Anda di halaman 1dari 88

PENGANTAR PENDIDIKAN

HAKIKAT PENDIDIKAN

Pendidikan: sebuah fenomena antropologis


yang usianya hampir setua dengan sejarah
manusia itu sendiri.
Nicolo Machiavelli memahami pendidikan
dalam rangka proses penyempurnaan diri
manusia secara terus-menerus.
Secara kodrati manusia memiliki
kekurangan dan ketidaklengkapan.
Intervensi manusiawi melalui
pendidikan merupakan salah satu cara
bagi manusia untuk melengkapi apa
yang kurang dari kodratnya.
Pendidikan dapat melengkapi
ketidaksempurnaan dalam kodrat
alamiah manusia
Manusia merupakan mahluk yang bergelut
secara intens dengan pendidikan.
Manusia dijuluki sebagai animal educandum
atau animal educandus secara sekaligus, yaitu
sebagai mahluk yang dididik dan mahluk
yang mendidik.
Dengan kata lain, manusia adalah mahluk
yang senantiasa terlibat dalam proses
pendidikan, baik yang dilakukan terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.
ETIMOLOGI

Kata education yang kita terjemahkan


dalam bahasa Indonesia dengan
pendidikan merupakan kata benda
turunan dari kata kerja bahasa Latin
educare.
Secara etimologis (bisa jadi), kata
pendidikan berasal dari dua kata kerja
yang berbeda, yaitu dari kata educare dan
educere.
Kata educare dalam bahasa Latin memiliki konotasi
melatih atau menjinakkan (seperti dalam konteks
manusia melatih hewan-hewan yang liar menjadi
semakin jinak sehingga bisa diternakkan),
menyuburkan (membuat tanah itu lebih menghasilkan
banyak buah berlimpah karena tanahnya telah digarap
dan diolah).
Jadi, pendidikan merupakan sebuah
proses yang membantu menumbuhkan,
mengembangkan, mendewasakan,
membuat yang tidak tertata atau liar
menjadi semakin tertata, semacam
proses penciptaan sebuah kultur atau
tata keteraturan dalam diri maupun
dalam diri orang lain.
Pendidikan juga berarti proses
pengembangan berbagai macam
potensi yang dalam diri manusia,
seperti kemampuan akademis,
relasional, bakat-bakat, talenta,
kemampuan fisik, atau daya-daya
seni.
Kata educere merupakan gabungan dari
preposisi ex (yang artinya keluar dari) dan
kata kerja ducere (memimpin).
Oleh karena itu, educere bisa berarti suatu
kegiatan untuk menarik keluar atau
membawa keluar.
Dalam arti ini, pendidikan bisa berarti
sebuah proses pembimbingan di mana
terdapat dua relasi yang sifatnya vertikal,
antara mereka yang memimpin (dux) dan
mereka yang dipimpin. Relasi keduanya
terarah pada satu tujuan tertentu.
Melihat preposisi ex yang digunakan,
proses pembimbingan keluar ini bisa
berarti secara internal maupun
eksternal.
Keluar secara internal: kemampuan
manusia keluar dari keterbatasan fisik
kodrati yang dimilikinya. Ia mampu
mengatasi kekurangan-kekurangan
fisik yang dihadapinya melalui sebuah
proses pendidikan sehingga ia tetap
bertahan hidup.
Keluar secara eksternal: lebih mengacu pada
proses horizontal relasional antara individu dengan
individu lain di dalam masyarakat dan lingkungan
yang melingkupinya.
Manusia, melalui proses pendidikan mampu
bekerja sama dengan orang lain di luar dirinya
untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah
masyarakat yang membantu setiap individu
bertumbuh dalam proses penyempurnaan dirinya.
Ia mampu bekerja sama dan membaktikan diri
pada sebuah kehidupan yang kepentingannya
menjangkau kepentingan banyak orang.
Kata educare pertama-tama mengacu pada
aspek organis, seperti penjinakan,
penjagaan, pendampingan, pemeliharaan,
nutrisi, kesehatan.

