Anda di halaman 1dari 5

Artikel Pendidikan Sebuah Sintesis Pemikiran Ki Hajar Dewantara : Antara Idealisme dan

Tantangan Pendidikan Kita


  Disukai 1

  Dilihat 2002

Penulis : USMAN SUHANA BISRI

Diterbitkan : 5 Oktober 2022 10:19

Artikel Pendidikan

Sebuah Sintesis

Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Antara Idealisme dan Tantangan Pendidikan Kita

Oleh : Usman Suhana Bisri

#gurupenggerak

Idealisme Pemikiran Ki Hajar Dewantara


Pendidikan adalah wacana yang senantiasa menjadi perhatian masyarakat di berbagai
media di Indonesia. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan salah satu indikator
kemajuan peradaban bangsa. Maka dari itu pemerintah cukup memberikan sokongan
anggaran yang begitu besar bagi proses pendidikan di negara kita.

Pendidikan adalah investasi yang penting bagi tumbuh kembangnya kemajuan sebuah
bangsa. Untuk itulah maka dalam pendidikan dibutuhkan sistem yang baik melalui
sistem yang namanya kurikulum pendidikan. Kurikulum yang disusun haruslah
kurikulum yang sangat baik dan tepat sesuai karakteristik bangsanya.

Indonesia sendiri telah beberapa kali melakukan perubahan-perubahan kurikulum


semenjak pasca kemerdekaan Indonesia. Hal ini tentunya didasari oleh
berkembangnya kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat dengan tujuan agar
sistem pendidikan di Indonesia lebih baik sesuai yang dicita-citakan.

Di Indonesia menurut berbagai sumber sejak pasca kemerdekaan telah 11 kali


melakukan pergantian kurikulum. Dari seluruh kurikulum yang sudah digulirkan masing-
masing terdapat kelemahan dan kelebihan. Namun, ada hal yang paling subtansi dari
tiap-tiap kurikulum yang digulirkan yaitu berbicara karakter dan pengembangan potensi
anak didik.

Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah


untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jika melihat tujuan di atas, maka dapat dilihat yang paling diutamakan adalah
pengembangan karakter dan potensi diri pada anak didik. Pada prinsipnya sama
dengan apa yang telah diungkapkan Ki Hajar Dewantara dalam pemikirannya tentang
pendidikan. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan (1936) bahwa pendidikan dapat
diartikan sebagai “tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”. Pendidikan dapat
diartikan merupakan proses menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar
mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik
sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Kesadaran Terhadap Kodrat dan Keadaan Anak

Meskipun pendidikan sebagai tuntunan, Ki Hajar Dewantara menyebutkan pula bahwa


pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya pada setiap anak.

Setiap anak pada dasarnya memiliki kodrat dan keadaan yang berbeda-beda. Ada anak
yang memiliki dasar kodrat yang baik dan adapula dasar yang tidak baik. Namun
demikian keduanya tetap memerlukan tuntunan dengan tujuan yang sama agar terlepas
dari pengaruh yang tidak baik. Hal yang membedakannya adalah cara memperlakukan
dan perhatiannya yang berbeda. Hal inilah yang menjadi dasar pembelajaran dengan
memperhatikan karakeristik anak.

Hal di atas yang harus dihindari adalah diskriminasi dalam proses pembelajarannya.
Pada prinsipnya pembelajaran tidak harus membeda-bedakan, namun tentunya ada
sebuah pemetaan awal yang bisa dilakukan dengan diagnosis awal pembelajaran. Hal
ini untuk memetakan kemampuan dan keadaan anak. Mana saja yang perlu
diperhatikan lebih mendalam dalam proses pembelajarannya baik kompetensi
pengetahuan dan keterampilannya, juga mengenai sikap dan perilaku dasarnya.

Tetapi kita harus percaya, kodrati anak pada dasarnya terlahir di dunia dalam kondisi
yang suci. Artinya secara fitrah anak terlahir dalam kondisi yang bersih bagaikan kertas
putih yang kosong. Tetapi perlu diingat, secara lahir dan batinnya atau “wataknya” tidak
lepas pula dari genetika bawaan kedua orang tuanya.

Secara naluriah setiap jiwa manusia memiliki hal-hal kebaikan dalam dirinya meskipun
hal-hal yang jahat ada dan jangan diabaikan. Perilaku manakah yang lebih kuat muncul
akan tergantung pada dimana lingkungannya tempat ia hidup.  Maka sebagai dasar
utamanya adalah pendidikan keluarga dan lingkungan tempat hidupnya. Peran keluarga
dan lingkungan inilah yang sangat mempengaruhi perkembangan perilaku si anak.

Apabila si anak hidup dalam keluarga dan lingkungannya yang baik maka akan sangat
berpengaruh kuat si anak menjadi baik. Demikian pula sebaliknya apabila ia hidup di
keluarga dan lingkungan yang tidak baik meskipun fitrahnya baik, bisa saja akan
merubah dan membawa pengaruh menjadi tidak baik. Hal ini menjadi dasar bagi
pendidik melihat watak si anak ketika ia masuk dalam dunia sekolah.

