Anda di halaman 1dari 22

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Disusun Oleh:
Rio Saputra
Siti Syafaah
Zahroh Nurhillal
Nadrah Sadiyah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA UHAMKA
2016

TEORI BELAJAR HUMANISTIK


A. Pendahuluan
Pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan refleksi dari penerapan
nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai etika, nilai-nilai
demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan. Karena pendidikan merupakan proses
pemanusiaan manusia, dengan demikian, hal ini berarti menghormati kebebasan
peserta didik untuk menjadi dirinya sendiri. (Jamaris, 2010: 16)
Dalam pendidikan, kegiatan belajar mengajar di sekolah, penyampaian
materi pelajaran kepada siswa tidak terlepas dari teori belajar. Hal ini penting
untuk memberikan pondasi pemahaman siswa dalam mempelajari materi
selanjutnya yang lebih mendalam. Belajar adalah suatu perubahan dalam diri
siswa yang disebabkan oleh pengalaman. Teori belajar dimunculkan oleh para
psikolog pendidikan setelah mereka mengalami kesulitan untuk menjelaskan
proses belajar secara menyeluruh. (Mahmud, 2010: 73)
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Zabel dan Nigro dalam Jamaris
(2010: 269) menunjukkan bahwa anak yang mengalami kesulitan belajar adalah
anak yang beresiko tinggi untuk melakukan kenakalan remaja. Laporan statistik
selanjutnya menunjukkan bahwa 37,1 % tindakan kenakalan remaja dilakukan
oleh anak berkesulitan belajar.
Jack Canfield, Pakar masalah kepercayaan diri, melaporkan hasil
penelitian di mana seratus Anak ditunjuk untuk seorang periset selama satu hari.
Tugas periset adalah mencacat berapa banyak komentar positif dan negatif yang
diterima seorang anak dalam sehari. Penemuan Canfield adalah bahwa setiap anak
rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar
positif atau yang bersifat mendukung. Jadi, komentar negatif enam kali lebih
banyak dibandingkan komentar positif. (Deporter &Hernacki, 1999: 24)
Fakta-fakta yang menunjukkan kenakalan remaja dan masalah
kepercayaan diri ternyata dibentuk dari lingkungan pendidikan yang kurang
manusiawi bagi pembelajar. Padahal pendidikan yang dialami anak di masa usia

dini menjadi fondasi bagi anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Oleh
sebab itu, pendidikan perlu diwarnai dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan,
antusiasme, empati, kesediaan untuk menerima, kesediaan untuk menolong dan
menjadikan dunia menjadi tempat yang aman dan lebih baik. (Jamaris, 2010: 4).
Berdasarkan realitas di atas maka pendidik perlu memahami teori belajar
yang

bisa

memanusia

manusia.

Sehingga

mereka

tumbuh

dengan

sempurna.Bukankah tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk


mengembangkan dirinya, yaitu membantu

masing-masing individu untuk

mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam
mawujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam suatu
pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori dan belajar, secara
umum teori belajar dikelompokan dalam empat kelompok atau aliran meliputi
Teori Belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif, Teori Belajar Humanistik, dan
Teori Belajar Sibernik. Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah ini
akan membahas mengenai Teori Belajar Humanistik.
Apa hakikat Teori Belajar Humanistik? Bagaimana penerapannya menurut
para ahli? Apa Implikasinya? Siapa saja tokoh utama humanistik? Bagaimana
model pembelajarannya? Apa kelebihan dan kelemahan teori belajar humanistik?
Inilah yang akan kita bahas.
B. Hakikat Teori Belajar Humanisme
Teori belajar adalah seperangkat penyataan umum yang digunakan untuk
menjelaskan kenyataan mengenai belajar. Aplikasi teori belajar dalam situasi
pembelajaran membutuhkan kejelian dan kecermatan guru untuk menangkap
pesan-pesan yang terkandung dalam teori belajar. (Sugiarto, dkk: 2007: 89-90).
Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya (Jamaris, 2010: 225) mengatakan bahwa aliran
Humanisme dalam pendidikan merupakan aplikasi dari paham kemanusiaan yang
sangat peduli tentang keterkaitan perkembangan manusia yang manusiawi dalam
pendidikan.

