dengan
dari

pandangan

berkembang.
dan

lingkungan
itu

Dasarnya

keterampilan

siswa

diperoleh dari konteks yang terbatas dan


sedikit

demi

sedikit.

Konstruktivisime

merupakan

proses

menerangkan

pembelajaran

bagaimana

yang

pengetahuan

disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur


konstruktivisme

telah

lama

dipraktikkan

dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran


di peringkat sekolah, tetapi tidak begitu
ditekankan.

Menurut

paham

dari

aliran

konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah


tidak boleh dipindahkan dari guru kepada
siswa/anak didik dalam bentuk yang serba
sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang
pengetahuan menurut pengalaman masing
masing.
Pembelajaran

dalam

konteks

Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha


murid itu sendiri dan guru tidak boleh
belajar untuk murid sesuai dengan prinsip
Student centered bukan teacher centered.
Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan
sekolah

ialah

satu

skema

yaitu

suatu

aktifitas mental yang digunakan oleh murid

sebagai

bahan

mentah

bagi

proses

renungan dan pengabstrakan dalam proses


pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan
menghadapi suatu realitas yang berwujud
secara terasing dalam lingkungan sekitar.
Kenyataan yang diketahui murid adalah
realitas

yang

dia

bina

sendiri.

Murid

sebenarnya telah mempunyai satu set ide


dan pengalaman yang membentuk struktur
kognitif

terhadap

kelanjutan

pola

pengetahuan dan pemikiran mereka. Untuk


membantu murid membina konsep atau
pengetahuan baru, guru harus memancing
struktur kognitif yang tersedia pada otak
mereka.

Apabila

istilah

baru

telah

disesuaikan dan diserap untuk dijadikan


sebagian
barulah

dari

pegangan

kerangka

baru

kuat

tentang

mereka,
sesuatu

bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal


inilah

yang

biasa

konstruktivisme.

dinamakan

dengan

B. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme


Kontruksivisme merupakan pendekatan dalam
psikologi yang berkeyakinan bahwa anak dapat
membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
tentang dunia di sekitarnya, atau dengan kata lain anak
dapat membelajarkan dirinya sendiri melalui berbagai
pengalamannya (Orientasi). Winasanjaya (2005:11)
menambahkan pengertian Kontruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
stuktur

kognitif

siswa

berdasarkan

pengalaman.

Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata,


akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai
subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang
berasal dari luar akan tetapi dikontruksi dalam diri
seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis akan tetapi
bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat dan
mengkontruksinya.
Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif
adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan
teori konstruktivisme dalam belajar adalah suatu

pendekatan dimana siswa harus secara individual


menemukan dan menstransformasikan informasi yang
kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada
dan merevisinya bila perlu (Rusman, 2012:201). Teori
konstruktivisme

didefinisikan

sebagai

pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan


mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara
stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada
pengetahuannya

sesuai

Konstruktivisme

dengan

pengalamannya.

sebenarnya

bukan

merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam


kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan
pembinaan pengalaman demi pengalaman. Demikian ini
menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi

lebih

dinamis.

Model

pembelajaran ini

dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang


lahir dari gagasan Pieget dan vigotsky.

Konstruktivisme

dianggap

sebagai

perkembangan lebih lanjut dari pandangan


psikologi kognitif Piaget maupun Vygotsky
(Sukiman,

2008:11).

Namun,

perkembangannya
kontruktivisme

menjadi

dalam

penafsiran
semakin

meluas

dalam memberikan pengertian.


Penerapannya dalam belajar menurut
Pranowo (2013:42), beberapa pandangan
kaum kontruktivis dapat dicatat sebagai
berikut.
1) Belajar merupakan proses aktif dalam
mengkonstruk makna, baik dalam bentuk
teks, dialog, pengalaman fisis, maupun
bentuk lainnya.
2) Belajar bukan sekedar hubungan stimulusrespons tetapi memerlukan pengaturan
diri dan pembentukan struktur konseptual
melalui refleksi dan abstraksi.

3) Belajar

pada

dasarnya

adalah

pengembangan konsep dan pemahaman


4)

mendalam mengenai suatu objek.


Belajar lebih menekankan pada proses,
bukan hasil. Dalam arti,berpikir yang
baik lebih penting dari pada sekedar
menjawab. Berpikir dengan baik akan
dapat menemukan fenomena baru yang
akan

dapat

memecahkan

dimanfaatkan
persoalan

yang

untuk
lain.

Sementara itu, seorang pembelajar yang


sekedar

menemukan

jawaban

yang

benar belum tentu mampu memecahkan


persoalan

baru,

bagaimana

karena

tidak

menemukan

paham
cara

memecahkan persoalan tersebut.


5) Belajar pada hakikatnya adalah proses
mengkonstruk

pengetahuan

melalui

proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi


yang dimaksud adalah
yang

mampu

peresepsi, konsep,

proses kognitif

menginstegrasikan
pengalaman baru ke

dalam sturktur baru dengan rangsangan


yang baru atau memodifikasi struktur
yang

ada

sehingga

cocok

dengan

rangsangan yang ada.


6) Belajar merupakan proses terus-menerus
dalam arti setiap menghadapi persoalan
yang

baru

berdasarkan

akan

dikonstruk

pengetahuan

yang

kembali
sudah

dimiliki agar terbentuk pengalaman baru


yang lain.
7) Hasil belajar seseorang tergantung pada
apa yang sudah diketahui sebelumnya
yang

diwujudkan menjadi pengetahuan

baru.
C. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Dalam

kaitannya

dengan

prinsip

belajar di atas menurut Pranowo (2013:43),


pembalajaran yang konstruktivitis memiliki
ciri sebagai berikut .

1)

Selama

belajar,

membangun

sendiri

pembelajaran

pemahaman-

mengenai suatu objek.


2) Selama belajar, pembelajaran
bergantung
3)

kepada

sangat

pemahaman

sudah dimiliki sebelumnya.


Proses
belajar
yang

nya

yang

bermakna

dipengaruhi oleh motivasi, konteks sosial,


perbedaan setiap individu (setiap individu
memiliki

cara

belajar

yang

berbeda

dengan individu yang lain).


4) Belajar yang bermakna mudah terjadi
melalui tugas-tugas belajar mandiri.
5) Pembelajaran yang berasal dari siswa lain
(penjelasan oleh siswa sendiri) akan lebih
mudah diserap daripada penjelasan yang
diberikan oleh guru.
6) Pembiaran belajar oleh siswa tidak cukup
tetapi harus tetao ada campur tangan
dari

guru

mengkonstruk

untuk
pengetahuan

membantu
dengan

mengarahkan dalam berinteraksi sosial.

7) Belajar secara kontruktivitis memberikan


keleluasan belajar secara aktif agar dapat
memecahkan

masalah

dengan

pendampingan oleh guru.


D. Konsep Dasar Konstruktivisme
Berikut ini merupakan beberapa konsep kunci dari
teori konstruktivisme antara lain (Suyono, 2011:111115) :
1. Siswa Sebagai Individu yang Unik
Teori

konstruktivisme

berpandangan

bahwa

pembelajar merupakan individu yang unik dengan


kebutuhan dan latar belakang yang unik pula. Dalam
teori ini tidak hanya memperkenalkan keunikan dan
kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata
mendorong, memotivasi dan memberi penghargaan
kepada siswa sebagai integral dari proses pembelajaran.
2. Self Regulated Leaner (Pembelajar yang dapat
mengelola diri sendiri )
Siswa dikembangkan menjadi seorang yang
memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang

efektif, yang sesuai dengan gaya belajarnya dan tahu


bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan itu
dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated
Leaner termotivasi untuk belajar oleh dirinya sendiri,
bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai hasil belajar
atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari
guru atau orang tuanya.
3. Tanggung jawab Pembelajaran
Dalam konstruktivisme ini berpandangan bahwa
tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini
menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses
pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan pandangan
pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung
jawab pembelajaran lebih kepada guru, sedangkan siswa
berperan secara pasif dan reseptif. Di sini para
pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari
keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia,
bahkan seandainya informasi yang tersedia tidak
lengkap.
4. Motivasi Pembelajaran

Motivasi belajar secara kuat bergantung kepada


kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri.
Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi
untuk memecahkan masalah baru, diturunkan dari
pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada
masa lalu. Maka dari itu belajar dari pengalaman akan
memperoleh kepercayaan diri, serta motivasi untuk
menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.
5. Peran Guru Sebagai Fasilitator
Jika seorang guru menyampaikan kuliah/ceramah
yang menyangkut pokok bahasan, maka fasilitator
membantu siswa untuk memperoleh pemahamannya
sendiri terhadap pokok bahasan/konten kurikulum.
6. Kolaborasi Antar Pembelajar
Pembelajar

dengan

keterampilan

dan

latar

belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan


kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi
agar mencapai pemahaman yang sama tentang kebenaran
dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik.
7. Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)

Dalam proses ini siswa diperkenalkan dulu dengan


masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan
dengan

bantuan

guru

menemukan

keterampilan-

keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan


masalah seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran
dimulai dengan pemberian dan pelatihan keterampilanketerampilan dasar dan secara bertahap diberikan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.

E. Model Pembelajaran Konstruktivisme


Salah satu contoh yang disarankan adalah
memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa,
padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan
terjadinya situasi konflik pada struktur kognitif siswa.
Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka
menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam,
padahal keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan
hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan
model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah
melalui

ketiga

tahap

dalam

pembelajaran

konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)


(Ratna Wilis Dahar, 2006:103).
1. Fase Eksplorasi
Siswa diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan
pertanyaan:
Apa yang kau ketahui tentang cacing tanah?.

Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan

tulis jika perlu).


Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan
yang sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk

merumuskan hal-hal yang tidak sesuai dengan


jawaban mereka semula
2. Fase Klarifikasi
Guru memperkenalkan macam-macam cacing dan

spesifikasinya.
Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka

tentang cacing tanah.


Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing

yang cocok untuk dikembangbiakkan.


Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan

merencanakan penyelidikan.
Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan

untuk menguji rencananya.


Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat
cacing tanah dulu dan sekarang.

3. Fase Aplikasi
Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya,
dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok

dalam diskusi kelas.


Secara
bersama-sama

siswa

merumuskan

rekomendasi

pemula

yang

untuk

para

ber-ternak cacing tanah.

ingin

Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang


perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil
pengamatannya.

F. Kesimpulan
Pada dasarnya Teori konstruktivisme diartikan
sebagai suatu pendekatan disaat siswa harus secara
individual menemukan dan menstransformasikan
informasi yang kompleks, memeriksa informasi
dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Konsep dasar konstruktivisme merupakan suatu
unsur ketika seseorang dapat membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan
informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada. Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme
bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a)
Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam
belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan
memberikan kesempatan beberapa waktu kepada
siswa untuk merespon. c) Mendorong siswa berpikir
tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif dalam
dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya.

e) Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang


dan

mendorong

terjadinya

diskusi.

f)

Guru

memberikan data mentah, sumber-sumber utama,


dan materi-materi interaktif.

DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Erlangga
Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2009.
Pranowo,

Teori

Belajar

Bahasa,

Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2014


Rusman,

Model-Model

Mengembangkan

Pada

Pembelajaran

Profesionalisme

Guru

Edisi 2, Jakarta: Rajawali Press, 2012.


Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan
Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya:
Bandung, 2011.
Wasty, Soemanto, Psikologi Pendidikan Landasan
Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1998.
Winasanjaya, Pembelajaran dalam implementasi
kurikulum

berbasis

Kencana, 2005.

kompetensi

Jakarta:

Anda mungkin juga menyukai