Kata educere lebih mengacu pada aspek


yang lebih interior, seperti imajinasi,
observasi, kecerdasan, akal budi, cara
berpikir, sikap kritis, emosionalitas,
ekspresionalitas, operasionalitas.
Istilah lain yang dapat mengarahkan
kita untuk memahami hakikat
pendidikan adalah kata paedagogie dan
paedagogiek. Paedagogie bermakna
pendidikan, sedangkan paedagogiek
berarti ilmu pendidikan.
Secara etimologis, istilah paedagogie
berasal dari bahasa Yunani, yaitu
paedagogia yang berarti pergaulan dengan
anak.
Paidagogos adalah hamba atau orang yang
pekerjaannya menghantar atau mengambil
budak-budak pulang pergi atau antar
jemput sekolah.
Perkataan “paida” merujuk kepada kanak-
kanak, yang menjadi sebab mengapa
sebagian orang cenderung membedakan
antara pedagogi (mengajar kanak-kanak)
Perkataan pedagogi yang juga berasal
dari bahasa Yunani kuno juga dapat
dipahami dari kata “paida”: anak, dan
“ogogos” : membina atau membimbing.

Apa yang dipraktikan dalam pendidikan


selama ini adalah konsep pedagogi, yang
secara harafiah adalah seni mengajar atau
seni mendidik anak-anak .
Maka, pedagogik (pedagogics) atau
ilmu mendidik adalah ilmu atau teori
yang sistematis tentang pendidikan
yang sebenarnya bagi anak atau untuk
anak sampai ia mencapai kedewasaan.
Dalam bahasa Inggris, terdapat beberapa
kata yang mengacu pada kegiatan
mendidik. Kata education, misalnya,
lebih dekat dengan unsur pengajaran
(instruction). Sementara, untuk kata
pertumbuhan dan perawatan, istilah
yang dipakai adalah bringing up (ini
lebih dekat dengan makna pemeliharaan
dan perawatan dalam konteks keluarga).
Sementara kata training lebih mengacu
pada pelatihan, yaitu sebuah proses
yang membuat seseorang memiliki
kemampuan-kemampuan untuk
bertindak (skills). Unsur pengajaran,
perawatan, maupun pelatihan,
merupakan bagian dari sebuah proses
pendidikan itu sendiri.
Tujuan Pendidikan
1. Menurut para ahli
2. Menurut Undang-undang
Driyarkoro

Pendidikan adalah perbuatan fundamental, sebab


mendidk itu adalah memanusiakan manusia
muda, mendidik itu adalah hominisasi dan
humanisasi, yaitu perbuatan yang menyebabkan
manusia menjadi manusia. Proses hominisasi
artinya penjadian manusia dari taraf potensial ke
taraf maksimal
Ki Hajar Dewantara

Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yang di


wujudkan melalui Taman Siswa berbasis
kebudayaan dan kebangsaan. Yang berarti
pendidikan bukan hanya masalah intelektualitas ,
namun juga budi luhur dan kehalusan yang mampu
menjadikan manusia mampu bersikap dan
bertindak baik, sopan serta religius. Semua itu
akan mampu mengangkat derajat manusia dan
bangsanya di mata bangsa lainnya pula.
4 pilar pendidikan UNESCO
(United Nation Educational, Scientific and
Cultural Organization)
1. Learning to Know (Belajar untuk mengetahui,
sebagai landasan IPTEK)
2. Learning to do (belajar utk bekerja, aplikasi)
3. Learning to be (belajar utk menjadi,
penggalian potensi diri)
4. Learning to life whit together (belajar utk
hidup berdampingan dan bersahabat antar
bangsa)
Tujuan Pendidikan
1. UU Sisdiknas no 20 Thn 2003:
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara
2. Tujuan akademik
a. Mengoptimalisasi potensi kognitif, afektif dan
psikomotor siswa
b. Mewariskan nilai-nilai budaya agar tidak tercabut
dari akar buday, bangsa dan negara
c. Mengembangkan daya adaptasi terhadap situasi
yang terus berubah.
d. Meningkatkan dan mengembangkan tanggung
jawab moral siswa utk mampu membedakan mana
yg baik dan mana yg salah.
e. Mendorong dan membantu siswa mengembangkan
sikap bertanggung jawabterhadp kehidupan pribadi
dan sosialnya
f. Mendorong dn membantu siswa utk memahami
hubungan yg seimbang antara hukum dan kebebasan
pribadi dan sosial.
g. Mendorong dan mengembangkan rasa harga diri,
kemandirian hidup, kejujuran dlm bekerja, dn integritas.
h. Mendorong dan mengembangkan kemampuan siswa utk
melanjutkan studi dan merangsang minat belajar
i. Mendorong dan meningkatkan dimensi fisik, mental dn
disiplinan utk menghadapi dinamika yg serba menuntut
persyaratan fisik dan ketepatan waktu
J. Mengembangkan proses berpikir secara teratur
K. Mengembangkan kepastian diri sebagai makhluk Tuhan
yg akan menjadi pengemban amanah di muka bumi.
MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Masalah pendidikan adalah masalah yang
sangat penting bagi manusia, karena
pendidikan itu menyangkut kelangsungan
hidup manusia.
Manusia muda tidak cukup hanya tumbuh
dan berkembang dengan dorongan
instingnya saja, tetapi perlu bimbingan dan
pengarahan dari luar dirinya (pendidikan)
agar ia menjadi manusia sempurna.
Hakikat Manusia

