Anda di halaman 1dari 9

SEMINAR NASIONAL

“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-


ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

REINTERPRETASI DEMOKRASI DALAM KEPEMIMPINAN


TRADISIONAL BUGIS YANG BERKEARIFAN LOKAL
MENUJU REVOLUSI MENTAL

Bustan
Dosen Fakultas Ilmu sosial UNM

email: bustanbuhari@gmail.com

ABSTRAK

Penghargaan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum yang adil tanpa
pandang bulu harus menjadi patokan dalam menjalankan ketatanegaraan.
Pemahaman terhadap kepemimpinan tradisional dengan sistem kerajaan, sering
dianggap monarki justru disisi lain di kerajaan-kerajaan Bugis mempunyai unsur
demokratis karena adanya pangngaderreng. Untuk itu perlu suatu usaha
reinterpretasi dan diberi daya hidup atau revitalisasi untuk mengembalikan fungsi
dan peranan lembaga kenegaraan yang relevan dengan kehidupan demokrasi saat
ini sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal. Pada tulisan ini menggunakan metode
sejarah yakni heuristik (pengumpulan data), kritik (analisa data), interpretasi
(menafsirkan data), historiografi (menuliskan data menjadi suatu peristiwa yang
utuh). Azas demokrasi dalam hukum dasar penyelenggaraan pemerintahan di
kerajaan-kerajaan Bugis didasarkan pada filosofi, bahwa keputusan Datu/Raja
dapat dibatalkan oleh ade’ (dewan), keputusan ade’ dapat dibatalkan oleh tokoh
masyarakat, dan kemauan tokoh masyarakat dapat dibatalkan oleh rakyat. Jadi
keputusan paling tinggi ada pada rakyat. Selain itu, kepemimpinan tradisional
dengan sistem kerajaan mempunyai dewan adat yang memiliki fungsi sebagai
penyambung lidah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi ataupun kritik
terhadap tindakan raja. Peran raja dan rakyat dalam kepemimpinan demokrasi di
kerajaan-kerajaan Bugis saling terkait, bahwa rakyat berhak melakukan protes
terhadap rajanya apabila tidak menjalankan pemerintahan dengan baik.

Kata Kunci: Demokrasi, Kepemimpinan Tradisional, Kerajaan Bugis

PENDAHULUAN
Menggali kebudayaan suatu suku bangsa akan selalu menemukan nilai inti
yang mampu menjembatani gagasan antargenerasi dan melintasi sekat ruang dan
waktu. Hal ini disebabkan kebudayaan selalu berisi inti gagasan dan khazanah
pengetahuan bagi masyarakat pendukungnya. Nilai inti dari gagasan suatu

-68-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

kebudayaan memiliki fungsi yang dapat menjaga dan mengatur sistem kehidupan
dalam masyarakat.
Berbagai nilai yang terkandung dalam pemikiran intelektual Bugis
mencerminkan kecerdasan dan kearifan lokal yang memberi semangat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh cendikiawan Arung Bila dan Kajaolaliddong bahwasanya ada
lima macam permata bercahaya (sifat) yang harus dimiliki seorang pemimpin,
yakni:
Lempu’e nasibawangi tau’, ada tongengnge nasibawangi tike’, siri’e
nasibawangi getteng, akkalenggnge nasibawangi nyamekkininnawa,
awaraningeng nasibawai cirinna.
Artinya :
Kejujuran disertai takut/takwa, perkataan yang benar disertai waspada,
siri/harga diri yang disertai dengan ketegasan, kecerdasan yang disertai
dengan hati, keberanian yang disertai dengan kasih-sayang (Hamid, 2001:
41).
Dari uraian tersebut jelas, bahwa seseorang yang ingin diangkat menjadi
pemimpin/penguasa harus memiliki sifat keteladanan untuk menegakkan lempu’
(kejujuran), bicara (berkata) dengan benar, siri’ (menjaga harkat dan martabat)
pada masyarakat atau rakyatnya, memiliki acca’ (kecerdasan) dalam mengatur
sistem pemerintahan, getteng (tegas) dalam kebijakannya dan harus warani’
(berani) menegakkan keadilan dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu
dengan yang lainnya atau tidak pandang bulu.
Hal tersebut dibuktikan oleh Arumpone La Tenrirawe Bongkangnge (±
1560-1578) sebagai raja di Kerajaan Bone. Pada masa pemerintahannya ia dikenal
sebagai raja yang sangat memegang teguh ade’ (adat), sehingga menjadikannya
raja yang sangat disegani oleh rakyat. Kehidupan rakyat digambarkan dengan
suasana damai tanpa banyak perselisihan yang terjadi, karena raja turut menangani
langsung kalau ada rakyatnya yang bermasalah.
Di Kerajaan - Kerajaan Bugis khususnya Kerajaan Bone memiliki sistem
pemerintahan konfederasi yang merupakan sebuah asosiasi dari unit-unit politik
yang berdaulat dalam suatu lembaga untuk mengkoordinasikan kebijakan dalam
suatu daerah. Jabatan tertinggi atau pemimpin kerajaan adalah Arung Mangkau
(Raja yang berdaulat). Dalam proses pengambilan kebijakan dibantu oleh sebuah
dewan yang anggap sebagai wakil rakyat yang berjumlah tujuh orang, makanya
disebut Arung Pitu’ atau Ade’ Pitué. Ketujuh anggota dewan adat selain menjadi
anggota dewan pemerintahan Kawérrang Tana’ Bone (Kerajaan Bone) juga tetap
menjalankan pemerintahan atas wanua asalnya secara otonom.
Aktor dalam politik kekuasaan senantiasa memperoleh, merebut,
memelihara, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.
Meskipun selalu diklaim untuk kepentingan rakyat, namun pada realitasnya
cenderung untuk kepentingan lapisan atau golongan elit penguasa. Kekuasaan
lebih banyak didefenisikan sebagai kepenguasaan dan keberkuasaan yang
bermakna memiliki hak mutlak untuk mengeksploitasi sumber daya negara dan
seluruh sisi kehidupan masyarakat.

-69-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

Dalam perjanjian antara To-Manurung dengan pemimpin-pemimpin kaum


yakni semacam governmental contract. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mattulada (1985: 416), bahwa terjadinya bangunan kekuasaan negara-negara Bugis
dalam periode lontara diawali oleh konsepsi kekuasaan To-Manurung sebagai juru
selamat untuk menyusun tata kehidupan yang menjamin kesejahteraan bagi rakyat.
To-Manurung digambarkan sebagai manusia luar biasa yang tiba-tiba muncul
dimuka bumi yang tidak diketahui asal kedatangannya.
Dalam lontara dikatakan bahwa kedatangan To-Manurung untuk
mengakhiri keadaan kacau-balau. Masyarakat Anang-Anang di Bone dilukiskan
berada dalam keadaan hukum rimba dimana yang kuat dan yang besar memakan
yang kecil dan yang lemah. Suatu gambaran yang sejalan dengan keadaan yang
dikemukakan oleh Thomas Hobbes dengan istilah “homo homi-ni lupus” bahwa
manusia adalah serigala dengan manusia yang lain. Keadaan dunia manusia
sebelum adanya negara kacau balau. Kacau karena perjuangan manusia yang buas
dan serakah berebut kebutuhan hidup. Setiap kaum bebas menyerang dan diserang,
tidak ada kelaliman karena belum ada pangngaderrreng yang menentukan batas
adil atau tidak adil, batas baik atau buruk (Mattulada, 1985:416).

KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS
Model kepemimpinan demokratis adalah tipe yang dianggap ideal.
Walaupun ada kelemahannya misalnya dalam pengambilan keputusan pemimpin
tersebut harus konsekuen pada tatanan demokratis yang harus melibatkan semua
unsur golongan dalam memutuskan, maka sering disebut pemimpin tidak efektif.
Meskipun ada kelemahan tapi masih dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang
terbaik.
Pemimpin demokratis sangat menjunjung tinggi integritas dan selalu
menempatkan diri sebagai mediator dalam menjaga integrasi. Pemimpin
demokratis sangat menghargai harkat dan martabat manusia sehingga dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin ia memperlakukan setiap bawahan
secara manusiawi. Seorang pemimpin yang bertipe demokratis sangat paham
bahwa kebutuhan manusia tidak hanya sebatas kebutuhan fisik melainkan juga non
fisik dan psikologis sehingga bawahannya mendapatkan penghargaan yang
sekaligus sebagai prestise aktualisasi diri baik dalam lingkup organisasi maupun di
masyarakat umum.
Upaya menggali, menguji dan sosialisasi serta kulturasi tatanan nilai luhur
perlu terus ditingkatkan secara seimbang dan konsisten dengan upaya penegakan
supremasi hukum “Good Goverment”. Upaya-upaya itu juga harus di dukung
dengan memperluas aplikasi modal budaya dan modal sosial sebagai sumber daya
yang mampu ditransformasikan menjadi nilai tambah.
Sejarah Kerajaan Bone menceritakan, bahwa pada zaman ketika belum ada
seorang raja, negeri Bone ditimpa oleh gempa, kilat serta guntur selama seminggu.
Setelah peristiwa alam itu berhenti, terlihat seorang laki-laki berdiri di tengah
padang dengan pakaian putih. Orang tersebut dianggap sebagai orang yang turun
dari kayangan (manurung). Jadi segenap rakyat berkumpul dan memutuskan untuk
meminta orang itu menjadi raja mereka, sebab sampai saat itu yang timbul
hanyalah kesusahan dan perpecahan diantara mereka. Ketika mereka

-70-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

menghampirinya dan menyatakan maksud tersebut, ternyata laki-laki itu bukan


manurung, melainkan hanya hamba dari manurung asli.
Lanjut ketika laki-laki itu memperoleh pengukuhan janji dari rakyat Bone
bahwa mereka bersedia mengangkat tuannya menjadi raja mereka, dibawanya
mereka kepada manurung asli. Mereka menemui seseorang yang berpakaian
kuning, duduk di atas sebuah batu datar, dikelilingi oleh para hambanya yang lain
yang memegang payung kuning, kipas dan tempat sirihnya. Setelah itu ia setuju
menerima kekuasaan penuh sebagai raja Bone dan dinobatkan oleh rakyat menjadi
raja (Noorduyn, 1995:118).
To-Manurung datang untuk menuntun kebebasan manusia, kemerdekaan
pribadi kelompok-kelompok suatu kaum agar dapat berguna demi kesejahteraan
bersama. Kedatangan To-Manurung diterima sebagai juru selamat oleh rakyat
Bone. Satu hal yang istimewa pada keberadaan To-Manurung ialah bahwa
kedatangannya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau
rakyatnya. To-Manurung menjadi raja tidak dalam arti pembenaran baginya untuk
memiliki kekuasaan tanpa batas. Kewajiban raja untuk menghormati hak-hak asasi
rakyatnya.
Seseorang diakui memperoleh legitimasi sebagai raja yang dirajakan
apabila ia mampu memenuhi segenap kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Seorang raja yang melanggar ketika ia sedang memangku jabatan, maka
berdasarkan norma adat (pangngaderrreng), rakyat berhak mencabut
pengakuannya dengan cara palessoi (menurunkan dari tahta), unoi (dibunuh),
salaiwi (ditinggalkan) (Rahim, 2004:10).
Sistem budaya politik tersebut mengandung nilai-nilai demokrasi yang
tampak pada adanya ketetapan yang dibuat oleh rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi. Sebagai konsekuensinya para raja di tanah Bugis memiliki
tanggungjawab untuk mengayomi rakyat, mengutamakan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat. Lamellong Kajaolaliddong selanjutnya mengemukakan
prinsip tentang hak-hak asasi seseorang yang harus dilindungi dan yang menjadi
tanggung jawab penguasa sebagai berikut:
“……tak akan saya ambil batang kayu yang bersandar jika bukan saya
yang menyandarkannya. Tak akan saya ambil batang kayu yang diletak
kedua ujungnya, jika bukan saya yang meletakkannya. Tak akan saya
ambil tanaman, jika bukan saya yang menanamnya, karena apabila saya
ambil tanaman itu, musuh tana-bone keluar masuklah (Latoa, al 17 dan
Lontara JKSST NO.130)
Berdasarkan uraian tersebut nyatalah bahwa seorang raja tidak mesti
memiliki kekuasaan mutlak dalam mengatur sistem pemerintahan, ekonomi dan
politik. Akan tetapi raja harus menghargai dan mengakui hak-hak rakyatnya.
Apabila raja sudah mengambil hak rakyat, maka ia akan mempunyai banyak
musuh termasuk akan dimusuhi sama rakyat yang dipimpinnya.
Apa yang ditunjukkan oleh para cerdik pandai dalam gaya kepemimpinan
Bugis tersebut sejalan pula dengan tujuan dan nilai-nilai dasar demokrasi sekarang
ini yang dijadikan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia yang
terangkum dalam dasar negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengharuskan

-71-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

pengangkatan janji atau sumpah jabatan dalam pelantikan pejabat dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, penegak hukum dan pejabat negara lainnya dari
jajaran paling tinggi hingga aparatur negara paling rendah.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, pemahaman terhadap nilai
kepempinan demokratis dalam budaya Bugis telah mengalami pergeseran baik
makna maupun perwujudannya. Para pemimpin atau penguasa agaknya tidak lagi
menjadikan petuah-petuah para cendikia dulu sebagai pijakan utama dalam
menjalankan sistem pemerintahan, sehingga tidak mengherankan kalau banyak
pemimpin atau penguasa yang menuruti kepuasan dunia dan lupa pada tujuan
pokoknya yakni mensejahterakan rakyat.
Meskipun telah terlihat terjadi pergeseran nilai yang jauh dari nilai-nilai
ideal budaya kepemimpinan Bugis yang berkearifan lokal. Namun secara umum,
tujuan pemerintah tetap mengisyaratkan suatu keinginan untuk pencapaian
kesejahteraan rakyat dan negara. Sehubungan dengan hal itu, model
kepemimpinan demokrasi yang yang mengarah pada kearifan lokal tidak boleh
diabaikan dalam penerapan di pemerintahan.
Sikap saling percaya dan rasa kebersamaan merupakan elementasi dari
kultural resoursis dan social capital yang dapat ditransformasikan menjadi
addaed value ekonomi dan sosial. Kearifan budaya lokal dan lokal genius
direvitalisasi dan diadaftasikan dengan nilai modernitas sehingga menjadi ikatan
dan konsensus yang kuat untuk menumbuhkan kebersamaan dan dapat berwujud
tindakan-tindakan kesetiakawanan, kerjasama, kemitraan dan gotong-royong
diberbagai bidang kehidupan.
Dengan terbatasnya sumber daya ekonomi yang mengarah pada capital
person dan modal sosial adalah langkah strategi mengingat keduanya dapat
berperan sebagai subtitusi dari keterbatasan bahan kelangkaan modal ekonomi.
Manfaat model budaya dan modal sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
itu dapat dirasakan dalam wujud berupa kondisi harmoni.
Tantangan ini adalah bagaimana menstranformasikan modal budaya dan
modal sosial tersebut agar menjadi nilai tambah ekonomi melalui pengembangan
berbagai aplikasinya menuju pembangunan jati diri bangsa. Akan tetapi sistem
kemasyarakatan yang korup, nepotisme tidak memungkinkan tumbuhnya jati diri
bangsa yang unggul. Sedangkan perubahan sistim kemasyarakatan harus dimulai
dari pembenahan struktur dan sistem pemerintahan sebagai pemegang otoritas
formal.
Dimasa ini sistem nilai, etika moral karakter manusia mengalami degradasi
karena menguatnya semangat individualistik. Dengan terbatasnya sumber daya
ekonomi yang mengarah pada capital person dan modal sosial adalah langkah
strategi mengikat keduanya dapat berperan sebagai subtitusi dari keterbatasan
bahkan kelangkaan modal ekonomi.
Upaya pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) baik secara
konseptual maupun implementasi belum menyentuh subtansinya karena
pendekatan yang ditempuh bersifat parsial dan dangkal, lebih pada sikap reaktif
untuk meredam gejolak sesaat yang terjadi dimasyarakat. Untuk itu mencegahnya
haruslah diawali pengambiln keputusan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu

-72-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

sendiri. Secara kompetensi modal sosial, modal budaya sebagai sumber daya yang
harus segera ditransformasikan.
Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya sebagai
indikator, hubungan dengan bawahannya bukan sebagai majikan terhadap
pembantunya, melainkan sebagai saudara tua diantara temen-teman sekerjanya.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi bawahannya agar bekerja
secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usaha-
usahanya, selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, serta
mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan
terpenting dalam organisasi. Tipe ini diwujudkan dengan dominasi perilaku
sebagai pelindung dan penyelamat dari perilaku yang ingin memajukan dan
mengembangkan organisasi. Di samping itu, diwujudkan juga melalui perilaku
pimpinan sebagai pelaksana.
Dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin yang demokratis mau menerima
bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari bawahannya, juga kritik-
kritik yang dapat membangun dari para bawahan yang diterimanya sebagai umpan
balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya.
Selain itu, pemimpin yang demokratis mempunyai kepercayaan terhadap diri
sendiri dan menaruh kepercayaan pula pada bawahannya, mereka mempunyai
kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab.
Pemimpin yang demokratis selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan
dan persatuan, senantiasa berusaha membangun semangat bawahannya dalam
menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Di samping itu, juga memberi
kesempatan bagi timbulnya kecakapan memimpin pada anggota kelompoknya
dengan jalan mendelegasikan kekuasaan dan tanggung jawabnya.

BUDAYA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL BUGIS


Orang Bugis mempunyai sejarah dan masyarakatnya tetap mewujud dari
zaman ke zaman. Pola tingkah lakunya terbentuk secara kumulatif pada zamannya
yang lampau. Generasi dibelakang memperolehnya sebagai warisan sosial yang
dipandang sebagai ide-ide tradisional yang mengandung sejumlah nilai yang
mempengaruhinya ketika membuat keputusan dalam menghadapi situasi tertentu.
Nilai-nilai budaya masyarakat Bugis sangat memegang teguh tentang
konsep yang dikenal yakni. Pertama, Lempu’ (Kejujuran) bahasa Bugis artinya
sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks adalah
kalanya kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil, sehingga lawannya adalah
culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu dan sejenisnya. Sejalan dengan
pengertian tersebut cendikiawan Bone Kajaolaliddong menjelaskan kejujuran
ketika ditanya oleh Raja Bone tentang dasar-dasar keilmuan. Menurutnya bukti
dari kejujuran adalah :
a. Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu
b. Jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu,bukan juga
pusakamu
c. Jangan mengeluarkan kerbau dari kandangnya, yang bukan kerbaumu

-73-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

d. Jangan mengambil kayu yang disandarkan, yang bukan kau yang


menyandarkannya
e. Jangan juga kayu sudah ditetak ujung pangkalnya, yang bukan engkau yang
menetaknya (Muhtamar, 2007: 17).
Kedua, Acca’ (Kecendikiaan), nilai kecendikiawan sering dipasangkan
dengan nilai kejujuran, karena keduanya saling mengisi. Cendikia atau intelek
dalam bahasa Bugis biasa disebut acca. Dalam konsep kecendikiawan terkandung
nilai kejujuran, kebenaran, kepatutan, keikhlasan dan semangat penyiasatan atau
penelitian. Acca juga diartikan pintar,dalam arti memiliki kemampuan intelektual
yang baik.
Ketiga, Assitinajang (kepatutan), dapat diartikan sebagai pantas dan
kelayakan. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan baik
secara jasmanih maupun rohanih. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu
amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Nilai
kepatutan dapat dalam diri La Taddampare’ Puang Rimaggalatung yang
mengatakan:
“Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu inginkan kedudukan tinggi,
kalau kamu tidak mampu juga memperbaiki negeri. Nantilah bila dicari baru
kamu muncul, nantilah bila ditunjuk baru kamu mengia” (Muhtamar, 2007:
22)
Keempat, Getteng (Ketegasan), dalam bahasa Bugis berarti keteguhan. Orang
yang memegang nilai keteguhan ialah orang menepati untuk tidak mengerjakan
ketidak-baikan, dan berketetapan melakukan kebaikan, meski keburukan itu
menarik hatinya tetapi sudah diketahuinya tentang keburukan, lalu tidak
dilakukannya. Nilai keteguhan terikat pada makna yang positif, sebagaimana yang
dikemukakan oleh To Ciung bahwa ada empat perbuatan nilai keteguhan yakni:
Pertama, tidak mengingkari janji, kedua tidak mengkhianati kesepakatan, ketiga
tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah keputusan, keempat, jika berbicara
dan berbuat tidak berhenti sebelum rampung.
Hal tersebut menerangkan, bahwa perlunya menegakkan ketegasan dengan
selalu menepati janji yang sudah dikatakan. Berkata dengan sejujurnya dengan
tidak membatalkan dan mengubah sesuatu yang sudah disepakati bersama antara
penguasa dengan rakyat dan bekerja maksimal untuk kepentingan rakyat bukan
untuk kepentingan sekelompok golongan atau pribadi.
Kelima, Warani (Ksatria), Seorang pemimpin seharusnya memiliki sifat
warani yang bermakna berani mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan
pemerintahan. Keberanian sangat diperlukan dalam pemerintahan karena apabila
seorang pemimpin tidak warani, maka dengan mudah dipengaruhi oleh orang lain
atau lebih jauh oleh bawahannya. Konteks warani berarti berani bertindak dan
berani mengambil resiko. Begitulah seorang pemimpin dalam suatu lembaga
pemerintahan.
Keenam, Masagena (Kemampuan), Nilai kepatutan erat kaitannya dengan
kemampuan (makamaka) jasmaniah dan rohaniah, Penyerahan atau penerimaan
sesuatu harus didasarkan pada kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak
menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab. Perkataan terima kasih
adalah kata pinjaman dalam bahasa Bugis. Sebelumya bila orang menerima sesuatu

-74-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

dari seseorang, maka yang menerima mengucapkan gembira atau senang. Misalnya
dikatakannya "marennu, temmaka rennuku" gembira alangkah gembira saya.
Kemampuan disini juga bermakna bahwa seorang calon pemimpin itu seharusnya
memiliki kecukupan harta atau kekayaan.
Ketuju, Makaritutu (Kewaspadaan), dapat dimaksudkan bahwa seoramg
pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan hendaknya berhati-hati. Jangan
sampai organisasi yang dipimpin dibawa pada hal-hal negatif bukan pada hal-hal
yang positif. Misalnya adanya kecenderungan KKN, menghalalkan segala cara
dalam mencapai suatu tujuan dan sebagainya. Untuk itu diperlukan seorang
pemimpin yang mampu bertanggung jawab dan sifat kehati-hatian dalam setiap
tindakannya.

KESIMPULAN
Nilai-nilai dan esensi demokrasi tampil dalam wujud idea dan wujud
aktivitas dalam budaya politik Kerajaan Bugis tak terkecuali pada Kerajaan Bone.
Secara idea tampak dari berbagai perjanjian To Manurung sebagai cikal bakal Raja
dengan para pemimpin kaum yang mengisyaratkan bahwa Raja dan rakyat
memiliki hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Rakyat memilki hak untuk
menyatakan pendapat secara tertib berdasarkan aturan (wari’), serta hak untuk
mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan. Nilai dasar sipakatau (saling
memanusiakan), menjadi patokan dalam membangun hubungan antara Raja dan
rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai dan martabat manusia memperoleh
penghargaan yang sangat tinggi yakni semacam cultural imperative (keharusan
budaya) untuk selalu melakukan usaha memanusiakan manusia.
Nilai-nilai dasar seperti Lempu’ (jujur), Adatongeng (perkataan benar),
Getteng (tegas) dan Amaccang (kepandaian) mempunyai posisi sentral dalam
menjalankan pemerintahan. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai
dengan kejujuran, maka tidak akan mampu menopang pemeliharaan ’induk
kekayaan’ negara dan rakyat. Lempu’ (kejujuran) harus diserukan, didakwahkan
dan dipraktekkan oleh pemimpin. Apabila sumber kepandaian adalah kejujuran,
maka sabbinna (saksinya) adalah Gau’ (perbuatan).

DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Abu dkk. 2007. Sejarah Bone. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Bone
Jumadi dkk. 2009. Demokrasi di Sulawesi Selatan. Makassar : Reyhan Intermedia
Lontara, Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Ujung
Pandang’ No. 13 0 Tentang Rapang.
Lontara’ 121, 122, 123 Tentang Latoa.
Muhtamar, Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel.
Makassar : Pustaka Refleksi.
Mattulada. 1985. Latoa : Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mattata, HM. Sanusi. 1967. Luwu dalam Revolusi. Makassar :-
Nawawi, Hadari dan M. Martini. 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

-75-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmu-
ilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015

Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta:


Gadjah Mada University Press.
Noordyun, J. 1995. Historiografi Indonesia sebuah pengantar. Jakarta : Gramedia.
Rahim, A. Rahman,1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang :
LEPHAS.
Rahim, Abdul dan Anwar Ibrahim. 2004. Nilai Demokrasi Dalam Budaya Bugis-
Makassar. Dinas Kebudayaaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Siagian, Sondang. P. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Reneka
Cipta.
Soemanto, Wasty dan Soetopo, Hendyat. 1982. Kepemimpinan dalam Pendidikan.
Surabaya: Usaha Nasional.
Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran (Teori, Permasalahan,
dan Praktek). Malang: UMM Press.

-76-

Anda mungkin juga menyukai