Sebenarnya Teori belajar humanistik ini sejalan dengan tujuan pendidikan


holistik yaitu membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana
pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis, dan
humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Karena
pada hakikatnya manusia selalu menerima didikan, asal masih mempunyai roh
kesucian (kemanusiaan), atau pikiran yang sehat (Fananie, 2010: 4)
Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi
dirinya sendiri (Learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan
psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai
dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan
karakter dan emosionalnya. (Basil Bernstein dalam Ghani dan Riadi, 2012: 31)
Teori belajar humanistik juga sejalan dengan teori pendidikan personal
yang bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensipotensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik.
Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum
humanis, yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri
dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi diri (Abdul Kadir, 2012 : 142)
Pendidik harus memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap
kebutuhan kasih sayang (affective) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan
yang

berhubungan

dengan

emosi,

perasaan,

nilai,

sikap,

predisposisi

(kecenderungan khusus ke arah suatu keadaan atau perkembangan tertentu atau


kecenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman
dan norma yang dimilikinya), dan moral. (Sri, 2006: 181).
Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
manusia. Belajar bukan hanya menghafal dan mengingat, tetapi belajar adalah
suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan
sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti
perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku keterampilan, kecakapan,

kemampuan, daya reaksi dan daya penerimaan. Perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang dapat dan tidak bisa diamati (Hamzah B. Uno, 2006: 7).
Pendekatan humanistik, lebih menekankan pada martabat kemanusiaan
pada individu yang berbeda dengan hewan dan makhluk lainnya. Menurut
pendekatan ini manusia sudah sejak awalnya mempunyai dorongan untuk
mewujudkan dirinya sebagai manusia di lingkungannya. Setiap individu
bertanggung jawab terhadap tindakannya masing-masing. Perilaku individu terjadi
karena adanya kebutuhan yang mendorong untuk mewujudkan dirinya.
(Muhammad Ali, dkk, 2007: 126-127)
Psikologi humanistik berusaha memahami tingkah laku individu dari sudut
pandang pelaku, bukan dari pengamat. Menurut aliran ini tingkah laku individu
ditentukan oleh individu itu sendiri (Mustaqin, 2012: 61). Proses belajar harus
berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini menekankan pada isi dan
proses belajar dan pada kenyataanya teori ini lebih banyak berbicara tentang
pendidikan dan proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang ideal daripada belajar apa adanya
yang biasa kita amati dalam dunia keseharian.
Aliran psikologi ini timbul sebagai reaksi dari kelemahan-kelemahan yang
ditemukan dalam aliran behavioristik dan psikoanalisis. Tokoh perkembangan
psikologi manusia ini adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Para ahli ini
menyatakan bahwa behaviorisme hanya menjelaskan tentang apa yang dilakukan
manusia, akan tetapi tidak mampu menjelaskan tentang manusia itu sendiri.
Menurut Maslow, Setiap anak, paling tidak hampir setiap anak, lahir dengan
membawa kemampuan serta kebutuhan untuk berkembang secara psikologis.
(Supratinya, 2013: 95)
Demikian juga dengan psikoanalisis, hanya dapat menjelaskan tentang
kelaianan emosi dan perilaku manusia, akan tetapi tidak menjelaskan tentang
kesehatan mental manusia. Oleh sebab itu, Aliran humanisme menekankan
pembahasannya tentang manusia pada diri manusia itu sendiri, aktualitasi diri,
kesehatan, harapan, kasih sayang atau cinta, kreatifitas, kemanusiaan, arti menjadi

