Anda di halaman 1dari 22

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS KECAKAPAN HIDUP

A. Landasan Pendidikan Kecakapan Hidup

1. Landasan Historis Pendidikan Kecakapan Hidup


Secara historis pendidikan sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi ini. Ketika kehidupan
masih sederhana, orang tua mendidik anaknya, atau anak belajar kepada orang tuanya atau orang lain
yang lebih dewasa di lingkungannya, seperti cara makan yang baik, cara membersihkan badan, bahkan
tidak jarang anak belajar dari lingkungannya atau alam sekitarnya. Anak-anak belajar bercocok tanam,
berburu dan berbagai kehidupan keseharian. Intinya anak belajar agar mampu menghadapi tugas-tugas
kehidupan, mecari solusi untuk memecahkan dan mengatasi problem yang dihadapi sehari-hari.Sejak
manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan
pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka dalam sejarah
pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan
kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyrakat. Menurut keyakinan
kita, sejarah pembentukan masyarakt dimulai sejak kelaurga Adam dan Hawa sebagai unit kecil dari
masyarakat besar umat manusia dimuka bumi ini. Dalam keluarga Adam itulah telah dimulai proses
kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruang lingkup terbatas sesuai dengan kebuTuhan untuk
mempertahankan kehidupannya.

Dasar minimal dari usaha memertahankan hidup manusia terletak pada orientasi manusia kearah tiga
hubungan, yaitu:

a. Hubungan manusia dengan yang maha pencipta yaitu Tuhan sekalian alam.
b. Hubungan dengan sesama manusia. Dalam keluarga Adam, hubungan tersebut terbatas pada hubungan
anggota keluarga.
c. Hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsur kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan,
binatang dan kekuatan alamiah yang ada.

Dari tiga prinsip hubungan inilah, kemudian manusia mengembangakan proses pertumbuhn kebudayaannya.
Proses ini yang mendorong manusia kearah kemajuan hidup sejalan dengan tuntutan yang semakin
meningkat.Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan-kemampuan dasar yang
bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta
memajukan kesejahteraanya.Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah
pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya disegala bidang.Sarana
utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tiadak lain adalah pendidikan, dalam
dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyrakat serta anggota-
anggotanya.Oleh karena itu antara manusia dan tuntutan hidupnya saling berpacu berkat dari dorongan
ketiga daya tersebut., maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikata pendidikan
merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup umat manusia sepanjang sejarah.

Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitive) yang berlangsung dari zaman dimana
manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuan pun amat
terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahan hidup dari ancaman alam sekitar). Yaitu
keterampilan membuat alat-alat untuk mencari dan memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidup, beserta
pemeliharaanya, serta disesuaikan dengan kebutuhannya.Akan tetapi ketika manusia telah dapat
membentuk masyrakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, maka
pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan
kemapuan-kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berfikir ilmiah, atau lebih
jelasnya masalah kehidupan dan fenomina alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan.

Persoalan pendidikan pada hakekatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung


dengn kehidupan manusia dan mengalami perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan
tersebut baik secara teori maupun secara konsep oprasionalnya.Pendidikan secara dinamis akan
bermetamorfosa menjadi formal dan bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran, mata
kuliah, mata diklat di sekolah. Mata pelajaran, mata kuliah, mata diklat berfungsi untuk menjelaskan
fenomena alam kehidupan sehinga lebih mudah dipahami dan lebih mudah dipecahkan problemnya.
Dengan kata lain, mata pelajaran, mata kuliah, mata diklat adalah alat untuk membentuk kecakapan,
kemampuan yang dapat membantu mengembangkan dan memecahkan serta mengatasi permasalahn
hidup dan kehidupan.

Pendidikan merupakan salah satu unsur dari aspek sosial budaya yang berperan sangat
starategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyrakat, atau bangsa. Kestrategisan peranan ini pada
intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk
memanusiakan peserta didik serta menjadikan mereka sebagai kholifah dimuka bumi dengan berbekal
kecakapan hidup.

2. Landasan Filosofis Pendidikan Kecakapan Hidup


Pendidikan berjalan pada setiap saat dan disegala tempat. Setiap orang, baik anak-anak maupun
orang dewasa akan megalami proses pendidikan, lewat apa yang dijumpainya atau apa yang
dikerjakannya. Walau tidak ada pendidikan yang sengaja diberikan, secara alamiah setiap orang akan
terus belajar dari lingkungannya. Pendidikan sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan sistemasi
dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai suatu
proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, sehingga siap digunakan untuk
memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik
diharapkan juga mengilhami mereka ketika mengahadapi problem dalam kehidupan sesungguhnya.

Dalam pendidikan formal disekolah adalah membantu anak didik untuk mengetahui sesuatu, terutama
pengetahuan. Secara sederhana bagaimana membantu anak didik untuk menguasai bahan pelajaran
yang diberikan guru. Tugas guru adalah mentaransfer pengetahuan itu kedalam otak anak didik,
sehingga anak didik menjadi tahu. Maka dalam hal ini anak didik tinggal membuka otaknya untuk
menerima pengetahuan yang ditrasfer oleh guru tersebut. Sedangkan tugas guru adalah mentranferkan
ilmu kepadada siswa tersebut. Karna selama ini strategi pembelajaran dalam pendidikan formal
didominasi oleh faham strukturalisme, obejektivisme, behavioristik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk bahwa dalam pembelajaran pendidikan formal hanya bertujuan siswa
mengingat informasi yang faktual. Buku tek dirancang, siswa membaca atau diberi informasi, selanjutnya
terjadi proses memorisasi. Tujuan-tujuan pembelajaran dirumuskan secara jelas untuk keperluan
merekam informasi. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas belajar mengikuti buku teks. Tujuan pembelajaran menekankan pada penambahan
pengetahuan, dan seseorang dikatakan telah belajar apabila ia mampu mengungkapkan kembali apa
yang telah dipelajarinya.

Menurut faham konstruktivistik berbeda dengan faham klasik, pengetahuan itu adalah bentukan
(konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar. Atau dengan kata lain, manusia membangun atau
menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai dengan
pengalamnnya. Pengetahuan itu rekaan dan tidak stabil, oleh karena itu pengetahuan adalah konstruksi
manusia dan secara konstan manusia mengalami pengalaman-pengalaman baru, maka pengetahuan itu
tidak pernah stabil. Oleh karena itu pemahan yang kita peroleh senantiasa bersifat tentative dan tidak
lengkap, pemahaman kita akan semakin mendalam dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman
baru.Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks.
Pengetahuan siswa akan anjing adalah bentukan siswa sendiri yang terjadi karena siswa mengolah,
mencerna,dan akhirnya merumuskan dalam otaknya pengertian akan anjing. Pengetahuan itu
kebanyakan dibentuk lewat pengalaman inderawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar, dan
akhirnya merumuskan dalam pikiran. Dalam pengertian konstuktivisme, pengetahuan itu merupakan
proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.Konstuktualisme merupakan
landasan berfikir (filsafat), pengetahuan dibangun oleh manusia secara sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkonstuksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pengetahuan itu
dapat dibentuk secara pribadi (personal) siswa itu sendiri yang membentuknya.

Dalam proses pembelajaran dan arahan guru hanya merupakan bahan yang harus diolah dan
dirumuskan oleh siswa sendiri. Tanpa siswa sendiri aktif mengelola, mempelajari dan mencerna ia tidak
akan menjadi tahu. Maka dalam hal ini pendidikan atau pengajaran harus membantu anak didik aktif
belajar sendiri. Dan pengetahuan juga bisa dibentuk secara sosial (bersama). Vygotsky mengatakan
bahwa pengetahuan anak dibentuk dalam kerjasama dengan teman lain. Hal ini terutama berlaku pada
pembelajaran bahasa. Orang akan hanya bisa lebih maju dalam bidang bahasa bila ia belajar bersama
orang lain. Maka, Vygotsky menekankan pentingnya dalam kerja sama, studi kelompok. Dalam studi
kelompok itu siswa dapat saling mengoreksi, menungkapkan gagasan, dan saling meneguhkan.Siswa
yang merupakan elemin penting dalam proses pendidikan, maka siswa perlu dibiasakan untuk
memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstuksi
pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki,
inforamasi itu menjadi milik mereka sendiri.Peran guru atau pendidik dalam aliran konstuktivisme ini
adalah sebagai fasilitator atau moderator. Tugasnya adalah merangsang, membantu siswa untuk mau
belajar sendiri, dan merumuskan pengertiannya. Guru jua mengevaluasi apakah gagasan siswa itu
sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak, sedangkan tugas siswa adalah aktif belajar dan mencerna.

Dengan dasar itu, pembelajaran, pendidikan harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi
bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan
guru. Bentuk pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran siswa yang aktif dan kritis. Siswa tidak
kosong, tetapi sudah punya pengertian awal tertentu yang harus dibatu untuk berkembang. Maka
modelnya adalah model doalogal, model konsistensi, model mencari bersama antara siswa dan guru.

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa dituntut benar-benar mngerti dan dapat
menerapkan ilmu pengetahuan, maka harus bekerja untuk memecahkan maslah, menemukan sesuatu
untuk dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau
menjejalkan sejumlah informasi kedalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-
konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa. Maka, model pembelajaran yang
baik adalah model demokratis dan dialogis. Siswa dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik
pendapat guru yang dianggap tidak tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru.
Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis.
Maka model pendidikan yang membuat siswa bisu (budaya bisu) tidak zamannya lagi. Pendidikan yang
benar harus mebebaskan siswa tidak dijadikan penurut dan jadi robot, tetapi menjadi pribadi yang dapat
berpikir, memilih, dan menentukan sikap.

Model pembelajaran seperti ini juga berlaku dalam bidang kemanusiaan yang lain, dalam
penanaman nilai moral, nilai kebaikan, spritualitas, sosialitas, dan lain-lain. Semua nilai kemanusiaan
yang mau dikembangkan perlu dibantu oleh pendidik dengan cara yang demokratis.

Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis dalam ha
tujuan pembelajaran. Kaum objektivis lebih menekankan pada hasil pembelajaran yang berupa
pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivistik starategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu menurut faham
konstruktivisme tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan cara.

a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.


b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
Pada dasarnya dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan
tumbuh dan berkembang melalui pengalaman, maka dalam hal ini ada empatkonsep
dasar Jean Piaget yang dapat diaplikasikan pada pendidikan dalam berbagai bentuk dan
bidang studi, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan, isi kurikulum, dan
urutan-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep dasar tersebut adalah

(a) Skemata,
(b) Asimilasi,
(c) Akomodasi,
(d) Ekuilibrium.

a. Skemata
Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung
mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai
kumpulan konsep atau katagori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Skemata ini berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara
intelektual.
Dalam hal ini Jean Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa berkembang mulai skemata anak
melalui proses adaptasi sampai pada penataan atau organisai. Dengan demikian, skemata adalah
struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya perubahan itu
adalah asimilasi dan akomodasi.
b. Asimilasi
Asimilasi dimaksudkan sebagai suatu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru, dimana
seseorang memadukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau prilaku yang telah ada.
Pada dasarnya asimilasi tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau memungkinkan
pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya untuk
mengadaptasi diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinyu, berlangsung terus menerus
dalam perkembangan kehidupan intelektual anak.
c. Akomodasi
Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru.
Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentukya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Di sini
tampak terjadi perubahan secara kuantitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara
kuantitatif.
Jadi pada hakekatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata.
Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus yang baru, struktur mentalnya menjadi
goyah, beru seterusnya asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus mnerus. Dengan demikian skemata
berkembang sepanjang waktu bersama-sama dengan bertambahnya pengalaman.
d. Equilibrium (keseimbangan)
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau
skemata yang stabil. Stabil dalam artian bahwa terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan roses
akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinyu, maka yang bersangkutan hanya akan
memiliki beberapa skemata yang global dan tidak mampu melihat perbedaan-perbedaan antara berbagai
hal.
Dengan adanya keseimbanga ini maka efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan
ligkungannya dapat tercapai dan dapat terjamin. Dengan kata lain terjadi keseimbangan antara faktor-
faktor internal dan faktor-faktor eksternal.[17]
Dari faham konstruktivistik, proses pendidikan menekankan pada perkembangan intelektual yang
dihasilkan dari interaksi antara individu dengan lingkungannya, sehingga kemudian melalui pengalaman
tersebut pengetahan akan tumbuh dan akan berkemabang.
Pendidikan sebagai sebuah sistem, pada dasarnya merupakan sistemasi dari proses
pengalaman pendidikan. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan
pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, dan pengalaman tersebut diharapkan mampu
mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga siap digunakan untuk memecahkan
problem kehidupan yang dihadapinya. Dengan alasan tersebutlah faham kontruktivime ini dijadikan
landasan filosofis dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup(Life Skill).

3. Landasan Yuridis Pendidikan Kecakapan Hidup.


Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala
aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas
Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77
pasal tersebut merupakan salah satu aplikasi dari tuntutan reformasi.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut
antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Sehingga kemudian
sistem pendidikan nasional diharapkan mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi menejemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai degan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang
dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang
bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangannya dimasa yang akan datang. Karena kecakapan hidup
merupakan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk
menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia, serta mampu memecahkan persoalan hidup dan
kehidupan tanpa adanya tekenan.[18]
Salah satu tujuan dari pendidikan kecakapan hidup adalah memberikan kesempatan kepada
sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis
luas, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang
pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah,
dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi dari stakeholders.[19]
Dengan ini landasan yuridis pendidikan kecakapan hidup dapat mengacu kepada UU nomor 2
Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi
peranannya di masa yang akan datang.[20] Dan landasan tersebut diperkuat dalam UU Sisdiknas BAB I
pasal 1 ayat 1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[21]
Dari dasar tersebut pada akhirnya tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar
nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri, sebagai
anggota masyarakat dan sebagai anggota masyrakat. Tuntutan reformasi yang sangat penting
adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan
pemberdayaan pemerintah daerah (otoda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan
memperbesar partisipasi masyarakat. yang dikenal dengan sistem desentralisasi, yang diharapkan bisa
berjalan secara simultan.
Landasan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas
2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat,
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. [22]
Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, harus mendorong pemberdayaan masyarakat
dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan
sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).[23] Oleh karena itu
masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan
dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai
dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). [24]
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan,
dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan
pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat
3).[25]
Dari landasan yuridis tersebut jelas kiranya bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdasaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demogratis serta bertanggung jawab, sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan kecakapan hidup.
Secara eksplisit pendidikan kecakapan hidup mampu memberikan manfaat pribadi bagi peserta
didik dan manfaat sosial bagi masyarakat. Bagi peserta didik, pendidikan kecakapan hidup dapat
meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan kualitas tersebut pada
gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir,
penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang, pengembangan diri,
kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi. Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat
meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator adanya: peningkatan
kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah
sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori,
solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni.
B. Konsep dan Unsur-Unsur Pendidikan Kecakapan Hidup
Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu
meliputi empat hal, yaitu: (1) pemerataan kesempatan, (2) kualitas, (3) efisiensi, dan (4) relevansi. Dari
berbagai indikator tersebut, problem pendidikan yang selama ini mencuat yaitu pendidikan yang selama
ini dilaksanakan tidak berpijak pada kehidupan nyata sehingga pelaksanakan pendidikan tidak
mempunyai relevansi sama sekali dengan kehidupan nyata, sehingga ada indikasi pendidikan hanya
merupakan panggung pentas untuk memperoleh, dan mempertahankan juara, akibatnya sekolah bukan
lagi menjadi tempat belajar, dan tempat mencari pengalaman, sehingga anak kehilangan hak-haknya
sebagai anak, yang seharusnya pendidikan dituntut menjadikan anaknya atau siswanya menjadi manusia
yang nantinya mampu memecahkan masalah kehidupan untuk mempertahankan eksistensi hidup
mereka.
Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (Life Skill education) pada semua jenis dan jenjang
pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan
kehidupan nyata kurang erat. Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas
maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga tamatan pendidikan dari
berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Suatu
pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut berpijak pada kehidupan
nyata. Maka dalam hal ini untuk merumuskan tentang pendidikan kecakapan hidup perlu adanya
rumusan dan pengertian kecakapan hidup itu sendiri.
Meskipun kecakapan hidup telah didefinisikan berbeda-beda, namun esensi pengertiannya
sama. Maka dalam hal ini Brolin (1989) mendefinisikan kecakapan hidup adalah merupakan kontinum
pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen
dalam kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari
yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan. Malik Fajar mendefinisikan
kecakapan hidup sebagai kecakapan untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur
akademik.[26] Sementara itu Tim Broad-Based Education menafsirkan kecakapan hidup sebagai
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan
secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan
solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.[27]
Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian kecakapan hidup, namun esensinya sama yaitu
bahwa kecakapan hidup adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh
seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia.
Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan
latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar
yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Dengan definisi tersebut, maka pendidikan kecakapan hidup harus mampu merefleksikan nilai-
nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat preservatif maupun progresif. Pendidikan perlu
diupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Dengan cara ini, pendidikan
akan lebih realistis, lebih kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari akarnya, sehingga
pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang dikatakan
memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan
kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi,
kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan
bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya.
Pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari keterampilan dari bekerja. Orang tidak bekerja,
misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti
halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang
yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu memiliki
permasalahannya sendiri.[28]
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia memang selalu dihadapkan pada problem hidup,
untuk memecahkan problem kehidupan seperti itu seseorang akan berusaha mencermati kemampuan
apa yang mereka miliki sehingga sukses, atau setidaknya dapat bertahan hidup dalam situasi yang serba
berubah, orang tersebut bisa sukses karena memiliki banyak kiat (kecakapan hidup) sehingga mampu
mengatasi masalah dihadapinya, pandai melihat dan memanfaatkan peluang, serta pandai bergaul dan
bermasyarakat. Kiat-kiat seperti itulah yang merupakan inti kecakapan hidup. Artinya kecakapan yang
selalu diperlukan oleh seseorang dimanapun ia berada, baik bekerja atau tidak bekerja dan apapun
profesinya.[29] Maka dalam hal ini kecakapan hidup dapat dipilih menjadi empat jenis, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Suryadi bahwa keterampilan hidup meliputi beberapa kemampuan dasar yaitu:
ketrampilan sosial, vokasional, intelektual dan akademis.[30] Unsur-unsur keterampilan hidup itu pun
diperkuat oleh Tim Broad Based Education Dipdiknas sebagai berikut:
a. Kecakapan personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal
diri (self awareness) dan kecakapan berfikir rasional (thinking skill);
b. Kecakapan sosial (sosial skill).
c. Kecakapan akademik (academic skill).
d. Kecakapan vokasional (vocational skill).
Kecakapan kesadaran diri itu pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta menyadari dan mensukuri kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai
individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
Kecakapan berfikir rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan
informasi (information seacrhing), kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information
processing and decion making skill), serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative
problem solving skill). Dua kecakapan tersebut (kesadaran diri dan berfikir rasional) merupakan
kecakapan personal.
Kecakapan sosial atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup antara lain
kecakapan komunikasi dengan empati (commonicaton skill). Empati, sikap penuh pengertian dan seni
komonikasi dua arah, perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi di sini bukan sekedar
menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan dan disertai dengan kesan baik yang akan
menumbuhkan hubungan harmonis.
Kecakapan bekerjasama sangat diperlukan karena sebagai mahluk sosial, dalam kehidupan
sehari-hari manusia akan selalu bekerjasam dengan manusia lain. Kerjasama bukan sekedar "kerja
sama" tetapi yang di sertai dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu.
Dua kecakapan hidup yang disampaikan di atas (kecakapan personal dan kecakapan sosial)
biasanya disebut sebagai kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generic (general
Life Skill / GLS). kecakapan hidup tersebut diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka
yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (spesifik Life Skill / SLS) diperlukan seseorang untuk
menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema "mobil yang mogok" tentu
diperlukan kecakapan yang khusus tentang mesin mobil, untuk memecahkan masalah dagangan yang
tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran, untuk mampu melakukan pengembangan biologi
molekuler tentunya diperlukan keahlian di bidang bio- teknologi.
Kecakapan hidup yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetesi
tekhnis(tekhnikal competencies) yang terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tetentu dan
pendekatan pembelajaranya. Seperti disebut di bagian depan, spesifik life skill (SLS) mencakup
kecakapan pengembangan akademik (kecakapan akademik) dan kecakapan vokasional yang terkait
dengan pekerjaan tertentu.
Kecakapan akademik (academic skill) yang juga sering disebut kemampuan berfikir ilmiah, pada
dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berfikir rasional pada global life skill. Jika
kecakapan berfikir rasional masih bersifat umum, maka kecakapan akademik sudah lebih mengarah
kepada kegiatan yang bersifat akademik / keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain
kecakapan melakukan identivikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomina
tertentu (identifying variable and describing relationship among them), merumuskan hipotesis terhadap
suatu rangkaian kejadian (contructing hypotheses), serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk
membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan(designing and implementing a research).
Kecakapan vokasional (vocational skill) sering pula disebut dengan "kecakapan kejuruan"artinya
kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.[31] Maka
dalam hal ini Gainer mengklasifikasikan kecakapan vokasional menjadi empat area: kompetensi individu,
meliputi (a) keterampilan berkomunikasi, berfikir kompherensif. (b) keterampilan kepercayaan diri,
meliputi menejemen diri, etika dan kematangan diri. (c) keterampilan penyesuaian secara ekonomis,
meliputi pemecahan masalah, pembelajaran, kemempuan kerja dan pengembangan karir. (d)
keterampilan dalam kelompok dan berorganisasi meliputi, keterampilan interpersonal, organisasional,
negosiasi, kreativitas dan kepemimpinan.[32]
Dari seluruh kecakapan baik kecakapan general maupun kecakapan spesifik dalam kehidupan
nyata berfungsi secara terpadu serta tidak terpisah-pisah, sehingga dengan peleburan tersebut menyatu
menjadi tindikan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual.
Kecakapan-kecakapan hidup tersebut masih bersifat umum, untuk memperoleh gambaran yang
jelas dan lebih rinci, maka pada uraian berikutnya dikemukakan gambaran atau potret seseorang yang
terdidik dengan baik melalui pendidikan kecakapan hidup Life Skill. Maka dalam hal ini kecakapan-
kecakapan tersebut mencakup: (a) belajar sepanjang hayat, (b) berikir kompleks, (c) komunikasi secara
efektif (d) kolaborasi atau kerjasama (e) warga Negara yang bertanggung jawab (f) dapat dipekerjakan
(g) pengembangan karakter / etika atau tata susila.
1. Kecakapan sepanjang hayat
Seseoarang belajar sepanjang hayat telah memperoleh pengetahuan dasar dan mengembangkan
kecakapan-kecakapan belajar individu yang mendukung pendidikan secara berkelanjutan, mendorong
partisipasi yang efektif dalam masyarakat demokratis dan mendapatkan peluang-peluan pekerjaan
sebanyak mungkin, dengan cirri-ciri sebagai berikut:
a. Memulai belajar sendiri, yang meliputi: (1) mendemonstrasikan sikap yang positif dan bertanggung jawab
pribadi untuk belajar dan mengembangkan pribadinya. (2) mengambil resiko untuk memaksimalkan
belajar dan perbaikan diri yang positif, (3) menggunakan strategi yang tepat untuk mengindetifikasi dan
memenihi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan, (4) mengorganisasikan sumber-sumber yang waktu
yang efisien, (5) menggunakan refleksi atau pemikiran dan umpan balik untuk pertumbuhan dan evaluasi
diri, (6) memperbaiki atau perhalusan kecakapan dan bakatnya secara terus menerus, (7) beradaptasi
dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
b. Mencapai tingkat kemampuan baca tulis yang tinggi, meliputi: (1) mendemonstrasikan kecakapan-
kecakapan dasar yang memenuhi standar bidang pelajaran atau persoalan yang esensial, (2)
menggunakan starategi mengelola informasi yang efektif dan efesien dalam mengaitkan inforamasi dan
pengalaman, (3) menerapkan pengetahuan dan informasi dengan situasi-situasi yang baru, (4)
menghargai berbagai konstribusi budaya dan pengungkapan artistik, (5) menerapkan teknologi untuk
hidup, belajar dan bekerja dengan suksek dalam suatu masyarakat yang semakin kompleks dan kaya
informasi.
c. Mengelola informasi, yang meliputi: (1) menggunakan strategi pencarian informasi yang tepat, (2)
mengevaluasi, menginterpretasi, mengorganisasi dan mensintesis informasi, (3) menyajikan informasi
dalam berbagai bentuk.
d. Mendemonstrasikan kesadaran estetis yang meliputi: (1) mengembangkan dan menggunakan kreteria
untuk mengevaluasi kebenaran / keaslian, subtansi dan keunggulan, (2) mengembangkan suatu
penghargaan terhadap keindahan yang halus yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, (3) mengajak
dan ikut serta dalam kegiatan estetis untuk kesenangan dan pertumbuhan pribadi.

2. Kecakapan berfikir komleks


a. Mendemonstrasikan berbagai proses berfikir, meliputi: (1) menggukan berbagai kecakapan berfikir, (2)
memadukan berbagai kecakapan berfikir dalam proses yang menyeluruh, (3) menggukan proses berfikir
dalam hal-hal yang kongkrit dan abstrak.
b. Memadukan informasi yang baru dalam pengetahuan dan pengalaman dan pengelaman yang ada: (1)
menggunakan proses berfikir untuk menafsirkan informasi, (2) mengorganisasi dan mengelola informasi
(3) menggabungkan informasi dalam cara-cara yang baru dan baik.
c. Menerapkan kecakapan berfikir secara tragis, meliputi: (1) mengakui dan memonitor penggunaan proses
berfikir sendiri, (2) memprediksi konsekwensinya ketika membuat keputusan (3) mepertimbangkan ide-
ide baru dan pandangan yang bervariasi untuk memperluas wawasan dan penambahan pemahaman, (4)
menyeimbangkan rasio dan emosi dalam membuat keputusan, (5) memadukan informasi baru dengan
pengetahuan dan pengalaman yang ada.

3. kecakapan berkomunikasi yang efektif


Seorang komunikator yang efektif mampu berinteraksi dengan yang lain dengan menggunkan
berbagai media.
a. Menggunakan metode yang tepat dalam berkomunikasi dengan yang lain, meliputi: (1) merencanakan,
mengorganisasikan dan menyeleksi ide-ide untuk berkomunikasi, (2) fleksibel dan bertangung jawab
dalam berkomunikasi, (3) memilih metode komunikasi yang tepat untuk mencapai tujuan, (4) mengakui
atau menghargai sifat-sifat audiens, (5) berkomunikasi secara jelas dalam ucapan, artistik, bentuk-bentuk
tulisan dan non verbal, (6) mengespresikan gagasan , perasaan dan kepercayaan (keyakinan) secara
estetis, (7) berkomonikasi dengan yang lain dalam suatu cara yang beradab, penuh penghargaan dalam
bekerja dan berjalan ke arah tujuan yang sama.
b. Merespon secara tepat ketika menerima komunikasi, meliputi: (1) menerima dan menghargai ide-ide
yang berkomunikasikan melalui berbagai mode / cara, (2) mengakses pengetahuannya perlu untuk
menafsirkan informasi dan membangun makna, (3) mendukung komunikasi yang efektif melalui
pencarian klasifikasi untuk memberikan umpan balik yang tepat, (4) mengakui atu menghargai komuniksi
yang efektif, (5) beradaptasi dan menyesuaikan komunikasi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari
audiens yang dimaksud.

4. Kecakapan kolaborasi
Seorang kolaborator bekerja secara efektif dengan yang lain untuk mengindetifikasi dan
mencapai hasil-hasil yang ditetapkan, ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memahami dan melayani dalam berbagai hal, meliputi: (1) mengambil peran sebagai pemimpin atau
partisipan secara tepat, (2) merubah atau menggeser peran-peran secara halus, (3) mengajar
kecakapan-kecakapan yang baru kepada yang lain dan memprosesnya.
b. Mengindetifikasi kelompok secara efektif, meliputi: (1) menjelaskan tujuan (2) mempertimbangkan
berbagai ide dan mengusulkan modifikasi, (3) menemukan pokok pembicaraan umum di antara berbagai
perhatian yang berbeda, (4) menghasilkan sekumpulan pilihan, (5) mevaluasi kualitas ide-ide dan hasil-
hasil yang potensi, (6) melaksanakan cara mengakhiri perdebatan atau perselisihan dengan tepat, (7)
meninjau kembali proses kelompok dengan menganilisis efektivitasnya.
c. Menggunakan sumber-sumber secara efektif, meliputi: (1) mengindetifikasi sumber-sumber yang
diperlukan untuk memecahkan masalah, (2) bekerja secara efektif di dalam sumber-sumber yang
terbatas.
d. Bekerja dengan berbagai penduduk, meliputi: (1) menghargai perbedaan dan kesamaan di antara
anggota-anggota kelompok, (2) membedakan individu dari peran kelompoknya, (3) menggunakan
pengalaman latar belakang individual untuk meningkatkan proses kelompok, (4) menghargai perbedaan
budaya dan etnik dan memanfaatkan mereka dalam cara-cara yang positif, (5) memperlakukan yang lain
dengan kasih sayang.
e. Merespon secara tepat terhadap hubungan timbal balik yang kompleks, meliputi: (1) menyeimbangkan
kebutuhan pribadi dengan kelompok, (2) membangun konsensus, (3) mengakui peranan dari dinamika
kelompok, (4) menyelesaikan beberapa konflik secara positif.

5. Kecakapan warga Negara yang bertanggung jawab.


Seorang warga Negara yang bertanggung jawab berpartisipasi dalam unit lokal dan dunia untuk
mempromusikan kepentingan pribadi dan umum, dengan ciri-ciri:
a. Mendemontrasikan tanggung jawab individu, meliputi: (1) mengakui martabat, bakat dan keterampilan
sendiri, (2) mendemonstrasikan integritas dan ketergantungan, (3) menggunakan starategi yang tepat
untuk menyelesaikan konflik, (4) mengakui pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan individu yang
berpengaruh terhadap diri, keluarga dan masyarakat, (5) mengambil inisiatif terhadap dan mengikuti isu
dan peristiwa yang diperbincangkan yang mempengaruhi masyarakt.
b. Mempraktekkan gaya hidup sehat, meliputi: (1) mengakses, menganalisis dan menggunakan sumber-
sumber untuk mempromusikan kesehatan, (2) terlibat dalam kegiatan yang mempromusikan kesehatan
fisik, spiritual, sosial dan emosional, (3) mendemonstrasikan kemampuan mengenali, menghindari atau
meminij situasi yang berisiko, (4) menyeimbangkan kerja, tanggung jawab pribadi dan kegiatan waktu
luang.
c. Memahami dan mempromusikan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan yang demokratis,
meliputi: (1) mengakui bahwa semua orang memiliki nilai bawaan, (2) mendemontrasikan penghargaan
terhadap mertabat, kebutuhan dan hak asasi manusia, (3) mempromusikan hukum dan tatanan di
masyarakat, (4) menghargai dan mempertahankan hak-hak dan kekayaan individu, (5) mempraktekkan
proses demokratis.
d. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempromusikan kepentingan umum, meliputi: (1)
memahami sistem ekonomi, politik, sosial dan lingkungan, (2) mengenali dan bertindak untuk
menemukan kebutuhan komunitas, (3) mengenali dan mengakses sumber-sumber untuk memecahkan
problem, (4) melakukan perbaikan di masyarakat, (5) mendemonstrasikan tanggung jawab global dan
pemahaman lintas budaya.

6. Kecakapan dapat bekerja


Seorang idividu yang dapat dipekerjakan adalah dipersiapkan dengan baik untuk mendapatkan dan
menjaga atau memelihara pekerjaan sesuai dengan minat dan mampu mengubah karir dan mencari
pelatihan tambahan sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan ciri-ciri:
a. Merencanakan suatu karir, meliputi: (1) mengenali minat, kemampuan dan kualitas karakter pribadi yang
membawa kejejak karir, (2) memperoleh pengetahuan untuh memilih di antara berbagai jejak karir, (3)
bertanggung jawab terhadap pertumbuhan pribadi.
b. Berfungsi secara efektif dalam suatu sistem, meliputi: (1) mengalisis dan mengevaluasi budaya
organisasi dan struktur sistem, (2) mengevaluasi peranan dirinya dalam sisitem, (3) keterikatan diri
terhadap tujuan, nilai dan etika sistem, (4) bekerja dalam sistem untuk menimbulkan perubahan, (5)
bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan sistem.[33]
Dipihak lain Slamet PH merumuskan kecakapan hidup menjadi dua kategori, yaitu kecakapan
hidup yang bersifat dasar dan instrumental. Kecakapan hidup yang bersifat dasaryaitu kecakapan yang
bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung pada perubahan waktu dan ruang, dan
merupakan fondasi bagi tamatan sekolah agar bisa mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat
instrumental. Kecakapan hidup yang bersifat instrumental yaitu kecakapan yang bersifat relatif,
kondisional, dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan ruang, waktu, situasi, dan harus
diperbaharuhi secara terus-menerus sesuai dengan derap perubahan.
Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka diperlukan
kecakapan-kecakapan yang mutakhir, adaptif dan antisipatif. Adapun kategori dimensi kecakapan hidup
yang bersifat dasar dan instrumental yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Kecakapan Dasar
a. Kecakapan belajar terus-menerus
Kecakapan belajar terus menerus (sepanjang hayat) adalah kecakapan yang paling penting
dibandingkan dengan semua kecakapan hidup lainnya. Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan kehidupan berubah makin cepat sehingga menuntut tamatan sekolah memiliki kemampuan untuk
belajar terus-menerus.
Kecakapan ini merupakan kunci yang dapat membuka kesuksesan masa depan. Dengan
kecakapan ini, tamatan sekolah mudah menguasai kecakapan-kecakapan lainnya. Karena itu, tamatan
sekolah perlu diberi bekal dasar tentang strategi, metode, dan teknik belajar untuk memperoleh dan
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam kehidupannya.

b. Kecakapan membaca, menulis, menghitung


Tamatan Sekolah diharapkan memiliki kecakapan membaca dan menulis secara fungsional, baik
dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, Jerman, Perancis,
Arab, Jepang, Mandarin, atau yang lain.
Kecakapan membaca memahami dan menafsirkan informasi tertulis dalam surat kabar, majalah,
jurnal, dan dokumen. Menulis mengkomunikasikan pikiran, ide-ide, informasi, dan pesan-pesan tertulis
dan membuat dokumen-dokumen seperti surat, arahan, bimbingan, pedoman kerja, manual, laporan,
grafik, dan diagram alir.
Kecakapan menghitung, kemampuan dasar menghitung dan memecahkan masalah-masalah
praktis, dengan memilih secara tepat dari teknik-teknik matematika yang ada, dengan atau tanpa bantuan
teknologi.

c. Kecakapan berkomunikasi: lisan, tertulis, tergambar, mendengar


Manusia berinteraksi dengan manusia lain melalui komunikasi langsung, baik secara lisan,
tertulis, tergambar, dan bahkan melalui kesan pun bisa. Mengingat manusia menggunakan sebagian
besar waktunya untuk berkomunikasi dengan orang lain, maka kecakapan berkomunikasi termasuk
kecakapan mendengar harus dimiliki oleh tamatan sekolah.
Suatu studi menyimpulkan bahwa kelemahan berkomunikasi akan menghambat pengembangan
personal dan profesional seseorang. Bahkan para pebisnis memperkirakan bahwa kelemahan
berkomunikasi akan menambah pembiayaan usahanya akibat kesalahan yang dibuat. Mengingat era
globalisasi telah bergulir, maka penguasaan salah satu bahasa asing (Inggris, Perancis, Arab, Jepang,
Jerman, Mandarin, dsb.) oleh peserta didik merupakan keniscayaan.

d. Kecakapan berpikir
Tingkat kecakapan berpikir seseorang akan berpengaruh terhadap kesuksesan hidupnya.
Mengingat kehidupan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh cara berpikir, maka peserta didik perlu
diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan cara yang benar tentang kecakapan berpikir deduktif,
induktif, ilmiah, kritis, nalar, rasional, lateral, sistem, kreatif, eksploratif, discovery, inventory, reasoning,
pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Selain itu, peserta didik harus diberi bekal dasar
tentang kecintaan terhadap kebenaran, keterbukaan terhadap kritik dan saran, dan berorientasi
kedepan.

e. Kecakapan kalbu: iman (spiritual), rasa dan emosi


Memiliki kecakapan kalbu yang baik, merupakan aset kualitas batiniyah yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan bangsa. Kecakapan kalbu yang terdiri dari iman (spiritual), rasa, dan emosi merupakan
unsur-unsur pembetuk jiwa selain akal.
Pada dasarnya, jiwa merupakan peleburan iman, rasa, emosi, dan akal. Jiwa merupakan
sumber kekuatan dan kendali bagi setiap manusia dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Bahkan, baik buruknya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh baik buruknya kalbu bangsa yang
bersangkutan. Erosi kalbu akan berpengaruh sangat dahsyat karena apapun tingginya derajad berpikir
seseorang, tetapi jika tidak dilandasi oleh moral, spiritual dan emosional yang baik, hanya kehancuran
yang terjadi. Untuk itu, peserta didik perlu diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan cara yang benar
tentang kecakapan moral, emosional dan spiritual. Integritas, kejujuran, solidaritas, kasih sayang pada
orang lain, kesopanan, disiplin diri, menghargai orang lain, hak asasi, kepedulian, toleransi, dan tanggung
jawab.
f. Kecakapan mengelola kesehatan badan
Di mana terdapat kesehatan badan, di situlah terdapat kesehatan jiwa. Manusia diciptakan oleh-
Nya dengan martabat tertinggi sehingga yang bersangkutan harus memelihara kesehatan dirinya lebih
baik dari pada memelihara barang-barangnya. Oleh karena itu, peserta didik sudah selayaknya diberi
bekal dasar tentang pengelolaan kesehatan badan agar yang bersangkutan memiliki kesehatan badan
yang prima, bebas penyakit, dan memiliki ketahanan badan yang kuat. Berolahraga secara teratur,
makan yang bergizi dan bervitamin, menjaga kebersihan, dan beristirahat cukup merupakan pendidikan
kecakapan mengelola kesehatan badan yang harus diterapkan dalam kehidupan peserta didik.

g. Kecakapan merumuskan keinginan dan upaya-upaya untuk mencapainya


Dua hal yang karakteristik sifatnya dalam kehidupan adalah: (1) adanya keinginan baru, dan (2)
upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapai keinginan baru tersebut. Kecakapan merumuskan dua hal
yang karakteristik ini merupakan bagian penting bagi kehidupan seseorang. Dalam kehidupan banyak
dijumpai orang-orang yang kurang mampu merumuskan tujuan hidup yang realistik, dan kalaupun tujuan
yang dirumuskan cukup realistik, tidak jarang pula upaya-upaya yang ditempuh kurang sesuai.
Kecakapan semacam ini perlu diajarkan kepada peserta didik agar yang bersangkutan mampu menjalani
kehidupan secara realistis.

f. Kecakapan berkeluarga dan sosial


Peserta didik hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga,
siswa tersebut berinteraksi dengan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Peserta didik harus memahami,
menghayati, dan menerapkan nilai-nilai kasih sayang, kesopanan, toleransi, kedamaian, keadilan,
respek, kecintaan, solidaritas, dan tatakrama sebagai anak terhadap kedua orang tuanya maupun
sebagai saudara terhadap saudaran-saudaranya.
Dalam sekolah, peserta didik harus memahami, menghayati, dan menerapkan ketentuan-
ketentuan yang berlaku di sekolah. Dalam masyarakat, peserta didik harus memahami, menghayati dan
menerapkan nilai-nilai sosial sebagai berikut: menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli terhadap
barang-barang milik publik, kerjasama, tanggungjawab dan akuntabilitas sosial, keterbukaan, dan
apresiasi terhadap keanekaragaman. Peserta didik harus mampu berkomunikasi, baik secara verbal
maupun non-verbal.
Kelancaran berkomunikasi, selain memperbanyak kawan, juga untuk memupuk kesehatan
mental. Karena peserta didik hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, maka
dia harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.

2. Kecakapan Instrumental
a. Kecakapan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
Teknologi telah merambah ke segala kehidupan dan merupakan alat penggerak utama
kehidupan. Bahkan keunggulan teknologi merupakan salah satu faktor daya saing yang ampuh. Salah
satu faktor yang membuat negara berkembang tertinggal dengan negara maju adalah ketertinggalan
teknologi.
Generasi muda harus diberi bekal agar mengapresiasi pentingnya teknologi bagi kehidupan dan
mempersiapkannya untuk mempelajari dan mengembangkan teknologi yang ada. Mereka harus dididik
bagaimana bekerja dengan jenis-jenis teknologi dan disiapkan agar mereka memiliki kemampuan
memanfaatkan teknologi dalam berbagai kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan,
kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi, industri, perdagangan, kesenian, pertunjukan, olah raga,
konstruksi, transportasi, dan perbankan). Peserta didik perlu dibekali cara-cara memilih teknologi,
menggunakannya untuk tugas-tugas tertentu dan cara-cara memeliharanya.

b. Kecakapan mengelola sumber daya


Peserta didik perlu diberi bekal tentang arti, tujuan, dan cara-cara mengidentifikasi, mengorganisasi,
merencanakan, dan mengalokasikan sumber daya. Lebih spesifiknya, siswa perlu dilatih: (1) mengelola
sumber daya alam; (2) mengelola waktu; (3) mengelola uang, dengan melatih mereka membuat rencana
teknis dan anggaran, penggunaannya, dan membuat penyesuaian-penyasuaian untuk mencapai tujuan;
(4) mengelola sumber daya ruang, (5) mengelola sumber daya sosial-budaya, (6) mengelola peralatan
dan perlengkapan, dan (7) mengelola lingkungan.
c. Kecakapan bekerjasama dengan orang lain
Kehidupan, baik perusahaan, bank, pendidikan, maupun yang lain, yang akan dimasuki oleh
tamatan sekolah kelak pada umumnya bersifat kolektif. Tamatan Sekolah hanyalah merupakan bagian
dari kehidupan tersebut. Mereka nantinya harus bisa bekerjasama secara harmonis dengan orang lain.
Karena itu, sejak dini mereka perlu diberi bekal dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar tentang
cara-cara bekerjasama, menghargai hak asasi orang lain, pentingnya kebersamaan, tanggungjawab, dan
akuntabilitas perbuatan, keterbukaan, apresiasi keanekaragaman, kemauan baik yang kreatif,
kepemimpinan, manajemen negosiasi, dan masih banyak hal-hal lain yang perlu diajarkan.

d. Kecakapan memanfaatkan informasi


Saat ini dan lebih-lebih di masa mendatang, informasi akan mengalir secara cepat dan deras
dalam berbagai kehidupan. Siapa yang tertinggal informasi akan tertinggal pula dalam kehidupannya.
Jadi, informasi sudah merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kehidupan
seseorang. Untuk itu, peserta didik perlu dibekali cara-cara mendapatkan dan memanfaatkan aneka
ragam informasi yang ada. Mereka harus dididik cara-cara mendapatkan dan mengevaluasi informasi,
mengorganisasi dan memelihara informasi, menafsirkan dan mengkomunikasikan informasi, dan
menggunakan komputer untuk mengolah data agar menjadi informasi.

e. Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan


Kehidupan diciptakan oleh-Nya dalam serba sistem. Oleh karenanya, jika ingin mengenali
hakikat (kebenaran seutuhnya) segala yang ada dalam kehidupan, harus mengenali sampai pada
sistemnya. Mengenali sampai pada sistemnya ditempuh melalui perbuatan berpikir sistem. Berpikir
sistem adalah berpikir membangun keberadaan hal menurut kriteria sistem. Sistem adalah kumpulan
proses berstruktur hirarkis yang terikat pada tujuan. Peserta didik perlu memahami, menghayati, dan
menerapkan sistem dalam kehidupannya. Mereka perlu diberi bekal dasar tentang cara berpikir, cara
mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sebagai sistem. Mereka harus memahami cara kerja
sistem-sistem kehidupan seperti misalnya bank, perusahaan, sekolah, pertanian, peternakan, dan
keluarga. Bahkan, dirinya sebagai sistem harus dikenalinya secara baik.

f. Kecakapan berwirausaha
Kecakapan berwirausaha adalah kecakapan memobilisasi sumber daya yang ada di sekitarnya,
untuk mencapai tujuan organisasinya atau untuk keuntungan ekonomi. Siswa harus dibekali kecakapan
berwirausaha. Kewirausahaan memiliki ciri-ciri: (1) bersikap dan berpikir mandiri, (2) memiliki sikap berani
menanggung resiko, (3) tidak suka mencari kambing hitam, (4) selalu berusaha menciptakan dan
meningkatkan nilai sumber daya, (5) terbuka terhadap umpan balik, (6) selalu ingin perubahan yang lebih
baik, (7) tidak pernah merasa puas, terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan
selanjutnya, dan (8) memiliki tanggung jawab moral yang baik.

g. Kecakapan kejuruan, termasuk olahraga dan seni (cita rasa)


Tidak semua peserta didik menyukai keterampilan berpikir, sebagian dari mereka menyukai
keterampilan-keterampilan kejuruan seperti misalnya pertanian, peternakan, kerajinan, bisnis, boga,
busana, industri, olahraga, dan kesenian (seni kriya, seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni
pertunjukan, dan sebagainya). Juga, tidak semua peserta didik melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi dan karenanya perlu diberi bekal keterampilan kejuruan agar mereka memiliki kemampuan untuk
mencari nafkah. Lebih-lebih bagi peserta didik yang berasal dari kalangan marginal secara ekonomi-
sosial, maka dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan
mereka akan terjun dalam kehidupan. Untuk itu, mereka jelas membutuhkan keterampilan kejuruan yang
secara praktis dapat digunakan untuk mencari nafkah.

h. Kecakapan memilih, menyiapkan dan mengembangkan karir


Setiap tamatan Sekolah kelak berharap memiliki karir yang sesuai dengan potensi dirinya dan
sesuai dengan peluang yang ada. Selain itu, karir yang dimiliki diharapkan dapat memberikan
penghargaan yang layak. Untuk sampai pada harapan tersebut, peserta didik perlu dikenalkan tentang
potensi dirinya, jenis-jenis karir yang ada dalam kehidupan, persyaratan untuk memasuki jenis karir
tertentu, dan disiapkan agar kelak setelah lulus sekolah mampu memilih, menyiapkan, dan
mengembangkan karir yang sesuai dengan potensi dirinya.

i. Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan


Peserta didik hidup dalam lingkungan nyata dan lingkungan maya sekaligus. Lingkungan nyata
berupa fisik yang dapat dirasakan oleh panca indera, seperti tanah, air, dan udara. Terhadap lingkungan
fisik, peserta didik harus mampu menjaga kesehatan dirinya (kebersihan, ketegaran badan) dan
keharmonisan dengan alam sekitarnya (memelihara lingkungan). Lingkungan maya, adalah suasana
sosial yang dapat ditangkap oleh otak dan dirasakan oleh hati. Terhadap lingkungan maya, peserta didik
harus mampu menjaga keharmonisan dengan masyarakat di sekitarnya.

j. Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila


Negara Kesatuan Repuplik Indonesia terdiri dari keanekaragaman / kebhinekaan dalam suku,
agama, ras, dan asal-usul tetapi harus tetap menjadi satu (bhineka tunggal ika). Untuk mencapai
bhineka tunggal ika diperlukan upaya-upaya nyata. Peserta didik perlu diberi bekal kemampuan
mengintegrasikan kebhinekaan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Menghargai perbedaan agama, menunjung tinggi hak asasi manusia, menjaga kesatuan
bangsa, demokrasi, keadilan sosial, kecintaan terhadap negaranya, kepahlawanan dan apresiasi
terhadap para pahlawan, apresiasi terhadap peninggalan budaya, kebebasan dan tanggungjawab,
kesadaran sebagai warganegara, adalah contoh-contoh kecakapan hidup untuk menyatukan bangsa
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.[34]
Dari berbagai katagori pendidikan kecakapan hidup diatas baik kecakapan general, spesifik,
dasar maupun instrumental, semuanya mensyaratkan adanya keseimbangan antara teori dan praktek,
atau ilmu dan amal dalam kehidupan sehari-hari, dan pelaksanaa kecakapan hidup memerlukan adanya
konsistensi dan berjalan secara integaral, sehingga antara kecakapan yang satu dengan yang lainnya
tidak berjalan secara terpisah, dari sinilah kemudian jati diri dan kepribadian akan terbentuk, guna
menumbuh kembangkan penghayatan nilai-nilai etika, sosial, religius yang merupakan bagian integral
dari pendidikan di semua jenis dan jenjang.

C. Tujuan Dan Manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup


1. Tujuan pendidikan kecakapan hidup
Seperti juga pada pengertian kecakapan hidup, tujuan pendidikan kecakapan hidup juga
bervariasi sesuai dengan kepentingan yang akan dipenuhi. Naval Air Station Antlanta menuliskan bahwa
tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah:
To promote family strength and growth through education; to teach concepts and principles
relevant to family living, to explore personal attitudes and values, and help members understand and
accept the attitudes and values of others; to develop interpersonal skills which contribute to family well-
being; to reduce marriage and family conflict and thereby enhance service member productivity; and to
encourage on-base delivery of family education program and referral as appropriate to community
programs.[35]
Untuk meningkatkan jumlah anggota dan perkembangan melalui pendidikan; dan untuk
mengajarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang relevan pada kehidupan keluarga; dan untuk
meneliti sikap dan nilai-nilai pribadi, dan membantu anggota mengerti dan menerima nilai dan sikap
tersebut satu sama lain; dan untuk mengembangkan kemampuan antar pribadi yang mengkonstribusikan
pada kesejahteraan keluarga, dengan cara demikian, hal itu meningkatkan pelayanan produktivitas
anggota; dan untuk mendorong angka kelahiran yang berdasarkan program pendidikan keluarga; dan
semestinya program tersebut mengacu kepada komunitas.[36]
Sementara itu, Tim Broad-Based Education Depdiknas mengemukakan secara umum pendidikan
yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya,
yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa yang akan
datang, secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
a. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang
dihadapi,
b. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai
dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang
pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah.[37]
Dari hasil rumusan tujuan pendidikan kecakapan hidup, yang ditulis oleh Naval Air Station
Antlanta dan Tim Broad Based Education Depdiknass, lebih spesifik Slamet PH merumuskan tujuan
pendidikan kecakapan hidup, dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui
pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos)nilai-nilai kehidupan sehari-hari
sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.
b. Memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri,
eksplorasi karir, orientasi karir, dan penyiapan karir.
c. Memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan
sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan
yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus.
d. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah
dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas
pengelolaan sumber daya sekolah.
e. Memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari,
misalnya kesehatan mental dan fisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan fisik,
narkoba, kekerasan, dan kemajuan ipteks.[38]
Meskipun sangat bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun dari
pernyataan tersebut, konvergensinya sudah begitu jelas bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan
hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga
kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang, serta esensi dari pendidikan kecakapan
hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik
preservatif maupun progresif.

2. Manfaat pendidikan kecakapan hidup


Secara umum manfaat pedidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai
bekal dalam menghadapi dan memecahkan problem hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang
mandiri, warga masyrakat, maupun sebagai sebagai warga Negara.[39]
Lebih jauh lagi Slamet PH memberikan diskripsi tentang memfaat dari pendidikan yang
berorientasi kepada kecakapan hidup sebagai berikut. Pertama, peserta didik memiliki aset kualitas
batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan masa depan sehingga
yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan
perkembangannya. Kedua, peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan karir dalam
dunia kerja yang sarat perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju dalam
karir. Ketiga, peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup dengan cara yang benar, yang
memungkinan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi. Keempat, peserta didik memiliki tingkat
kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan
hidup dan perkembangannya. Kelima, peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk
mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi.[40]
Dari berbagi rumusuan di atas, baik yang dideskripsikan oleh Tim Broad Based Education
Depdiknas maupun dari Slamet Ph, esensi dari Pendidikan kecakapan hidup, mampu memberikan
manfaat pribadi peserta didik dan manfaat sosial bagi masyarakat. Bagi peserta didik, pendidikan
kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan
kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu,
misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang, pengembangan
diri, kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi. Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup
dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator yang ada: peningkatan
kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah
sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori,
solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni.
Pendidikan kecakapan hidup memang bukan sesuatu yang baru. Yang benar-benar baru adalah
bahwa kita mulai sadar dan berfikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata
perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya. Karena itu, yang diperlukan adalah membawa sekolah
sebagai bagian dari masyarakat dan bukannya menempatkan sekolah sebagai sesuatu yang berada di
masyarakat. Pendidikan harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat
preservatif dan progresif. Sekolah harus menyatu dengan nilai-nilai kehidupan nyata yang ada di
lingkungannya dan mendidik peserta didik sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kehidupan yang sedang
berlaku. Ini menuntut proses belajar mengajar dan masukan instrumental sekolah seperti misalnya
kurikulum, guru, metodologi pembelajaran, alat bantu pendidikan, dan evaluasi pembelajaran benar-
benar realistik, kontekstual, dan bukannya artifisial.
Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan pada lapangan pekerjaan yang sudah ada,
sebagai akibat dari banyaknya pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan
meningkat secara bertahap.

D. Pola Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang demikian pesat mengakibatkan inovasi
pengetahuan begitu melimpah. Perubahan yang sangat mendalam dan pesat, mengharuskan manusia
belajar hidup dengan perubahan terus menerus, dengan ketidak pastian, dan
dengan unpredicatability (ketidak mampuan untuk memeperhitungkan apa yang akan terjadi). Persoalan
yang dihadapi oleh manusia dan kemanusiaan tersebut tak pelak juga melibatkan persoalan pendidikan
didalamnya, yaitu sejauh mana pendidikan mampu berperan mengantisipasi dan mengatasi persoalan
itu. Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan terus digambarkan oleh John Vaizey dengan
mengatakan bahwa setiap orang yang pernah menghadiri konferensi internasional ditahun-tahun terakhir
pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang memenuhi agenda. Makin lama makin
jelas bahwa organisasi-organisasi internasional itu mencerminkan apa yang terjadi disemua Negara
didunia. Hampir tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan topik utama
yang diperdebatkan.[41]
Diantara tanggungjawab lembaga pendidikan adalah membina siswa supaya berani berdiri
sendiri dan berusaha sendiri; maka kemampuan secara mandiri dan kritis (independent critical
thinking) yang menjadi landasan mutlak untuk semuanya ini tidak hanya memerlukan kebebasan
akademis, tetapi juga kebudayaan akademis yang merangsang berfikir mandiri dan kritis. Oleh karena itu
pendidikan memegang kedudukan sentral dalam proses pembangunan dan kemajuan dalam
menanggapi tantangan masa depan. Hal itu membawa konsekwensi dalam bidang pendidikan,
pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan peserta didik untuk mempelajari seluruh pengetahuan,
karaena itu harus dipilih bagian-bagian esensial yang menjadi pondasinya.
Disamping kecakapan hidup secara umum, kiranya perlu dikembangkan pada kemampuan
belajar bagaimana cara belajar (learning how tolearn) dengan harapan dapat digunakan untuk belajar
sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri dikemudian hari. Pengetahuan itulah yang mendasari
konsep pendidikan kecakapan hidup, disamping itu pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan
masyarakat secara luas dengan menekankan pada penguasaan kecakapan hidup generik sebagai
fondasi pengembangan diri lebih lanjut, serta menggunakan prinsip menejemen berbasis sekolah
sebagai pelaksana penerapan menejemen pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
kontektual (contextual teaching and learning) serta pembelajarannya menggunakan empat pilar
pendidikan yang dicanangkan oleh UNISCO.[42]

1. Penerapan Menejemen Sekolah.


Menejemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematis dan
koprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sementara menejemen berbasis
sekolah sebagaimana yang diungkapkan oleh E. Mulyasa adalah pemberian otonomi luas pada tingkat
sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya
sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tangap terhadap kebutuhan setempat. [43]
Penerapan menejemen dalam pendidikan sangat penting, karena pendidikan merupakan
kebutuhan dasar manusia, bahkan merupakan salah satu dinamisator pembangunan itu sendiri, sehingga
dapat dikatakan menejemen pendidikan merupakan sub sistem dari menejemen pembangunan
nasional.[44]
Berdasarkan atas apa yang tercakup dalam pengertian menejemen berbasis sekolah, nampak
bahwa menejemen berbasis sekolah itu meliputi berbagai aspek yang sangat luas sekali, dalam hal ini
seluruh komponen-komponen sekolah itu sendiri:

a. Menejemen kurikulum dan program pengajaran.


Pengembangan kurikulum biar efektif dan program pengajaran dapat terjamin, maka kepala
sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru-guru harus menjabarkan isi
kurikulum secara jelas dan terperinci dengan memperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:
1) Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin oprasional tujuan yang dirumuskan, maka makin mudah
terlihat dan makin tepat program-program yang dikembangkan untuk mencapai tujuan.
2) Program harus sederhana dan fleksibel
3) Program-program yang disusun dan dikembangkan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
4) Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan harus jelas pencapaiannya.
5) Harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.[45]
Jadi yang dimaksud dengan menejemen kurikulum dan program pengajaran dalam menejemen
berbasis sekolah adalah kewenangan sekolah untuk meminej, mengelola kurikulum dan program
pengajaran untuk disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan sekolah.

b. Menejemen tenaga kependidikan


Menejemen tenaga kependidikan atau menejemen personalia pendidikan bertujuan untuk
mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efesien untuk mencapai hasil yang optimal.
Menejemen personalia dilaksanakan oleh seorang menejer agar kinerja mereka dapat dipertahankan dan
semakin meningkat.
Kualitas program pendidikan tidak hanya tergantung pada konsep-konsep yang cerdas, akan
tetapi juga pada personil pengajar yang mempunyai keinginan dan kesanggupan untuk berprestasi.
Menejemen tenaga kependidikan mencakup: (1) perencanaan pegawai (2) pengadaan pegawai (3)
pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) konpensasi, dan (5) penilaian pegawai. [46]
Dalam kaitannya dengan menejemen tenaga kependidikan tugas kepala sekolah sebagi top
menejer di sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena selain dia mengusahakan tercapainya
tujuan sekolah tetapi sesorang kepala sekolah juga harus memikirkan tujuan tenaga kependidikan secara
pribadi. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk mengerjakan instrumen pengelolaan tenaga
kependidikan untuk membantu terlaksananya menejemen berbasis sekolah yang dipimpinnya.
c. Menejemen Kesiswaan
Menejemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan
dengan peserta didik, mulai masuk sampai keluarnya peserta didik dari sekolah. [47]
Dalam pelaksanaan menjemen kesiswaan sebagai kepala sekolah setidaknya ada tiga hal yang
perlu diperhatikan yaitu menerima siswa baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan
pembinaan disiplin, atau dalam pengelolaannya tanggung jawab kepala sekolah dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1) Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu;
2) Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukan murid kekelas dan program studi;
3) Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar;
4) Program supervisi bagai murid yang mempunyai kelainan, seperti pengajaran, perbaikan dan pengajaran
luar biasa;
5) Pengendalian disiplin murid;
6) Program bimbingan dan penyuluhan;
7) Program kesehatan dan keamana;
8) Penyesuaian pribadi, sosial, dan emosional.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan tidak hanya bertanggung jawab memberikan ilmu
pengetahuan kepada para siswanya, akan tetapi juga bertanggung jawab dalam pemberian bimbingan
dan bantuan terhadap peserta didik yang mempunyai permasalahan sehingga siswa dapat berkembang
secara optimal sesuai dengan bakat masing-masing.

d. Menejemen keuangan
komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan salah satu komponen
produksi yang menentukan kesuksesan dalam pelaksanaan kegiatan bejalar mengajar. Oleh karna itu
dalam menejemen keuangan haruslah memperhatikan komponen utama menejemen, meliputi: (1)
prosedur anggaran (2) prosedur akuntansi keuangan (3) pembelajaran, pergudangan, dan prosedur
pendistribusian, (4) prosedur investasi, (5) prosedur pemeriksan. [48]

e. Menejemen Sarana dan Prasarana


Pelaksanaan menejemen sarana dan prasarana yang baik di sekolah yaitu yang menciptakan
sekolah yang bersih, rapi, dan indah sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang menyenangkan bagi
warga sekolah. Selain itu dengan tersedianya perlengkapan dan fasilitas belajar yang memadai di
sekolah diharapkan akan semakin meningkatkan semangat dan kualitas pendidikan di sekolah. Karena
menejemen sarana dan prasarana pendidikan dapat memberikan konstribusi secara optimal pada
jalannya proses belajar mengajar.[49]
f. Menejemen hubungan sekolah dengan masyarakat.
Hubungan sekolah dengan masyarakat ini pada hakekatnya adalah suatu sarana yang cukup
mempunyai peranan yang menentukan dalam rangka usaha dalam pembinaan pertumbuhan dan
perkembangan siswa di sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk (1)
memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan
kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan
dengan sekolah.[50]

g. Menejemen layanan khusus


Layanan khusus ini diberikan sekolah kepada para siswanya dengan tujuan agar dengan
tersedianya beberapa layanan ini akan menambah semangat dan mutivasi belajar yang pada akhirnya
akan semakin meningkatkan prestasi belajarnya.
Jadi yang dimaksud menejemen layana khusus adalah kewenangan sekolah untuk memberikan
berbagai layanan khusus kepada siswanya untuk menambah semangat dan mutivasi belajar siswa dalam
meningkatkan prestasi belajar.
Dalam sistem otonomi pendidikan, dimana dalam penerapannya menggunakan menejemen
berbasis sekolah, pendidikan tidak dikendalikan secara hirarkis vertikal oleh pejabat, akan tetapi lebih
menggunakan paradigma heterarkis dengan pengendalian oleh "dewan pengedali" yang unsur-unsurnya
dapat terdiri dari jenis, (1). kepala sekolah, (2). unsur guru, (3) unsur siswa, (4) unsur orang tua, (5) unsur
masyarakat, (6) unsur lain yang dianggap perlu.
Dewan pengendali bertugas merumuskan (1). apa yang dibutuhkan siswa (2) apa yang
dibutuhkan orang tua dan masyarakat (3) apa yang dibutuhkan oleh sekolah dijenjang atasnya, serta
kebutuhan yang dianggap perlu.[51]

2. Pola Pembelajaran dalam Pendidikan Life Skill


Untuk mengantisipasi tantangan global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun
konsep bertajuk Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di satu sisi, konsep
ini diperlukan untuk menyongsong kecenderungan global dan membekali siswa dengan berbagai
keterampilan sesuai program pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas
kompetensi siswa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi, dalam implementasinya
harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to
learn) terus menerus.
Dalam proses pembelajaran, paling tidak siswa memerlukan empat pilar yakni pengetahuan,
keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerjasama. Hal ini sejalan
dengan penegasan UNESCO dalam konverensi tahunannya di Melbourne yang menekankan perlunya
Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni: (a) belajar untuk mengetahui, (b)
belajar untuk dapat melakukan, (c) belajar untuk dapat mandiri, dan (d) belajar untuk dapat bekerjasama.
Empat kemampuan tersebut di atas merupakan pilar-pilar belajar yang akan menjadi acuan bagi
sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-membelajarkan yang akan bermuara pada hasil
belajar aktual yang diperlukan dalam kehidupan manusia.
Dalam proses Pembelajarannya, pendidikan kecakapan hidup menggunakan model
pembelajaran kontekstual (Contextual teaching and learning). Dalam pendidikan dikelas, penerapan
pembelajaran konstektual muncul dalam lima langkah pembelajaran:
a. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, dalam artian guru perlu mengetahui Prior knowledge siswa,
karena struktur-struktur pengetahuan awal pengetahuan yang sudah dimiliki akan menjadi sentuhan
dasar untuk mempelajari informasi baru. Struktur-struktur tersebut perlu dibangkitkan sebelum informasi
baru diberikan.
b. Pemerolehan pengetahuan baru, artinya pemerolehan pengetahuan perlu dilakukan secara keseluruhan,
tidak dalam paket-paket yang terpisah.
c. Pemahaman pengetahuan, dalam memahami pengetahuan siswa perlu menyelidiki dan menguji semua
hal yang memungkinkan dari pengetahuan baru, dengan melalaui tahapan (1). Konsep sementara (2).
Melakukan sering kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) (3). Konsep tersebut direvisi
dan dikembangkan. (4). Menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh (5). Melakukan
releksi.[52]
Sekolah sebagai agen perubahan dan tempat berkembagnya aspek intelektual (head-on),
moral (heart-on) dan keterampilan (hand-on) tidak dapat direduksi hanya untuk salah satu tujuan belajar
saja. Sekolah akan kehilangan makna jika menekankan pada salah satunya dengan mengabaikan yang
lain, karena tujuan awal diadakannya sekolah ialah untuk membekali siswa dengan berbagai aspek
intelektual dan emosional yang fundamental sehingga ia cerdas, bermoral dan terampil. [53]
Pembelajaran kontekstual dirasa sebagai salah satu kebutuhan mendasar bagi negara maju
dalam menyongsong era global sebagaimana penegasan Goh Chok Tong, P.M. Singapore, pada The
Singapore Expo (2001), bahwa kurikulum harus lebih menekankan pada kemampuan berpikir kreatif dan
kritis serta pemecahan masalah. Kemampuan ini dapat tumbuh jika siswa menghargai keterkaitan antar
disiplin ilmu, menggunakan prosedur pemecahan masalah dan keterampilan berkomunikasi serta mau
bekerja dalam kelompok kerja. Dorongan terhadap siswa untuk menghargai berbagai disiplin, tertib
prosedur, serta berbagai aspek lain yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi dengan sesamanya
menunjukan bahwa siswa perlu memiliki berbagai keterampilan yang kompleks.[54]
Dalam pelaksanaannya pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks
bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan
sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu
maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagaimana berikut:
a. Belajar berbasis masalah (problem-based learning) yaitu suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis
dan keterampilan pemecahan masalah,serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi
dari materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pegumpulan informasi yang berkaitan dengan
pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain.
b. Pengajaran autentik (authentic instruction) yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenalkan siswa
untuk mempelajari konteks bermakna, ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah
yang penting dalam kehidupan nyata.
c. Belajar berbasis inquiri (inquri-based learning) yang menumbuhkan strategi pengajaran yang mengikuti
metodelogi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d. Belajar berbasis proyek/tugas (project-based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pegajaran
kompherensip dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan
penyelidikan terhadap masalah authentik termasuk pendalaman meteri dari suatu topik mata pelajaran,
dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja
secara mandiri dan mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengkulminasikan dalam prodek
nyata.
e. Belajar berbasis kerja (work-based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis
sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali ditempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat
kerja atau sejenisnya dan berbagi aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
f. Belajar berbasis jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran
yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk
merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi penekanannya hubungan antara pengalaman jasa layanan dan
pembelajaran akademis.
g. Belajar kooperatif (cooperative lerning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan
belajar.[55]
Pembelajaran kontekstual tidak hanya menuntut siswa untuk mengikuti pengajaran dengan konteks
lingkungan mereka sendiri, dalam artian pembelajaran kontekstual menuntut siswa mengeksplorasi
makna konteks itu sendiri, tujuannya untuk menyadarkan siswa bahwa mereka memiliki kemampuan dan
tanggung jawab untuk mempengaruhi dan membentuk susunan konteks yang beragam, mulai keluarga,
ruang kelas, kelompok, tempat kerja, komunitas. sehingga dengan demikian pembelajaran akan lebih
bermakna.
Untuk menampung siswa putus sekolah serta tamatan SLTP dan sekolah menengah yang tidak
melanjutkan, maka dapat dikembangkan suatu lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) yang mampu
membekali mereka dengan kecakapan vokasional yang disebut dengan (Community College).
Community college merupakan tempat atau wadah dimana para peserta didik dapat mengikuti
diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dengan kata
lain community college dapat disebut Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan Terpadu
(PPKT).[56] Sehingga dengan terbentukanya Community college yang terkoordinir dan menejemen
maka akan menghasilkan tamatan yang kompeten sesuai dengn tuntutan pasar kerja dan kebutuhan
masyarakat sekitar.

[1] Tim Broad Based Education Depdiknas, Kecakapan Hidup Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis
Luas, SIC, Surabaya, 2002, hlm. 14.
[2] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 1-2.
[3]Ibid, hlm. 2-3.
[4] Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, Infinite Press, Riau, 2004, hlm. 1.
[5] Tim Broad Based Education Depdiknas.op.cit., hlm. 14-15.
[6]Paul Suparno, dkk, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Kanisius, 2000, hlm. 15.
[7] Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Konstektual Dalam Penerapannya Dalam
KBK, Universitas Negeri Malang, Malang 2004, hlm. 33.
[8]Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 15.

[9]Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Konstektual Dalam Penerapannya Dalam KBK,
Universitas Negeri Malang, Malang, 2004, hlm. 33.
[10]Paul Suparno, dkk. Op.cit., hlm. 16.
[11]Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 33.
[12] Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 16.
[13]Ibid, hlm. 16.
[14]Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 34.
[15]Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 17.
[16]Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 34.
[17]Ibid, hlm. 36-39.
[18] Slamet PH, Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep Dasar, (http//www.
Depdiknas.go.id/jurnal/37/pendidikan-kecakapan-hidup.htm).
[19] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 8.
[20]Ibid, hlm. 15.
[21] Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, Citra Umbara, Bandung, 2003, hlm. 3.
[22]Ibid, hlm. 7-8.
[23] Ibid, hlm. 35.
[24] Ibid, hlm. 36.
[25]Ibid, hlm. 37.

[26] Slamet PH., op.cit.


[27]Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 9.
[28]Ibid, hlm. 10.
[29] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa, Bandung, 2003, hlm. 157.
[30] Tekad Wahyono. Program Keterampilan Hidup (Life Skill Program) Untuk Meningkatkan
Kematangan Vokasional Siswa, ANIMA Indonesian Psychological Journal, 2002, Vol. 17, No 4, hlm. 387.
[31] Tim Broad Based Education Depdiknas. Op.cit., hlm. 10-12.
[32] Tekad Wahyono, op.cit., hlm.389.
[33]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa, Bandung, 2003, hlm.159-163.
[34] Slamet PH., op.cit.
[35] ibid.
[36] Ibid.
[37]Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 7-8.
[38] Slamet PH., op.cit.
[39] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 8.

[40]Slamet PH.op.cit.
[41] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 2-3.
[42] Tim Broad Based Education Depdiknas, Pola Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup,SIC,
Surabaya, 2003, hlm. 3.
[43] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hlm. 19.
[44] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Sosdakarya, Bandung, 199, hlm. 2-3.
[45]E. Mulyasa. op.cit., hlm. 41.
[46] Ibid, hlm. 42.
[47] Ibid, hlm. 45.
[48] Ibid, hlm. 49.
[49] Ibid, hlm. 50.
[50] Ibid, hlm. 50.
[51] Djohar, Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, LEFSI, 2003, hlm. 146.
[52]Nurhadi, Agus Gerrad senduk. op.cit., hlm. 39-40.
[53]Dwi Nogroho Hidayanto, Belajar Keterampilan Berbasis Keterampilan Belajar, (http//www.
Depdiknas.go.id/jurnal/37/belajar-berbasis-keterampilan-belajar .htm).

[54] Ibid.
[55] Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 19-20.
[56] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 34-35.
Diposkan oleh Moh. Fudholi di 07.16

Anda mungkin juga menyukai