Anda di halaman 1dari 4

ARTIKEL PENDIDIKAN

NAMA : MUNADYA

Pendidikan adalah wacana yang senantiasa menjadi perhatian masyarakat di berbagai media di
Indonesia. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan salah satu indikator kemajuan peradaban
bangsa. Maka dari itu pemerintah cukup memberikan sokongan anggaran yang begitu besar bagi
proses pendidikan di negara kita.

Pendidikan adalah investasi yang penting bagi tumbuh kembangnya kemajuan sebuah bangsa.
Untuk itulah maka dalam pendidikan dibutuhkan sistem yang baik melalui sistem yang namanya
kurikulum pendidikan. Kurikulum yang disusun haruslah kurikulum yang sangat baik dan tepat
sesuai karakteristik bangsanya.

Indonesia sendiri telah beberapa kali melakukan perubahan-perubahan kurikulum semenjak


pasca kemerdekaan Indonesia. Hal ini tentunya didasari oleh berkembangnya kemajuan zaman
dan kebutuhan masyarakat dengan tujuan agar sistem pendidikan di Indonesia lebih baik sesuai
yang dicita-citakan.

Di Indonesia menurut berbagai sumber sejak pasca kemerdekaan telah 11 kali melakukan
pergantian kurikulum. Dari seluruh kurikulum yang sudah digulirkan masing-masing terdapat
kelemahan dan kelebihan. Namun, ada hal yang paling subtansi dari tiap-tiap kurikulum yang
digulirkan yaitu berbicara karakter dan pengembangan potensi anak didik.

Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jika melihat tujuan di atas, maka dapat dilihat yang paling diutamakan adalah pengembangan
karakter dan potensi diri pada anak didik. Pada prinsipnya sama dengan apa yang telah
diungkapkan Ki Hajar Dewantara dalam pemikirannya tentang pendidikan. Ki Hajar Dewantara
mengungkapkan (1936) bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai “tuntunan dalam hidup
tumbuhnya anak-anak”. Pendidikan dapat diartikan merupakan proses menuntun segala kodrat
yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Kesadaran Terhadap Kodrat dan Keadaan Anak

Meskipun pendidikan sebagai tuntunan, Ki Hajar Dewantara menyebutkan pula bahwa


pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya pada setiap anak.

Setiap anak pada dasarnya memiliki kodrat dan keadaan yang berbeda-beda. Ada anak yang
memiliki dasar kodrat yang baik dan adapula dasar yang tidak baik. Namun demikian keduanya
tetap memerlukan tuntunan dengan tujuan yang sama agar terlepas dari pengaruh yang tidak
baik. Hal yang membedakannya adalah cara memperlakukan dan perhatiannya yang berbeda.
Hal inilah yang menjadi dasar pembelajaran dengan memperhatikan karakeristik anak.

Hal di atas yang harus dihindari adalah diskriminasi dalam proses pembelajarannya. Pada
prinsipnya pembelajaran tidak harus membeda-bedakan, namun tentunya ada sebuah pemetaan
awal yang bisa dilakukan dengan diagnosis awal pembelajaran. Hal ini untuk memetakan
kemampuan dan keadaan anak. Mana saja yang perlu diperhatikan lebih mendalam dalam proses
pembelajarannya baik kompetensi pengetahuan dan keterampilannya, juga mengenai sikap dan
perilaku dasarnya.

Tetapi kita harus percaya, kodrati anak pada dasarnya terlahir di dunia dalam kondisi yang suci.
Artinya secara fitrah anak terlahir dalam kondisi yang bersih bagaikan kertas putih yang kosong.
Tetapi perlu diingat, secara lahir dan batinnya atau “wataknya” tidak lepas pula dari genetika
bawaan kedua orang tuanya.

Secara naluriah setiap jiwa manusia memiliki hal-hal kebaikan dalam dirinya meskipun hal-hal
yang jahat ada dan jangan diabaikan. Perilaku manakah yang lebih kuat muncul akan tergantung
pada dimana lingkungannya tempat ia hidup.  Maka sebagai dasar utamanya adalah pendidikan
keluarga dan lingkungan tempat hidupnya. Peran keluarga dan lingkungan inilah yang sangat
mempengaruhi perkembangan perilaku si anak.

Apabila si anak hidup dalam keluarga dan lingkungannya yang baik maka akan sangat
berpengaruh kuat si anak menjadi baik. Demikian pula sebaliknya apabila ia hidup di keluarga
dan lingkungan yang tidak baik meskipun fitrahnya baik, bisa saja akan merubah dan membawa
pengaruh menjadi tidak baik. Hal ini menjadi dasar bagi pendidik melihat watak si anak ketika ia
masuk dalam dunia sekolah.