seorang individu yang berarti dan pemahaman tentang hakikat pribadi manusia
serta pengalamannya. (Jamaris, 2010: 225)
Tujuan dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.(Sugihartono,
dkk, 116).
C. Humanisme Berdasarkan Pandangan Maslow
Pendekatan pendidikan berbasis humanisme merupakan pendekatan yang
dibangun berdasarkan teori psikologi humanisme yang memberikan penekanan
pada pengembangan individu sebagai manusia.Teori ini berkembang dengan pesat
sehingga melampaui perkembangan teori psikoanalisis dan teori behaviorisme.
Menurut maslow dalam Jamaris (2010: 225) bahwa Tokoh pengembang teori
humanisme melalui teori hierarki kebutuhan manusia yang memberikan
pemahaman secara komprehensif tentang self-esteem, yaitu rasa percaya pada diri
sendiri dan kemampuan untuk menghargai diri sendiri dan cara-cara yang dapat
dilakukan dalam meningkatkan self-esteem tersebut.
Abraham Maslow adalah seorang humanis

yang

memfokuskan

perhatiannya pada kebutuhan manusia. Menurut Maslow, kebutuhan manusia


merupakan kebutuhan yang berjenjang dan saling mempengaruhi dalam rangka
aktualisasi diri manusia.Maslow melakukan penelitiannya tentang hierarki
kebutuhan dengan menggunakan kera sebagai objek eksperimennya. Melalui
eksperimen ini, ia menemukan bahwa kebutuhan memiliki hierarki atau jenjang
dan jenjang sebelumnya menjadi pijakan untuk mencapai jenjang berikutnya.
Misalnya, apabila seorang individu dalam waktu yang bersamaan merasa lapar
dan haus, maka ia akan memenuhi rasa hausnya dulu baru memenuhi rasa
laparnya. (Jamaris, 2010: 225-226)
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada
dua hal: (1) suatu usaha yang positif untuk berkembang dan (2) kekuatan untuk

BSelf-NaEsymdcongtiPh

melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa

individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat


hierarkis. Pada diri setiap orang terdapat berbagai perasaan takut seperti rasa takut

untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut


dengan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, seseorang juga

memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah

berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia


luar, dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri.

Abraham Maslows Heirarchi of Needs


Being Needs

Deficit Needs
(Jamaris, 2010: 226)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasa haus merupakan

kebutuhan hidup yang lebih kuat dari pada rasa lapar. Lebih detail lagi, Maslow
dalam Jamaris (2010: 227-228) menyusun kebutuhan hidup ke dalam lima lapisan

hierarki, yaitu :
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis atau physiological needs mencakup kebutuhan hidup
mendasar seperti kebutuhan terhadap oksigen, air, makanan, protein, garam, gula,

kalsium, dan mineral-mineral lainnya serta kebutuhan akan berbagai vitamin yang
diperlukan untuk beristirahat dan tidur serta terhindar dari berbagai polusi yang
ada di dalam lingkungan hidup, kebutuhan untuk membersihkan diri dan sanitasi,
kebutuhan untuk menghindarkan diri dari rasa sakit, serta kebutuhan seksual.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan rasa aman atau safety needs muncul apabila kebutuhan
fisiologis telah terpenuhi. Kebutuhan rasa aman mewujudkan diri dalam bentuk
aman dari segala keadaan yang membahayakan, perlindungan dan stabilitas sosial
serta ekonomi.Kebutuhan rasa aman juga diungkapkan dalam bentuk menciptakan
kehidupan dalam tatanan yang teratur dan nyaman. Selanjutnya, kebutuhan rasa
aman ini diungkapkan dalam bentuk kebutuhan akan perumahan yang layak
dengan lingkungan yang aman, keselamatan kerja, tunjangan pensiun yang layak
serta berbagai asuransi yang dapat digunakan untuk memenuhi rasa aman tersebut.
3. Kebutuhan untuk Dicintai dan Mencintai
Kebutuhan untuk dicintai dan mencintai atau belonging needs muncul
setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman terpenuhi.Kebutuhan ini
mewujudkan diri dalam bentuk kebutuhan untuk memiliki teman, memiliki teman
hidup, menjadi anggota masyarakat, anggota dari suatu organisasi sosial dan
kebudayaan serta organisasi olahraga.
4. Kebutuhan untuk Dihargai
Setelah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan kebutuhan untuk
dicintai dan mencintai terpenuhi maka muncul kebutuhan selanjutnya, yaitu
kebutuhan untuk dihargai atau esteem needs. Menurut Maslow, ada dua bentuk
kebutuhan esteem needs, yaitu kebutuhan tingkat rendah (low esteem) dan
kebutuhan tingkat tinggi (high esteem).
Kebutuhan untuk dihargai tingkat rendah diwujudkan dalam bentuk
kebutuhan untuk memperoleh penghargaan dari orang lain, kebutuhan untuk
memperoleh status, perhatian, kebanggaan, dan kekuasaan. Selanjutnya kebutuhan
untuk mendapatkan penghargaan tingkat tinggi mencakup kebutuhan untuk
menghargai diri sendiri yang meliputi kemandirian, kompetensi dalam bidang
tertentu, pencapaian keberhasilan, dan kebebasan.