Hakikat manusia merupakan masalah yang


sangat rumit. Pandangan mengenai hakikat
manusia (apa dan siapa manusia) banyak
sekali.
Salah satu pandangan filsafat mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk
“monodualis”: Jiwa-raga.
Dari aspek jiwa: manusia memiliki cipta,
rasa, dan karsa yang memampukan
manusia mempertimbangkan betul-salah,
baik-buruk, menerima atau menolak
terhadap sesuatu yang dihadapi.
Dari aspek raga: manusia memiliki sifat
benda mati (anorganik), tumbuh-tumbuhan
(vegetatif), dan hewan (animal), sehingga
dalam tingkah lakunya ia dikuasai oleh
hukum alam dan didorong oleh instingnya.
Dari aspek yang lain, manusia adalah
makhluk individu, makhluk sosial,
makhluk berdiri sendiri, dan makhluk ber-
Tuhan.
Ditinjau dari filsafat antropologis, hakikat
manusia bermacam-macam rumusannya:
1. Manusia: makhluk berbudi
(homosapein)
2. Manusia: makhluk berakal
(homorational)
3. Manusia: makhluk kreatif (homofaber)
4. Manusia: makhluk ber-Tuhan (homo religius)
5. Manusia: binatang yang dapat dididik (animal
educandum).
Bila diperhatikan ilustrasi tersebut,
Khususnya dari arti kata-kata sesudah kata
makhluk (berbudi, berakal, kreatif, ber-Tuhan,
dsb), maka dapat dipahami bahwa manusia
adalah makhluk yang memiliki kelebihan bila
dibandingkan dengan makhluk lain yang berada
di planet bumi ini, termasuk binatang.
Anasir-anasir (unsur) pokok yang mendukung
keberadaan (eksistensi) manusia:
a. Ada
b. Bertumbuh
c. Hidup
d. Sensitif
e. Rasional
Rumusan (formulasi) tentang manusia tersebut
sebenarnya berpangkal dari penjabaran anasir
terakhir itu (rasional).
Menurut teori evolusi: manusia berasal
dari binatang (kera).
Kata evolusi (evolution) :
perkembangan.
Dalam sejarah, istilah evolusi diartikan
sebagai perkembangan sosial,
enonomi, politis yang berjalan sedikit
demi sedikit, tanpa unsur paksaan.
Dalam ilmu pengetahuan alam, istilah evolusi
diartikan sebagai: perkembangan berangsur-angsur
dari benda yang sederhana menuju benda yang
lebih sempurna.
Misalnya, dari tumbuh-tumbuhan menjadi
binatang, dari binatang menjadi manusia.
J.B. de Lamark (Perancis, 1774-1829) adalah
orang pertama yang menyatakan bahwa kehidupan
berkembang dari tumbuh-tumbuhan menjadi
binatang, dan dari binatang menjadi manusia dan
perubahan itu disebabkan oleh pengaruh
lingkungan.
Charles Darwin (Inggris, 1809): alam
mengadakan seleksi terhadap individu-
individu yang hidup di dalamnya.
Hanya individu-individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan alam
lingkungannya yang akan hidup terus,
sedangkan yang tidak akan musnah.
Dalam perjuangan hidup (struggle of life),
hanya individu yang paling ulet yang mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan
merekalah yang berhasil (survive).
Dalam bukunya yang berjudul The Descent
of Man (Asal-Usul Manusia, 1871), Darwin
menerangkan teorinya dalam perkembangan
binatang-binatang menuju manusia.
Binatang yang paling maju adalah kera,
dengan mengalami proses struggle of life,
sedikit demi sedikit berubah, dan dalam
jenisnya yang paling sempurna, mengarah
menuju wujud manusia.
Pandangan Darwin ini diperkuat dengan
ditemukannya manusia Neanderthal pada
tahun 1856.
Manusia Neanderthal menyerupai baik
manusia maupun kera, tetapi tetap
ditafsirkan sebagai manusia yang berdiri
tegak.

Ernst Heinrich Haeckel (Jerman, 1834-


1919) mempopulerkan teori Darwin, tetapi
terdapat sedikit perbedaan.
Darwin berpandangan bahwa sel-sel purba (asal
dari semua jenis binatang) diciptakan oleh Tuhan,
sedangkan Haeckel menolak penciptaan sama
sekali.
Menurut Haeckel, dunia ini kekal, tak ada
permulaan, dan hidup tercipta dengan sendirinya
secara mekanis, termasuk manusia.
Atas pengaruh Haeckel ini tumbulah kebiasaan
untuk menyamaratakan manusia dengan kera,
melalui ucapan: “Manusia berasal dari kera”.
Para penganut agama, terutama Kristen
dan Katolik cepat sadar akan tantangan
yang dilontarkan kepada mereka oleh para
tokoh teori evolusi yang menentang Tuhan,
terutama Haeckel.
Pada abad ke-20, semua agama nampak
kurang senang akan teori itu.
Menurut Kitab Kejadian dan Al Qur’an,
dunia diciptakan langsung oleh Tuhan,
demikian juga manusia.
Manusia tidak berasal dari binatang. Bagi banyak
penganut agama, menyetujui teori evolusi berarti
sama saja menyangkal Tuhan dan menyalahkan
Kitab Suci.
Pandangan teori evolusi dan pandangan agama
itu cukup jelas, bahwa keduanya bertentangan.
Namun setelah bersikeras sekian lama terhadap
fakta-fakta dan pembuktian ilmiah dari penganut
teori evolusi, akhirnya pihak agama menempuh
jalan semacam kompromi.
Dalam garis besarnya mereka mengakui bahwa
tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang atau
manusia, selama ribuan dan jutaan tahun benar-
benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak
sedikit.
Namun mereka tetap menolak mengakui
penyeberangan antara tingkatan makhluk yang
satu menuju makhluk yang lain.
Jadi, mutasi bennda-benda tidak hidup ke
tumbuh-tumbuhan, dari tumbuh-tumbuhan ke
binatang dan dari binatang ke manusia tetap
disangkal.
Jadi, jika ada perubahan, maka
perubahan hanya terbatas pada
masing-masing tingkat saja, artinya
secara horisontal, tidak secara vertikal.

Namun kita harus ingat, bahwa Tuhan


memberikan budi kepada manusia
untuk menemukan kebenaran.
Maka tidak ada jalan lain di sini kecuali membuka diri
kita, baik untuk suara ilmu pengetahuan maupun untuk
wahyu Allah dalam kitab suci.

Mengalahkan salah satu untuk meninggalkan yang lain,


hanya akan membawa ke lorong kesesatan.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
MANUSIA DENGAN BINATANG

Ada 4 anasir (unsur) pokok manusia:


1. Ada
2. Bertubuh
3. Hidup
4. Sensitif
5. Rasional
Persamaan antara manusia dan binatang hanya
sampai pada anasir keempat. Manusia dan
binatang sama-sama memiliki anasir: ada,
bertubuh, berkehidupan dan beralat indera
(sensitif).
Perbedaannya terletak pada anasir yang kelima
(rasional). Dengan anasir rasional ini manusia
mampu berpikir, mampu menyadari adanya
kekuatan di luar dirinya yang menguasai dirinya,
sedangkan pada binatang hal-hal yang bersumber
dari anasir rasional itu tidak ada.
Berdasarkan anasir-anasir pokok itu, dapat
dikatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang paling sempurna di dunia. Dia dapat
menempuh progresivitas.

Tetapi juga dapat dikatakan bahwa manusia


adalah makhluk yang paling tidak
sempurna. Mengapa? Dia ternyata tidak
dapat sekaligus meraih perkembangan yang
seharusnya ada padanya.
Dia harus melalui proses, dia harus
melalui latihan dan dia memerlukan
pertolongan, dia bergantung pada
makhluk hidup yang telah
“mendahului” dia.
Singkatnya, manusia memerlukan
“pendidikan” demi penyempurnaan
perkembangan dirinya.
DIMENSI KEMANUSIAAN DAN PENDIDIKAN
Hakikat manusia dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang. Setiap sudut
pandang memiliki dimensi sendiri-sendiri.
Beberapa dimensi kemanusiaan dan
pendidikan yang relevan dengan dimensi
kemanusiaan itu:
1. Manusia sbg makhluk Individu
2. Manusia sbg makhluk Sosial
3. Manusia sbg makhluk Susila
4. Manusia sbg makhluk Beragama
1. Manusia sebagai Makhluk Individu
Manusia menurut pandangan filsafat adalah
makhluk monodualis: jiwa-badan. Maka
hanya manusia yang merupakan totalitas:
individu.
Manusia menyadari akan adanya dua aspek
dalam dirinya sebagai jiwa dan badan, yang
keduanya selalu merupakan kesatuan.
Kesadaran ini membuat manusia mampu
mengadakan refleksi bahwa berkat badannya ia
adalah bagian dari alam semesta, tetapi berkat
jiwa rohaninya ia melampaui alam semesta.
Manusia sebagai pribadi, ia adalah substansi,
individu yang bersifat rasional. Sebagai makhluk
rasional manusia mampu menyadari bahwa dunia
luarnya merupakan objek, yang dapat dijadikan
alat/sarana untuk memperkembangkan dirinya
sehingga makin sempurna.
Manusia adalah makhluk yang
bereksistensi, artinya keluar dari diri
sendiri, terbuka terhadap dunia luar.
Keterbukaan ini tidak hanya dalam
mengenal dunia, tetapi lebih-lebih justru
dalam mengolahnya secara aktif dan kreatif,
sehingga manusia makin berkembang dan
makin sempurna.
Manusia sebagai individu, dalam rangka
memperkembangkan dirinya, ia memerlukan
sesuatu di sekitarnya.
Salah satu dari alam sekitar yang diperlukan
manusia adalah pendidikan.

Pada saat dilahirkan, manusia sebagai


individu adalah sangat lemah. Segala aspek
jiwa-badannya masih bersifat potensial.
Dalam konteks ini, tugas pendidikan
yang relevan bagi manusia adalah
mengembangkan semua potensi positif
yang ada pada diri manusia, sehingga
ia dapat memanusia atau menjadi
manusia yang sempurna.
2. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Kelahiran anak di tengah-tengah keluarga
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
keluarga itu.
Peristiwa ini dapat ditarik lebih jauh bahwa
kegembiraan keluarga atas kehadiran
manusia baru itu menandakan bahwa
manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial.
Sebagai makhluk sosial ,manusia saling
membutuhkan dan saling melengkapi.
Manusia hidup bersama dan bekerja bersama dalam
satuan sosial yang menetap.
Manusia dan masyarakat bukan merupakan dua
realita yang asing satu sama lain, melainkan keduanya
merupakan lapangan kerjasama dengan dorongan
dialektis, saling memajukan dan saling
memperkembangkan.
Salah satu dimensi fundamental dari kehidupan
manusia adalah bahwa manusia merupakan makhluk
sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami
bahwa manusia sebagai makhluk sosial, dalam
rangka mengembangkan dirinya, ia
membutuhkan kerjasama dengan dunia sekitar,
dunia sosial, termasuk dunia pendidikan.
Tugas pendidikan dalam konteks ini adalah
mengembangkan semua potensi sosial sehingga
manusia sebagai makhluk sosial mampu berperan
dan menyesuaikan dirinya dalam masyarakat.
Berkat pendidikan manusia diharapkan saling
terbuka dan tidak “egois”.
3. Manusia sebagai Makhluk Susila
Perkataan “susila” sebenarnya sama artinya
dengan perkataan “adab”.

Namun, istilah “susila” itu biasanya


menunjuk pada kehalusan budi manusia.
Istilah “adab” menunjuk pada keluhuran
budi manusia.
Kehalusan dan keluhuran budi merupakan
dua sifat yang nampak dalam hidup
manusia sebagai makhluk terpilih, sebagai
makhluk berbudi, makhluk yang memiliki
kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat lainnya.
Kehalusan dan keluhuran budi inilah yang
juga membedakan manusia dan hewan.
Kesusilaan atau kehalusan budi menunjukan
sifat hidup lahiriah manusia yang serba
halus dan indah.
Adab atau keluhuran budi menunjukkan
sifat hidup rohani manusia, misalnya
keinsafan akan kesucian, kemerdekaan,
keadilan, ke-Tuhan-an, cinta kasih,
kesetiaan, kedamaian, kesosialan dan
sebagainya.

Manusia susila adalah manusia (pribadi)


yang memiliki, menghayati dan
melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan
dalam hidupnya.
Nilai-nilai itu merupkan kesatuan yang
perlu dicapai secara utuh karena nilai-nilai
itu berharga bagi kehidupan jasmani-
rohani.
Hirarki nilai:
a. Nilai jasmani (vital): makan, minum,
pakaian, perumahan, dsb.
b. Nilai keindahan (seni): bahagia
mengalami barang-barang bagus dan
indah.
c. Nilai kebenaran: pengetahuan, pengertian,
(ilmu pengetahuan), dsb.
d. Nilai kesusilaan: cinta sejati terhadap
sesama, dsb.
e. Nilai religius: pengakuan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Menurut Driyarkara, nilai jasmani, nilai
Keindahan, nilai kebenaran merupakan nilai
sarana. Artinya, selamanya dipandang dan
dikejar demi keseluruhan struktur manusia.
Sedangkan nilai kesusilaan dan nilai religius
merupakan nilai kesempurnaan (nilai final) yang
fundamental dan merupakan kesempurnaan manusia
sebagai pribadi rohani-jasmani.
Berdasarkan sistem nilai di atas, Driyarkara
menyatakan bahwa pendidikan merupakan pengejaran
dan pelaksanaan nilai-nilai.
Jadi isi pendidikan ialah tindakan-tindakan yang
membawa anak didik mengalami,menghayati nilai-nilai
kemanusiaan, sehingga anak didik membangun nilai-
nilai kemanusiaan dalam kepribadiannya.
4. Manusia sebagai Makhluk Beragama
Dalam pandangan filsafat, manusia adalah makhluk
yang berdiri sendiri. Artinya, manusia memiliki
“kebebasan” untuk menentukan tingkah
laku/perbuatannya.
Manusia dapat bertingkah laku sesuai dengan
kemauannya sendiri meskipun sudah ada norma-norma
yang memagari hidupnya.
Meskipun demikian, kebebasan manusia itu ternyata
tidak mutlak. Manusia menyadari bahwa di luar dirinya,
ternyata ada suatu “kekuatan” yang mengatasi dan
mengatur dirinya, ialah Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, kemerdekaannya itu bahkan
merupakan keterbatasannya.
Manusia yang paripurna adalah manusia yang memiliki
dirinya sendiri dalam kemerdekaan, tetapi pada saat
yang sama tunduk secara sukarela kepada Tuhan
sebagai nilai tertinggi.
Menurut Driyarkara, pendidikan merupakan
pelaksanaan (pemberlakuan) nilai-nilai.
Pendidikan harus mampu membawa anak didik untuk
mengalami, menghayati nilai-nilai keagamaan sehingga
anak didik membangun nilai-nilai keagamaan itu di
dalam kepribadiannya.
Anak didik diarahkan agar ia mampu untuk mengenal,
menerima, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
keagamaan sebagai nilai tertinggi di dalam
kehidupannya.
Fungsi Pendidikan
Sudarwan danim (2011: 45):
Fungsi pendidikan adalah membangun
manusia yang beriman, cerdas, kompetitif,
dan bermartabat.
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN
A. Pengertian Mendidik

