Disusun Oleh:
Rio Saputra
Siti Syafaah
Zahroh Nurhillal
Nadrah Sadiyah
dini menjadi fondasi bagi anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh
sebab itu, pendidikan perlu diwarnai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan,
antusiasme, empati, kesediaan untuk menerima, kesediaan untuk menolong dan
menjadikan dunia menjadi tempat yang aman dan lebih baik. (Jamaris, 2010: 4).
Berdasarkan realitas di atas maka pendidik perlu memahami teori belajar
yang
bisa
memanusia
manusia.
Sehingga
mereka
tumbuh
dengan
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam
mawujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam suatu
pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori dan belajar, secara
umum teori belajar dikelompokan dalam empat kelompok atau aliran meliputi
Teori Belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif, Teori Belajar Humanistik, dan
Teori Belajar Sibernik. Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah ini
akan membahas mengenai Teori Belajar Humanistik.
Apa hakikat Teori Belajar Humanistik? Bagaimana penerapannya menurut
para ahli? Apa Implikasinya? Siapa saja tokoh utama humanistik? Bagaimana
model pembelajarannya? Apa kelebihan dan kelemahan teori belajar humanistik?
Inilah yang akan kita bahas.
B. Hakikat Teori Belajar Humanisme
Teori belajar adalah seperangkat penyataan umum yang digunakan untuk
menjelaskan kenyataan mengenai belajar. Aplikasi teori belajar dalam situasi
pembelajaran membutuhkan kejelian dan kecermatan guru untuk menangkap
pesan-pesan yang terkandung dalam teori belajar. (Sugiarto, dkk: 2007: 89-90).
Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya (Jamaris, 2010: 225) mengatakan bahwa aliran
Humanisme dalam pendidikan merupakan aplikasi dari paham kemanusiaan yang
sangat peduli tentang keterkaitan perkembangan manusia yang manusiawi dalam
pendidikan.
berhubungan
dengan
emosi,
perasaan,
nilai,
sikap,
predisposisi
kemampuan, daya reaksi dan daya penerimaan. Perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang dapat dan tidak bisa diamati (Hamzah B. Uno, 2006: 7).
Pendekatan humanistik, lebih menekankan pada martabat kemanusiaan
pada individu yang berbeda dengan hewan dan makhluk lainnya. Menurut
pendekatan ini manusia sudah sejak awalnya mempunyai dorongan untuk
mewujudkan dirinya sebagai manusia di lingkungannya. Setiap individu
bertanggung jawab terhadap tindakannya masing-masing. Perilaku individu terjadi
karena adanya kebutuhan yang mendorong untuk mewujudkan dirinya.
(Muhammad Ali, dkk, 2007: 126-127)
Psikologi humanistik berusaha memahami tingkah laku individu dari sudut
pandang pelaku, bukan dari pengamat. Menurut aliran ini tingkah laku individu
ditentukan oleh individu itu sendiri (Mustaqin, 2012: 61). Proses belajar harus
berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini menekankan pada isi dan
proses belajar dan pada kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang
pendidikan dan proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang ideal daripada belajar apa adanya
yang biasa kita amati dalam dunia keseharian.
Aliran psikologi ini timbul sebagai reaksi dari kelemahan-kelemahan yang
ditemukan dalam aliran behavioristik dan psikoanalisis. Tokoh perkembangan
psikologi manusia ini adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Para ahli ini
menyatakan bahwa behaviorisme hanya menjelaskan tentang apa yang dilakukan
manusia, akan tetapi tidak mampu menjelaskan tentang manusia itu sendiri.
Menurut Maslow, Setiap anak, paling tidak hampir setiap anak, lahir dengan
membawa kemampuan serta kebutuhan untuk berkembang secara psikologis.
(Supratinya, 2013: 95)
Demikian juga dengan psikoanalisis, hanya dapat menjelaskan tentang
kelaianan emosi dan perilaku manusia, akan tetapi tidak menjelaskan tentang
kesehatan mental manusia. Oleh sebab itu, Aliran humanisme menekankan
pembahasannya tentang manusia pada diri manusia itu sendiri, aktualitasi diri,
kesehatan, harapan, kasih sayang atau cinta, kreatifitas, kemanusiaan, arti menjadi
seorang individu yang berarti dan pemahaman tentang hakikat pribadi manusia
serta pengalamannya. (Jamaris, 2010: 225)
Tujuan dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.(Sugihartono,
dkk, 116).
C. Humanisme Berdasarkan Pandangan Maslow
Pendekatan pendidikan berbasis humanisme merupakan pendekatan yang
dibangun berdasarkan teori psikologi humanisme yang memberikan penekanan
pada pengembangan individu sebagai manusia.Teori ini berkembang dengan pesat
sehingga melampaui perkembangan teori psikoanalisis dan teori behaviorisme.
Menurut maslow dalam Jamaris (2010: 225) bahwa Tokoh pengembang teori
humanisme melalui teori hierarki kebutuhan manusia yang memberikan
pemahaman secara komprehensif tentang self-esteem, yaitu rasa percaya pada diri
sendiri dan kemampuan untuk menghargai diri sendiri dan cara-cara yang dapat
dilakukan dalam meningkatkan self-esteem tersebut.
Abraham Maslow adalah seorang humanis
yang
memfokuskan
BSelf-NaEsymdcongtiPh
memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah
Deficit Needs
(Jamaris, 2010: 226)
kebutuhan hidup yang lebih kuat dari pada rasa lapar. Lebih detail lagi, Maslow
dalam Jamaris (2010: 227-228) menyusun kebutuhan hidup ke dalam lima lapisan
hierarki, yaitu :
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis atau physiological needs mencakup kebutuhan hidup
mendasar seperti kebutuhan terhadap oksigen, air, makanan, protein, garam, gula,
kalsium, dan mineral-mineral lainnya serta kebutuhan akan berbagai vitamin yang
diperlukan untuk beristirahat dan tidur serta terhindar dari berbagai polusi yang
ada di dalam lingkungan hidup, kebutuhan untuk membersihkan diri dan sanitasi,
kebutuhan untuk menghindarkan diri dari rasa sakit, serta kebutuhan seksual.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan rasa aman atau safety needs muncul apabila kebutuhan
fisiologis telah terpenuhi. Kebutuhan rasa aman mewujudkan diri dalam bentuk
aman dari segala keadaan yang membahayakan, perlindungan dan stabilitas sosial
serta ekonomi.Kebutuhan rasa aman juga diungkapkan dalam bentuk menciptakan
kehidupan dalam tatanan yang teratur dan nyaman. Selanjutnya, kebutuhan rasa
aman ini diungkapkan dalam bentuk kebutuhan akan perumahan yang layak
dengan lingkungan yang aman, keselamatan kerja, tunjangan pensiun yang layak
serta berbagai asuransi yang dapat digunakan untuk memenuhi rasa aman tersebut.
3. Kebutuhan untuk Dicintai dan Mencintai
Kebutuhan untuk dicintai dan mencintai atau belonging needs muncul
setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman terpenuhi.Kebutuhan ini
mewujudkan diri dalam bentuk kebutuhan untuk memiliki teman, memiliki teman
hidup, menjadi anggota masyarakat, anggota dari suatu organisasi sosial dan
kebudayaan serta organisasi olahraga.
4. Kebutuhan untuk Dihargai
Setelah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan kebutuhan untuk
dicintai dan mencintai terpenuhi maka muncul kebutuhan selanjutnya, yaitu
kebutuhan untuk dihargai atau esteem needs. Menurut Maslow, ada dua bentuk
kebutuhan esteem needs, yaitu kebutuhan tingkat rendah (low esteem) dan
kebutuhan tingkat tinggi (high esteem).
Kebutuhan untuk dihargai tingkat rendah diwujudkan dalam bentuk
kebutuhan untuk memperoleh penghargaan dari orang lain, kebutuhan untuk
memperoleh status, perhatian, kebanggaan, dan kekuasaan. Selanjutnya kebutuhan
untuk mendapatkan penghargaan tingkat tinggi mencakup kebutuhan untuk
menghargai diri sendiri yang meliputi kemandirian, kompetensi dalam bidang
tertentu, pencapaian keberhasilan, dan kebebasan.
Individu yang memiliki low self-esteem sukar untuk melepaskan diri ikatan
pertemanan atau ikatan yang terkait dengan kekuasaan dan bentuk-bentuk
keterkaitan lainnya, walaupun hal tersebut membelenggu dirinya. Individu yang
memiliki self-esteem yang tinggi memiliki kemampuan untuk membebaskan
dirinya dari berbagai ikatan yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
High self-esteem merupakan kebutuhan yang menjadi dasar munculnya
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri atau self-actualization. Pada tahap ini,
individu yang melakukan self-actualization dengan jalan yang mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya, sehingga dapat digunakan untuk menghadapi
berbagai tantangan dan peluang baru. Di samping itu, aktualisasi diri dapat pula
diwujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan untuk kepentingan sosial yang
tidak meminta imbalan karena dilakukan secara suka rela, bahkan rela
memberikan berbagai donasi besar untuk kepentingan masyarakat yang
membutuhkan bantuannya.
10
mencapai self-efficacy atau high self-esteem. Oleh sebab itu, pendidikan yang
berbasis humanisme adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan pendekatan
child-centered.
Pendekatan pendidikan yang bersifat child centered mengandung implikasi
bahwa anak bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang di tentukannya di dalam
proses pendidikan yang diikutinya dan anak mendapatkan kesempatan yang luas
dalam mengakualisasikan berbagai kemampuan yang dimilikinya. Dengan
demikian, pendidikan bertujuan mempersiapkan anak untuk memasuki kehidupan
nyata di masa dewasa kelak. Dengan kata lain, bukan membuat anak menjadi
tergantung pada reward dan punishment. Bertitik tolak pada hal tersebut maka
guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi kebutuhan belajar anak
untuk berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Oleh sebab itu, salah satu
tugas sebagai fasilitator adalah membuat anak memiliki perasaan yang baik
tentang dirinya dan berpikir positif terhadap dirinya sendiri karena kondisi
tersebut memfasilitasi kegiatan belajar yang positif bagi perkembangan anak.
E. Humanisme Berdasarkan Pandangan Carl Roger
Carl Roger (1902-1985) merupakan salah seorang tokoh humanisme yang
memandang manusia sebagai arsitek yang tangguh dalam membangun dirinya
sendiri. Roger adalah seorang ahli pertanian yang memperdalam keahliannya
dalam bidang teologi dan psikologi klinis. Berdasarkan pengalamannya sebagai
seorang therapist, Roger memandang bahwa pusat kepribadian adalah self atau
diri. Oleh sebab itu, seseorang perlu menggali dirinya sendiri agar dapat
mengetahui siapa sebenarnya dirinya. Selanjutnya, hal tersebut akan membuat
menerima dirinya sebagai mana adanya.
Client-centered therapy merupakan metode terapi psikologis yang
dikembangkan oleh Roger berdasarkan pada keyakinannya bahwa manusia dapat
menemukan kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri. Menurut Roger,
pengetahuan tentang diri sendiri dan penghargaan terhadap diri sendiri dibentuk
melalui berbagai pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya
sejak usia dini (Papalia & Olds dalam Jamaris (2010: 230). Congruence atau
11
12
tidak
memasang
topeng
dalam
penampilan
dan
13
belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran identitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Dalam praktiknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa
secara aktif dalam proses belajar (Mulyana, 2016).
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir
pasif akan tetapi justru guru harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar
bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik
mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham
betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61).
Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai berikut :
1) Merumuskan tujuan belajar yang jelas;
2) Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur, dan positif;
3) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk
belajar atas inisiatif sendiri;
4) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses
pembelajaran secara mandiri;
14
kesempatan
murid
untuk
sesuai
dengan
kecepatannya;
8) Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi
belajar siswa.
(Mulyati, 2005: 182).
H. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama
proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Hal yang
menjadi Ilmu pengetahuan merupakan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud
dalam hal ini adalah serangkaian proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai humanisme dan telah dilalui oleh peserta didik. Adapun peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik
saat guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta
didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam
belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika
yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).
15
16
Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa
dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan
pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa
humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan
komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap
perubahan yang ada.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang
memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut,
diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara
positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran
lebih menitikberatkan pada proses belajar daripada hasil belajar.
I. Model Pembelajaran Humanisme
1. Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah
yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus
asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di
Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan
oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan
afektif.
Pendidikan model ini tertumpu pada tiga hal, yaitu: menyadari diri
sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati
dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja,
tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat
manusiawi.
2. Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus.
Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar
17
dan
melakukan
akan
memperoleh
pengetahuan
dan
dasar
dari
pembelajaran
ini
berlangsung
sangat
cepat,
18
materi-materi
pembelajaran
yang
bersifat
sendiri
secara
tanggung
jawab
tanpa
norma,
disiplin,
atau
etika
yang
berlaku
19
pembentukan
dan
pendewasaan
kepribadian
siswa
Active
Learning,Quantum
Learning,
The
Accelerated Learning
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
Pedagogiana Press.
20
21
22