Individu yang memiliki low self-esteem sukar untuk melepaskan diri ikatan
pertemanan atau ikatan yang terkait dengan kekuasaan dan bentuk-bentuk
keterkaitan lainnya, walaupun hal tersebut membelenggu dirinya. Individu yang
memiliki self-esteem yang tinggi memiliki kemampuan untuk membebaskan
dirinya dari berbagai ikatan yang tidak sesuai dengan prinsip hidupnya.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
High self-esteem merupakan kebutuhan yang menjadi dasar munculnya
kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri atau self-actualization. Pada tahap ini,
individu yang melakukan self-actualization dengan jalan yang mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya, sehingga dapat digunakan untuk menghadapi
berbagai tantangan dan peluang baru. Di samping itu, aktualisasi diri dapat pula
diwujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan untuk kepentingan sosial yang
tidak meminta imbalan karena dilakukan secara suka rela, bahkan rela
memberikan berbagai donasi besar untuk kepentingan masyarakat yang
membutuhkan bantuannya.

D. Aplikasi Teori Maslow dalam Pendidikan


Penerapan teori Maslow di dalam pendidikan ditekankan pada
perkembangan konsep diri anak. Apabila anak memiliki konsep diri yang baik
maka anak tersebut akan berperilaku baik pula. Konsep diri yang baik dimulai dari
pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan diri serta keyakinan bahwa
kemampuan diri dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu, belajar tidak berakhir begitu
saja atau tanpa arti, akan tetapi belajar perlu diakhiri dengan pengembangan diri.
Pengembangan diri tertinggi menurut Maslow adalah self actualization atau
aktualisasi diri. (Jamaris, 2010: 229)
Aktualisasi diri adalah ketepatan seseorang di dalam menempatkan dirinya
sesuai dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya. Aktualisasi diri merupakan
istilah yang telah digunakan dalam berbagai teori psikologi. (Wikipedia, 2016)
Anak belajar bukan karena ia dipaksa untuk belajar, akan tetapi belajar
berdasarkan keinginan untuk mengetahui sesuatu yang ada di lingkungannya. Hal
ini datang diri dalam diri anak, misalnya keinginan anak untuk mencapai
keberhasilan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan yang
diperoleh anak meupakan hadiah bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, reward
menurut humanisme adalah dari diri sendiri untuk diri sendiri. Berlainan dengan
behaviorisme, reward datang dari luar diri individu yang belajar.
Skinner memandang hadiah atau penguatan sebagai unsur yang paling
penting dalam proses belajar. (Dalyono, 2007: 32) manusia cenderung untuk
belajar suatu respon jika segera diikuti penguatan. Ia memilih istilah penguatan
daripada hadiah karena hadiah diinterprestaikan sebagai tingkah laku subjektif
yang dihubungan dengan kesenangan, sedangkan penguatan adalah istilah yang
netral. (Sri Esti Wuryani Djiwandono: 131). Oleh karena itu, menurut konsep
humanistik penguatan dari dalam lebih tinggi dan kuat dibandingkan dengan
penguatan dari luar karena bersifat rendah dan sementara.
Berdasarkan teori Maslow, perkembangan self-esteem merupakan hal yang
penting. Anak yang berpandangan baik tentang dirinya memiliki self-esteem yang
tinggi. Keadaan ini menjadi pendorong bagi anak dalam menentukan tujuantujuan yang akan dicapainya. Selanjutnya, hal ini akan menjadi dasar untuk