Apabila seorang pendidik mengetahui watak dasar si anak pada awal pembelajaran,
selanjutnya dapat disusun strategi dan metode pembelajaran sesuai dengan
karakteristik anak didik. Hal ini dilakukan agar tuntunan dalam proses pendidikan
menjadi tepat dan sesuai kondisi keadaan anak didik kita. Hal-hal inilah yang
ditegaskan dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Tantangan Pendidikan Kita

Pada kenyataannya dalam perkembangan pendidikan kita mengalami banyak


perubahan. Secara ideal pemerintah mengisyaratkan pendidikan harus membawa
perubahan-perubahan yang lebih baik dan menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman. Namun demikian, pada penerapannya tentu tidak bisa lepas dari persoalan dan
permasalahan yang dihadapi. Hal ini menjadi tantangan yang besar bagi setiap
pendidik.

Dengan bergantinya sistem kurikulum yang digulirkan pemerintah dalam kurun waktu
yang cepat, memberi tantangan tersendiri bagi pendidik untuk cepat pula beradaptasi
dan mengembangkan kompetensinya agar dapat menerapkan kurikulum sesuai
harapan. Hal lain yang menjadi tantangan pendidik adalah berkembangnya teknologi
yang begitu cepat dalam era digital dan milenial seperti saat ini. Era ini dikenal pula
dengan munculnya generasi Z.

Menurut Tabrani Yunis (www. pendidikan.id : 2018) generasi Z yang kita kenal sebagai
orang-orang yang lahir di generasi internet, generasi yang sudah menikmati keajaiban
teknologi usai kelahiran internet. Bagaimana dengan lembaga pendidikan kita yang
masih dominan dari generasi Y dan X. Akan sangat berbahaya, bila para guru generasi
X tidak siap menghadapi kemajuan gaya hidup generasi Z. Karena, para pengelola
pendidikan masih dikelola oleh para generasi old, generasi X yang rata-rata gagap
teknologi. Akibatnya, terjadi gap atau jurang yang dalam antara guru dan peserta didik.
Di mana guru atau tenaga pendidikan bergerak dan berpikir dalam pola zaman old,
sementara peserta didik bergerak dan berfikir dalam pola milenial yang sangat cepat
menguasai teknologi digital.

Kondisi ini menjadi tidak sehat, menjadi  tantangan bagi para guru zaman old sehingga
menempatkan para pendidik pada posisi yang gamang. Gamang menghadapi cepatnya
perubahan yang terjadi pada anak-anak generasi milenial dan generasi Z yang berlari
sangat kencang, ditambah dengan kencangnya perubahan perilaku dan kepribadian
yang disebabkan oleh semakin bebasnya perubahan nilai moral, sosial dan budaya
baru, di mana moralitas, budi pekerti dan akhlak kian tergerus pupus. Artinya, ketika
anak-anak milenial dan generasi X menguasai segala kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, tidak gagap teknologi, membuat anak-anak berkembang lebih cepat
dibanding usia. Perkembangan pengetahuan dan ketrampilan dalam menggunakan
teknologi digital, memungkinkan peserta didik belajar lebih cepat dibandingkan para
guru. Sehingga, pengetahuan anak didik bisa lebih luas, apalagi ketika semangat dan
kemauan belajar para guru yang lahir di generasi X  rendah. Maka guru bisa tertinggal,
tergilas zaman.

Hal lain yang mesti menjadi perhatian adalah ketika kecepatan kemampuan anak-anak
milenial dan generasi Z menguasai teknologi digital, tanpa dibekali dengan keimanan
dan akhlak mulia, menyebabkan anak-anak banyak terjebak pada hal-hal yang disebut
dekadensi moral. Perkembangan peserta didik yang tidak terkontrol dengan baik dan
bijak, akan melahirkan anak generasi milenial dan generasi Z yang bermoral rendah.
Bila moralitas kalah, maka ini menjadi tantangan berat bagi guru dan masyarakat
bangsa.

Hal inilah menjadi titik balik yang mesti kita buka lagi lembaran-lembaran tentang
pendidikan kita. Kita harus pahami lagi, Ki Hajar Dewantara sebagai pendidik asli
Indonesia telah mengisyaratkan dalam pandangannya mengenai pendidikan kita. Beliau
melihat bahwa pendidikan harus dilihat dari sisi manusia lebih pada sisi psikologinya.
Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa, dan karya. Pengembangan
manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan
yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan
pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa
dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau
manusiawi.

Dengan memperhatikan hal di atas, maka sudah saatnya sebagai pendidik harus terus
berbenah diri melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Sudah saatnya
pendidik melakukan aksi nyata untuk bergerak dan terus belajar agar dapat
memberikan tuntunan yang diharapkan dalam membangun diri manusia untuk lebih
manusiawi. Disinilah pentingnya mengembalikan fungsi pendidikan yang hakiki yang
sebenarnya untuk membangun manusia dengan watak dan kepribadian yang utuh
sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.

Selain itu, seorang pendidik pun harus tetap memiliki jiwa dan pandangan yang terbuka.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan zaman dengan perubahan
teknologi yang begitu pusat. Pendidik harus melek teknologi tetapi tetap diimbangi pula
dengan penanaman karakter dan pribadi yang baik bagi anak-anak.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar, dalam hubungan (relasi dan
komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait), segi
administrasi sebagai guru, dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu
meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti
perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif
yaitu menjunjung tinggi pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan,
dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional secara fisik, intelektual, relasi sosial,
kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya
perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi
pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai