Anda di halaman 1dari 5

4.

PENGARUH MEDIA KOMUNIKASI TERHADAP PERKEMBANGAN NILAI


MORAL
Pada akhir abad ke-20, alat-alat komunikasi yang potensial telah diperkenalkan ke dalam
ritualit kehidupan keluarga. Pertama kali telepon, lalu di susul dengan radio dan setelah perang
dunia II datanglah televisi.
Jika nilai memang mewakili cara pandang terhadap kehidupan, atau memberi arahan kehidupan,
serta membuat perubahan dalam hidup, setiap orang tentu berharap pentingnya memerhatikan
perkembangan nilai anak-anak, oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan
mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada
anak. Namun media-media tersebut justru menyuguhkan berbagai pandangan hidup yang sangat
variatif pada anak. Hasilnya sangat dramatis, baik dari radio, film, televise, vcd, majalah, anak-
anak jadi terbiasa melihat dan menyimak pandangan hidup yang bervariasi, bahkan banyak di
antara mereka pandangan dan nilai kehidupan tersebut dalam kehidupan keluarga tidak akan
mereka temui. Sekarang persoalan pornografi,seksualitas, dan kekerasan disuguhkan secara
terbuka. Bahkan adegan-adegan yang benar-benar dipandang immoral dilakukan oleh orang-orang
yang tampaknya perpendidikan tinggi, sementara semua orang menonton, menyimak, dan
mencernanya. Sudah tentu anak akan memungut sejumlah gagasan atau nilai dari semua ini baik
nilai-nilai positif dan termasuk pengaruh negatifnya.
Ada kecenderungan lain, bila anak dihadapkan pada berbagai kemungkinan, maka dia akan
kehilangan gagasan akhirnya dia akan kebingungan. Sangat mungkin bahwa kontribusi berbesar
media-media tadi akan membiasakan pemahaman yang tengah tumbuh pada anak-anak seputar
mana yang betul dan mana yang salah, mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bagus
dan mana yang jelek, mana yang adil dan mana yang timpang, mana yang bermoral dan tidak
bermoral.
Dalam hal ini, tidak bermaksud menyatakan bahwa alternatif-alternatif yang ditawarkan
harus di hapuskan, atau menyebutkan bahwa anak-anak tidak dapat mengambil pelajaran dari
semua kejadian tersebut. Tetapi kami ingin mengungkapkan bahwa jika hanya dengan dirinya
sendiri, aank tidak akan mampu mengambil manfaat besar dari jutaaan pilihan yang tersedia. Jika
keluarga dapat membahasnya secara masuk akal dari setiap hal yang disajikan, mungkin setiap
anak akan dapat mengambil pelajaran tentang makna dari pandangan-pandangan baru dalam
kehidupan ini. Tatpi seperti yang telah di kemukakan, dalam kondisi yang orang tua yang bekerja,
meraka salah satu atau kedua-duanya keluar seharian, dengan kondisi keluarga yang broken home,
kesempatan anak dan keluarga untuk berbagi piker dan perasaan semakin menyempit.
Konsekuensinya akan muncul kebingugan dalam kehidupan anak untuk menentukan maan yang
baik dan mana yang buruk. Maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi
peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
5. PENGARUH OTAK ATAU BERPIKIR TERHADAP PERKEMBANGAN NILAI
MORAL
Kalau kita mengobservasi situasi kelas akan sering kita temukan perkataan guru/dosen
yang menyatakan kepada mahasiswa bahwa “kamu sebaiknya” atau “kamu seharusnya” agar
perilaku mereka berubah.
Menurut rath, (1977, lm.68):
“Pengalaman itu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses kematangan,
dengan demikian guru/pendidikan dapat dan harus membimbing anak melalui proses yang kontinu
melalui pengembangan situasi bermasalah yang memperkaya kesempatan berpikir dan memilih.
Melalui lingkungan seperti ini, anakakan berpikir, lebih menyadari alternative dan lebih menyadari
konsekuensinya. Kita belajar dari hal-hal yang kita jalani. Jika setiap hari di dalam kelas kita
berpikir dan memilih berarti kita setiap hari mengalami, kita terus-menerus tumbuh dan tumbuh
itu berarti dewasa”.
Dalam konteks pendidikan, berpikir dimaknai sebagai proses yang berhubungan dengan
penyelidikan dan pembuatan keputusan. Di mana pun keputussan diambil, pertimbangan nilai pasti
terlibat, dan di mana pun penyelidikan berlangsung akan selalu melibatkan tujuan. “Beberapa
tujuan mungkin menunjukkan indicator nilai” (Rath, 1977, hlm 68).
Berpikir adalah hasil kerja otak, namun otak tidak bekerja secara sederhana dalam
pengertian stimulus respons, dan juga tidak menyimpan “fakta” secara sederhana sebagai referensi
masa depan. Berdasarkan hasil penelitian Gazzaniga (dalam Kama Abdul Hakam, 2000, hlm. 39)
“Otak kita adalah suatu organ yang sangat mengagumkan untuk menemukan dan menciptakan
makna. Dalam keadaan terjaga maupun tertidur, otak kita tetap berusaha membuat pengalaman
lahir dan pengalaman batin”. Atas dasar itu semua orang adalah pencari dan pencipta makna, dan
makna-makna yang kita ciptakan menentukan bagaimana cara kita berprilaku.
Bahkan menurut aliran rasionalisme seperti yang diungkapan oleh Immanuel Kant bahwa
manusia melalui pemikiran rasional dan kesadaran moral serta keyakinan agamanya dapat
digunakan untuk menjelaskan eksistensinya. Argumentasi Kant ini didasarkan bahwa “Manusia
itu rasional, rasional sendiri adalah moral, moral manusia itu (didasarkan rasionalnya) merupakan
inti manusia, dan inti moral manusia mencerminkan “kemanusian yang bernar”. (dalam Kama,
2000, hlm. 60). Dengan demikian, manusia memalui penyelidikan rasionalnya akan membuktikan
prinsip-prinsip yang berlaku secara universal.
Atas dasar argument di atas, maka Kant mengajurkan tujuan pendidikan sebagai berikut:
1. Untuk mengajarkan proses dan keterampilan berpikir rasional.
2. Untuk mengembangkan individu yang mampu memilih tujuan dan keputusan yang baik
secara bebas.
6. PENGARUH INFORMASI TERHADAP PERKEMBANGAN NILAI MORAL
Setiap hari manusia mendapatkan informasi, informasi ini berpengaruh terhadap system
keyakinan yang di miliki oleh induvidu, baik informasi itu diterima secara keseluruhan, diterima
sebagian atau ditolak semuanya, namun bagaimanapun informasi itu ditolak akan menguatkan
keyakinan yang telah ada pada individu tersebet. Apabila informasi baru telah diterima individu
serta mengubah atau menguatkan keyakinannya, maka akan berbentuk sikap. “Sikap adalah
serangkaikan keyakinan yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi tertentu (Kama,
2000, hlm. 8).
Informasi baru yang dihasilkan, (yang dapat mengubah keyakinan, sikap, dan nilai) sangat
tergantung pada factor-faktor sebagai berikut:
a. Bagaimana informasi itu diperkenalkan.
b. Oleh siapa informasi itu disampaikan.
c. Dalam kondisi yang bagaimana informasi itu disampaikan atau diterima.
d. Sejauh mana tingkat disonansi kognitif yang terjadi akibat informasi baru tersebut.
e. Level penerimaan individu yaitu motivasi individu untuk berubah.
f. Level kesiapan individu untuk menerima informasi baru serta mengubah tingkah lakunya.

Oleh karena itu, munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya
maka akan memengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalya saja pengaruh tuntutan
teman sebaya dengan tuntutan aturah keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik
internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu
tersebut.

C. MANUSIA DAN HUKUM


Disepkati bahwa manusia adalah makhluk social, adalah makhluk yang selalu berinteraksi
dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesame seperti
itulah perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat berhubungan secara harmonis
dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang
disebut oleh kita hokum.
Hokum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda ada yang menyatakan bahwa tujuan
hokum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian
hokum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakan, tujuan hokum yang utama
dapat diredukasi untuk ketertiban.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dan masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat
menjadi teratur akan tetapi akan mempertegar lembaga-lembaga hukum mana yang
melaksanakannya.

D. HUBUNGAN HUKUM DAN MORAL


Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma yang
mengatakan “Quidleges sine moribus?” apa artinya undang-undang kalua tidak di sertai moralitas?
Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa
moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-
undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral
tanpa hukum hanya angan-angan saja.
Meski hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataannya “mungkin” ada hukum yang tertetangan dengan moral atau ad undang-
undang yang immoral yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral. Untuk
itu dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dewasa ini “apalagi dalam konteks pemgambilan
keputusan hukum membutuhkan moral, sebagaimana mral membutuhkan hukum. Apa artinya
hukum jika tidak di sertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jiwa dijiwai oleh moralitas.
Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa. Namun demikian perbedaan hukum dengan
moral tetap jelas, setidaknya seperti ungkapan oleh K. Bertens yang menyatakan bahwa selain itu
ada empat perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada
moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perudangan-undangan. Oleh karena itu
norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan dengan norma moral,
sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “diganggu” oleh
diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua,
meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada
tingakh laku lahiriah saja, sedangakn moral menyangka juga sikap batin seseorang. Ketiga, sanksi
yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum
untuk sebagian terbesar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tapi norma etis
tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis
justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak
tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak
negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu
harus diakui leh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma
moral yang melebihi para individu dan masyarakan. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain
masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan
tidak sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai