Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dewi Sriyani

Nim : 06091381924059
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan
Program Studi Pendidikan Biologi Kelas Palembang

Menurut Ki Hadjar Dewantara Pendidikan yaitu tuntunan didalam hidup


tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan adalah menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.
Kebudayaan berasal dari bahasa latin Culture yang berarti
“mengusahakan”, mengusahakan untuk mendapatkan kemajuan kehidupan. Inti
dari kebudayaan adalah manusia. Dengan kata lain kebudayaan adalah khas
insani. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya. Dengan mengusahakan
kehidupan yang lebih baik seseorang akan memerlukan pendidikan.
Pendidikan dan Kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan.
Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan, begitu juga praksis pendidikan tidaklah
stagnan, melainkan selalu berkembang dengan lingkup kebudayaan. Apabila kita
ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis globalisasi maka
tugas tersebut menjadi tugas pembangunan kebudayaan kita.
Apabila diatas telah diuraikan bahwa pendidikan tidak terlepas dari
kebudayaan, maka tidak dapat dibayangkan wajah pendidikan kita tanpa adanya
kebudayaan. Dan apabila kita sepakat untuk mewujudkan suatu masyarakat serta
bangsa Indonesia maka hal ini merupakan kewajiban kita untuk membentuk dan
mengembangkan kebudayaan nasional. Pendidikan nasional tidak akan hidup
tanpa kebudayaan nasional.
keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai
dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan
dengan soal daya Pendidikan. Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu
diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik
boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik
berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan.
Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoretcoret oleh si
pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak
diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan. Kedua, ialah aliran negative,
yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi
sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah
karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya
pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif
menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh-pengaruh dari
luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan
diwujudkan.
Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie.
Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai
kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih
lanjut menurut aliran ini, Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan
segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi
pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya
dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat
bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan
dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu.
Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu
dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan),
maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiattabiatnya yang asli dan
biologis tadi.
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya,
pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan
seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan
kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan,
maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni
tidak berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal
dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).
Jadi Kesimpulan nya Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara
adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan anak ke
dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani. Filsafat
pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut filsafat pendidikan among yang di
dalamnya merupakan konvergensi dari filsafat progresivisme tentang kemampuan
kodrati anak didik untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan
memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya. Di samping itu digunakan
kebudayaan yang sudah teruji oleh waktu, menurut esensialisme, sebagai dasar
pendidikan anak untuk pencapaian tujuannya. Khusus mengenai kebebasan
berpikir, menurut Ki Hadjar Dewantara, bila membahayakan anak didik berbuat
salah maka akan diambil alih pamongnya (Tutwuri Handayani).

Anda mungkin juga menyukai