Anda di halaman 1dari 9

Hakikat Pendidikan Pendidikan adalah proses membawa manusia dari apa adanya kepada

bagaimana seharusnya. Apa adanya adalah kondisi objektif anak, keadan anak dengan segala
potensi, kemampuan, sifat, dan kebiasaan. Sedangkan bagaimana seharusnya adalah suatu kondisi
yang diharapkan terjadi pada diri anak, berupa perubahan perilaku, dalam aspek cipta, rasa, karsa,
dan karya yang berlandaskan dan bermuatan nilai-nilai yang dianut. Kemampuan manusia untuk bisa
di didik adalah salh satu pembeda antara manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya (Ceppi
Safruddin,2016:1). Melalui Pendidikan, seseorang akan belajar untuk berinetraksi dengan lingkungan
yang berarti mengambil peluang dan membuat peluang, sehingga dapat diartikan sebagai sebuah
perubahan (Bobbi De Porter,2006:82). Lebih lanjut lagi, dalam Pendidikan juga terdapat sebuah
proses belajar. Belajar adalah tempat yang mengalir dinamis, penuh resiko dan menggairahkan
(Bobbi De Porter,2006:29) Dalam proses Pendidikan terjadi proses perkembangan. Pendidikan
adalah proses membantu anak berkembang secara optimal, yaitu berkembang sesuai dengan
potensi dan system nilai yang dianut anak. Pendidikan bukanlah sebuah proses memaksakan
kehendak orang dewasa kepada anak melainkan upaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perkembangan anak, yaitu memberikan kemudahan bagi anak untuk mengembangkan dirinya. Ini
berarti bahwa dalam Pendidikan, anak aktif mengembangkan diri dan guru membantu menciptakan
kemudahan untuk itu. Dengan demikian, Pendidikan adalah proses aktif dilakukan sendiri oleh
individu Karena ada suasana yang mendorong dan memberikan kemudahan bagi perkembangan
dirinya. Hakikat Pendidikan adalah proses aktif mengembangkan diri sebagai anggota pribadi,
anggota masyarakat, dan sebagai makhluk Tuhan.

PEMBAHASAN

Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara

Dasar-dasar Pendidikan barat yang dirasakan oleh Ki Hajar tidak tepat dan tidak cocok untuk
mendidik generasi muda Indonesia Karena Pendidikan barat bersifat regering,tucht,orde
(Perintah,hukuman,dan ketertiban). Menurut beliau karakter Pendidikan semacam ini merupakan
suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak akan budi pekertinya
Karena selalu hidup di bawah paksaan dan tekanan. Menurut Ki Hajar Dewantara, cara mendidik
semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki kepribadian. Ki Hajar Dewantara
juga menjelaskan tentang dasar jiwa anak dan kekuasaan Pendidikan. Dalah hal ini, dasar jiwa yaitu
keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri, sebelum ada pengaruh dari luar. Disini,
dikemukakan tiga teori. Yakni. Aliran lama yang mengngkapkan bahwa anak yang lahir bagaikan
sehelai kertas kosong, yang belum ditulis, sehingga pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu
menurut kehendaknya. Teori ini juga dinamakan teori tabula rasa. Aliran yang kedua adalah aliran
negative, yang berpendapat bahwa anak itu lahir sebagai sekhelai kertas yang ditulisi sepenuhnya.
Sehingga Pendidikan tidak dapat mengubah watak-watak anak. Jadi, Pendidikan menurut aliran
negative dianggap dapa menolak pengaruh-pengaruh jahat dari luar, akan tetapi mewujudkan
budipekerti yang tidak Nampak ada didalam jiwa anak, tak akan dapat. Aliran yang ketiga adalah
aliran yang terkenal dengan “convergentie-theorie” seperti aliran yangtadi. Seorang anak dilahirkan
bagaikan selembar kertas putih yang sudah tertulis penuh, tatpi dalam aliran ini, dijelaskan bahwa
tulisan-tulisan tadi merupakan tulisan yang suram. Menurut aliran ini ditetapkan bahwa Pendidikan
itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram berisi baik. Agar kelak
Nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan jahat hendaknya dibiarkan jangan sampai
menebal dan makin Citra manusia di Indonesia berdasarkan konsep pendidikan yang dikemukakan
oleh Ki Hajar Dewantara: Pertama, Manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki
kekuatan batin dan berkarakter. Artinya Pendidikan diarahkan untuk meningkatkan manusia
Indonesia yang berdiri teguh pada nilai-nilai kebenaran. Sehingga manusia di Indonesia dapat
menyadari tanggungjawabnya untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspresi
dari kebenaran ini dapat terlihat dari tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam,
baik dirinya sendiri dan sesame manusia Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan,
sikap dan tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum positif, dan
tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kedua, manusia Indonesia yang maju
pikirannya adalah yang cerdas kognisi(tahu banyak dan banyak tau). Sehingga melalui kecerdasannya
itu, dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuk.
(pada masa itu, dari penjajahan yang berupa indoktrinasi). Manusia yang maju adalh manusia yang
berani berpikir tentang realitas yang membelenggu kebebasannya, kemampuan berpikirnya, serta
bisa menjadi oposisi dengan hal-hal yang membodohkannya. yang membelenggu kebebasannya, dan
berani beroposisi berhadapan segala bentuk pembodohan. Ketiga. Manusia yang maju dalam aspek
tubuh adalah manusia yang mampumengendalikan tubuhnya. Sehingga dengan ubuh yang maju,
pemikiran yang majuserta budipekerti yang maju dapat memperoleh dukungan untuk
mendeklarasikan kemerdekaan. Menjadi manusiayang merdeka, dan memiliki keterampilan untuk
mengisi kemerdekaan itu dengan segala pembangunan yang humanis. Pendidikan dan Pengajaran
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti(kekuatan
batin,karakter), pikiran (intellek)dan tubuh anak. Dalam pengertian taman siswa tidakboleh dipisah-
pisahkan bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. Maka dari itu harus
memperhatikan hal-hal berikut ini : 1. Segala alat, usaha, dan cara Pendidikan harus sesuai dengan
kodrat atau keadaanya 2. Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat yang
oleh karenanya bergolonggolong merupakan kesatuan dengan sifat perikehidupan sendiri-sendiri,
bercampurnya usaha untuk mencapai hidup tertib-damai/ 3. Adat istiadat sebagai sifat peri
kehidupan atau sifat percampuran usaha dan daya upaya akan hidup. Tidak luput dari pengaruh
jaman dan tempat. Maka dari itu, tidak tetap dan senantiasa berubah 4. Untuk mengetahui garis
hidup. Dari mempelajari jaman yang telah lalu, sekarang, sehingga dapat membayangkan jaman
yang akan datang 5. Percampuran Karena percampuran bangsa. Hal ini terjadi oleh adanya
hubungan modern maka dari itu, kita harus waspada dalam memilihmana yang baik untuk
menambah kemuliaan hidup atau malah merugikan.hal ini, harus dilandasi dengan senantiasa
mengingat bahw semua kemajuan ini merupakan anugerah dari Tuhan untuk segenap seluruh
manusia di dunia. Perkataan “Pendidikan”dan “pengajaran”” seringkali dipakai Bersama. Sebenarnya
gabungan dari kedua perkataan itu dapat mengeruhkan pengeriannya yang asli. Perlu kita ketahui
bahwa pengajaran adalah bagian dari Pendidikan. Maka dari itu, pengajaran adalah Pendidikan
dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan, serta juga memberikan keterampilan kecakapan
kepada anak-anak yang keduanya dapat memberikan manfaat bagi anak-anak baik secara lahir
maupun batin. Sedangkan Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, sebagai manusia, dan sebagai masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. “…. Pengajaran harus bersifat kebangsaan…. Kalua pengajaran bagi anak-anak
tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin
lama terpisah dari bangsanya,kemudian barangkali menjadi lawan kita….. pengajaran Nasional itulah
hak dan kewajiban kita….” Ki Hajar Dewantara, 1928 Melihat uraian diatas, kita dapat menangkap
pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai Pendidikan yakni upaya yang konkret untuk memerdekakan
manusia secara utuh dan penuh. Menurut beliau, Pendidikan merupakan salah satu pintu masuk
untuk mewujudkan manusia yang merdeka. Baik bemerdekaan lahiriah maupun batiniah manusia,
baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan
demikian, pendidikan menjadi wadah untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial,
dan otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah yang
dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia mampu
menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga dunia.
Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah
kognisi, afeksi, spiritual, sosial sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada
orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Manusia yang terdidik mampu menyikapi tuntutan -
tuntutan dan tantangan kehidupan dengan sikap yang bijaksana, dan bersahaja. Manusia tersebut,
tidak terperangkap lagi dalam kepentingan kepentingan diri dan golongan yang temporal dan
duniawi sifatnya. Manusia yang merdeka batiniyahnya adalah manusia yang bukan hanya pintar
secara akal maupun kognitifya tetapi juga benar dalam tindakannya. Maju penalaran akalnya dan
sekaligus maju moralnya. Sehingga tindakan yangdilakukan berdasarkan beriman kepada Tuhan Yang
Maha Esa (dihayati dan sebagai prioritas dalam tuntunan hidupnya) serta hormat kepada martabat.
Metode Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara Ki Hajar Dewantara memang menempuh
Pendidikan di belahan dunia bagian Barat. Namun, ia tidak mau menerapkan system Pendidikan
yang bercorak barat. Karena, seperti yang telah disampaikan bahwa system Pendidikan barat tidak
sesuai dan tidak cocok untuk keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Karena, dalam system
Pendidikan barat terdapat paksaan, hukuman, perintah. Sebab, Pendidikan model seperti ini,
menurut Ki Hajar Dewantara akan memperkosa kehidupan batin anak-anak. Sehingga hal ini, dapat
berbahaya bagi perkembangan budi pekerti anak-anak. Padahal dalam penanaman nilainilai melalui
tahapan-tahapan yakni pembiasaan, penyadaran emosi, pendisiplinan (Ali Mustadi,2006) Menurut Ki
Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia
tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa
yang hidup dalam khasanah nilai nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih saying,
cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu
disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu,
pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta
didik diberi ruang yang seluasnya untuk bereksplorasi, berekspresi, berkreatifitas, secara mandiri
dan bertanggung jawab. Sistem Among Sistem Among Ki Hadjar Dewantara merupakan metode yang
sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Pendidikan sistem Among
bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai
kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan
menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering
dikaitkan dengan asas yang berbunyi: 1) Ing Ngarso Sung Tuladha yang memiliki arti Di depan guru
harus memberikan teladan seluruh aspek kehidupannya. Hal ini, mencerminkan bahwa menjadi
seorang guru harus bisa memberikan sebuah keteladanan dan menjadi teladan. 2) Ing Madya
Mangun Karsa Seorang guru harus bisa membangun semangat, motivasi, dan gairah hidup untuk
menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa menjadi seorang guru harus mampu
memberikan dorongan serta motivasi bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuan
dan potensi dirinya. 3) Tut Wuri Handayani seorang harus dapat mengikuti dengan baik terhadap
para murid yang telah menunjukkan sikap perilaku yang benar (baik,jujur,cerdas). Asas ini telah
banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota
masyarakat yang belum memahaminya. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau
momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari Sistem Among
adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan
batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi
anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta
manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan Sistem Among, setelah anak didik menguasai ilmu,
mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan
karsa. Ki Hadjar Dewantara dalam Pidato Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM
tahun 1956 dalam 60 tahun Taman Siswa menjelaskan analog hubungan guru-siswa serupa dengan
hubungan petani dan tanamannya. Untuk itu guru terhadap para murid harus berfikir, berperasaan
dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanamannya. Orang bercocok-tanam harus takluk kepada
kodratnya tanaman, janganlah tanaman ditaklukkan pada kemauan sipetani. Haruslah si petani
menyerahkan dirinya, yakni menghilangkan kemurkaan dirinya, dengan iklas dan ridla kepada
kepentingan tanamannya dan mengejar kesuburan tanamannya semata-mata. Kesuburan
tanamannya inilah yang menjadi kepentingan si juru-tani. Haruslah ia tahu akan perbedaan antara
padi, jagung, dan tanaman lainnya dalam keperluan masingmasing untuk dapat bertumbuh dengan
subur dan dapat berhasil. Karena itu perlulah si petani tahu, insaf dan mengerjakan segala ilmu atau
pengetahuan pertanian, yang benar dan baik. Dalam pada itu janganlah membeda-bedakan pula dari
mana asalnya pupuk, asalnya alat, atau asalnya ilmu pengetahuan pertanian, dan sebagainya; segala
yang dapat enyuburkan tanaman menurut kodrat dan irodatnya harus dipakai olehnya (petani).
Dalam tulisan karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama (2013: 13-14) dijelaskan tentang dasar
pendidikan sebagai berikut. Pendidikan tidak memakai dasar ”regering, tucht en orde” tetapi ”orde
en vrede” (tertib dan damai, tata-te ntrem). Pendidik wajib menjaga atas kelangsungan kehidupan
bathin sang anak, dan haruslah anak dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Namun demikian, pendidik
juga tidak akan ”nguja” (membiarkan) anak-anak. Pendidik mempunyai kewajiban mengamati, agar
anak dapat bertumbuh menurut kodrat. ”Tucht” (hukuman) itu dimaksudkan untuk mencegah
kejahatan. Sebelum terjadi kesalahannya, aturan hukumannya sudah harus tersedia. Misalnya,
barang siapa datang terlambat tentu akan dapat hukuman berdiri di muka kelas. Hukuman semacam
itu, pertama adalah tiada setimpal dengan kesalahannya. Kedua, tiap-tiap aturan yang mendahului
kenyataannya, itulah bertentangan dengan sifatnya roch manusia, yang tiada dapat dimasukkan
dalam peraturan. Tanda buktinya adalah untuk mengatur ketertiban pergaulan hidup, sudah ada
macam-macam dan ribuan peraturan. Tetapi setiap hari orangpun masih selalu membuat aturan
baru. Itulah tandanya setiap peraturan tiada akan bisa sempurna. ”Orde” (ketertiban) yang
dimaksudkan dalam pendidikan barat jelaslah hanya paksaan dan hukuman. Dari sebab itu dasar
pendidikan menjadi orde en vrede, tertib dan damai, inilah yang akan dapat menentukan
syaratsyarat sendiri, yang tiada akan bisa bersifat paksaan. Dan oleh karenanya, maka hukuman yang
tiada setimpal dengan kesalahannya pun tidak akan terdapat. Kesemuanya itu merupakan syarat-
syarat jika pendidikan hendak mendatangkan manusia yang merdeka dalam arti kata yang sebenar-
benarnya. Yaitu lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan .... dapat berdiri
sendiri karena kekuatan sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan harus senantiasa diingat, bahwa
kemerdekaan iu bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung kepada orang lain
(onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking) (Ki Hadjar Dewantara,
2013: 4). Fatwa Pendidikan Ki Hajar Dewantara Pendidikan Nasional menurut paham Taman Siswa
adalah Pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureelnational) dan ditujukan
untuk keperluan perikehidupan yang dapat memngangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat
bekerja Bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenapbangsa manusia di seluruh
dunia. Maka dari itu Ki Hajar Dewantara dalam pidatonya “wasita” Jilid 11 no. 1-2-Juli-Agustus 1930
menyampaikan tentang tiga fatwa Pendidikan yakni: 1) Tetep,antep,mantep, 2) Ngandel, kandel,
kendel, bandel,dan 3) Neng, ning, nung, nang. Fatwa yang pertama adalah Tetep,antep,mantep.
Artinya ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam
prinsip hidup. Hal ini juga menentukan kualitas dari seseorang. Istilah tetep di sini dapat dimaknai
dalam kerangka yang prinsipil, yakni memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras
dengan nilai-nilai sosial. Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan memiliki
ketetapan pikiran dalam khasanah nilai-nilai. Artinya, pikirannya tidak gampang
terombangambingkan oleh tawaran-tawaran hidup yang tidak selaras dengan nilai-nilai. Istilah antep
menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk memiliki “kepercayaan diri” dan
keuletan diri untuk maju terus dalam mengatasi segala tantangan kehidupan secara kstria
(bersahaja). Dalam praksis kehidupan, orang yang antep adalah yang memiliki keteguhan hati ke
arah kualitas diri sebagai manusia personal dan anggota komunitas sosial. Sementara istilah mantep
menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk berkanjang dalam kemajuan diri,
memiliki orientasi yang jelas untuk menuju tujuan yang pasti, yakni kemerdekaan diri sebagai
pribadi, anggota masyarakat dan warga dunia. Jadi, landasan operasinal pendidikan adalah upaya
membentuk kualitas pribadi peserta didik sampai pada tingkat yang maksimal. Fatwa yang kedua
adalah Ngandel, kandel, kendel, bandel . Ngandel adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya
“berpendirian tegak”. Sehingga Pendidikan itu harus menghantar orang pada kondisi diri yang
ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam
hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk
menjadi pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang
berani menegakkan kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan.
Sementara istilah bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang “tahan uji”. Segala
cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas
ketakutan dan hilang nyali. Fatwa yang Ketiga adalah neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa
pendidikan pada tataran terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan
perasaan (neng), keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui
pendidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin. Menurut Ki Hadjar,
kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin
dan hati. Ketiga fatwa pendidikan Ki Hadjar di atas tetap penting sebab ia memiliki kandungan
makna yang berkualitas kemanusiawian, suatu kualitas yang merupakan bagian mendasar dari
idealisme pendidikan sejak masa Yunani klasik. Bila ketiga fatwa itu dikritisi, ia tampak tetap memiliki
relevansi untuk konteks pendidikan Indonesia kini terutama manakala penerapannya dimaksudkan
untuk membangun jiwa kepemimpinan dalam diri anak-anak di Indonesia. Harapan ke depan mereka
kelak mampu menjadi pemimpin Indonesia yang benar-benar “mengIndonesia”. Artinya, menjadi
pemimpin yang memiliki ketetapan pikiran dan batin, memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang
teguh, memiliki pikiran yang suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian menjadi
jaminan ke arah terciptanya kepemimpinan yang memerdekakan kemanusiaan setiap pribadi di
Indonesia secara utuh dan penuh. Terobosan Kebijakan Pendidikan Seperti yang telah disampaikan
oeleh Ki Hajar Dewantara bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus memiliki system Pendidikan
yang sesuai dengan keadaan kita. Tidak perlu meniru milik orang lain. Nyatalah kita tidak usah
mengadakan barang tiruan kalau memang kita sudah mempunyainya sendiri (Ki Hajar Dewantara,
2013:242). Indonesia merupakan negara yang memiliki kearifan lokal dan budaya yang unik dan
merupakan negara yang sangat beragam. Indonesia juga terkenal dengan falsafah budaya dan
kehidupan yang arif dan bijaksana. Maka dari itu, Kebijakan Pendidikan di Indonesia juga seharusnya
bisa memperhatikan dan sesuai dengan jiwa manusia Indonesia. tercermin melalui nilainilai
Pancasila. Kebijakan Pendidikan yang harus diterapkan adalah selalu berusaha untuk berjuang dalam
melakukan upaya perbaikan dengan memperhatikan keadaan bangsa. Karena, sejatinya Pendidikan
bukan hanya perkara pembangunan melainkan terdapat perjuangan di dalamnya. Perjuangan disini,
bisa diartikan dengan perjuangan dari sisi siswa maupun dari sisi guru, serta pihak yang terlibat
dalam Pendidikan. Seperti pepatah jawa Jer Basuki Mawa Bea Segala usaha untuk mencapai cita-cita
dalam Pendidikan memerlukan beaya berupa materi, waktu, tenaga. Dengan demikian, maka dalam
memberi Pendidikan, seorang guru dapat memberikan aspirasi bagi anak didiknya agar dapat
mengembangkan bakat mnat, maupun kreatifitasnya. Untuk itu, guru dapat menjadi teladan dalam
ucapan, pikiran, maupun tindakan bagi muridmuridnya.