10

mencapai self-efficacy atau high self-esteem. Oleh sebab itu, pendidikan yang
berbasis humanisme adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan pendekatan
child-centered.
Pendekatan pendidikan yang bersifat child centered mengandung implikasi
bahwa anak bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang di tentukannya di dalam
proses pendidikan yang diikutinya dan anak mendapatkan kesempatan yang luas
dalam mengakualisasikan berbagai kemampuan yang dimilikinya. Dengan
demikian, pendidikan bertujuan mempersiapkan anak untuk memasuki kehidupan
nyata di masa dewasa kelak. Dengan kata lain, bukan membuat anak menjadi
tergantung pada reward dan punishment. Bertitik tolak pada hal tersebut maka
guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi kebutuhan belajar anak
untuk berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Oleh sebab itu, salah satu
tugas sebagai fasilitator adalah membuat anak memiliki perasaan yang baik
tentang dirinya dan berpikir positif terhadap dirinya sendiri karena kondisi
tersebut memfasilitasi kegiatan belajar yang positif bagi perkembangan anak.
E. Humanisme Berdasarkan Pandangan Carl Roger
Carl Roger (1902-1985) merupakan salah seorang tokoh humanisme yang
memandang manusia sebagai arsitek yang tangguh dalam membangun dirinya
sendiri. Roger adalah seorang ahli pertanian yang memperdalam keahliannya
dalam bidang teologi dan psikologi klinis. Berdasarkan pengalamannya sebagai
seorang therapist, Roger memandang bahwa pusat kepribadian adalah self atau
diri. Oleh sebab itu, seseorang perlu menggali dirinya sendiri agar dapat
mengetahui siapa sebenarnya dirinya. Selanjutnya, hal tersebut akan membuat
menerima dirinya sebagai mana adanya.
Client-centered therapy merupakan metode terapi psikologis yang
dikembangkan oleh Roger berdasarkan pada keyakinannya bahwa manusia dapat
menemukan kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri. Menurut Roger,
pengetahuan tentang diri sendiri dan penghargaan terhadap diri sendiri dibentuk
melalui berbagai pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya
sejak usia dini (Papalia & Olds dalam Jamaris (2010: 230). Congruence atau

11

penghargaan, penerimaan, dan pujian yang diberikan oleh orang-orang yang


berada dalam lingkungan individu merupakan bagian dari berbagai pengalaman
yang diperlukan untuk memahami diri sendiri dan membangun penghargaan pada
diri sendiri. Oleh sebab itu, individu yang memiliki self-esteem yang baik akan
menjadi individu yang memiliki kepribadian yang positif dan selajutnya menjadi
individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya secara positif. Individu yang
mengalami kemiskinan dalam congruence akan berkembang ke arah negatif,
seperti rasa cemas yang berlebihan.
Hal itu diperkuat melalui hasil penelitian Jack Canfield, Pakar masalah
kepercayaan diri, melaporkan hasil penelitian di mana seratus anak ditunjuk untuk
seorang periset selama satu hari. Tugas periset adalah mencacat berapa banyak
komentar positif dan negatif yang diterima seorang anak dalam sehari. Penemuan
Canfield adalah bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau
kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Jadi,
komentar negatif enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif.
(Deporter & Hernacki, 1999: 24)
F. Aplikasi Teori Belajar Pada Bimbingan Psikologis dalam Pendidikan
Teori Roger dapat digunakan dalam melakukan bimbingan psikologis
dalam mengatasi masalah-masalah psikologis yang dialami siswa dalam
mempengaruhi proses belajar siswa tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah
bimbingan dan konseling atau BK. Dalam melaksanakan BK yang berbasis clientcentered therapy, Roger melakukan terapi yang bersifat nondirective therapy,
yang dijelaskan berikut ini.
1. Acceptence atau penerimaan client apa adanya, walaupun client
mengeluarkan perasaan negatifnya, seperti mencela atau perilaku yang
lainnya. Melalui acceptance, maka individu akan memperoleh
kekuatan diri. Apabila client merasa bahwa ia diterima sebagaimana
adanya, maka ia akan membangun sikap positif terhadap dirinya;
2. Empatic undertanding, yaitu kesediaan untuk memahami keadaan
client. Karena merasa didengarkan apa yang dirasakan oleh client,

12

maka ia akan mampu mendengar dirinya sendiri dan dapat merasakan


perasaan yang hilang selama ini;
3. Congruence, individu yang congruence akan tampil seperti dirinya
sendiridan

tidak

memasang

topeng

dalam

penampilan

dan

perilakunya. Seiring dengan pengertian client tentang dirinya dan


menghargai dirinya maka individu tersebut akan menerima berbagai
pengalaman yang dialaminya sebagaimana adanya.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, teori Carl Roger dapat
diaplikasikan dalam berbagai bentuk tindakan pendidikan dan pembelajaran yang
menerapkan prinsip-prinsip diantaranya sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran
dan perasaannya berkaitan dengan proses pendidikan dan pembelajaran
yang sedang berlangsung atau yang akan berlangsung dan yang telah
berlangsung;
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menginternalisasi kejadiankejadian yang berlangsung selama proses pendidikan dan pembelajaran
sehingga menumbuh kembangkan perasaan empati pada siswa, yang
selanjutnya menjadi alat untuk melakukan intropeksi terhadap dirinya
sendiri;
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk tampil seperti dirinya sendiri
dengan jati diri yang utuh sehingga memperkuat kemandirian siswa
dalam proses perkembangan kepribadian selanjtnya.
(Jamaris, 2010: 231-232)

13

G. Aplikasi Teori Belajar Humanistik


Peran guru dalam pembelajaran humanistik ialah menjadi fasilitator bagi
para siswa dengan memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai
makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman
belajar siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran
(Sukardjo dan Komarudin, 2009: 64).
Pandangan kalangan humanis tentang proses belajar mengaplikasikan
perlunya penataan peran guru/ tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan.
Menurut pandangan ini guru/ tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator
daripada sebagai pengajar belaka. Guru sebaiknya bukan lagi sebagai proses
pembelajaran tetapi yang terpenting ialah

memfasilitasi tumbuhnya motivasi

belajar secara instrinsik pada diri peserta didik. Peserta didik harus diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan
kesadaran identitas dirinya (Herpratiwi, 2009. 61).
Dalam praktiknya teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa
secara aktif dalam proses belajar (Mulyana, 2016).
Guru berperan sebagai fasilitator bukan berarti bahwa ia harus berfikir
pasif akan tetapi justru guru harus berperan aktif dalam suatu proses
pembelajaran. Belajar bermakna terjadi jika sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, disertai motivasi intrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar
bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik
mempelajari segalanya tentang bidang studi tersebut. Guru harus aktif dan paham
betul atas keunikan peserta didik (Herpratiwi, 2009: 61).
Adapun proses yang umumnya dilalui sebagai berikut :
1) Merumuskan tujuan belajar yang jelas;
2) Mengusahakan partisipasi siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur, dan positif;
3) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk
belajar atas inisiatif sendiri;
4) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses
pembelajaran secara mandiri;

14

5) Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih


pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung
resiko dari pelaku yang ditunjukan;
6) Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran
siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk
bertanggung jawab atas segala resiko
belajarnya;
7) Memberikan

kesempatan

murid

untuk

perbuatan atau proses


maju

sesuai

dengan

kecepatannya;
8) Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi
belajar siswa.
(Mulyati, 2005: 182).
H. Implikasi Teori Belajar Humanistik
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama
proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Hal yang
menjadi Ilmu pengetahuan merupakan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud
dalam hal ini adalah serangkaian proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai humanisme dan telah dilalui oleh peserta didik. Adapun peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik
saat guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan peserta didik. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta
didik dan mendampingi peserta didik untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari
keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam
belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika
yang berlaku (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 65).

15

Psikologi humanistik berharap bahwa guru sebagai fasilitator. Berbagai


cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator, sebagai
berikut.
a. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana
awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas;
b. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuantujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok
yang bersifat umum;
c. Fasilitator mempercayai adanya keinginan dan masing-masing siswa
untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya,
sebagai kekuatan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna;
d. Fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber untuk belajar
yang paling luas dan paling mudah dimanfaatkan siswanya untuk
mencapai tujuan mereka;
e. Fasilitator menempatkan dirinya di suatu sumber yang fleksibel untuk
dapat dimanfaatkan oleh kelompok;
f. Di dalam menghadapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas,
guru menerima baik yang bersifat intelektual, sikap, perasaan dan
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual maupun
bagi kelompok;
g. Bila kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat berperan
sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang
individu seperti siswa yang lain;
h. Fasilitator mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok,
perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga
tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang
boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa;
i. Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
(Dakir, 1993: 65).

16

Ciri-ciri guru yang baik menurut humanistik ialah guru yang memiliki rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa
dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan
pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif ialah guru yang memiliki rasa
humor rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan
komentar yang menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap
perubahan yang ada.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student centre) yang
memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut,
diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara
positif, dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Tujuan pembelajaran
lebih menitikberatkan pada proses belajar daripada hasil belajar.
I. Model Pembelajaran Humanisme
1. Humaning Of The Classroom, ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah
yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus
asa yang akhirnya mengakhiri hidupnya. Kasus ini banyak terjadi di
Amerika Serikat dan Jepang. Humaning Of The Classroom ini dicetuskan
oleh Jhon P. Miller yang terfokus pada pengembangan model pendidikan
afektif.
Pendidikan model ini tertumpu pada tiga hal, yaitu: menyadari diri
sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah,
mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati
dan pikiran. Perubahan yang dilakukan terbatas pada subtansi materi saja,
tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat
manusiawi.
2. Active Learning dicetuskan oleh Melvin L. Siberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini ialah bahwa belajar bukan
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus.
Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar

17

pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan


berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam Active Learning cara belajar dengan mendengarkan saja
akan sedikit ingat, dengan cara mendengarkan, melihat dan mendiskusikan
dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat,
berdiskusi,

dan

melakukan

akan

memperoleh

pengetahuan

dan

keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus ialah


dengan membelajarkan.
3. Quantum Learning merupakan cara pengubahan macam-macam interaksi.
Hubungan dan inspirasi yang di dalam dan di sekitar momen belajar.
Dalam prakteknya, Quantum Learning menggabungkan sugetologi teknik
pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori keyakinan dan
metode tertentu.
Quantum Learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu
menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi yang tidak bisa diduga sebelumnya. Dengan
metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat
ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini ialah belajar itu harus
mengasikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu
masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
4. The Accelerated Learning, merupakan pembelajaran yang dipercepat.
Konsep

dasar

dari

pembelajaran

ini

berlangsung

sangat

cepat,

menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini Dave Meiver


menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan
pendekatan somantic, auditory, visual dan intellectual (SAVI). Somantic
dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan
bergerak dan berbuat).Auditory adalah learning by talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan menggambarkan).
Intellectual maksudnya ialah learning by problem solving and
reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).

18

Bobbi De Porter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan


siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya
yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur
yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan,
permainan, warna, cara berfikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan
emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan
pengalaman belajar efektif .
J. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanistik
Di bawah ini akan dijelaskan kelebihan dan kelamahan
teori belajar humanistik, sebagai berikut;
1. Kelebihan teori belajar humanistik
a. Pembelajaran dengan teori ini sangat cocok diterapkan
untuk

materi-materi

pembelajaran

yang

bersifat

pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap,


dan analisis terhadap fenomena sosial.;
b. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini ialah siswa merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi
perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan
sendiri.;
c. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani,
tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya

sendiri

secara

tanggung

jawab

tanpa

mengurangi hak-hak orang-orang lain atau melanggar


aturan,

norma,

disiplin,

atau

etika

yang

berlaku

(Herpratiwi, 2009: 56).


2. Kelemahan teori belajar humanistik
Karena dalam teori ini guru ialah sebagai fasilitator maka
kurang cocok menerapkan yang pola pikirnya kurang aktif atau
pasif. Karena bagi siswa yang kurang aktif, dia akan takut atau
malu untuk bertanya pada gurunya sehingga dia akan tertinggal
oleh teman-temannya yang aktif dalam kegiatan pembelajaran,

19

padahal dalam teori ini guru akan memberikan respons bila


murid yang diajar juga aktif dalam menanggapi respons yang
diberikan oleh guru. Karena siswa berperan sebagai pelaku
utama (student center) maka keberhasilan proses belajar lebih
banyak ditentukan oleh siswa itu sendiri, peran guru dalam
proses

pembentukan

dan

pendewasaan

kepribadian

siswa

menjadi berkurang (Hepratiwi, 2009: 56).


K. Simpulan
1. Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik
mampu mengembangkan potensi dirinya;
2. Aplikasi dalam teori ini, siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas,
berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku. Serta
guru hanya sebagai fasilitator;
3. Implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran terlihat pada peran
siswa sebagai pelaku utama yang memaknai pengalaman belajarnya, peran
pengalaman sebagai ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat nilainilai humanisme dan peran guru sebagai fasilitator yang memfasilitasi
pengalaman belajar;
4. Model pembelajaran humanisme, yaitu Humaning of The
Classroom,

Active

Learning,Quantum

Learning,

The

Accelerated Learning

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
Pedagogiana Press.

20

B. Uno, Hamzah. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta:


Bumi Aksara.
Dalyono, 2007, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Dakir. 1993.Dasar-dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Deporter, Bobbi & Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan
Belajar nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Fananie, R. Zainuddin. 2010. Pedoman Pendidikan Modern. Jakarta: PT. Arya
Surya Perdana.
Ghani, Abd. Rahman A. & Sugeng Riadi. 2012. Pendidikan Holistik: Konsep dan
Implementasinya Dalam Pendidikan. Jakarta: Uhamka Press.
Herpratiwi.2009.Teori Belajar dan Pembelajaran.Bandar lampung: Universitas
Lampung.
Jamaris, Martini. 2013. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Kadir, Abdul. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Mahmud. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia
Mulyati. 2005.Psikologi Belajar. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Mustaqin. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukardjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan : Konsep dan Aplikasinya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiarto, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Supratinya, A. 2013.Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow.
Yogyakarta: Kanisius.
Sumber dari Internet :
https://id.wikipedia.org/wiki/Aktualisasi_diri diakses pada 9 April 2016
http://fadilah1995.blogspot.co.id/2015/04/teori-belajar-humanistik-dan_29.html

21

https://sites.google.com/site/mulyanabanten/home/teori-belajarbehavioristik/teori-belajar-kognitif/teori-belajar-konstruktivistik/teori-belajarhumanistik diakses pada tanggal 9 April 2016

22

Anda mungkin juga menyukai