M.Y. Langeveld: Mendidik ialah mempengaruhi anak


dalam usahanya untuk menjadi dewasa.
Y.H.E.Y. Hoogveld: Mendidik ialah membantu anak
supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas
hidupnya atas tanggungan sendiri.
Sis Heyster: Mendidik ialah membantu manusia dalam
pertumbuhan, agar ia kelak mendapat kebahagiaan batin
yang sedalam-dalamnya, yang dapat tercapai olehnya
dengan tidak mengganggu orang lain.
S. Brojanagoro: Mendidik berarti memberi tuntunan
kepada manusia yang belum dewasa dalam
pertumbuhan dan perkembangan, sampai dengan
tercapainya kedewasaan secara rohani dan jasmani.
Berdasarkan keempat rumusan tentang mendidik di atas,
dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengaruh,
bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang
bertanggung jawab kepada anak didik.
Dalam setiap rumusan tentang pendidikan terdapat dua
pengertian: tugas/fungsi mendidik dan intensi/tujuan
mendidik.
Dalam intensi itulah kita temukan tugas pembentukan
terhadap pribadi anak didik.
B. Proses Pendidikan

Manusia bukanlah makhluk biologis saja, melainkan


seorang pribadi, seorang person, seorang subjek.
Artinya, manusia mengerti akan dirinya, ia mampu
menempatkan dirinya dalam situasinya, ia dapat
mengambil sikap dan menentukan dirinya, nasibnya ada
di tangan sendiri.
Anak didik adalah manusia muda, manusia yang masih
dalam taraf potensial, manusia yang belum sampai pada
taraf “maksimal”.

Driyarkara menyebut pendidikan sebagai proses


hominisasi dan humanisasi.
“Hominisasi” berasal dari kata Latin, homo (manusia)
diartikan sebagai proses pendidikan umum yang
menyadarkan seseorang sebagai manusia.
“Humanisasi” yang berasal dari kata Latin humanus
(manusiawi) merupakan proses pendidikan selanjutnya,
yang lebih khusus, yang menghasilkan kebudayaan dan
perilaku yang halus, terukur yang memperlihatkan
peradaban.
Secara sederhana, Driyarkara menyebut pendidikan
sebagai proses “pemanusiaan manusia muda”.
Dengan istilah “manusia muda” yang dimaksudkannya
adalah anak-anak usia sekolah.
Apabila pendidikan dapat diartikan secara luas, sebagai
proses yang berlangsung sepanjang hayat, maka manusia
berapa pun usianya, masih bisa disebut muda dalam
kerangka pendidikan.
Artinya, proses pendidikan senantiasa progresif, maju ke
depan.
Seraya tetap mempertahankan visi humaniora dalam
pendidikan, Driyarkara juga menganut paham
personalisme yang melihat manusia sebagai persona atau
pribadi.
“Humaniora” artinya proses untuk menjadil “lebih”
manusiawi (human-ior).
Dalam konteks manusia sebagai persona atau pribadi,
maka pendidikan pun dapat disebut proses “personisasi”,
artinya proses yang terus-menerus menyempurna untuk
mencapai “kepribadian” yang penuh.
C. Konsekuensi Pendidikan

Pendidikan itu hanya untuk manusia dan manusia dapat


dipandang dari berbagai aspek. Maka konsekuensi
pendidikan seharusnya dapat mengembangkan aspek-
aspek itu sebagai unsur keseluruhan.
Pengembangan aspek-aspek itu dapat dirumuskan ke
dalam “lima H”:
1. Head: pengembangan pikir, akal.
2. Heart: pengembangan rasa, karsa.
3. Hand: pengembangan keterampilan, jasmani
4. Health: pengembangan kesehatan, kebersihan.
5. Heaven: pengembangan rasa ke-Tuhan-an, moral.
Dengan pengembangan aspek-aspek tersebut,
anak didik diharapkan mampu menghadapi
perubahan dan permasalahan.
Tri Pusat Pendidikan
1. Keluarga
2. Sekolah
3. Masyarakat
1. Keluarga
Faktor keluarga ikut mempengruhi
tumbuh kembangnya anak, seprti
kebudayaan, tingkat kemakmuran,
keadaan perumahan
Keluarga menjadi pendidik dan
penanggungjawab utama pendidikan
Ki Hajar Dewantoro: suasana kehidupan
keluarga mrpkn tempat sebaik2nya utk
melakukan pendidikan
2. Sekolah
Sekolah sebagai sarana yg secara sengaja
dirancang untuk melaksanakan
pendidikan
Sekolah sebagai pusat pendidikan.
Melalui sekolah diupayakan pencerdasan
kehidupan bangsa. Sekolah melakukan:
 Pengajaran yg mendidik
 Bimbingan dn Penyuluhan
3. Masyarakat
1. masyarakat sbg penyelenggara
pendidikan
2. masyarakat mempunyai peran edukatif
Dalam masyarakat tersedia berbagai
sumber belajar.
Pengaruh timbal balik antara Tripusat pendidikan terhadap
perkemangan peserta didik

Pelatihan
SEKOLAH MASYARAKAT

Pengajaran

Pembimbingan

Pribadi:
Jati diri

Pengetahuan

Keterampilan

KELUARGA
D. Dasar Pembelajaran Anak Didik
Salah satu bentuk pelaksanaan pendidikan adalah
pengajaran. Pengajaran mempunyai proporsi yang
paling besar, terutama di dalam pendidikan formal.
Psikologi banyak mencurahkan perhatian pada masalah
belajar. Yang dipersoalkan bukan apa yang dipelajari,
melainkan bagaimana anak didik belajar, motif-motif
yang mendorong anak untuk belajar, apa yang
mempengaruhi kegiatan belajar, sehingga anak akan
menemukan, menjadi dan mengembangkan dirinya
dalam keseluruhan dimensi kepribadian.
Di dalam psikologi pendidikan, terutama di dalam
psikologi belajar, hal-hal tersebut dipelajari secara
mendalam.
Dengan mempelajari masalah ini, kita dapat mengambil
keputusan secara tepat tindakan pedagogis mana yang
harus kita lakukan di dalam mendidik anak didik kita.
E. Proses Belajar Sepanjang Hayat

Proses belajar berarti bagaimana seseorang melakukan


suatu kegiatan jasmani-rohani dalam rangka
memperoleh pengetahuan baru.
Pengetahuan baru selalu mengalami perkembangan
sesuai dengan adanya kemajuan zaman.
Seseorang yang selalu ingin memperoleh pengetahuan
baru, seharusnya ia belajar terus sepanjang hidupnya.
Akhir-akhir ini muncul istilah “life long education”
(pendidikan seumur hidup) dan “life long learning”
( belajar sepanjang hayat). Kedua istilah ini kadang
dipakai dalam arti yang sama.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan dimulai sejak
anak dilahirkan dan berakhir setelah ia meninggal
dunia. Dengan kata lain, pendidikan itu berlangsung
seumur hidup.
Notonagoro berpendapat bahwa pendidikan itu dapat
dimulai sejak anak itu masih dalam kenangan. Muda-
mudi dapat mempersiapkan diri dengan jalan mendidik
dirinya sendiri, sehingga mereka dapat menjadi bibit
dan persemaian yang lebih baik, dan pendidikan itu
berlangsung sepanjang hayat.
F. Unsur-unsur Pendidikan
I. Pendidik
1. Pengertian Pendidik
Pendidik adalah setiap orang dewasa yang
bertanggung jawab dan dengan sengaja
mempengaruhi orang lain (anak didik),
memberi pertolongan kepada anak yang
masih dalam pertumbuhan dan
perkembangan untuk mencapai
kedewasaan.
LANDASAN DAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN SERTA PENERAPANNYA

Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis selalu


bertolak dari sejumlah landasan serta mengindahkan
sejumlah asas-asas tertentu.
Landasan dan asas pendidikan sangat penting karena
pendidikan merupakan pilar utama pengembangan
manusia dan masyarakat suatu bangsa tertentu.
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
1.Kelembagaan Pendidikan
UU RI 20 1989:
a. Jalur pendidikan:
 Pendidikan sekolah
Pendidikan Luar sekolah
b. Jenjang pendidikan
 SD
SMP-SMA
PT
Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Sistem adalah kesatuan fungsional dari komponen-


komponen terdapat di dalamnya, yang saling
bergantung dan berguna untuk mencapai tujuan.
Apabila salah satu komponen tidak berfungsi, maka
yang lainnya tidak berfungsi.

Anda mungkin juga menyukai