Semakin berusaha memahami bahwa pendidikan bukanlah sebuah proses memaksakan kehendak
orang dewasa kepada anak melainkan upaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan
anak, yaitu memberikan kemudahan bagi anak untuk mengembangkan dirinya.

PENUTUP

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pemikiran Ki Hajar Dewantara
tentang Pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia, bahkan pemikiran-pemikirannya
masih relevan hingga saat ini. Benar adanya yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara yang intinya
kita harus bisa bangga atas apa yang kita punya, tidak usah meniru miliki orang lain. Milik orang lain
belum tentu pas dan cocok untuk kita. Tetapi, kita harus belajar untuk memaksimalkan apa yang kita
punya. Pemikiran yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dapat menjadi landasan dalam
menentukan Kebijakan Pendidikan yang diambil dalam pelaksanaan Pendidikan nasional. Karena,
didalam pemikiran Ki Hajar Dewantara terdapat makna filosofi, kultural yang sesuai bagi masyarakat
bumi pertiwi Indonesia.

Modul 1.1 adalah pondasi awal untuk seluruh tujuan pendidikan (landasan pendidikan nasional)

Ide-ide KHD meskipun telah lama tapi tidak usang untuk diterapkan dan cocok untuk dalam
pendidikan di Indonesia

Murid memang belajar, tapi kita sebagai guru juga belajar

Roh pendidikan adalah abstrak

Guru hanya penuntun dan hanya bisa mengharapkan tumbuhnya bukan perubahannya

Pendidikan pusatnya adalah anak

Perhatikan kodrat anak baik lahir maupun batin

Pembelajaran yang menyenangkan (bermain)


Pendidikan harus berpihak pada anak

Anak bukan tabula rasa

Anda mungkin juga menyukai