Apabila seorang pendidik mengetahui watak dasar si anak pada awal pembelajaran, selanjutnya
dapat disusun strategi dan metode pembelajaran sesuai dengan karakteristik anak didik. Hal ini
dilakukan agar tuntunan dalam proses pendidikan menjadi tepat dan sesuai kondisi keadaan anak
didik kita. Hal-hal inilah yang ditegaskan dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Tantangan Pendidikan Kita

Pada kenyataannya dalam perkembangan pendidikan kita mengalami banyak perubahan. Secara
ideal pemerintah mengisyaratkan pendidikan harus membawa perubahan-perubahan yang lebih
baik dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Namun demikian, pada penerapannya
tentu tidak bisa lepas dari persoalan dan permasalahan yang dihadapi. Hal ini menjadi tantangan
yang besar bagi setiap pendidik.

Dengan bergantinya sistem kurikulum yang digulirkan pemerintah dalam kurun waktu yang
cepat, memberi tantangan tersendiri bagi pendidik untuk cepat pula beradaptasi dan
mengembangkan kompetensinya agar dapat menerapkan kurikulum sesuai harapan. Hal lain
yang menjadi tantangan pendidik adalah berkembangnya teknologi yang begitu cepat dalam era
digital dan milenial seperti saat ini. Era ini dikenal pula dengan munculnya generasi Z.
Menurut Tabrani Yunis (www. pendidikan.id : 2018) generasi Z yang kita kenal sebagai orang-
orang yang lahir di generasi internet, generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai
kelahiran internet. Bagaimana dengan lembaga pendidikan kita yang masih dominan dari
generasi Y dan X. Akan sangat berbahaya, bila para guru generasi X tidak siap menghadapi
kemajuan gaya hidup generasi Z. Karena, para pengelola pendidikan masih dikelola oleh para
generasi old, generasi X yang rata-rata gagap teknologi. Akibatnya, terjadi gap atau jurang yang
dalam antara guru dan peserta didik. Di mana guru atau tenaga pendidikan bergerak dan berpikir
dalam pola zaman old, sementara peserta didik bergerak dan berfikir dalam pola milenial yang
sangat cepat menguasai teknologi digital.

Kondisi ini menjadi tidak sehat, menjadi  tantangan bagi para guru zaman old sehingga
menempatkan para pendidik pada posisi yang gamang. Gamang menghadapi cepatnya perubahan
yang terjadi pada anak-anak generasi milenial dan generasi Z yang berlari sangat kencang,
ditambah dengan kencangnya perubahan perilaku dan kepribadian yang disebabkan oleh semakin
bebasnya perubahan nilai moral, sosial dan budaya baru, di mana moralitas, budi pekerti dan
akhlak kian tergerus pupus. Artinya, ketika anak-anak milenial dan generasi X menguasai segala
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tidak gagap teknologi, membuat anak-anak
berkembang lebih cepat dibanding usia. Perkembangan pengetahuan dan ketrampilan dalam
menggunakan teknologi digital, memungkinkan peserta didik belajar lebih cepat dibandingkan
para guru. Sehingga, pengetahuan anak didik bisa lebih luas, apalagi ketika semangat dan
kemauan belajar para guru yang lahir di generasi X  rendah. Maka guru bisa tertinggal, tergilas
zaman.

Hal lain yang mesti menjadi perhatian adalah ketika kecepatan kemampuan anak-anak milenial
dan generasi Z menguasai teknologi digital, tanpa dibekali dengan keimanan dan akhlak mulia,
menyebabkan anak-anak banyak terjebak pada hal-hal yang disebut dekadensi moral.
Perkembangan peserta didik yang tidak terkontrol dengan baik dan bijak, akan melahirkan anak
generasi milenial dan generasi Z yang bermoral rendah. Bila moralitas kalah, maka ini menjadi
tantangan berat bagi guru dan masyarakat bangsa.

Hal inilah menjadi titik balik yang mesti kita buka lagi lembaran-lembaran tentang pendidikan
kita. Kita harus pahami lagi, Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik asli Indonesia telah
mengisyaratkan dalam pandangannya mengenai pendidikan kita. Beliau melihat bahwa
pendidikan harus dilihat dari sisi manusia lebih pada sisi psikologinya. Menurutnya manusia
memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut
pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada
satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini
hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau
manusiawi.

Dengan memperhatikan hal di atas, maka sudah saatnya sebagai pendidik harus terus berbenah
diri melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Sudah saatnya pendidik melakukan
aksi nyata untuk bergerak dan terus belajar agar dapat memberikan tuntunan yang diharapkan
dalam membangun diri manusia untuk lebih manusiawi. Disinilah pentingnya mengembalikan
fungsi pendidikan yang hakiki yang sebenarnya untuk membangun manusia dengan watak dan
kepribadian yang utuh sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.

Selain itu, seorang pendidik pun harus tetap memiliki jiwa dan pandangan yang terbuka. Kita
tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan zaman dengan perubahan teknologi yang
begitu pusat. Pendidik harus melek teknologi tetapi tetap diimbangi pula dengan penanaman
karakter dan pribadi yang baik bagi anak-anak.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar, dalam hubungan (relasi dan
komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait), segi administrasi
sebagai guru, dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka
penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu menjunjung tinggi pekerjaan,
menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat.
Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif
demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai