Anda di halaman 1dari 151

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Berangkat dari fungsi Pancasila sebagai padangan hidup bangsa Indonesia, sesunguhnya mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter mulia. Karakter tersebut adalah berketuhanan, berperikemanusiaan, mengutamakan persatuan, suka musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan, serta berjiwa sosial yang bersendikan keadilan. Dalam perjalananya, karakter bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dan di kehendaki oleh Pancasila, tidak menunjukan eksistensinya, bahkan boleh di katakan telah pudar. Kerukunan antara umat beragama dan seagama telah berubah menjadi konflik yang mengatasnamakan agama. Nilai-nilai kemanusiaan dan kegotongroyongan telah berganti menjadi sifat individualistis. Nilai persatuan telah berubah menjadi kerusuhan kelompok. Musyawarah telah berganti pemaksaan kehendak. Nilai-niai keadilan sosial telah tergantikan oleh kepastian untuk memperoleh keuntungan materi bagi kelompok tertentu. Disadari bahwa nilai keberagaman adalah satu (Bhineka Tungal Ika) yang menjadi cikal bakal eratnya nilai kebangsaan bagi bangsa Indonesia, kelihatanya tidak sepenuhnya menjiwai bangsa Indonesia, bahkan sudah terjadi pengkikisan. Terjadinya budaya saling curiga satu sama lain, kerusuhan yang bernuansa sara dan hilangnya sikap saling menghormati sesama elemen bangsa, setidaknya menjadi salah satu bukti, telah terjadinya pengikisan jiwa Bhineka tunggal Ika. Di satu sisi, perilaku elit bangsa (mereka yang seharusnya menjadi tuntunan) justru mempertontonkan perilaku-perilaku yang tidak layak untuk ditiru. Semua yang dilakukan, dialamatkan untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan dan kemenangan, meskipun harus mengingkari hati nuraninya. Rakyat dan negara merupakan dua unsur relasi yang memposisikan sebagai kesatuan integral. Negara merupakan wadah di mana bernaung suatu komunitas kehidupan yang disebut bangsa. Penting kiranya untuk menyebutkan karakteristik suatu masyarakat yang mendukung demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakteristik ini menunjukan bahwa di dalam masyarakat yang demokratis terdapat nilai-nilai universal yang menjadi sebuah fondasi dasar. Sejarah perjalanan bangsa dalam menerapkan basis segala konsep tentang karakter bangsa, baik yang bersifat nasional maupun pemerintahan, telah tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, melalui pemikiran genius founding fathers kita. Founding fathers telah merumuskan secara antisipatif citacita nasional (national ideas) berupa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Juga, digariskan tujuan nasional (national goals),

yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita-cita bangsa Indonesia adalah menjadi negara besar kuat disegani dan dihormati keberadaannya ditengah-tengah bangsa di dunia. Setelah 65 tahun merdeka pencapaian cita-cita ini belum menunjukan tanda-tanda menggembirakan. Optimisme mencapai cita-cita itu terus menerus di hadapkan pada berbagai macam tantangan. Era globalisasi dengan ikon teknologi disatu sisi telah membantu percepatan kemajuan bangsa. namun demikian seiring dengan hal ini dirasakan juga dampak yang tidak diharapkan dalam kehidupan berdemokrasi, dalam hal ini mulai bergeser keluar dari norma-norma yang dijungjung tinggi oleh sebuah bangsa1. Filter atau ambang batas (threshold) atau batas pembenaran (margin of appreciation) yang harus digunakan untuk menyeleksi nilai-nilai globalisasi adalah nilai lokal atau nilai partikularistik bangsa Indonesia yang ekstrapluralistik telah mengalami seleksi internal sebelum dan sesudah kemerdekaan dan mengkristal menjadi karakter nasional (national character) berupa empat konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, prinsip NKRI dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, karakter pemerintahan (governmental character) berupa nilainilai dasar demokrasi. Potret perilaku yang demikian bukan hanya terjadi dilini birokrasi dan lembaga politik, tetapi terjadi pula di dunia pendidikan. Semua berlomba untuk eksis dan mendapat pengakuan dari manusia lain, tidak perduli, apakah eksistensinya di akui oleh DIKTI. Perilakuperilaku bangsa yang mencerminkan budaya manusia yang berkarakter Pancasila dan hanya menjadi jargon yang kemudian di tulis dalam bentuk visi dan misi. Namun sayang, semua tidak mempu membekas dalam hati, karena semua berbasis struktural legalistik bukan nurani. Orang tidak lagi perduli kepada tetangganya, tidak perduli atas kondisi masyarakat yang ada disekelilingnya, bahkan tidak lagi perduli atas nasib bangsanya. Mereka hanya mau berbicara tentang tetangga, tentang masyarakat dan tentang bangsa apabila menguntungkan atau apabila ada kesalahan yang dilakukannya, dengan cara mencaci maki tanpa memberikan solusi. Apabila diamati, perilaku-perilaku negatif yang tidak mencerminkan karakter manusia (warga negara) yang ber- Pancasila, dilakukan juga oleh alumni-alumni Perguruan Tinggi (Para Sarjana). Tanpa harus mengatakan bahwa, Perguruan Tinggi tidak mengajarkan perilaku-perilaku yang demikian, tentunya Perguruan Tinggi harus bersikap dan memberikan kontribusi agar perilakuperilaku tersebut diminimalisasi atau apabila mungkin dihentikan.

Prayitno, Dkk, Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa, Gramedia Jakarta, 2011, hlm 1

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jumlah penduduk sangat besar dengan adat-istiadat dan budaya yang bermacam-macam. Kenyataan itu sangatlah mempengaruhi masyarakat dalam membangun pola interaksi satu sama lain. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, bangsa Indonesia sangat memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar dan bermutu guna mendukung terlaksananya program pembangunan dengan baik. Penulis tetap berkeyakinan, bahwa pendidikan mampu merubah pola sikap dan tingkah laku peserta didik. Berawal dari keyainan tersebut, upaya meminimalisasi atau apabila mungkin terjadinya perilaku yang tidak mencerminkan manusia yang berkarakter Pancasila dapat di mulai dari Perguruan Tinggi, dengan cara menyelenggarakan pendidikan karakter. Diharapkan setelah mahasiswa menerima pendidikan karakter, mereka dapat melakukan perubahan perilaku sesuai dengan karakter manusia yang berPancasila kepada dirinya sendiri dan menjadi pionir dan monifator bagi yang lain. Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) didirikan pada tanggal 16 Januari 1961 dengan tujuan membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, khususnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan tinggi. Prakarsa masyarakat untuk mendirikan sebuah Perguruan Tinggi mendapat respon positif dari setiap kalangan baik dari pemerintah maupun kalangan akademisi yang ada di Kota Cirebon. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Unswagati telah merumuskan visi dan misi yang tertuang dalam Rencana Induk Pendidikan Unswagati tahun 2011-2019. Harapan kedepan Unswagati menjadi sebuah Perguruan Tinggi Negeri dengan terwujudnya Universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tri Darma Perguruan Tinggi. Dalam pelaksanaannya pendidikan di Unswagati harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang terpuji. Dalam undangundang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Renstra Kemendiknas 2010 menyebutkan beberapa paradigma pendidikan menyangkut peserta didik. Dua diantaranya menyangkut pemberdayaan manusia seutuhnya dan pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik (Renstra Kemendiknas 2010-2014, hal. 3). Paradigma pemberdayaan manusia seutuhnya menyatakan bahwa memperlakukan peserta didik sebagai subjek merupakan penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia yang utuh. Peserta didik memiliki hak untuk

mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan kinestetik2. Sumber Daya Manusia tidak akan mampu bersaing jika lulusannya tidak berkualitas. Disinilah diperlukan adanya kepedulian yang tinggi terhadap Quality control dan Qualiti assurance. Paradigma ini merupakan fondasi dari pendidikan yang menyiapkan peserta didik untuk berhasil sebagai pribadi yang mandiri (makhluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (makhluk sosial) dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (makhluk Tuhan). Secara khusus, Unswagati menyadari bahwa kegiatan pembelajaran menjadi ujung tombak untuk menyiapkan generasi muda yang akan memikul tanggung jawabnya di masa depan. Implementasi kurikulum yang berbasis pada pendidikan yang berkarakter nasionalis dan religius. Menjadi sebuah pilihan untuk melahirkan pribadi-pribadi dan pemimpin-pemimpin yang berjiwa nasionalis dan religius. Secara institusional Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) mempunyai tujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kepribadian dan kemampuan akademik yang profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menghasilkan karya, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berguna untuk masyarakat dan memiliki kepribadian yang tangguh dan mandiri dan serta memiliki moral dan akhlak yang karimah Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kebangsaan bagi lulusan Unswagati merupakan langkah yang strategis dalam upaya membentuk dan menghasilkan lulusan yang memiliki karakter kuat, handal, religius dan serta mampu bersikap, menyelesaiakan persoalan-persoalan di tengah perbedaan dengan baik. Oleh karena itu lulusan Unswagati dapat mampu memberikan suri tauladan kepada masyarakat dan mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menghormati setiap elemen bangsa. B. Tujuan Penyusunan Buku Pendidikan Karakter Unswagati

Usaha penyusunan buku kecil ini untuk didapatkan dokumen tentang penyelenggaraan pembinaan karakter yang selama ini memang belum pernah terdokumen dengan baik. Dan dengan adanya dokumen diharapkan dapat diikuti perjalanan panjang usaha yang telah dilakukan, dan akan memudahkan pengembangannya. Di samping untuk kepentingan intern Unswagati. Keuntungan lain adalah sebagai Pedoman Umum dalam mengimplementasi dari Ilmu Pengetahuan yang berbasis pada kebangsaan, agama dan kebudayaan sehingga tercapainya pengembangan nilai dan kompetensi keilmuan yang menghasilkan alumni Unswagati yang memiliki
2

Pendidikan Karakater Sanata Darma

kepribadian dan pola pandang sebagai generasi bangsa yang nasionalis dan religius. Oleh karena itu mahasiswa dan dosen memiliki sebuah Pedoman Umum dalam mengimplementasi dari Ilmu Pengetahuan yang berbasis pada kebangsaan, agama dan kebudayaan sehingga tercapainya pengembangan nilai dan kompetensi keilmuan yang menghasilkan alumni Unswagati yang memiliki kepribadian dan pola pandang sebagai generasi bangsa yang nasionalis dan religius. Selain itu, usaha penyusunan buku kecil ini untuk didapatkan dokumen tentang penyelenggaraan pembinaan karakter yang selama ini memang belum pernah terdokumen dengan baik. Dengan adanya dokumen diharapkan dapat diikuti perjalanan panjang usaha yang telah dilakukan, dan ini akan memudahkan pengembangannya. C. Potret Kondisi Unswagati (dalam bentuk evaluasi diri) Cita-cita Unswagati adalah mencerdaskan dan mengembangkan pendidikan, dan menjadikan kampus budaya bangsa, serta membangun emosional. mengemban misi pendidikan, yaitu kehidupan masyarakat sekitarnya melalui sebagai agen perubahan dan pelestarian kecerdasan spiritual dan kecerdasan

Dalam melaksnakan cita-cita tersebut, Unswagati senantiasa berpegang teguh pada falsafah Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan cita-cita tersebut, Unswagati senantiasa menjunjung tinggi asas demokrasi dan transparansi dalam pengelolaan pendidikan dan pelayanan kepada peserta didik. Visi Unswagati adalah terwujudnya universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa, bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, serta memiliki kepemipinan dan semangat kejuangan yang tinggi dalam mendukung pembangunan nasional. Berangkat dari visi tersebut, karakter alumni Unswagati adalah beriman dan bertakwa,bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, memiliki jiwa kepemimpinan, memiliki semangat untuk berjuang dan semangat membangun bangsa. Unswagati bertanggung jawab terhadap masyarakat tidak sekedar menghasilkan lulusan yang mempunyai daya nalar, tetapi lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengaplikasikannya, dan mempunyai rasa percaya diri. Unswagati berkewajiban mewujudkan visi sebagai universitas unggulan melalui kerja sama yang dibangun antara stakeholder (pemangku kepentingan) dan lembaga agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Usaha Unswagati dalam mewujudkan visinya tersebut yaitu memberdayakan potensi Unswagati dalam menumbuh kembangkan kualitas akademik dan menjadikan Unswagati sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermartabat yang berlandaskan riset, pengembangan hasil riset, dan penerapannya dalam kehidupan nyata setiap bidang kajian. Lulusan Unswagati dituntut dapat mengaplikasikan dan mengamalkan ilmunya dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik di segala bidang. Dengan demikian, Unswagati sebagai salah satu Perguruan Tinggi Swasta dapat meningkatkan perannya dalam menunjang pembangunan nasional disegala bidang. Penguraian tentang karakter alumni yang di harapkan yang bersumber visi tersebut menjadi sangat lengkap dan sangat rinci dan semua terangkup dalam kalimat: Alumni Unswagati bermoral Pancasila. Untuk mewujudkan lulusan Unswagati yang berkarakter Pancasila, pimpinan Unswagati telah menggariskan rambu-rambu bagi Dosen dan karyawan dalam bekerja yang dikenal dengan istilah Nawa Karya, yang meliputi: 1. Pelayanan kepada mahasiswa agar lebih di tingkatkan;

2. Dalam menyelesaikan setiap urusan agar lebih dipermudah dengan tetap berpedoman pada peraturan/ketentuan yang berlaku, jangan mempersulit; 3. Setiap pengeluaran agar lebih efesien dengan mengacu pada prinsip-prinsip transparasi dan akuntabilitas; 4. Upayakan optimalisasi penerimaan, sehingga dapat lebih menigkatkan kinerja Universitas; 5. Dengan lebih ditingkatkannya kesehteraan agar diimbangi dengan semangat dan etos kerja yang tinggi,dispiln, dan penuh tanggungjawab; 6. Lebih meningkatkan komitmen dalam rangka mendukung terciptanya universitas unggulan dan dapat melahirkan lulusan yang lebih profesional, memilki daya saing tinggi dan dibutuhkan oleh masyarakat untuk masa kini dan masa yang akan datang; 7. Lebih meningkatkan kemampuan dan profesionalisme seluruh pengajar dengan dukungan tenaga administrasi yang optimal; 8. Kepada segenap civitas akadimika agar tetap menjaga kondisi kampus yang kondusif, sehingga dapat melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan sebaik-baiknya; 9. Dengan senantiasa mengharap rakhmat Tuhan Yang Maha Besar, semoga tujuan Unswagati dapat tercapai.

Dalam perjalananya, seiring dengan memudarnya prinsip dan nilai kejujuran, profsionalisme, disiplin, kerjasama dan penghormatan terhadap lembaga tempat bekerja, seluruh civitas akademika tetap berkomitmen bahwa sikap dan nilai tersebut harus menjadi nafas dalam bekerja. Komitmen tersebut diformal dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Para wakil Rektor. Isi pernyataan sikap tersebut secara rinci sebagai berikut: Kami pimpinan Universitas, Pimpinan Fakultas, Dosen dan karyawan Universitas Swadaya Gunung Jati dengan ini menyatakan : 1. Kejujuran merupakan dasar bertindak dalam menentukan berbagai kebijakan dan keputusan kepentingan lembaga selama ini telah meyakinkan kami bahwa prinsip ini akan terus menjadi rujukan utama ; 2. Profesional adalah menjadi dasar melaksanakan tugas dan kewajiban kami sehari-hari di Unswagati sehingga kualitas proses dan asil terus di tingkatkan secara berkelanjutan. 3. Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional; 4. Kerja sama merupakan perwujudan dari tugas yang diemban sesuai dengan jabatannya masing-masing sehingga tujuan Unswagati tercapai atas kontribusi dan sinergi semua pihak peduli terhadap lembaga; 5. Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik lembaga Unswagati adalah kewajiban kami, karena itu kami akan mempertahankan dengan segala upaya dan daya agar tetap menjadi lembaga terhormat dimata masyarakat nasional dan interasional. Lima prinsip tersebut selalu menjadi landasan kami dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Semoga Allah SWT, senantiasa membimbing kami dalam meraih keridhaan-Nya. Kelima prinsip kerja tersebut berlaku bagi seluruh keluarga besar Unswagati, baik bagi Dosen dan karyawan. Untuk membentuk sivitas akademika yang berkarakter kebangsaan, di Unswagati sedang dibentuk Lembaga Pengkajian, Penghayatan dan Pengalaman Ideologi Kebangsaan (LP3IK). Pembentukan (LP3 Ideologi Kebangsaan) salah satunya dilatar belakangi oleh kondisi Indonesia yang sedang mengalami demoralisasi hampir pada semua segmen kehidupan, terutama yang menonjol dalam bidang hukum dan politik dan budaya yang berpengaruh pada pranata sosial. Lembaga Pengkajian, Penghayatan dan Pengamalan Kebangsaan (LP3 Idologi Kebangsan) berfungsi sebagai berikut ini : 1. Fungsi pembentukan dan Pembangunan Potensi Ideologi

Dalam kontek ini, Pembentukan LP3 Ideologi Kebangsaan berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi civitas akademika Unswagati, Pemerintah Pusat maupun daerah dan masyarakat umum, khususnya kota Cirebon menjadi manusia dan warga negara Indonesia yang memiliki dan dan menumbuhkembangkan sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai dan falsafah kebangsaan yang terkandung pada Pancasila.

2. Fungsi perbaikan dan penguatan. Dalam kontek ini, pembentukan LP3 Idologi Kebangsaan berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidian, masyarakat dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertangungjawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan dan terkandung pada Pancasila. 3. Fungsi penyaring. Pembangunan karakter bangsa memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat sehingga mencerminkan sikap dan pola pandang sebagaimana yang terkandung pada nlai-nilai Pancasila. Maksud dibentuknya LP3 Ideologi Kebangsaan adalah menjadikan peserta didik yang memiliki kepribadian dan memiliki jiwa nasionalisme dan religi dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. LP3I Ideologi Kebangsaan bertujuan: 1. Menjadikan kampus kebangsaan melalui Tridharma Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia khususnya kota Cirebon; 2. Melakukan pengkajian, penghayatan dan pengamalan ideologi dalam pembinan karakter kebangsanpada civitas akademika Unswagati, Satuan Pendidikan, Pemerintah Pusat maupun daerah dan masyarakat (khususnya kota Cirebon) meningkatkan profesionalisme seluruh pengajar dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbasis berbangsa, beragama dan berbudaya akan sebuah nilai-nilai yang terkandung pada ideologi kebangsan agar dapat membentuk mahasiswa yang berjiwa nasionalis dan religius; 3. Mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas dari tingkat pendidikan usia dini hingga Perguruan Tinggi (khususnya dikota Cirebon) tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah) dan memiliki kepribadian yang kuat dan tangguh sebagai pribadi yang nasionalis

dan relijius sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi pada masyarakat; 4. Bersama-sama pemerintah Pusat maupun daerah (khususnya kota Cirebon) memberikan peyuluhan dan pembinaan tentang karaktristik ideologi kebangsaan kepada masyarakat umum sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusayawaratan perwakilan, serta berkedudukan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian untuk mengatasi krisis multi dimensional termasuk krisis moral yang sedang melanda bangsa dan negara harus diawali dengan pembangunan moral dan karakter bangsa, yaitu mendorong penumbuhan dan pengembangan nilai-nilai 4 (empat) Pilar Kebangsaan oleh kalangan Civitas Akademik Unswagati dari mahasiswa hingga dosennya dengan memberikan kuliah umum, seminar dan lokakarya. Sehingga dalam hal ini diharapkan Perguruan Tinggi Unswagati akan memiliki dan mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pendidikan yang berkarakter nasionalis dan religius, sehingga peserta didik dapat mengamalkan dalam kesehariannya.

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL A. Pengertian Pendidikan Karakter. Pendefinisian atau mengartikan atau mengetahui sebuah definisi sebuah ilmu pengetahuan atau sebuah peristilahan, dimaksudkan untuk mengetahui esensi dari ilmu pengetahuan atau istilah yang hendak di ketahui atau di pelajari sekaligus membatasi ruang lingkupnya. Definisi itu tidak satu, melainkan banyak. Hal tersebut, karena pendefinisian sebuah ilmu pengetahuan atau sebuah istilah sangat tergantung pada yang membuat definisi dengan segala sudut pandangnya. Demikian juga pendefinisian tentang pendidikan karakter. Berdasarkan peristilahan, pendidikan karakrer berakar dari kata pendidikan dan karakter yang dalam pemaknaanya dapat disatukan yaitu pendidikan karakter dan pendidikan dan karakter. Dalam tulisan ini, penulis tidak membuat dikotomi antara keduanya, melainkan menyatukan keduanya, sehingga menghasilkan sebuah definisi yang komprehenship. Secara normatif, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional telah memberikan rambu-rambu bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara. Berpedoman pada uraian di atas, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional ternyata tidak menyuratkan peristilahan pendidikan karakter. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyiratkan adanya proses yang harus dilalui, yaitu belajar mengajar untuk menghasilan manusia yang berkarakter. Karakter manusia yang merupakan luaran dari proses belajar secara formal, yaitu manusia aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam bagian yang lain juga menyebutkan : Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap,kreatif,mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal 3 Undang-Undang No.20 Tahun2003). Baik Pasal 1 angka 1 maupun Pasal 3 Undang-Undang Tahun 2003, keduanya menegaskan bahwa pendidikan merpakan sebuah proses untuk mehasilkan manusia atau peserta didik yang berkarakter. Memang harus diakui, karakter manusia yang hendak dibangun melalui proses pendidikan sangat bias dan sangat banyak. Karakter manusia yang merupakan produk pendidikan yang dikehendaki menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah: 1. Manusia yang aktif mampu mengembangkan potensi dirinya; 2. Manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan; 3. Manusia yang mampu pengendalian diri; 4. Manusia yang memiliki kepribadian; 5. Manusiua yang memiliki kecerdasan; 6. Manusia yang memiliki akhlak mulia; 7. Manusa yang memiliki keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara; 8. Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 9. Manusia yang sehat; 10. Manusia yang memiliki ilmu pengetahuan; 11. Manusua yang cakap; 12. Manusia yang kreatif 13. Manusia yang mandiri; dan 14. Manusia yang demokratis serta bertanggungjawab. Menurut Kamus Bahasa Indoesia karangan Suharto dan Tata Iryanto, (Penerbit Indah Surabaya, Halaman 99) bahwa yang dimaksud karakter adalah watak atau tabiat. Berangkat dari pengertian tersebut, maka fokus dari pendidikan karakter adalah mengubah sikap dan pola tingkah laku. Dengan demikian, pengertiana karakter adalah pendidikan yang titik fokusnya adalah mengubah tingkah laku.

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat , tabiat, temperamen dan watak. sementara itu yang disebut dengan berkarakter adalah berkepribadian,berperilaku, bersifat dan berwatak3. Lain halnya dengan pendapat Tadzikiroatun Musfiroh (2008)4, menurutnya karakter mengacu pada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan. Makna karakter itu sendiri dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku sehingga orang tidak jujur, kejam, rakus dan berperilaku jelek dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang berkarakter sesuai dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa Pendidikan Karakter merupakan sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran, individu, tekad serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa sehingga terwujudnya Insan Kamil. B. Makna Pembangunan Pendidikan Karakter Wawasan Kebangsaan. Memaknai akar makna pembangunan pendidikan berkarakter wawasan kebangsaan, harus berangkat dari semangat yang sama, yaitu cinta tanah air dan bangsa. Komitmen yang demikian menjadi sebuah keharusan, karena memberikan makna yang lain, akan membawa konsekunsi yang berbeda. Dalam bahasa yang sederhana, pembangunan merupakan upaya sadar seseorang/sekelompok orang/suatu bangsa yang di lakukan secara terencana melalui untuk menuju pada kondisi yang lebih baik. Untuk sebuah pembangunan maupun pendidikan, keduanya merupakan sebuah proses yang terencana. Berangkat dari pembahasan ini, maka makna pembangunan pendidikan berkarakter wawasan kebangsaan, dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mewujudkan manusia yang berwasaan kebangsaan. Penanaman sebuah karakteristik kebangsaan tidaklah lepas dari dukungan dan peran penting pemerintah pusat maupun daerah. Unsur pemerintahan merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter bangsa karena aparatur negara sebagai penyelenggara pemerintahan merupakan pengambil dan pelaksana kebijakan yang ikut menentukan berhasilnya pembangunan karakter kebangsaan pada tataran informal, formal, dan nonformal. Pemerintahlah yang mengeluarkan berbagai kebijakan dalam pelaksanaan pembangunan. Kebijakan pemerintah dalam berbagai seginya (termasuk kebijakan dalam bidang penyiaran atau media massa) harus mengacu pada pembangunan yang berbasis pada karakter kebangsaan.

Nurla Isna,Panduan Penerapan Pendidikan Karakter di sekolah, Laksana Yogayakarta 2011,hlm 19 4 ibid

Menurut UU no 20 tahun 2003 Pasal 3 pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa yang bermartabat. Ada 9 (sembilan) pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah : 1. Cinta tuhan dan segenap ciptaannya 2. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian 3. Kejujuran/amanah dan kearifan 4. Hormat dan santun Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerja sama 5. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras 6. Kepemimpinan dan keadilan 7. Baik dan rendah hati toleransi kedamaian dan kesatuan

Pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Pembangunan karakter melalui satuan pendidikan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi. Sehingga menjadikan sebagai salah satu kunci keberhasilan pada satuan pendidikan adalah keberhasilan dalam menumbuhkan sikap keteladanan dari para pendidik dan tenaga kependidikan. Keteladanan bukan sekadar sebagai contoh bagi peserta didik, melainkan juga sebagai penguat moral bagi peserta didik dalam bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, penerapan keteladanan di lingkungan satuan pendidikan menjadi prasyarat dalam pengembangan karakter peserta didik. Pembangunan Karakter Bangsa adalah upaya kolektif-sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi, konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu melalaui pembangunan karakter kebangsaan pada dunia pendidikan diharapkan menghasilkan sebuah pendidikan berkarater kebangsaan. Dalam hal ini Pendidikan karakter kebangsaan merupakan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang diamanatkan pada UUD 1945 yang diharpakan hasilnya adalah dapat mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas, tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah). Untuk itu diperlukan

sebuah pengembangkan Satuan pendidikan sebagai wahana pembinaan dan pengembangan karakter kebangsaan. Upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Unswagati mengacu kepada kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional di dalam mengembangkan grand design pendidikan karakternya. Grand design ini menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaiannya. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). C. Tujuan Pendidikan Karakter Kebangsaan Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (18691966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan. Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparde, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi5. Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte6. Pendidikan bertujuan untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Rakyat Indonesia melalui majelis perwakilannya menyatakan, bahwa pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia, diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

5 6

Sutangsa,Peran Guru dalam Pendidikan Karakter, UPI Bandung, 2011 hlm 12 Ibid

Pendidikan Karakter kebangsaan mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari atas berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan. Dengan demikian, perbedaan pemikiran, pendapat, atau kepentingan diatas melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. D. Pendidikan Karakter Kebangsaan di Perguruan Tinggi Umum: Sebagai Dasar Nilai dan Pedoman Berkarya Bagi Lulusan Perguruan Tinggi

Pendidikan abad 21 yang disepakati oleh 9 menteri pendidikan dari Negara-negara berpenduduk terbesar di dunia, termasuk Indonesia di New Delhi 1996, diharapkan dapat berperan secara efektif dalam hal : 1. mempersiapkan pribadi, sebagai warga Negara dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab; 2. menanamkan dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup; dan 3. menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi dan seni demi kepentingan kemanusiaan.

Senada dengan hal di atas, Konferensi Dunia tentang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh UNESCO di Paris pada tahun 1998, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 140 negara termasuk Indonesia, menyepakati perubahan pendidikan tinggi ke masa depan yang bertumpu pada pandangan, bahwa tanggung jawab pendidikan tinggi adalah :

1. selain meneruskan nilai-nilai, transfer ilmu pengetahuan teknologi dan seni, juga melahirkan warga negara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa dan kemanusiaan; 2. mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang produktif dalam konteks yang dinamis; dan 3. mengubah cara berfikir, sikap hidup dan perilaku berkarya individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka memprakarsai

perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan ke arah kemajuan, adil dan bebas. Sejalan dengan kesepakatan dunia telah disebutkan diatas, pendidikan nasional Indonesia melakukan penyesuaian yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. VII Tahun 2001, bahwa visi Indonesia 2020 adalah bertujuan terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Menurut Malik Fajar (1999), masyarakat Indonesia yang memanifestasikan wujud visi Indonesia 2020 disebut sebagai masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang memiliki keadaban demokratis atau masyarakat yang berkarakter sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Beriman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Pancasilais. Demokratik, berkeadaban, menghargai perbedaan, keragaman pendapat dan pandangan. Mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan, dan tidak diskriminatif. Sadar serta tunduk pada hukum dan ketertiban. Mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, memiliki keahlian, keterampilan kompetitif dengan solideritas universal. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur masyarakat beradab dan demokratis. yang mengakar pada

6. 7.

Belajar yang berlangsung sepanjang hayat, membangun warga negara berkeadaban.

UU No. 20 Tahun 2003 memberikan rumusan tentang Visi Indonesia 2020 berupa masyarakat warga yang berkeadaban (civil siciaty / masyarakat madani) yang hendak diwujudkan melalui pendidikan nasional sebagai berikut: Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai visi Indonesia 2020, pendidikan tinggi nasional Indonesia memiliki program jangka menengah yang disebut Visi Pendidikan Tinggi Nasional 2010, sebagai berikut : 1. Mengembangkan kemapuan intelektual mahasiswa untuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab bagi kemampuan bersaing bangsa mencapai kehidupan yang bermakna.

2.

Membangun suatu sisten pendidikan tinggi yang berkontribusi dalam pembangunan masyarakat yang demokratik, berkeadaban dan inklusif, serta menjaga kesatuan dan persatuan nasional.

Pancasila harus menjadi core phylosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara demokratis, dalam rangka mewujudkan masyarakat warga yang berkeadaban. Berdasarkan itu semua, perguruan tinggi umum harus mampu menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni, serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai kegiatan pemenuhan amanat sosial tersebut. Pelembagaan atau sebut saja internalisasi karakter suatu bangsa hanya akan berhasil bila menerapkan model pendidikan yang relevan dan bersungguh sungguh sebagai suatu sistem, sehingga karakter dapat dilembagakan sebagai norma ideologi atau paling tidak implementasi dari ideologi negara. Prinsip long life education yang sudah menjadi kesepakatan para ahli merupakan kebutuhan dan prasyarat pembentukan karakter manusia. Tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Adapun karakter bangsa Indonesia yang dijiwai kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif (Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025) dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bangsa yang Berke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Nilai ketuhanan Yang Maha Esa Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama sehingga terciptanya tatanan dalam kehidupan antar umat beragama Selain itu juga, berke-Tuhan-an Yang Maha Esa adalah bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia.Karakter Berke-Tuhan-an Yang Maha Esa tercermin antara lain dalam sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan; saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan agama dan kepercayaanya itu kepada orang lain. b. Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya. Oleh karena itu sikap dan perilaku menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab diwujudkan dalam perilaku

saling menghormati antarwarga negara sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat, hak, dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak semenamena terhadap orang lain; gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berani membela kebenaran dan keadilan; merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia; serta mengembangkan sikap saling menghormati dan saling menghargai antar sesama manusia. c. Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Nilai persatuan indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia. Untuk itu komitmen dan sikap yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter kebangsaan seseorang tercermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. d. Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Dengan demikian sikap dan perilaku demokratis yang dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan merupakan karakteristik pribadi warga negara Indonesia. Karakter kerakyatan seseorang tercermin dalam perilaku yang mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama; beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama; menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah; berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai keadilan. e. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan

Nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah. Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan normatif. Karena sifatnya abstrak dan normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai nilai dasar, nilai-nilai tersebut menjadi sumber nilai. Artinya, dengan bersumber pada kelima nilai dasar diatas dapat dibuat dan dijabarkan nilai-nilai instrumental penyelenggaraan negara Indonesia. Komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Karakter keadilan sosial seseorang tercermin antara lain dalam perbuatan yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan; sikap adil; menjaga keharmonisan antara hak dan kewajiban; hormat terhadap hakhak orang lain; suka menolong orang lain; menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain; tidak boros; tidak bergaya hidup mewah; suka bekerja keras; menghargai karya orang lain. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional sedang mendapat ujian yang cukup berat dan berarti, kebenarannya mulai diragukan dan praktis tidak berdaya menghadapi fenomena gejolak sosial di masyarakat. Keraguan tersebut muncul akibat tidak berfungsinya norma, nilai dan kaidah normatif, termasuk law inforcement yang lemah, bahkan nilai keagamaan pun nyaris tidak berdaya dan terkalahkan oleh hal-hal yang bersifat pragmatis. Kondisi tersebut memicu timbulnya cara berfikir yang merefleksikan kemerosotan watak, mental, dan etika kebangsaan; mentalitas berorientasi pada kekuatan dan kekerasan, persepsi yang sempit, dangkal dan tertutup, kritik dan perbedaan pendapat diposisiskan sebagai pertentangan dan mendorong kekuatan radikalisme bersinergi dengan faham fundamentalisme, lihat kekerasan di Pandegelang Banten kasus Akhmadyah, orang bersorak sorai, tepuk tangan ketika berhasil membunuh manusia. Cerminan watak, mental, dan sikap demikian berpengaruh terhadap upaya penciptaan identitas dan karakter bangsa, terutama berkaitan dengan proses demokratisasi. Jika Pancasila tetap dipersepsikan sebagai bagian dari paradigma lama dan tidak dijadikan pedoman dan rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka upaya ke arah berkembangnya karakter bangsa dipastikan bakal terkendala. Karakter bangsa masih diwarnai karakter patron, partisipasii politik rendah dibanding dengan mobilitas politik yang dijalankan elite politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang dipengaruhi globalisasi sosial budaya melalui media komunikasi, telekomukasi dan informasi rentan munculnya konflik sosial.

Karakter suatu bangsa ditanamkan kepada warga negara sebagai suatu norma yang melekat dengan ideologi nasional bangsa itu. Ideologi merupakan prinsip dan norma yang dipegang dan berlaku dalam masyarakat dan merupakan motivasi untuk menentukan tindakan. Ideologi sebagai keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang meliputi berbagai aspek, seperti sosio-politik, ekonomi, budaya dan hankam. Ideologi adalah merupakan keseluruhan prinsip dan norma atau motivasi dalam bertindak. Ideologi menentukan tingkah laku kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Di sini, ideologi berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kenegaraan. Ideologi sebagai karakter bangsa merupakan suatu konsensus atau kesepakatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu negara sehingga menjadi nilai dasar bagi masyarakat. Di dalam ideologi terdapat gagasan-gagasan yang tersusun secara sistematis dan menyeluruh dan dapat membangkitkan motivasi bagi masyarakat untuk membangun negaranya. Selain itu ideologi dapat dikaitkan sebagai sistem paham mengenai dunia yang mengandung teori perjuangan dan dianut kuat oleh para pengikutnya menuju cita-cita sosial tertentu dalam kehidupan. Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik untuk mendasari suatu sikap mental atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak dan tanggung jawab seseorang akademisi. Hak dan tanggung jawab itu terkait pada susila akademik, yaitu sebagai berikut 7 : a. Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai keinginan untuk mengetahui hal-hal baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak mengenal titik henti yang dampak dan pengaruhnya dengan sendirinya juga terhadap pengembangan etika. b. Wawasan, luas dan mendalam dalam arti bahwa nilai-nilai etika sebagai norma dasar bagi kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari unsur-unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan ciri-ciri khas yang membedakan bangsa itu dari bangsa lain. c. Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentative, bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, yang implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai dengan kondisi actual yang berkembang dalam masyarakat. d. Open mindedness, dalam arti rela dan dengan rendah hati (modest) bersedia menerima kritik dari pihak lain terhadap pendirian atau sikap intelektualnya.
7

Syahrial Syarbaini,Pendidikan Pancasila sebagai Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa,hlm 35,Grahalia Jakarta 2011

e. Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh dari pihak lain dalam mendukung sikap atau pendapatnya. f. Independent, dalam arti bertanggung jawab atas sikap dan pendapatnya, bebas dari tekanan atau kehendak yang dipesankan oleh siapapun dan dari manapun.

Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga memahami etika yang sarat dengan nilai-nilai filsafati, jika tidak dilandasi dengan pemahaman segi-segi filsafatnya, maka yang kita tangkap hanyalah segi-segi fenomenalnya saja tanpa menyentuh inti hakikinya. Untuk berhasilnya perilaku bersandarkan pada norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai berikut ini8 : a. Proses penanaman dan pembudayaan etika tersebut hendaknya menggunakan bahasa agama dan bahasa budaya sehingga menyentuh hati nurani dan mengundang simpati dan dukungan seluruh masyarakat. Apabila sanksi moral tidak lagi efektif, langkah-langkah penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan konsisten. b. Proses penanaman dan pembudayaan etika dilakukan melalui pendekatan komunikatif, dialogis, dan persuasif, tidak melalui pendekatan cara indoktrinasi. c. Pelaksanaan gerakan nasional etika berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat secara sinergik dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh potensi bangsa, pemerintah ataupun masyarakat. d. Perlu dikembangkan etika-etika profesi, seperti etika profesi hukum, profesi kedokteran, profesi ekonomi, dan profesi politik yang dilandasi oleh pokok-pokok etika ini yang perlu ditaati oleh segenap anggotanya melalui kode etik profesi masing-masing. e. Mengkaitkan pembudayaan etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman, yang menempatkan nilai-nilai etika kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di samping tanggung jawab kemanusiaan juga sebagai bagian pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan dasar itu semua, maka perguruan tinggi harus mampu menghasilkan manusia yang unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten dalam penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai kegiatan pemenuhan amanat nasional. E. Urgensi Pembangunan Karakter Kebangsaan

Ibid

Kita bisa Kehilangan seorang pemimpin dan kehilangan perekonomian, yang berarti hanya kehilangan seorang dan sesuatu saja dan semuanya dapat di bangun kembali akan tetapi ketika kita kehilangan karakter bangsa berarti kehilangan segala-galanya sebagai suatu bangsa (Yudi Latief)9 Perlu kiranya kita pahami kalimat di atas. Hal ini merupakan sebuah pukulan berat bagi bangsa ini, mengapa demikian? Mudah saja bagi kita menguraikan dengan cara kesadaran pada diri dan sekitar kita tanpa adanya sebuah hipnotis dari seorang Romy Rafael. Sederhana saja kita melihat keadaan bangsa ini pascaperguliran reformasi tidak semakin membaik. Bahkan menjadi semakin terpuruk. Perang Ideologi dari berbagai macam pergulatan politik semakin memberikan warna indah dan warna pelangi sehingga menjadikan bangsa ini menuju bangsa yang tidak berkeperimanusian dan tidak beradab. Patut kiranya kita sadari bahwa reformasi yang semestinya berjalan di atas norma dan etika demokrasi pada kenyataannya lebih mirip arena adu pembenaran diri, dengan memanfaatkan berbagai macam media masa yang cenderung provokatif dan agitatif, sehingga situasi dan kondisi semakin tidak kondusif. Perjuangan kelompok/golongan dengan label demi kebebasan telah melahirkan aneka konflik kepentingan, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Pada dasarnya sebuah proses reformasi merupakan sebuah proses reinventing and rebuilding (menciptakan kembali dan membangun kembali) akan sebuah terciptanya konsolidasi bangsa Indonesia menuju masyarakat demokratis yang memiliki kesadaran korektif guna kembali menata kehidupannya kembali. Tujuan akhiri proses ini adalah menjadikan masyarakat menjadi lebih baik demi pencapaian tujuan dan citacita nasional bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Sudah seharusnya reformasi merupakan sebuah perubahan yang sistematis dan terukur. Namun, pada tataran empirik dapat diindikasikan bahwa reformasi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan semula. Diawali dari krisis moneter, berlanjut ke krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan akhirnya menjalar ke krisis politik. Akibat dari krisis politik yang terjadi, banyak pelanggaran etika politik dan berakibat meningkatnya tindakan kriminal di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia kehilangan orientasi tata nilai, nilai-nilai luhur dalam budaya kita hilang. Identitas dan karakter ciri khas nasional perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Perubahan yang terjadi di dunia terasa begitu cepat, sehingga seluruh tatanan yang ada di dunia ikut berubah. Sementara tatanan yang baru belum terbentuk. Sekitar 10 tahun terakhir rakyat Indonesia merasakan semakin lunturnya rasa kebangsaan.

Menyamai Karakter Bangsa Perlukah Keteladanan Pejabat, dalam Kompas,Jumat 15 Januari 2010

Rasa memiliki terhadap Indonesia makin kendur. Bahkan semakin hari semakin tidak mendapat tempat di hati anak bangsanya sendiri. Dalam hal sepanjang pemerintahan Orde Baru, dalam diri anak-anak negeri ini ditanamkan nilai-nilai luhur ideologi Pancasila dan UUD 1945. Selain itu juga arti semboyan Bhineka Tunggal Ika terus-menerus dikumandangkan. Kita pun dengan bangga menyebut diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di sisi lain, tuntutan pemekaran wilayah yang dianggap sebagai wujud kebebasan ekspresi lokal, dalam praktiknya telah berkembang semakin luas dan semakin sulit dikendalikan. Hal tersebut dapat dijadikan bukti bahwa reformasi yang mengusung ide pembaharuan ternyata telah membawa bangsa ini ke dalam cara berpikir yang semakin mengecil dan sempit10. Primodialisme atas dasar kesukuan maupun keagamaan tumbuh untuk saling menunjukkan eksistensinya. Mosaik Indonesia retak dan membelah masyarakat dan bangsa. Bangsa yang dahulu dikenal yang paling sopan di dunia mengalami krisis identitas. Berbagai unsur perekat yang mempersatukan kebinekaan bangsa ini kian longgar. Sirnanya rasa kebangsaan akan kebangsaan menjadi luntur. Hampir dari sebagian rakyat Indonesia melupakan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Pada era saat ini, sebagaian rakyat Indonesia menjadikan Bhineka Tunggal Ika hanya sebagai semboyan atau jargon tanpa makna. Semboyan Bhineka Tungggal Ika hanyalah sebuah slogan politik bagi segelintir atau sekelompok orang dengan dalih menuju Indonesia baru. Gerakan-gerakan itu menjalar hampir tanpa hambatan karena sepanjang era Reformasi rakyat Indonesia mengabaikan untuk tidak mengatakan melupakan Pancasila sebagai dampak reformasi yang dinilai kebanyakan orang kebablasan. Akibat dari itu semua secara langsung telah mengubah perilaku (behavior) masyarakat menjadi sangat kurang menghormati kaidahkaidah kehidupan yang pluralis. Selain itu juga wawasan tentang kebangsaan dan NKRIpun mengalami nasib serupa dan lambat laun hilang dari kesadaran anak-anak bangsa sendiri11. Pengotak-kotakkan masyarakat berdasarkan sentimen primordial, seperti agama, merupakan suatu isu yang mudah sekali dibakar. Bahkan, mulai muncul pengkaplingan tempat tinggal (perumahan) berdasarkan agama, suku dan bahasa. Sedangkan adanya kebijakan transmigrasi pada era Orde Baru, menjadikan salah satu tujuannya membentuk masyarakat Indonesia yang multikultural tanpa membeda-bedakan darimana dia berasal. Mereka bahkan curiga dan merasa menghadapi ancaman. Padahal, justru kecurigaan dan kekhawatiran inilah yang telah menimbulkan konflik dan aksi-aksi kekerasan yang cukup marak di Indonesia akhir-akhir ini.
10 11

Kompas 2007Serba serbi Otonomi Daerah dan Permasalahannya

Anhar Gonggong dalam Diskusi Terbatas, Perspektif Sejarah atas Demokrasi Indonesia, 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi

Perlu disadari bahwa pluralitas adalah suatu keniscayaan, sehingga ini harus direspons dengan arif dan bijaksana. Pandangan multikulturalisme lebih menyukai kebebasan, sehingga mampu mempertahankan keragaman budaya. Hal ini karena keragaman budaya ini tidak saja lebih menjamin kemajuan, tetapi juga keindahan. Pluralisme, dalam konteks keindonesiaan, mudah dipahami sebagai Bhineka Tunggal Ika, beraneka ragam tetapi satu. Di sinilah pluralisme bersambung dengan Pancasila. Fakta sejarah membuktikan bahwa Indonesia dibangun di atas keserberagaman suku, adat istiadat, agama, bahasa, bahkan ideologi. Kebinekaan adalah salah satu ciri utama bangsa Indonesia. Founding Fathers menerima dan mengakuinya sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin keberlangsungannya, mereka menggelorakan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Kita pun, sebagai ahli waris bangsa Indonesia, punya kewajiban untuk menghidupi semboyan itu. Tanpa mengakui fakta itu, mustahil negara bernama Indonesia ini bisa bertahan hingga kini12. Salah satu ancaman serius terhadap keutuhan NKRI dewasa ini, selain masalah korupsi dan kemiskinan, adalah upaya pengingkaran terhadap pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (ideologi Pancasila, konstitusi UUD Negara RI 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika)13. Jika saja keadaan bangsa ini dibiarkan terus larut ke dalam situasi sebagaimana gambaran di atas, serta tanpa upaya nyata untuk segera mengatasinya, dapat dipastikan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menjadi semakin rapuh. Bagaimanakah caranya memunculkan kembali karakter bangsa kita sebagai ide dasar yang tercantum dalam 4 (empat) pilar? Karakter bangsa Indonesia akan muncul pada saat seluruh komponen bangsa menyatakan perlunya memiliki perilaku kolektif kebangsaan yang unik dan baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa serta bernegara dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang bangsa Indonesia. Krisis jati diri bangsa yang paling mencekam muncul dalam sikap antipluralisme di kalangan sekelompok anak bangsa. Sebagian besar masyarakat, terutama kelompok-kelompok dominan, masih tidak memahami prinsip- prinsip pluralisme dan multikulturalisme. Dalam hal ini sangatlah bertentangan dengan Konsensus Nasional sebagai manifestasi kehendak untuk bersatu maupun sebagai satu kesatuan karakter atau jati diri bangsa Indonesia14 Kondisi saat ini menuntut perlunya pemahaman terhadap empat pilar kebangsaan itu dan pengamalannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, upaya sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan
12 13 14

Komisi VIII anggot DPR RI, Menemukan Kembali Indonesia Yang Hilang, Sinar Harapan 2010 ibid ibid

bernegara oleh 670 anggota MPR patut mendapat dukungan. Sasarannya utamanya adalah supaya pada saatnya nanti pemahaman terhadap empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik. Pemahaman yang lebih baik atas empat pilar tersebut akan menjadi modal dasar bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhur dan masa depan yang lebih baik. Hanya dengan cara itu kita menemukan kembali Indonesia yang hilang dari sanubari anak-anak negeri ini15. Apabila kesadaran kebangsaan tidak pernah terpaterikan di dalam sanubari setiap warga negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta berkehidupan kebangsaan yang bebas hanya akan menjadi kenangan sejarah. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dengan konsep 4 (empat) pilar kebangsaan akan hilang dari muka bumi,dan tercabikcabik oleh semangat disintegrasi. Oleh karena itu, kita, bangsa Indonesia, membutuhkan dan harus terus merawat pilar-pilar kebangsaan itu. Hanya dengan kesadaran itu, Indonesia dapat membangun suatu masyarakat terbuka yang menjadi basis bagi pengembangan paham multikulturalisme. Karena dengan keterbukaan, berbagai unsur masyarakat bisa saling memahami, saling belajar, dan saling memanfaatkan dalam kerja sama maupun persaingan yang sehat. Sejarah perjalanan bangsa dalam menerapkan konsep tentang karakter bangsa, secara nasional telah tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945, melalui pemikiran genius founding fathers kita. Founding fathers telah merumuskan secara antisipatif cita-cita nasional (national ideas) berupa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Selain itu juga telah digariskan tujuan nasional (national goals), untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Konsensus dasar, yang merupakan aspek partikularistik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, mempunyai peran penting, yakni antara lain merupakan fungsi perekat (adhesive function) persatuan, sebagai measurement guide lines (pengukuran garis panduan) dalam mengelola ketahanan nasional, elemen prediktibilitas dalam hubungan antar bangsa (predictability elements) dan sarana menegakkan kedaulatan (sovereignty) yang di samping mengandung privilege atau hak istimewa untuk mengatur hak penegakan hukum di wilayah negara juga harus ada tanggung jawab pada dunia serta sebagai peringatan dini (early warning) kepada pemerintah, bahwa persoalan-persoalan seperti masalah keragaman beragama,masalah HAM, masalah persatuan dan kesatuan, berdemokrasi, masalah keadilan sosial merupakan permanent constraint (kendala yang permanen) Indonesia. Untuk itu, perlu kiranya dikelola dengan sungguhsungguh16. Filter atau ambang batas
15 16

Opcit,Sinar Harapan 2011 Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm, Hasan Basari.-- Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian

(threshold) atau batas pembenaran (margin of appreciation) yang harus digunakan untuk menyeleksi nilai-nilai globalisasi adalah nilai lokal atau nilai partikularistik bangsa Indonesia yang ekstrapluralistik telah mengalami seleksi internal sebelum dan sesudah kemerdekaan dan mengkristal menjadi karakter nasional (national character) berupa 4 (empat) konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, prinsip NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, selain itu juga pada era sekarang diperlukan sebuah karakter pemerintahan (governmental character) sebagai nilai-nilai dasar demokrasi17. Untuk itu perlu kiranya dihayati baik secara konseptual tentang studi strategis yang selalu memasukkan karakter nasional dan karakter pemerintahan sebagai salah satu determinan utama kekuatan nasional (national power) atau ketahanan nasional (national resilience) yang sangat strategis. Jika hal ini kurang diantisipasi, lambat laun akan mengancam kekuatan harkat, martabat dan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk itu kita perlu mengimbangi dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam atas nilainilai luhur yang terdapat pada 4 (empat) pilar kebangsaan. Di sinilah pentingnya kita melakukan revitalisasi terhadap 4 (empat) pilar kebangsaan dalam dunia pendidikan, karena bagaimanapun karakter dan identitas bangsa Indonesia harus mengacu kepada konsesus dasar tersebut. F. Konsepsi Pembangunan Karakter bangsa dan Dinamika Pendidikan Nasional. 1. Konsepesi Pembangunan Karakter Bangsa Perlu kita ketahui bahwa sejarah pendidikan formal di Indonesia dimulai semenjak zaman Belanda, kita tentu akan bertanya bagaimanakah pendidikan kita sebelumnya? sebelum pendidikan ala barat dikenalkan di Indonesia, pada saat nusantara masih dikendalikan oleh raja-raja. Sulit jika kita mencari sebuah refensi tentang bagaimanakah proses pendidikan pada era tersebut. Akan tetapi perlu kita akui masyarakat pada era tersebut memiliki sebuah peradaban yang cukup maju, artinya pada era tersebut pendidikan non formal menjadikan masyarakat yang memiliki karakter kebudayaan yang kuat dalam membangun kehidupannya. Seperti halnya jika kita melihat candi Borobudur atau Prambanan tidaklah mungkin bangunan semacam itu dibangun oleh orang-orang yang bukan berpendidikan, bangunan tersebut pastilah dibangun dengan seorang arsistek atau konseptor yang handal serta dibantu dengan para tenaga ahli yang profesional dalam bidangnya. Pada masa Hindu-Budha pendidikan mulai dilihat dikenal dengan sistem karyan merupakan sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi19. Dalam hal ini jika kita tarik benang merahnya bahwa sistem pendidikan Hindu-Budha pada era tersebut lebih
18
17 18

Muladi Artikel National Charaktter,2010 Karyan dibagi menjadi sebuah tempat untuk segala kegiatan keagamaan yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta,murid dan para pengikutnya. Selain itu juga sebagai tempat penggodokan calon-calon pemimpin dan elite kerajaan (pemerintah) ( Fathul Muim, Pendidikan Berkarakter, hlm 79, Yogyakarta, Arus Media 2011) 19 Ibid hlm 77

diarahkan pada pembentukan karakter yang disandarkan pada penyerahan diri kepada dewa untuk kebijaksanaan, melalui penggemblengan diri agar terlatih menjadi manusia yang memiliki moral, welas asih dan bijak. Ketika Islam datang di Nusantara, membawa sebuah pengaruh peradaban di era tersebut, sehinggga model pendidikan membawa pengaruh dan mengalami akulturasi dengan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Pendidikan Islam juga mengenal istilah mengasingkan diri dengan sebutan istilahnya Uzlah atau yang saat ini dikenal dengan model pendidikan pondok pesantren. Pada era penjajahan Belanda memunculkan sebuah sekolah modern, dengan tetap tanpa meninggalkan atau mengubah sturktur sosial agar sesuai dengan kebutuhan dari bangsa penjajah tersebut. Hanya saja pada era penjajahan ini, sekolah modern lebih diwajibakan untuk mempelajari bahasa Belanda, hal ini bertujuan untuk mempermudah antara pribumi dan Belanda dapat berkomunikasi dengan baik. Pada masa inilah pendidikan karakter di desaian untukmenciptakan ketertundukan dan kepatuhan anak-anak pribumi, khususnya para priyayi-priyayi terhadap penjajah Belanda, mengapa demikian? sebab pada era tersebut masih terasa kental budaya kerajaan yang masih kuat dengan ketertundukan rakyat pada kaum bangsawan. Bagi penduduk pribumi bahwa pendidikan modern dirasakan sebuah berkah karena telah mampu melepaskan diri dari kegelapan zaman lama, seperti pepetah RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang. Dengan pendidikan modern, bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dilakukan dengan cara lisan seperti halnya sebuah dongeng dan cerita legenda, akan tetapi perlunya sebuah pengenalan huruf, aksara dan buku-buku sebagai sumber bacaan yang menambah wawasan dan wacana sehingga dapat membantu rakyat mengembangkan imajinasi terhadap kehidupannya secara lebih maju lagi. Pendidikan didefinisikan sebagai usaha terencana untuk membangun lingkungan belajar dan proses pembelajaran, sehingga para anak didik dapat secara giat mengembangkan potensi masing-masing guna memperbaiki taraf kerohanian, kesadaran, kepribadian, kecerdasan, keetisan, dan kekreatifan yang sesuai bagi masing-masing, bagi sesama warga negara, maupun bagi bangsa. Untuk itu bahwa pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah ideologi kebangsaan yang ada. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip tersebut akan menyebabkan peserta didik yang tidak memahami dan mengerti akan sebuah ideologi bangsanya sendiri. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal jati diri bangsanya dengan baik, sehingga ia menjadi orang asing dan terjebak oleh pemikiran-pemikiran ideologi yang menyesatkan. Sehingga dampak akses bagi kaum muda yang tidak mengenal akan sebuah

ideologi bangsanya sendiri akan cenderung menjadi acuh,pragmatis serta antipati akan sebuah persoalan-persoalan yang ada disekitarnya. Dalam pandangan Notonagoro20, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah perwujudan dari asas perikemanusiaan yang adil dan beradab, dan bersama semua asas yang terkandung dalam Pancasila. Dalam hal ini merupakan sebuah bentuk landasan ideologis yang dapat diterapkan pada kegiatan pendidikan, pengajaran dan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia. Mengenai pandangan Notonagoro tersebut, selaras dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 22 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mendiknas menyatakan bahwa mulai tahun ajaran 2011/2012 ingin mewujudkan dalam kegiatan nyata, bahwa pendidikan berbasis karakter bisa dijadikan gerakan nasional, mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga Perguruan Tinggi, termasuk pendidikan Nonformal dan Informal. Lebih lanjut Muhammad NUH mengemukakan, bersamaan dengan gerakan pendidikan berbasis Karakter, sekaligus menyiapkan generasi Indonesia 2045 dan dimulai dengan memberikan perhatian khusus pada PAUD dan nantinya, merekalah yang akan melanjutkan pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia21. Sedangkan menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), sebagaimana dikutip dalam pidato Mohammad Nuh (2010), pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ini pertanda bahwa antara budi pekerti (akhlak, moral, etika), pikiran (wawasan pengetahuan) dan tubuh peserta didik harus berjalan seiring-seirama dalam proses pendidikan sebagai modal mencerdaskan dan memajukan peradaban bangsa. Untuk memenuhi cita-cita tersebut, pendidikan yang berkarakter Ideologi Kebangsaan dibangun atas prinsip dan semangat nilai-nilai dari 4 (empat) pilar kebangsaan tersebut, sehingga penting kiranya untuk direalisasikan sebagai salah satu tahapan membentuk kepribadian peserta didik yang benar-benar berjiwa nasionalis dan religius. Pandangan lain yang diutarakan Wamendiknas dalam rembug nasional Pendidikan Karakter di UPI dengan tema Membangun Karakter Bangsa dengan Wawasan Kebangsaan sebagai berikut : Bahwa Arti penting pendidikan karakter bagi bangsa dan Negara. Pendidikan karakter sangat erat dan dilatar belakangi oleh keinginan mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945. Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
20 21

Mubyarto, Perlunya Pendidikan Karakter di2004:45 ibid

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan perilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah ilahi ini dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku. Bahwasanya sekolah dan perguruan tinggi sebagai bagian dari lingkungan memiliki peranan yang sangat penting22. Selain itu, Wamendiknas menganjurkan agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture , di mana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Wamendiknas pun berpesan, agar para pemimpin dan pendidik lembaga pendidikan tersebut dapat mampu memberikan suri teladan mengenai karakter tersebut. Untuk itu, hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran23. Mengenai sarana-prasarana, pendidikan karakter ini tidak memiliki saranaprasaran yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan.Perihal pengembangannya sendiri, Wamendiknas melihat bahwa kearifan lokal dan pendidikan di pesantren dapat dijadikan bahan rujukan mengenai pengembangan pendidikan karakter, mengingat ruang lingkup pendidikan karakter sendiri sangatlah luas24. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana yang mengandung dasar filosofi pendidikan : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Pendidikan harus mampu mengembangkan budaya dan karakter bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, yang terkenal dengan istilah multikulturalisme (Pidato Mohamad Nuh: 2010). Mahatma Gandhi menyatakan, salah satu dosa sosial yang mematikan adalah education without character. Pendidikan nasional harus melihat persoalan di atas sebagai sesuatu yang sangat strategis. Sebab, salah satu fungsi pendidikan nasional menurut UU No 20 Tahun 2003 adalah membentuk watak serta peradaban. Bahkan di tingkat pendidikan tinggi, bisa langsung dikaitkan dengan disiplin ilmu, kebebasan akademis, budaya akademis dan kejujuran intelektual serta etika profesi masing-masing bidang keilmuan. Dengan demikian,
22

Yoggi Herdani , Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa, Thursday, 03 June 2010 ,www.dikti.com 23 ibid 24 Ibid

intelektual Indonesia tidak justru menjadi predator bagi bangsa dan negaranya, seperti melakukan korupsi, kejahatan perbankan, terorisme, malapraktik, pelacuran intelektual dan sebagainya25. Pada dasarnya pendidikan berkarakter selaras dengan tujuan nasional pendidikan Indonesia yang tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003. Pasal tersebut mengatur mengenai sistem pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pasal ini dapat dilihat bahwa pendidikan karakter sudah mulai diperkenalkan walaupun demikian pendidikan karakter pada implementasinya tidak akan dimasukkan menjadi kurikulum yang baku, melainkan dikembangkan melalui tindakan dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Maka dari itu, setiap lembaga pendidikan diharapkan untuk membiasakan pendidikan karakter dalam kesehariannya sehingga dapat menciptakan peserta didik yang memiliki ideologi Kebangsaan yang kuat. Pendidikan berbasis kebangsaan yang dimaksud, setidaknya mempunyai tugas untuk mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas, tidak hanya secara wawasan keilmuan, akan tetapi kader bangsa yang juga berkualitas secara moral (al-akhlak al-karimah). Pendidikan yang berkarakter Ideologi Kebangsaan sangat erat hubungannya dengan perasaan nasionalis masyarakatnya. Oleh sebab itu, pendidikan yang memiliki karakter Ideologi Kebangsaan perlu dimaknai sebagai sarana penguatan rasa cinta tanah air pada peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan karakter ini harus disinergikan dengan pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan serta Ilmu Budaya Dasar. Dengan demikian upaya untuk menjadikan karakter bangsa sebagai norma bagi kehidupan masyarakat harus diawali oleh adanya kemauan politik (political will) pemerintah terlebih dahulu26. Secara substansial rusaknya karakter berkebangsaan, beragama, dan berbudaya telah masuk ke semua lapisan masyarakat, seperti halnya unjuk rasa yang menimbulkan aksi anarkis, tawuran pelajar dan mahasiswa, kriminalitas setiap hari menjadi ditayangankan, di sisi yang lain kemiskinan dan kebodohan masih terhampar luas di negeri ini dan menjadi tontonan menarik di televisi 27. 2. Dinamika Pendidikan Nasional Dalam dinamika proses pendidikan tidaklah lepas dari aspek sejarah akan sebuah proses pendidikan yang diperoleh masyarakat. Perlu kiranya kita ketahui bagaimana mendapat pendidikan secara formal dan non formal yang diperoleh masyarakat. Dalam hal perjalanan waktunya bahwa sejarah membuktikan

25 26 27

Muladi Artikel National Charaktter,2010 Fachri Ali,Aspek Politik Kebijakan Publik dan Demokrasi Pengalaman ORBA,Komunal:jakarta;2006 Hlm 1 Wijaya Kusuma,Pergulatan Perjalanan Reformasi,UII Yogyakarta;2006,hlm 20

pendidikan tak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat didalamnya, terutama sejarah tentang perkembangan sosio-ekonominya. Sudah barang tentu kiranya perkembangan pendidikan suatu masyarakat ditentukan oleh sejauh mana kekuatan produktif dapat di tata dengan baik. Mengapa demikian?. Dalam setiap kehidupan masyarakat memiliki sebuah kekuatan sosio ekonomi yang sama, begitu juga sebaliknya dalam menerima pendidikan bagi masyarakat yang dikatagorikan ekonomi lemah hanya mengandalakan dari sebuah bentuk pengalaman ataupun pengetahuan yang di dapat pada kesehariannya. Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana : Pendidikan membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia (Plato, 428-347 SM) Kalimat filosofi di atas merupakan pandangan yang sangat idealis akan sebuah pembentukan karakter manusia, bahwa pendidikan merupakan bentuk awal dari manusia dalam menghasilkan ide dan meraih cita-cita di dunia ini. Dalam hal ini pendidikan masih di pandangan sebagai cara untuk membuat manusia menjadi baik, bijak dan pendidikan menghasilakan manusia-manusia yang mendukung berjalannya masyarakat ideal. Tidak dipungkiri bahwa adanya sebagian orang yang merasa tak puas terhadap dunia pendidikan, baik akses, proses maupun hasilnya. Ivan Illich misalnya, adalah pemikir humanis radikal yang dalam bukunya deschooling society (masyarakat tanpa sekolah), menurutnya bahwa sekolah yang terlembagakan hanya memasung kebebasan dan perkembangan manusia, selain itu juga sekolah dianggapnya sama sekali tak memadai bagi perkembangan anakanak dan kaum muda, bahkan cenderung orang-orang yang berwatak tidak baik justru banyak yang lahir dari pendidikan formal28. Seorang sastrawan besar di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan secara tegas, Janganlah Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah, bahwa seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya manusia, apalagi kalau guru itu sendiri seorang bandit, bisa dibayangkan akan sebuah pendidikan di negeri ini29. Kalimat pernyataan dari seorang Pramoedya merupakan kalimat yang sangat menyakitkan bagi kalangan akademisi sekaligus menjadikan sebuah kajian pelajaran buat dunia pendidikan di negeri ini. Kita tak perlu menutup-nutupi realitas kenyataan yang ada tak perlu lagi bermain pada wilayah citra (imalogi). Tujuan pendidikan memang bercita-cita mulia yang harus dihormati, termasuk menghormati lembaga dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di dalamnya. Mungkin saja bagi orang yang tak mau berpikiran realistis dan menerima
28 29

Ivan Illich, Bebas dari sekolah, (jakarta: Sinar Harapan-Yayasan Obor Indonesia,1982) Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara,2006), hlm 291

kenyataan secara terbuka dan lapang dada, bahwa pernyataan Pramoedya terkesan melecehkan dunia pendidikan dan kehormatan seorang akademisi. Namun, kalau kita mau menempatkan pernyataan tersebut merupakan sebuah kritikan terhadap dunia pendidikan, kata-kata tersebut seharusnya dijadikan sebuah evaluasi diri bersama khususnya bagi kalangan akademisi. Fenomena yang terjadi pada beberapa tahun ke belakang, banyak sekali kejahatan terhadap anak didik yang dilakukan di dalam kalangan akademisi (dosen/guru), seperti halnya akademisi yang terkenal malas mengajar, dan menganggap peserta didiknya sebagai musuh, ada juga perlakuan yang kasar bahkan memperkosa anak didiknya sendiri. Hal ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahkan fenomena ini hampir disetiap daerah ada. Seorang akademisi yang baik adalah seorang yang mampu memberikan sebuah inpirasi muridmuridnya, sehingga mereka benar-benar bisa tumbuh menjadi manusia yang mengarah pada kebaikan karakter seperti halnya memiliki kejujuran, kedisiplinan, kecerdasaan dan menjadi manusia yang produktif pada saat terjun ke dunia masyarakat. Tidak ada sebuah perubahan jika tidak adanya sebuah kritikan yang di dasari ketidakpuasan atas kondisi yang ada. Penghinaan dan penindasan mental oleh kalangan akademisi yang tak mau pedulu bahkan cenderung mementingkan diri sendiri akan membawa sebuah kehancuran bagi benak kaum muda. Apa jadinya dunia pendidikan yang seharusnya menjadi sebuah tempat guna mencetak anak bangsa menjadi tidak mutu dan tidak memiliki karakter yang kuat untuk membangun sebuah bangsa. Jika kita tilik dari pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal yang baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal, seperti R.A.kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir dan lain-lain. Telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami. Dengan caranya masing masing, mereka mencoba membayangkan dan menggas sebuah bangsa yang memiliki identitas. Kalo kita mau menegok sedikit ke belakang dan melihat bagimana awal munculnya kebankitan nasional, kita akan menemukan bahwa bangsa ini terbentuk bukan terutama karena praksis pejuangan melawan penjajah yang tersebar secara sporadic di seluruh tanah air.Kemerdekan kita berawal dari sebuah ide dan gagasan. Ide dan gagasan ini dimulai dari hasil perantauan mental para pemikir dan candekiawan kita pejuangkan dengan kerja keras, melalui perjuangan sengit yang megorbankan banyak nyawa dan harta,tanpa ada pemikiran tentang siapa diri kita ini, perjuangan dan perlawanan tidak akan ada. G. Pancasila Sebagai Dasar dan Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pada dasarnya manusia dapat hidup sempurna dalam hubungan dan pergaulan dengan sesamanya. Hal ini berarti bahwa ada beberapa yang perlu

dikembangkan pada proses hubungan dan pergaulan antar sesesama sehingga kehidupan yang aman,tertib dan sejahtera. Ketika terbentuknya sebuah komunitas terbesar dalam bentuk negara, maka masyarakat membentuk hukum dasar dalam bermasyarakat yang berasal dari kebiasaan dan atau perjanjian antara kelompok yang ada di dalamnya telah disepakati. Adapun aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika, tercermin dalam sila-silanya, yaitu sebagai berikut : Sila Pertama: menghormati setiap orang atau warga Negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masingmasing, serta menjadikan ajaran-ajarannya sebagai panutan untuk menuntun maupun mengarahkan jalan hidupnya.

Sila Kedua: menghormati setiap orang dan warga Negara sebagi pribadi (persona) utuh sebagi manusia, manusia sebagai subjek pendukung, penyangga, pengemban serta pengelola hak-hak dasar kodrati, merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.

Sila Ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasisegmentasi atau primodialisme sempit dengan jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan.

Sila Keempat: kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan, dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai mufakat secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.

Sila Kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan social yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga Negara.

Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integrative menjadikan dirinya sebagai referensi kritik social kritis, komprehensif serta sekaligus evaluative bagi pengembangan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan silasila lain.

Selain itu juga, upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa indonesia saat ini sudah berhasil merumuskan norma-norma etik sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma etik tersebut bersumber pada pancasila sebagai nilai budaya bangsa. Rumusan norma etik tersebut tercantum dalam ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang etika Kehidupan Berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat merupakan penjabaran nilai-nilai pancasila sebagai pedoman dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang sudah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, adapun Etika yang ada di dalam nilai-nilai Pancasila adalah sebagaimana berikut ini 30: a. Etika Sosial dan Budaya

Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai, dan tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senafas dengan itu juga menghidupkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, perlu dihidupkan kembali budaya keteladanan yang harus dimulai dan diperlihatkan contohnya oleh para pemimpin pada setiap tingkat dan lapisan masyarakat. b. Etika Pemerintahan dan Politik

Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
30

Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila sebagai Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa, Ghalia Indonesia, hlm 14 :2009

c.

Etika Ekonomi dan Bisnis

Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kiondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan bersaing, serta terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usahausaha bersama secara berkesinambungan. Hal itu bertujuan menghindarkan terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang bernuansa KKN ataupun rasial yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan. d. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika penegakan hukum dan berkeadilan dimaksudkan untuk menumbuhkan keasadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang ada. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum sejalan dengan menuju kepada pemenuha rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. e. Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan

Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tingghi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika ini etika ini ditampilkan secara pribadi dan ataupun kolektif dalam perilaku gemar membaca, belajar, meneliti, menulis, membahas, dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru, serta secara bersama-sama menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya etika maka nilai-nilai pancasila yang tercermin dalam norma-norma etik kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita amalkan. Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangan yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturanperaturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila. Dengan demikian ketika sebuah norma dasar yang berasal dari sebuah kebiasaan dan atau perjanjian oleh masyarakat telah dipatuhi dan dilaksanakan maka secara tidak langsung membentuk sebuah karakteristik dari komunitas itu sendiri yang akan menjadi pegangan atau pedoman hidup dalam bermayarakat dan berbangsa.

Untuk itu proses pembentukan karakter bangsa dimulai dari penetapan karakter pribadi yang sama-sama diharapkan sama berakumulasi menjadi karakter masyarakat dan pada akhirnya menjadi karakter bangsa. Untuk kemajuan negara Republik Indonesia diperlukan karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi iptek yang semuanya dijiwai iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Rendahnya penghormatan terhadap hukum dan nilai-nilai kemanusiaan pertanda merosotnya etika dan moral kebangsaan yang dapat menjadi pemicu munculnya ketidak- percayaan rakyat terhadap pemerintah (distrus). Keberingasan sosial dapat dijadikan indikasi fenomena kemanusiaan yang tidak tercipta begitu saja, melainkan muncul karena perilaku sosial kalangan elite yang tidak mencerminkan pranata hukum, penegak hukum tidak profesional, bahkan terperangkap skenario elite politik, anggota DPR yang seharusnya melindungi rakyat dari praktik tidak terpuji, justru sebaliknya mendekam diteralis besi karena korupsi. Ironis di lembaga pendidikan diajarkan anti korupsi, bahkan berbagai kalangan bersuara lantang anti korupsi, tapi orang bangga menjadi koruptor. Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia memiliki hukum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum Indonesia itu bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar bernegara. Pancasila berkedudukan sebagai grund norm (norma dasar) atau staat fundamental norm (norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di Indonesia. Tampak bahwa karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang berlandaskan Pancasila yang memuat elemen kepribadian yang sama-sama diharapkan sama sebagai jadi diri bangsa. Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam 3 buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila itu tetap tercantum didalamnya, Pancasila yang lalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional itu, Pancasila yang selalu menjadi pegangan bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negar, dikehendaki oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam dalam kalbunya rakyat. Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsabangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan

mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi. Oleh karena itu,Pancasila sebagai perekat yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia (Ke Bhineka Tunggal Ika). Hasil daripada semua itu diharapkan akan dapat mencetak sebuah mutu dan kualitas generasi bangsa yang tangguh, sebagaimana bentuk dari penjawantahan dari filosofi Ideologi Pancasila yakni perdamaian, cinta, kesatuan dan (saling) menghormati. Keempat nilai humanis tersebut, apabila dihayati secara seksama sebenarnya merupakan sebuah pesan dari butir-butir Pancasila, sebagai dasar negara sekaligus ideologi bangsa Indonesia yang sudah final. Juga realisasi dari pesan-pesan kemanusiaan dalam setiap ajaran enam agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.

BAB III UNSWAGATI DALAM PERKEMBANGANGAN, RENSTRA DAN KEBIJAKAN PIMPINAN DALAM MELAKSANAKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERWAWASAN KEBANGSAAN DI UNSWAGATI

A. Sejarah Berdirinya Unswagati Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) didirikan pada tanggal 16 Januari 1961 dengan tujuan membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, khususnya pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan tinggi. Hal itu dirasakan perlu, karena pada saat itu banyak lulusan Sekolah Menengah Atas Cirebon yang pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta untuk dapat mengikuti pendidikan tinggi. Tentu, dalam pelaksanaannya menyedot biaya besar. Prakarsa masyarakat untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi mendapat respons positif dari kalangan institusi resmi pemerintah, baik sipil maupun militer serta masyarakat pendidik yang ada di Cirebon. Maka didirikanlah Yayasan Pendidikan Swadaya Gunung Jati dengan Akta Notaris Mr. Djoko Mardedjo nomor 29 tanggal 16 Januari 1961. Sejak berdirinya UNSWAGATI telah dipimpin oleh tujuh orang Rektor, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Amir Husodo, SH. (1961 1965) Letkol. Sriadi, SH. (1965 1969) Letkol. H. Saleh Sachjana (1969 1998) Letkol. Kav. Jusup Mulia, Drs., MBA (1998 2002) H. Ili Rohaeli, SH., MM ( 2002 2005) H. Soedjono, Drs (Pejabat Rektor Juni 2005 Agustus 2005) Dr. H. Djakaria Machmud, S.E.,M.Si (2005 sekarang)

Pada saat baru berdiri Unswagati hanya mempunyai dua fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 300 orang. Kemudian pada tahun 1979 IKIP PGRI Ciwaringin Cirebon bergabung dengan Unswagati menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Pada tahun 1983 didirikan tiga fakultas baru, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Teknik. Pada tahun 2001 Unswagati membuka dua program pascasarjana (S2), yaitu Magister Ilmu Administrasi, dan Magister Ilmu Pertanian. Pada tahun 2004 Unswagati mendapat izin untuk penyelenggaraan Program Studi Ilmu Komunikasi jenjang sarjana (S1) dan pada tahun 2005 Unswagati mendapat izin untuk menyelenggarakan program pascasarjana (S2) Program Studi Ilmu Hukum dengan konsentrasi Hukum Bisnis dan Otonomi Daerah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional dan membuka konsentrasi Magister Hukum Kesehatan pada tahun akademik 2009/2010. Pada tahun 2008 Unswagati memperoleh izin penyelenggaraan Fakultas Kedokteran. Di bawah Yayasan Pendidikan Swadaya Gunung Jati, UNSWAGATI terus mengalami perkembangan yang cukup berarti. Sampai dengan wisuda periode Oktober tahun akademik 2007/2008, UNSWAGATI telah meluluskan 2.794 Program Diploma III/Sarjana Muda, dan 11.221 sarjana dari 11 (sebelas) program

studi sarjana (S1) dan 3 (tiga) program Pascasarjana yang ada di lingkungan Unswagati, yaitu Fakultas Hukum: Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Ekonomi: Program Studi Manajemen, dan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Matematika, dan Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Komunikasi, Fakultas Pertanian: Program Studi Agroteknologi dan Agribisnis, Fakultas Teknik: Program Studi Teknik Sipil, dan Fakultas Kedokteran dengan Program Studi Ilmu Kedokteran. Untuk Program Pascasarjana sampai dengan wisuda periode Oktober Tahun Akademik 2008/2009 telah meluluskan 217 Magister yaitu Program Studi Ilmu Tanaman dengan Konsentrasi Teknologi Pascapanen Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu Administrasi dengan Konsentrasi Administrasi Publik dan Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis dan Otonomi Daerah serta mulai tahun akademik 2009/2010 dibuka BKU Magister Kesehatan. Dengan demikian jumlah lulusan/alumni yang telah dihasilkan Unswagati sampai dengan wisuda periode September tahun akademik 2008/2009 sebanyak 15.279 orang. Di bawah ini disajikan jumlah fakultas dan Prodi yang diselenggarakan oleh UNSWAGATI Cirebon. Tabel 4 PROGRAM STUDI/KONSENTRASI HUKUM ILMU HUKUM EKONOMI MANAJEMEN AKUNTANSI KEGURUAN DAN PENDIDIKAN BAHASA & ILMU PENDIDIKAN SASTRA INDONESIA PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS PENDIDIKAN MATEMATIKA PENDIDIKAN EKONOMI ILMU SOSIAL DAN ILMU ADMINSITRASI POLITIK NEGARA ILMU KOMUNIKASI PERTANIAN TEKNIK KEDOKTERAN PASCASARJANA AGROTEKNOLOGI AGRONOMI TEKNIK SIPIL PENDIDIKAN DOKTER AGRONOMI ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS JENJANG S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-2 S-2 AKREDITASI BAN-PT TERAKREDITASI B TERAKREDITASI B TERAKREDITASI C TERAKREDITASI B TERAKREDITASI C TERAKREDITASI B TERAKREDITASI B TERAKREDITASI B TERAKREDITASI C TERAKREDITASI B TERAKREDITASI B TERAKREDITASI C IZIN PENYELENGGARAAN IZIN PENYELENGGARAAN IZIN PENYELENGGARAAN TERAKREDITASI B

ILMU HUKUM/HUKUM S-2 BISNIS DAN OTONOMI DAERAH/HUKUM KESEHATAN

B. Visi, Misi, Dan Tujuan Unswagati Visi Unswagati yaitu terwujudnya universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan taqwa, bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, serta memiliki kepemimpinan dan semangat kejuangan yang tinggi dalam mendukung pembangunan nasional. Misi 2010-2019 yaitu memandu perkembangan dan perubahan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi yang bermartabat, inovatif dan berorientasi regional, nasional dan global. Tujuan Unswagati yaitu : 1. Menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi pebelajar yang tangguh, serta berdedikasi terhadap tugas yang diembannya. 2. Mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni guna mendorong pengembangan budaya bangsa. 3. Mempunyai kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. 4. Menghasilkan output yang berkualitas dan mampu berubah menjadi outcomes yang siap diserap oleh stakeholder. Dalam mengemban misi tersebut, Unswagati mengacu kepada prinsip LRAISE yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Leadership Relevance Atmosphere Internal organization Sustainable Efficiency

Unswagati bertanggung jawab terhadap masyarakat tidak sekedar menghasilkan lulusan yang mempunyai daya nalar, tetapi lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengaplikasikannya, dan mempunyai rasa percaya diri.

Unswagati berkewajiban mewujudkan visi sebagai universitas unggulan melalui kerja sama yang dibangun antara stakeholder (pemangku kepentingan) dan lembaga agar dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Usaha Unswagati dalam mewujudkan visinya tersebut yaitu memberdayakan potensi Unswagati dalam menumbuhkembangkan kualitas akademik dan menjadikan Unswagati sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermartabat yang berlandaskan riset, pengembangan hasil riset, dan penerapannya dalam kehidupan nyata setiap bidang kajian. Lulusan Unswagati dituntut dapat mengaplikasikan dan mengamalkan ilmunya dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik di segala bidang. Dengan demikian, Unswagati sebagai salah satu Perguruan Tinggi Swasta dapat meningkatkan perannya dalam menunjang pembangunan nasional di segala bidang. C. Lima Pilar Unswagati sebagai Pijakan dalam Pelaksanaan TRI DARMA Perguruan Tinggi Bagi Sivitas Akademik Pembicaraan tentang kebijakan pimpinan Unswagati dalam melaksanakan pendidikan karakter berwawasan kebangsaan di Unswagati, harus berangkat dari visi Unswagati. Visi Unswagati adalah terwujudnya universitas unggulan yang mandiri dan kompetitif dalam penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi, untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa, bermoral Pancasila, berwawasan dan berkemampuan ilmu dan teknologi, serta memiliki kepemipinan dan semangat kejuangan yang tinggi dalam mendukung pembangunan nasional. Dalam perjalananya, seiringa dengan memudarnya prinsip-dan nilai kejujuran, profsionalisme, disiplin, kerjasama dan penhormatan terhadap lembaga tempat bekerja, seluruh civitas akademika tetap berkomitmen bahwa sikap dan nilai tersebut harus menjadi nafas dalam bekerja. Komitmen tersebut di formal dalam bentuk pernyataan tertulis yang di tandatangani oleh Para wakil Rektor. Isi prnyataan sikap tersebut secara rinci sebagai berikut: LIMA PILAR UNSWAGATI Kami pimpinan Universitas , Pimpinan Fakultas, Dosen dan karyawan Universitas Swadaya Gunung Jati dengan ini menyatakan: 1. Kejujuran merupakan dasar bertindak dalam menentukan berbagai kebijakan dan keputusan kepentingan lembaga selama ini telah meyakinkan kami bahwa prinsip ini akan terus menjadi rujukan utama ; 2. Profesional adalah menjadi dasar melaksanakan tugas dan kewajiban kami sehari-hari di Unswagati sehingga kualitas proses dan asil terus di tingkatkan secara berkelanjutan.

3. Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional; 4. Kerja sama merupakan perwujudan dari tugas yang di emban sesuai dengan jabatanya masing-masing sehingga tujuan Unswagati tercapai atas kontribusi dan sinergi semua pihak peduli terhadap lembaga; 5. Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik lembaga Unswagati dalah kewajiban kami, karena itu kami akan mempertahankan degan segala upaya dan daya agar tetap menjadi lembaga terhormat dimata masyarakat nasional dan interasional.

1. Pengertian Kejujuran

Hati ibarat raja, jika hati sering didustai maka raja itu akan cepat mati, ketika mati seorang raja maka matilah semua rakyatnya, maka mati lah semua panca indra untuk empati dalam hidup ini

BERBOHONG PADA DIRI SENDIRI ADALAH PERBUATAN YANG AKAN MEMBUAT HATI ANDA MATI Istilah Kejujuran ini sering mendengar bahkan menjadi sebuah langkah awal ketika seseorang saling mengenal dan memahami satu sama lain. Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Jujur adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata jujur mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata jujur tersebut. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara samar-samar. Berikut ini kami akan mencoba memberikan pemahaman sebatas mampu kami tentang makna dari kata jujur ini. Kata jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang. Bila seseorang berhadapan dengan suatu atau fenomena maka seseorang itu akan memperoleh gambaran tentang sesuatu atau fenomena tersebut. Bila seseorang itu menceritakan informasi tentang gambaran tersebut kepada orang lain tanpa ada perobahan (sesuai dengan realitasnya ) maka sikap yang seperti itulah yang disebut dengan jujur. Sesuatu atau fenomena yang dihadapi tentu saja apa yang ada pada diri sendiri atau di luar diri sendri. Misalnya keadaan atau kondisi tubuh, pekerjaan yang telah atau sedang serta yang akan dilakukan. Sesuatu yang teramati juga dapat mengenai benda, sifat dari benda tersebut atau bentuk maupun model. Fenomena yang teramati boleh saja yang berupa suatu peristiwa, tata hubungan sesuatu dengan lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan apa saja yang ada dan apa saja yang terjadi.

Perlu juga diketahui bahwa ada juga seseorang memberikan berita atau informasi sebelum terjadinya peristiwa atau fenomena. Misalnya sesorang mengatakan dia akan hadir dalam pertemuan di sebuah gedung bulan depan. Kalau memang dia hadir pada waktu dan tempat yang telah di sampaikannya itu maka seseorang itu bersikap jujur. Dengan kata lain jujur juga berkaitan dengan janji. Disini jujur berarti mencocokan atau menyesuaikan ungkapan (informasi) yang disampaikan dengan realisasi (fenomena). Mungkin kita pernah melihat atau memperhatikan Tukang bekerja. Dia bekerja berdasarkan sebuah pedoman kerja. Dalam pedoman kerja (tertulis atau tidak) ada ketentuan sebuah perbandingan yakni 3 : 5. Tapi dalam pelaksanaan kerja Tukang tersebut tidak mengikuti angka perbandingan itu, dia membuat perbandingan yang lain yakni 3 : 6, Peristiwa ini jelas memperlihatkan si Tukang tidak mengikuti ketentuan yang ada dalam pedoman kerja. Dengan demikian berarti si Tukang tidak bersikap jujur. Dalam kasus ini sang Tukang tidak berusaha menyesuaikan informasi yang ada dengan fenomena (tindakan yang dilaksanakan ). Kejujuran juga bersangkutan dengan pengakuan. Dalam hal ini kita ambil contoh , orang Eropa membuat pernyataan atau menyampaikan informasi, bahwa .orang pertama sekali yang sampai ke Benua Amerika adalah Cristofer Colombus Padahal menurut sejarah yang berkembang, sebelum Colombus mendarat di Benua Amerika telah sampai kesana armada Laksmana Cheng ho. Artinya apa, tidak ada pengakuan. Dalam hal ini kita juga melihat persoalan kesesuaian antara fenomena (realitas) dengan informasi yang disampaikan. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya. Berbicara tentang arti kejujuran, maka kita bisa mengambil hikmah dari potongan kisah salah satu Sahabat Nabi SAW. Suatu ketika seseorang sahabat Nabi datang kepada Nabi SAW. Kemudian Dia Matur kepada Rasul, wahai Muhammad Aku ingin ikut ajaranmu, Cuma aku masih senang mabuk-mabukan, mencuri, berzina dan berbohong. orang orang bilang kamu melarang kesukaanku itu, sungguh, aku tidak sanggup meninggalkanya, apakah masih ada peluang bagiku untuk bersamamu? Nabi menjawab, jangan khawatir, Islam terbuka pada siapa saja .kalau kamu masih gemar dengan kebiasaanmu itu, tidak apa apa lah, tapi satu syarat yang harus kamu penuhi apa itu Muhammad Tanya laki laki itu penasaran jujurlah jangan suka berdusta!. Dia terima persyaratan tersebut dan masuk Islam Gampang sekali agama Muhammad, syaratnya hanya jujur gumannay dalam hati. Setelah keluar dari baitnya (dalem) Nabi, teman temannya menawarkan Khamer . Dia berfikir, kalau aku minum dan Muhammad Tanya bagaimana aku menjawabnya ? jika bohong aku mengingkari janjiku, dan kalau jujur, Muhammad pasti akan menghukumku dengan Had. Akhirnya Dia enggan meminum khamer. Dalam perjalanan pulang, diapun bertemu sahabat karibnya yang menawarkan gadis cantik untuk berzina, kebingingan dan keraguan kembali menderanya diapun memilih untuk menolaknya. Keesokan harinya, laki-laki itu menghadap Rasulullah SAW. Wahai Rasaulullh alangkah Indah ajarannmu, ketika kamu menyuruhmu untuk tidak berdusta, maka

pintu maksiat tertutup bagiku , tak ada lagi hasrat untuk melakukannya laki laki itupun bertaubat dan Nabi SAW. Hanya tersenyum bersyukur kepada ALLah SWT. Ilustrasi diatas dapat mengugah hati kita untuk bertanya tentang hakekat kejujuran dalam kehidupan sehari hari? Untuk itu penulis mencoba untuk mengungkap tabir rahasia arti sebuah kejujuran. Jujur dalam kosa kata bahasa arabnya adalah assidqu. Para ulama menggambarkan arti jujur dengan persesuain kata hati dengan realitas. Alqusyairi mengatakan bahwa jujur merupakan keseimbangan antara yang sirr (rahasia/tersembunyi) dan alaniyah ( kasat mata). (ar-risalah Al-Qusyairiyah hal 116) Lebih lanjut, al juanid berpendapat, hakekat kejujuran adalah berkata benar dalam kondisi yang gawat yang memaksa dia untuk berdusta akan tetapi dia tetap konsis untuk tetap berkata yang benar. Dengan demikian seseorang yang perkataan dan perbuatanya benar dan sesuai dengan kenyatan kemudian dia merefleksikan kebenaran itu dengan perbuatan maka orang inilaha yang disebut dengan as-shidiq Dalam kitabnya Ihya Ulumiddin Imam Ghozali menjelaskan bahwa kata as-sidqu (jujur) digunakan pada enam pengertian. Pertama, shidqu al-lisan ( jujur dalam perkataan ) maka dari sini perkataan seseorang harus sesuai dengan kenyataan yang ada termasuk menepati janji. Dalam hal ini ada dua komponen penting Pertama, menghindari dari maaridl ( hal hal yang tidak sesuai dengan realitas) karena tujuan jujur adalah apa yang dimaksud secara esensial bukan luarnya maka tidak bisa dikatakan jujur jika seseorang yang berkata tanpa tahu apa yang sesungguhnya. Kedua, menjaga arti kejujuran dalam perkatan yang digunakan untuk munajat kepada allah.Dalam arti apa yang dia ucapkan sesuai dengan apa yang ada didalam hati. Kedua, shidqu fi an-niat wa al-irodah (jujur dalam niat dan kehendak) artinya semua yang kita lakukan benar benar murni diniati karena allah tidak ada motivator lain yang menyuruh kita untuk bergerak dan diam kecuali sang maha pencipta. Ketiga, shidqu al-azmi (jujur dalam tekad) artinya kita bertekad dengan sungguh untuk melaksanakan keinginan demi kebaikan misalnya saja anda bertekad untuk menjadi presiden yang adil bijaksana, anti korup dan sebagainya. Keempat, as-shidqu fil wafa bi al-azmi ( jujur dalam melaksanakan tekad) hal ini merupakan konsekwensi dari shidqu al-azmi karena ketika impian sudah menjadi kenyataan maka kita harus merealisasikan sesuai dengan apa yang sudah menjadi tekad kita sejak awal. Kelima, as-shidqu fiamal (jujur dalam perbutan) artinya perbuatan kita merupakan cerminan apa yang ada didalam hati, kalau kita berbaju koko (taqwa) dengan peci putih maka paling tidak hati kita benar benar bertaqwa dan putih bersih dari sifat tercela sesuai dengan dhahirnya. Keenam, as-shidqu fi maqamati al din (jujur dala maqam maqam agama) seperti jujur dalam zuhud ikhlas, ridho, tawakkal, cinta dan sebagainya, maka dengan demikian kita sungguh telah menjalani didalam maqom maqom tersebut. Meskipun tidak semua jujur adalah baik seperti menyebarkan aib seseorang, adu domba , memberikan informasi yang tidak disukai oleh keluarganya dan sebagainya

akan tetapi kejujuran juga bisa mengatarkan kita kepada ke-haraman ketika kejujuran itu akan mendatangkan malapetaka dan kerusakan sebaliknya jujur akan membawa kedamaian jika mampu memahami makna dan esensi sebuah kejujuran. Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bidah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik. Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya). Allah berfirman, Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. (QS. al-Maidah: 119) Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. az-Zumar: 33) Nilai Kejujuran atau Amanah adalah salah satu dari lima nilai Moral Islam. Setiap manusia setidaknya terikat satu perjanjian dengan Penciptanya untuk tidak menyembah Iblis (QS Yaasiin 36:60). Namun manusia dapat membuat perjanjian tambahan yaitu berjuang di jalan Allah (QS At-Taubah 9:111). Perjanjian tersebut wajib dipenuhi. Manusia juga tidak selayaknya mengambil jalan-jalan lain selain Jalan yang Lurus. Misalnya: 1. 2. 3. 4. 5. Jalan Tirani (melanggar Nilai Pembebasan) Jalan Seks Bebas (melanggar Nilai Keluarga) Jalan Kekerasan (melanggar Nilai Kemanusiaan) Jalan Korupsi (melanggar Nilai Keadilan) Jalan Munafik (melanggar Nilai Kejujuran)

Dari urain diatas, kita bisa petik bahwa betapa sebuah kejujuran merupakan inti dari pergaulan dan syarat berinterkasi antar sesama manusia dalam kehidupan sehari hari. Makanya bukan berlebihan jika Nabi SAW. Bersabda. sesunguhnya jujur mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan membaewa ke surga, sesungguhnya seorang laki laki haruslah bersikap jujur sehingga ia menjadi seoarang yang shiddiq

Paling tidak, Dengan kejujuran maka empat hikmah yang akan dapat kita raih, pertama, sikap kelapangan dan ketengan jiwa karena Nabi juga bersabda kejujuran itu adalah ketenangan Kedua. Mendapakatkan keberkakahan dalam usaha kita (bisnis) ketiga, mendapatkan keuntungan Dunia dan akherat dengan pahala yang seperti yang diberikan kepada para stuhada. keempat, akan terhindar dari hal hal yang dibenci. Maka dari sinilah, mari bersama sama menciptakan kejujuran didalam segala bidang, berawal dari diri kita masing masing agar kita termasuk orang orang yang melaksanakan perintahNya sesuai firman Allah SWT pada surat attaubah yang artinya : wahai orang orang yang beriman , bertaqwalah kalian kepada allah dan jadilah kalian bersama orang orang yang jujur (QS. At-Taubah : 199). Jadi dari uraian di atas dapat diambil semacam rumusan, bahwa apa yang disebut dengan jujur adalah sebuah sikap yang selalu berupaya menyesuaikan atau mencocokan antara Informasi dengan fenomena. Dalam agama Islam sikap seperti inilah yang dinamakan shiddiq. Makanya jujur itu ber-nilai tak terhingga. 2. Pengertian Profesional Keahlian adalah apa yang Anda kerjakan. Motivasi menentukan apa yang Anda lakukan. Sikap Anda akan menentukan bagaimana hasilnya.'

Pengertian Professional Menurut Para Ahli berikut ini : Menurut Prof. Edgar Shine yang dikutip oleh Parmono Atmadi (1993), sarjana arsitektur pertama yang berhasil meraih gelar doktor di Indonesia, merumuskan pengertian professional tersebut sebagai berikut ; 1. Bekerja sepenuhnya (full time) berbeda dengan amatir yang sambilan 2. Mempunyai motivasi yang kuat. 3. Mempunyai pengetahuan (science) dan keterampilan (skill) 4. Membuat keputusan atas nama klien (pemberi tugas) 5. Berorientasi pada pelayanan ( service orientation ) 6. Mempunyai hubungan kepercayaan dengan klien 7. Otonom dalam penilaian karya 8. Berasosiasi professional dan menetapkan standar pendidikan 9. Mempunyai kekuasaan (power) dan status dalam bidangnya. 10.Tidak dibenarkan mengiklankan diri PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. Definisi diatas merupakan sebagian kecil dari sebuah pengertian Profesional jika kita pahami akan sulit dalam penerapannya. untuk itu kami mencoba menarik defini tersebut kedalam sebuah cerita-cerita dibawah ini.

Ada sebuah cerita, suatu hari pebisnis ulung perangkat lunak Bill Gates (55) sedang menonton acara yang mempertunjukkan kehebatan seseorang yang mempunyai IQ diatas rata-rata dan dapat menjawab setiap pertanyaan penguji dengan benar. Kemudian bertanya seseorang yang waktu itu nonton bersama kepada Bill Gates Berapa anda akan bayar orang tersebut jka bekerja pada Microsoft?', sambil penanya membayangkan angka yang besar yang akan keluar dari jawaban Bill Gates. Jawaban Bill Gates benar-benar mencengangkan Saya akan membayar dia USD 100,- setiap bulannya, karena cukup bagi saya untuk membeli Ensiklopedia kalau hanya untuk mendapatkan seperti itu'. Sebuah cerita lain, kami benar-benar kagum, mengidolakan dan benar-benar menaruh rasa hormat kepada Mimi Rasinah (80). Beliau adalah seorang maestro tari topeng Indramayu yang mungkin tidak akan tergantikan dalam beberapa puluh tahun kedepan.Dalam kondisi separuh badan mati karena stroke, dan usia yang renta ia masih mampu mengalirkan aura magis dan menyihir penonton Bentara Budaya Jakarta (4/8/2010) yang ternyata merupakan dedikasi terakhirnya sebelum ia meninggal (7/8/2010). Baginya fisik hanyalah alat yang digerakkan oleh sumber kekuatan terdalam: hati. Sehingga keterbatasan fisik bukan merupakan alasan. Yang kami kagumi dari mendiang adalah: sikap totalitasnya! Sejatinya, maksud kami menampilkan cerita-cerita tersebut, kami sedang berpikir keras kira-kira faktor apa yang paling menentukan keberhasilan seseorang didalam kuliah, mendapatkan pekerjaan dan sukses dalam pekerjaannya. Selintas terpikir untuk melihat faktor kesuksesan mencari kerja dan dalam pekerjaan dengan mencari jenis pelajaran (atau knowledge) apa pada waktu kuliah yang paling bermanfaat dalam dunia kerja. Ataupun kira-kira hal apa yang menimbulkan kesenjangan di dunia kerja karena kita tidak mendapatkannya di bangku kuliah, atau pelajaran apa yang semestinya harus diajarkan tetapi kita tidak mendapatkannya. Dalam bayangan Bahasa Inggris' adalah pelajaran yang sangat perlu diperkaya di bangku kuliah karena ternyata didalam dunia globalisasi kerja, kebutuhan akan bahasa tersebut sangat diperlukan. Terbantah oleh pikiran sendiri dan fakta yang menunjukkan bahwa bangsa Jepang dan China termasuk yang gagu dalam berbahasa Inggris tetapi perekonomiannya menjajah disetiap penjuru dunia. Kemudian terpikir pula kalau Ekonomi' adalah pelajaran yang perlu dijejalkan diotak mahasiswa Teknik, mengingat ternyata menguasai ilmu Teknik tanpa tahu tentang Ekonomi hanya akan menjadi kacung dan tukang jahit dari kapitalis dunia. Pikiran sendiri pulalah yang membantahnya Apa benar begitu?, apa kita diharapkan menjadi manusia super yang kampiun di Teknik juga jago di Ekonomi? Tidakkah sebaiknya kita bersinergi saja, daripada membuang usaha yang percuma dan juga jadinya setengah-setengah?' Dicari alasan yang lain, bahwa ternyata lulusan sarjana Teknik tidak memiliki keahlian yang memadai, sehingga ia tidak cukup tangkas bekerja di bidangnya dan tidak mengetahui permasalahan di lapangan. Ucapan itupun masih juga terlontar, kala kita sudah memasuki dunia kerja dan biasanya diucapkan oleh pekerja lapangan yang telah tahunan bekerja yang merasa di'perintah' atau di'arahkan' oleh lulusan Teknik yang masih ingusan. Bagi lulusan Teknik yang mengamini pendapat seperti itu, berarti ia belum menemukan jati dirinya karena ia sendiri tidak memahami peruntukan untuk pengabdian ilmunya.

Lalu apakah yang membuat seseorang sukses didalam belajar, mendapatkan pekerjaan dan juga dalam bekerja? Pernyataan Bill Gates diatas menggambarkan bahwa ada suatu nilai yang lebih ia agungkan daripada sekedar pengetahuan belaka, tetapi sesuatu dibalik pengetahuan itu sendiri. Mimi Rasinah juga jelas menunjukkan bahwa, mungkin keahlian dan pengetahuannya tentang tari topeng Indramayu sama dengan ratusan penari lainnya. Tapi yang lebih utama dari itu, yang dinilai perlu oleh Bill Gates dan telah ditunjukkan oleh Mimi Rasinah adalah SIKAP. Kenyataan yang ada bahwa di dunia kerja tidak membutuhkan seorang yang superman, yang mampu mengerjakan segala-galanya, karena semua sudah ada bagiannya masing-masing, yang dibutuhkan adalah orang yang dapat bekerja dalam suatu super-team. Dibutuhkan seorang yang tidak hanya bermodalkan pandai, tetapi lebih pada orang yang pandai-pandai didalam menempatkan dirinya. Dan itu adalah SIKAP. Ada tiga hal yang diajarkan sewaktu kita menempuh suatu pendidikan, termasuk pendidikan sarjana, yaitu: Knowledge (pengetahuan), Skill (keahlian) dan Attitude (sikap). Mata pelajaran yang bermuatan Pengetahuan dan Keahlian bisa dinormatifkan kedalam SKS. Ada juga pelajaran yang bermuatan Sikap didalam SKS tetapi biasanya sangat bersifat normatif dan jumlahnya sangatlah kecil. Pelajaran yang bermuatan Sikap pada dasarnya SKS'-nya bersifat Cek Kosong (blank cheque). Artinya selama dalam kurun waktu kita kuliah, kita sendirilah yang mengisi banyaknya SKS' untuk pelajaran yang bersifat attitude'. Semakin banyak kita isi Cek Kosong tersebut, semakin banyak manfaat yang kita dapatkan kelak. Dimanakah kita mendapatkan SKS' bermuatan sikap' selama kuliah? Banyak, setiap tempat dan penjuru sudut kampus menyediakan pembelajaran itu, bahkan bukan hanya sebatas itu, diluar kampus dan di dunia mayapun menyediakan pembelajaran tentang sikap' apabila kita mau mendapatkannya. Bagaimanakah cara kita mendapatkannya? Hal yang pertama yang harus kita lakukan agar mendapatkan sikap yang baik adalah pikiran yang terbuka. The minds are like parachutes, they only function when open - Thomas Dewar -Dengan pikiran yang terbuka tidak akan menganggap diri kita yang paling benar. Pikiran terbuka memungkinkan hal-hal baru masuk dan memperkaya wawasan kita. Dengan wawasan yang kaya, kata dan sikap akan lebih berisi dan lingkar pengaruh kita terhadap lingkungan sekitar akan lebih besar, sehingga manfaat yang didapatpun juga akan mengalir. Akan timbul banyak pilihan dan peluang dalam hidup, sehingga akan membawa kesuksesan apabila kita pandai memanfaatkannya. Waktu kita kuliah, pikiran terbuka akan mengantarkan kita ke nilai' yang lebih baik. Janganlah hanya terpaku pada referensi yang diberikan oleh dosen kita. Gali referensi lain, dunia maya memberikan banyak pilihan untuk mencari referensi lain. Jangan menganggap ilmu, formula, postulat, atau apapun yang disampaikan dalam sebuah referensi adalah suatu yang rigid, perluas wawasan dan bikin sesuatu yang baru, berpikirlah out of the box. Demikian juga dalam kegiatan ekstrakurikuler kampus. Pun pada waktu mencari kerja, biarkan pikiran kita terbuka dan mengawang-awang sebebas-bebasnya. Cari peluang kerja sebanyak-banyaknya (lihat: Memburu Informasi Lowongan Pekerjaan di situs 123teknik.com). Apabila telah mendapatkan panggilan untuk wawancara, inilah kesempatan yang baik untuk menunjukkan siapa kita. Orang yang berpikiran terbuka akan membentuk kepribadian yang memperkuat kerjasama tim, akan tergambar dalam cara pengungkapan kata dan sikap pada

waktu wawancara. Dan kami yakin, itulah gambaran orang yang dicari oleh si pewawancara! Bagi yang sudah berada dalam dunia kerja mungkin merasakan, bahwa didalam dunia kerja tidak serumit yang kita bayangkan pada waktu di kuliah. Pengetahuan yang dipakai adalah ilmu terapan yang telah ada referensinya dan kita hanya melaksanakannya saja. Yang lebih rumit dan membuat stress adalah beban kerja, hubungan kerja, dan target kerja. Pikiran yang terbuka akan menuntun sikap kita untuk tidak menyalahkan keadaan, tetapi selalu memandang peluang didalam setiap kesulitan. Beban kerja, hubungan kerja dan target kerja akan teratasi apabila kita mempunyai sikap yang baik, dan itulah yang akan menentukan hasil kerja kita, kesuksesan kita. 3. Pengertian Disiplin Mulailah untuk melakukan sesuatu apa yang seharusnya kita lakukan. Tidak peduli perasaan kita sedang mendukungnya atau tidak Saat mendengar kata disiplin, sebagian besar dari kita tentulah berpikir bahwa hal itu berkaitan erat dengan ketahanan fisik, hukuman, dan teguran. Padahal, disiplin tidak selalu berhubungan dengan semuanya itu. Terkadang kekuatan fisik, hukuman, dan teguran memang diperlukan. Namun lebih daripada itu, niat dan semangat juga merupakan faktor-faktor penunjang yang diperlukan agar seseorang dapat berdisiplin. Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Pendisiplinan adalah usaha usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman dimana hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain. Kedisiplinan memang menjadi salah satu karakter yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin tidak akan mampu memimpin orang lain jika ia belum mampu menaklukkan dan memimpin dirinya sendiri. Harus diakui pula kalau berdisiplin bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Diperlukan niat dan usaha super keras untuk berdisiplin. Penghalang untuk seseorang menjadi pelaku kerja adalah karena orang tersebut belum menaklukan perasaannya. Seringkali kita mengetahui apa yang seharusnya kita lakukan, sayangnya terbentur pada perasaan yang tidak mendukung. Mood seringkali harus kita waspadai. Betapa berbahayanya jika kita bergantung pada "mood" untuk melakukan sesuatu. Jika mood kita sedang mendukung, maka kita akan bekerja dengan maksimal, akan tetapi sebaliknya jika sang mood sedang tidak mendukung, maka kita enggan untuk melakukan totalitas dalam bekerja. Belajarlah untuk menaklukan perasaan kita bagaimana sebuah Ketaatan selalu diawali dengan KEPUTUSAN. Putuskan untuk melakukan pekerjaan dengan maksimal, meskipun perasaan kita tidak ingin melakukannya. Esensi dari Disiplin adalah memutuskan untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Disiplin diri itu seperti otot. Semakin Anda melatihnya, semakin kuat Anda. Semakin Anda tidak melatihnya, semakin lemah Anda.

Cara untuk membangun disiplin diri analoginya sama dengan melakukan angkat beban untuk membangun otot. Ini berarti mengangkat beban sampai mendekati batas kemampuan/kekuatan. Perhatikan ketika Anda mengangkat beban, Anda mengangkat beban yang mampu Anda angkat. Anda memaksa otot-otot Anda sampai Anda tidak kuat lagi dan kemudian beristirahat. Hampir sama, metode dasar untuk membangun disiplin diri adalah menjalani tantangan yang mampu Anda selesaikan, tapi untuk menyelesaikannya Anda harus bersusah payah dan mengerahkan segenap tenaga/kekuatan. Ini bukan berarti mencoba melakukan sesuatu dan gagal melakukannya setiap hari. Ini juga bukan berarti Anda harus melakukan sesuatu yang dapat dengan mudah Anda lakukan. Anda tidak akan mendapatkan kekuatan dengan mengangkat beban yang tidak mampu Anda angkat dan Anda juga tidak akan mendapatkan kekuatan dengan mengangkat beban yang terlalu ringan. Anda harus memulai dengan beban/tantangan yang dapat Anda angkat/jalani, tapi untuk melakukan hal itu, Anda harus bersusah payah sampai mendekati batas kekuatan Anda. Latihan progresif berarti sekali Anda sukses, Anda menaikkan tingkat tantangannya setingkat lebih tinggi. Jika Anda tetap mengangkat beban dengan berat yang sama setiap waktu, Anda tidak akan bertambah kuat. Demikian halnya, jika Anda gagal menantang diri Anda sendiri dalam kehidupan, Anda tidak akan mampu untuk berdisiplin diri. Adalah suatu kesalahan untuk memaksa diri Anda terlalu keras saat Anda membangun disiplin diri. Jika Anda mencoba mengubah hidup Anda dalam semalam dengan menetapkan lusinan tujuan untuk diri Anda sendiri dan keesokan harinya Anda berharap bisa memulai melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan-tujuan itu secara konsisten, Anda hampir pasti akan mengalami kegagalan. Hal itu sama seperti orang yang pergi ke tempat fitnes untuk pertama kalinya dan mencoba mengangkat beban tiga ratus kilogram. Anda hanya akan terlihat bodoh. Disiplin diri merujuk pada pelatihan yang didapatkan seseorang untuk memenuhi tugas tertentu atau untuk mengadopsi pola perilaku tertentu, walaupun orang tersebut lebih senang melakukan hal yang lain. Sebagai contoh, seseorang mungkin saja tidak melakukan sesuatu yang menurutnya memuaskan dan menyenangkan dengan membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang ia inginkan dan menyumbangkan uang tersebut kepada organisasi amal dengan pikiran bahwa hal tersebut lebih penting. 4. Pengertian Kerjasama Mau atau tidak/bersedia atau tidak untuk bekerjasama dengan orang lain berawal dari pemahaman seseorang terhadap orang lain. Sikap seseorang terhadap orang lain, akan menentukan perlakuan seseorang itu kepada orang lain. Seseorang yang memandang orang lain sebagai pihak yang sama-sama harus sukses akan melahirkan skap bekerja sama. Sebaliknya, seseorang yang melihat orang lain sebagai saingan, maka orang lain tersebut akan menjadi kendala bagi keerhasilan dirinya, sehingga antara ia dengan yang lainya tidak mungkin bekerjasama. Teori-teori manajemen modern, kelihatanya memihak kepada yang kedua,sehingga orang akan berusaha semaksimal mungkin menggerakan orang

lain untuk menjadi kontributor pencapai kesuksesan diri dan korporetnya. Penerapan teori ini tidak akan berbicara cara melainkan hasil. Dalam manejeman modern, bekerjasama berawal dari niat individu untuk mencapai kesuksesan yang dalam pencapainya memerlukan bantuan orang lain, sehingga perlu kerjasama (bekerjasama untuk sukses bersama). Keharusan untuk bekerja sama, bukan hanya karena manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain,akan tetapi sebagai konsekuensi dari sikap profesionalisme.

D. Rancangan dan Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter di Unswagati

1. Dosen sebagai Tulang Punggung Pendidikan dan Mahasiswa sebagai Produk luaran Perguruan Tinggi.

Seperti telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa pendidikan karakter di Unswagati pada akhirnya terletak pada manusia pelaku penyelenggara akademik, baik itu pendidikan, penelitian, maupun pengabdian pada masyarakat bagi dosen dan mahasiswanya. Keterwujudan visi leading and outstanding terletak pada kecermelangan pemikiran para dosen sebagai producing machine akademik-keilmuan, dan internalisasi nilai mutu yang terwujud dalam kinerja berorientasi mutu yang merata pada semua unsur universitas, mulai dari rektor sampai pemelihara halaman. Secara normatif, kewajiban dosen meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Berangkat dari Tridharma Perguruan Tinggi tersebut, secara umum harus berkarakter sebagai seorang pendidik dan pengajar, sebagai seorang peneliti dan berkarakter sebagai seorang pengabdi kepada masyarakat. Penulis berkeyakinan, bahwa pencantuman pendidikan dan pengajaran menduduki urutan kesatu, penelitian menduduki urutan ketiga dan pengabdian kepada masyarakat bukan sesuatu yang sakral. Artinya, pada kondisi tertentu dalam pelaksnaanya bisa di mulai dari urutan kedua dan sebagainya. Dosen seyogyanya mengajarkan apa yang telah dilakukan. Dengan demikian, seyogyanya seorang dosen harus melakukan penelitin Dari hasil penelitan kemudian diajarkan dan kemudian di amalkan siagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Pemahaman yang demikian, perlu di budayakan, karena imu bukan hanya untuk ilmu seagaimana di pahami para filusuf Yunani. Tujuan ilmu pengetahuan adalah adalah untuk menyesaikan masalah, mengembangkan ilmu pengetahuan dan untuk kemaslakhatan manusia.Dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi harus dalam koridor Etika.Inilah sesungguhnya karakter seorang Dosen.

Penetapan standar mutu dosen dalam pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi sangat penting untuk dijadikan panduan dan patokan tentang apa yang harus dilakukan dan dicapai, serta bagaimana prosedur mencapainya. Namun, keterlaksanaan semua standar itu terwujud dalam perilaku manusia penyelenggara layanan akademik maupun nonakademik. Esensi penjaminan mutu akademik terjadi pada transaksi dosen-mahasiswa yang memerlukan penyesuaian respons atas diversifikasi kebutuhan mahasiswa sepanjang episode transaksi itu berlangsung. Penetapan standar dan keberlangsungan mutu dan kualitas dosen di Unswagati diharapkan menjadi sebuah nilai yang utama guna menghasilkan mahasiswa yang tanggung, nasionalis dan religius. oleh karena itu dalam hal penjagaan mutu dan kualitas dosen, Unswagati memiliki Lembaga Penjamin Mutu (LPM) guna tercapainya visi misi dan tujuan Unswagati untuk menjadikan Universitas yang berkarakter. Visi Lembaga Penjamin Mutu dalam hasil, proses, dan tindakan kinerja yang teraudit dalam bentuk : 1. Landasan filosofis-akademik dan kerangka utuh pendidikan tenaga kependidikan, dalam rangka jaminan ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten sebagai pendidik/dosen profesional. 2. Jaminan kebermutuan dari aspek proses, hasil dan sumber pendukung, yang terwujud dalam internalisasi dan kesadaran mutu yang merata di seluruh unsur universitas. 3. Pengokohan jati diri keilmuan yang berorientasi daya saing global dan menyiapkan para lulusan yang menguasai kompetensi transnasional/internasional, paling tidak dapat memasuki pasar Asean. 4. Penyelenggaraan pembelajaran berbasis riset (research based teaching and learning) secara berkelanjutan yang mampu mewujudkan keterpaduan pendidikan dan riset yang membawa manfaat dan kemaslahatan bagi masyarakat. Selain itu juga dalam mewujudkan mutu pendidikan dengan berpijak pada lima pilar Unswagati, sehingga terciptanya kualitas dosen dan luaran mahasiswa yang berkarakter maka perlu diingat batasan-batasan sebagaimana berikut ini : Mutu tidak akan datang dengan sendirinya, perlu usaha khusus. Peningkatan mutu yang terus-menerus adalah hasil dari budaya kerja. Budaya kerja yang baik adalah hasil pembinaan jangka panjang. Agar budaya kerja yang baik tercapai perlu perencanaan jangka panjang yang bersifat strategik. Rencana jangka panjang memerlukan tujuan-tujuan yang jelas, yang berfokus pada kepentingan dan kebutuhan stakeholders. Rencana jangka panjang harus realistik, berdasarkan kondisi diri dan lingkungan. Teoritik dan Praktik dalam

2. Karakter Manusia Dalam Konstruksi pemaknaan Lima Pilar Unswagati

Pembicaraan tentang manusia dengan segala karaktristiknya sampai kapan pun tidak pernah akan selesai. Manusia merupakan mahluk yang unik. Keunikan A sebagai manusia hanya dapat di pahami oleh A dan tidak dapat di pahami oleh B, C sebagai manusia yang lain. Seseorang hanya mampu memahami manusia lain berdasarkan gejalanya (apa yang tampak secara lahir). Di balik keunikan manusia, di dalamnya terdapat kesamaan, yaitu berkecenderungan untuk melakukan hal-hal yang baik (Hanif), karena memang Tuhan telah memberikan predikat suci/fitrah pada saat kelahiranya. Manusia terdiri atas jasmani dan rohani. Manusia merupakan mahluk Tuhan dan berkedudukan sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial.Konsep manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas jasmani dan rohani serta berkedudukan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Menurut Kaelan (Djunaedi, hlm 33), bahwa susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga, raga yang di dalamnya meliputi unsur benda mati, unsur binatang (anmal) dan unsur tumuhan (fegetatif). , sedangkan jiwa yang terdiri atas unsur akal, rasa dan kehendak. Jiwa dan raga adalah satu kesatuan (modualis). Raga bersifat kehendak, sedangkan jiwa bersifat kerohanian. Tiga unsur jiwa yaitu akal yang berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Rasa yaitu unsur kejiwaan manusia yang berkaitan dengan hasrat dan kemampuan manusia di bidang keindahan (estetika). Kehendak yaitu unsur kejiwaan manusia yang berhubungan dengan hasrat tingkah laku manusia untuk merealisasikan dan memperoleh kebaikan, kesuusilaan. Jadi unsur kehendak berkaitan dengan etika yang realisasinya pada tingkah laku manusia. Dalam kedudukanya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, sesungguhnya menggambarkan bahwa manusia dalam hal-hal tertentu harus di perlakukan sebagai perseorangan, sehingga yang muncul adalah akunya. Keakuanya itu akan terus melekat dan itu sebagai sesuat yang alami. Pemahaman seperti ini sesungguhya berangkat dari informasi Al-Quran yang menegaskan bahwa manusia di ciptakan bebangsa-berbangsa dan bersuku-suku, dengan makud untuk saling mengenal. Kewajiban setiap manusia untuk saling mengenal dan kemudian harus tolong menolong, sesunguhnya mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial. Membutuhkan manusia lain, merupakan kebutuhan setiap manusia. Justru menjadi aneh, apabila terdapat manusia yang merasa tidak butuh manusia lain dan kalau ini terjadi berarti, ia telah menolak kodrat yang di berikan oleh Tuhan. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, membawa konsekuensi bahwa dalam kehiduanya, ia tidak dapat lepas dari Tuhan. Tuhan adalah tempat bergantung. Ia terikat dengan kodrat dan irodat-Nya. Munculnya sifat-sifat negatif manusia yang tercermin pada perbuatan yang merugkan orang lain, sesunggunya berakar pada pemahaman tentang konsep manusia yang keliru. Seseorang yang melihat manusia lain sebagai saingan, maka yang terjadi adalah ia akan selalu berusaha menjadi pemenang dengan

cara mengalahkan manusuia lain. Sebaliknya, apabila seseorang melihat manusia lain sebagai sesama mahluk Tuhan sebagaimana dirinya, maka orang lain (sesama manusia) di anggap sebagai patner untuk kebahagiaan bersama. Dalam pelaksanaannya pendidikan di Unswagati harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang terpuji. Dalam undangundang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu juga, bahwa sivitas akademik Unswagati menerapkan model pengembangan dari lima pilar Unswagati yakni : a. Makna Kejujuran pada Lima Pilar Unswagati

Mengapa orang lebih mudah melakukan kecurangan, mungkir, bohong dan munafik? Sering terjadi, orang tua bereaksi spontan saat melihat anaknya terjatuh dan berkata:oh,tidak apa-apa, anak pintar, nggak sakit ko! Jangan nangis, yah! Hemat penulis, dalam hal ini secara tidak langsung si anak diajarkan dan dilatih kemampuan untuk dapat berbohong, menutupnutupi perasaannya (sakit) hanya karena kepentingan (supaya tidak menangis). Selain itu, kita juga sering melihat dan mendengar saat seseorang bertamu ke rumah orang lain lalu bertanya : sudah makan, belum?, meski tuan rumah bertanya serius dan orang itu sangat sadar bahwa dia belum makan, tetapi ia dengan cepat menjawab, sudah!!, baru saja kita makan ko! Sesungguhnya ia belum makan. Padahal sejak awal manusia itu sudah dibekali Tuhan kompetensi dasar dan kebajikan utama untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, jika ya katakana ya, jika tidak katakan tidak. Mana yang mesti ia lakukan dan mana yang tidak. Manusia dikodratkan akal yang sehat, hati yang jernih dan kebebasan sebagai anak-anak Allah oleh Sang Pencipta. Seorang intelektual/Cendekiawan/Ulil Albab/, hanya akan mengatakan apa yang ia lakukan dan melakukan apa yang ia katakan. Sikap jujur (mengatakan yang dilakukan dan melakukan yang dikatakan), sesungguhnya di dalamnya telah tercermin keterbukaan /tranparansi, karena orang lain akan menyaksikan yang ia katakan dan yang ia lakukan dan kesesuaian antara keduanya. Kejujuran akan mencakup sesuatu yang bersifat prosedural/administrasi dan subtantif (yang berkaitan dengan keilmuan). Contoh kongkrit misalnya,pada saat harus melayani orang lain maka perlu keterbukaan/transparansi tentang prosedur, jangka waktu penyelesaian dan biaya yang di perlukan. Kejujuran prosedural ini, lebih fokus dialamatkan kepada tenaga kependidikan (administrasi).

Kejujuran yang berkaitan dengan keilmuan, berawal dari keyakinan bahwa ilmu pengetahuan yang di miliki sangat terbatas dan bersifat sangat spesifik.Konsekuensi dari keterbatasan ini adalah sebuah tuntutan untuk menguasai yang sedikit tetapi banyak dan bukan yang banyak tetapi sedikit. Kejujuran ini akan mengantarkan seseorang untuk menjadi yang Profesional. Kejujuran subtantif ini , lebih di fokuskan pada tenaga pendidik (dosen). Semua pembelajaran di Perguruan Tinggi, di dalamnya sudah mengajarkan tentang kejujuran.Kalimat: Mohon maaf, itu bukan keahlian saya, yang di ucapkan oleh Dosen, baik yang berhubungan dengan nilai nominal ataupun dalam pembelajaran di kelas,di dalamnya mengajarjan sebuah kejujuran. Mahasiswa yang menggunaan footnote/catatan kaki dalam lembaran tugas yang diberikan oleh Dosen,di dalamnya mengajarkan kejujuran. Bentuk kejujuran mahasiswa ini, tentunya baru akan berawal/dapat diwujudkan, pada saat Dosen memiliki waktu dan keikhlasan untuk memeriksa tugas-tugas mahasiswa. Kejujuran baik yang bersifat prosedural/admnistrasi dan subtantif, dalam pelaksanaanya harus di iringi dengan nilai etik dan moral. Kita memang harus melaksanakjan the rule of law, akan tetapi, the rule of law yang tidak sejalan dengan the rule of moral dan the rule of etic, tidak akan membawa kemaslakhatan. Dalam perkembangannya Unswagati menjadikan sebuah Kejujuran sebagai nilai dasar dan utama untuk menjalankan roda organisasi Perguruan Tinggi di Kota Cirebon. Hal ini dikarenakan memudarnya prinsip-prinsip dan nilai kejujuran pada bangsa ini, sehingga krisis akan sebuah kejujuran menjadikan masyarakat saling tidak percaya dan apatis pada sekitarnya. Kejujuran merupakan dasar bertindak dalam menentukan berbagai kebijakan dan keputusan kepentingan lembaga selama ini telah meyakinkan kami bahwa prinsip ini akan terus menjadi rujukan utama. Kalimat diatas menggambarkan akan sebuah kejujuran sebagai dasar dalam mecanangkan sebuah program di setiap kegiatan sivitas akademik Unswagati (baik Dosen,Karyawan maupun Mahasiswa). Selain itu juga Kejujuran dalam bekerja merupakan sebuah kejujuran yang berisikan kebanggaan atas pekerjaan yang kita jalani selama ini. Bohong kiranya jika kita tidak bangga atas sebuah pekerjaan yang kita jalani dan kita peroleh hasilnya berupa gaji disetiap bulannya. Munculnya sebuah kebanggan hati akan tercermin dari sebuah perilaku kerja dalam kesehariannya. Dengan menumbuhkan rasa bangga akan bekerja di Unswagati maka akan timbulnya rasa cinta terhadap lembaga. sehingga secara tidak langsung dan tanpa ada sebuah paksaaan timbulnya sikap pengabdian pada lembaga tersebut.

Cinta dan pengabdian secara penuh pada lembaga ini merupakan bagian esensi dari Kejujuran yang ada pada lima pilar dan menjadikan sebuah landasan berpijak , seluruh civitas akademika tetap berkomitmen bahwa sikap dan nilai tersebut harus menjadi nafas dalam bekerja. sehingga dapat kita tarik kesimpulan sebagai indikator dalam Kejujuran di Lima Pilar Unswagati : 1. Jujur dalam niat dan Cinta pada pekerjaan, hal Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka. 2. Jujur dalam ucapan dan kehendak. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.\ 3. Jujur dalam tekad bekerja. Contohnya seperti ucapan seseorang, Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah. Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah: Di antara orangorang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (QS. al-Ahzab: 23) Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. at-Taubah: 75-76) 4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, Inilah hambaku yang benar/jujur.

5. Jujur dalam kedudukan Pekerjaan (Amanah). Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. al-Hujurat: 15). b. Makna Profesional pada Lima Pilar Unswagati

Profesional adalah menjadi dasar melaksanakan tugas dan kewajiban kami sehari-hari di Unswagati sehingga kualitas proses dan asil terus di tingkatkan secara berkelanjutan. PROFESIONAL itu adalah seseorang yang memiliki 3 hal pokok dalam dirinya,Skill,Knowledge,danAttitude. Skill disini berarti adalah seseorang itu benar-benar ahli di bidangnya. Knowledge, tak hanya ahli di bidangnya..tapi ia juga menguasai, minimal tahu dan berwawasan tentang ilmu2 lain yang berhubungan dengan bidangnya. Dan yang terakhir Attitude, bukan hanya pintar dan cerdas tapi dia juga punya etika yang diterapkan dalam bidangnya. Prof. Soempomo Djojowadono (1987), seorang guru besar dari Universitas Gadjahmada (UGM) merumuskan pengertian professional tersebut sebagai berikut : 1. Mempunyai sistem pengetahuan yang isoterik (tidak dimiliki sembarang orang) 2. Ada pendidikannya dan latihannya yang formal dan ketat 3. Membentuk asosiasi perwakilannya. 4. Ada pengembangan Kode Etik yang mengarahkan perilaku para anggotanya 5. Pelayanan masyarakat/kemanusian dijadikan motif yang dominan. 6. Otonomi yang cukup dalam mempraktekkannya 7. Penetapan kriteria dan syarat-syarat bagi yang akan memasuki profesi. Rujukan berikutnya dapat diambil dari pendapat Soemarno P. Wirjanto (1989), Sarjana hukum dan Ketua LBH Surakarta, dalam seminar Akademika

UNDIP 28-29 Nopember 1989, yang mengutip Roscoe Pond, mengartikan istilah professional sebagai berikut ; 1. Harus ada ilmu yang diolah di dalamnya. 2. Harus ada kebebasan, tidak boleh ada hubungan hirarki. 3. Harus mengabdi kepada kepentingan umum, yaitu hubungan kepercayaan antara ahli dan klien. 4. Harus ada hubungan Klien, yaitu hubungan kepercayaan antara ahli dan klien. 5. Harus ada kewajiban merahasiakan informasi yang diterima dari klien. Akibatnya hrus ada perlindungan hukum. 6. Harus ada kebebasan ( = hak tidak boleh dituntut ) terhadap penentuan sikap dan perbuatan dalam menjalankan profesinya. 7. Harus ada Kode Etik dan peradilan Kode Etik oleh suatu Majlis Peradilan Kode Etik 8. Boleh menerima honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaannya dalam kasus-kasus tertentu (misalnya membantu orang yang tidak mampu ) Kalau dilihat inti dari batasan diatas maka dapat dilihat bahwa pengertian profesional tidak dapat dibebaskan dari pengalaman praktik. Timbul pertanyaan bagaimana cara yang dapat memungkinkan seseorang bisa mempersiapkan dirinya menjadi seorang profesional dalam waktu yang relatif singkat ? Jawabannya adalah pemagangan yang tepat, bervariasi dan efektif. Untuk mempersingkat masa pemagangan maka studi berbagai kasus baik yang terkait dengan evaluasi masalah serta cara penanggulangan termasuk studi perbandingan dalam berbagai aspek pembangunan akan sangat membantu mempercepat sesorang ahli untuk mencapai tingkat profesional. Dalam perspektif kegiatan yang berorientasi pada penghasilan/capital, profesional akan selalu berhadapan dengan amatir.Untuk pengertian yang pertama, akan berbicara tentang apa yang di lakukan dan berapa yang akan di terima/pemain bayaran. Kata profesional dalam kontek pendidikan karakter adalah mencakup sebuah keahlian dan pemanfaatanya secara maksimal.Seorang yang profesional (ahli dalam bidangnya), selalu akan memberikan yang terbaik bagi orang lain (yang memerlukan pelayanan).Sungguhpun demikian,sebagai yang melayani, ia tidak boleh menganggap bahwa yang di layani adalah Raja. Antara yang di layani dengan yang melayani berkedudukan. Keduanya memiliki hak dan tanggungjawab. Berbicara tentang Profesionalisme, dalam memberikan pelayanan pendidikan (oleh tenaga pendidikan) dan pelayanan administrasi (oleh tenaga kependidikan), tidak dapat dilepaskan dariTransparansi dan Akuntabilitas. Transparan mengenai keahlian yang di miliki, transparan tentang waktu dan biaya , serta bertanggungjawab atas semua akibat yang di timbulkanya.

Untuk itu kesimpulan pada Lima Pilar Unswagati bahwa PROFESIONAL adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi, berperilaku jujur, obyektif, saling mengisi, saling mendukung, saling berbagai pengalaman atas dasar itikad baik dan positive thinking. Untuk ini dipandang perlu untuk memberikan catatan kecenderungan pada waktu ini dalam memberikan pengertian profesional sebagai prinsip dasar yang kedua pada Lima Pilar Unswagati sebagaimana berikut ini : a. Mampu menata, mengelolah dan mengendalikan dengan baik, b. Trampil, c. Berpengalaman dengan pengalaman yang cukup bervariasi, d. Menguasai standar pendidikan minimal, e. Menguasai standar penerapan ilmu dan praktik, f. Kreatif dan berpandangan luas yang sudah dibuktikan dalam praktik, g. Memiliki kecakapan dan keahlian yang cukup tinggi dan bekemampuan memecahkan problem teknis, h. Cukup kreatif, cukup cakap, ahli dan cukup berkemampuan memecahkan problem teknis yang sudah dibuktikan dalam praktik. Beberapa unsur yang sangat penting mengenai professional pada Lima Pilar Unswagati adalah: 1. 2. 3. Sikap jujur dan obyektif. Penguasaan ilmu dalam praktik, Pengalaman yang cukup bervariasi, 4. Berkompeten memecahkan problem teknis yang sudah dibuktikan dalam praktik. c. Makna Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja pada Lima Pilar Unswagati Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional; Disiplin adalah pemanfaatan waktu untuk mencapai hasil yang maksimal (kemaslakhatan).Disiplin adalah sebuah sikap dan bukan akibat.Disiplin akan tercermin pada kesiapan,menerima tugas baru setelah selesai mengerjakan tugas sebelumnya. Disiplin adalah kesediaan seseorang yang bukan hanya taat terhadap asas,akan tetapi mampu mencari asas baru untuk sebuah kecepatan,ketetapan dan memaksimalkan hasil. Disiplin tidak selalu identik pembiaran waktu tanpa aktivitas,karena waktu itu sangat terbatas. Disipin harus melampaui waktu. Disiplin adalah kerja keras, kerja cerdas dan kerja tuntas. Untuk melakukan disiplin perlu kecerdasan dalam memilih dan memilah tentang semua hal/pekerjaan yang perlu di lakukan.Melakukan pekerjaan

tanpa mengetahui esesinya dan nilai kemanfaatan dari pekerjaan itu,merupakan pemborosan waktu. Secara etimologi disiplin berasal dari bahasa Latin disibel yang berarti Pengikut. Seiring dengan perkembangan zaman, kata tersebut mengalami perubahan menjadi disipline yang artinya kepatuhan atau yang menyangkut tata tertib. Disiplin memerlukan integritas emosi dalam mewujudakan keadaan. Jika Anda hanya mampu mengangkat sepuluh kilogram beban, Anda hanya bisa mengangkat sepuluh kilogram beban. Bukan sesuatu yang memalukan jika Anda memulai dari apa yang bisa Anda lakukan. Dengan latihan, Anda akan menjadi semakin kuat. Sama halnya jika sekarang Anda sangat tidak disiplin, Anda masih dapat menggunakan sedikit disiplin yang Anda miliki untuk dilatih sehingga Anda dapat menjadi semakin disiplin. Semakin Anda disiplin, hidup Anda semakin mudah untuk dijalani. Tantangan yang pada mulanya terlihat mustahil bagi Anda untuk dijalani, akhirnya akan tampak seperti mainan anak-anak. Saat Anda semakin kuat, berat beban yang sama akan terasa semakin ringan. Jangan bandingkan diri Anda dengan orang lain. Itu tidak akan menolong. Jika Anda berpikir bahwa Anda lemah, orang lain akan tampak lebih kuat. Sebaliknya, jika Anda berpikir bahwa Anda kuat, orang lain akan tampak lebih lemah. Tidak ada gunanya melakukan hal tersebut. Lihatlah kemampuan Anda sendiri dan bercita-citalah bahwa Anda akan semakin kuat saat Anda melatih diri. Sedangkan BUDAYA produktif di rumuskan sebagai totalitas kesadaran, pikiran, perasaan, sikap, dan keyakinan yang mendasari, menggerakkan, mengarahkan, serta memberi arti pada seluruh perilaku dan proses produktif dalam suatu sistem produksi, baik yang bersifat ekono-komersial, tekno-industrial, atau sosio-kultural. Budaya Produktif selalu berlangsung dalam konteks kerja, artinya pada setiap peristiwa kerja di dalam ruang kerja (entah itu kerja yang bersifat ekonokomersial, tekno-industrial, atau sosio-kultural) dengan melibatkan seluruh etos kerja kaum pekerja itu bersama dengan perkakas, sistem, dan manajemen kerja mereka. Etos Kerja dirumuskan sebagai spirit, ruh, semangat, dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang positif seperti: rajin, hemat, bersemangat, teliti, tekun, ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, menghargai waktu, menghargai pengetahuan, kreatif, inovatif, dan sebagainya Budaya Produktif seporos dan setangkup dengan Etos Kerja seperti telah ditunjukkan oleh studi manajemen dan sosiologi ekonomi, yaitu bahwa Etos Kerja adalah faktor utama bagi Produktivitas.

Dengan Demikian dalam dunia Perguruan Tinggi di Unswagati bahwa Disiplin ,etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional, memiliki arah indikator pada bebarapa point sebagai berikut : 1. Disiplin Diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab 2. Disiplin Akademik bagi dosen dalam menjalankan Tri darma Perguruan tinggi guna meningkatkan kualitas akademik ke dunia nasional dan internasional 3. Memiliki Etos kerja yang kuat dalam pelaksanaan tugas sehingga terciptanya budaya kerja yang produktif di Unswagati

d. Makna Kerja sama merupakan perwujudan dari tugas yang di emban sesuai dengan jabatanya masing-masing sehingga tujuan Unswagati tercapai atas kontribusi dan sinergi semua pihak peduli terhadap lembaga; A team based environment demands that you make responsible decisions; it requires you to take charge of your career. It requires you to develop excellent interpersonal skills because you have to interact at a much different level with your team members. No longer is it just you and your job!" Catherine Pulsifer31 Mau atau tidak/bersedia atau tidak untuk bekerjasama dengan orang lain berawal dari pemahaman seseorang terhadap orang lain. Sikap seseorang terhadap orang lain, akan menentukan perlakuan seseorang itu kepada orang lain. Seseorang yang memandang orang lain sebagai pihak yang sama-sama harus sukses akan melahirkan skap bekerja sama. Sebaliknya, seseorang yang melihat orang lain sebagai saingan, maka orang lain tersebut akan menjadi kendala bagi keerhasilan dirinya, sehingga antara ia dengan yang lainya tidak mungkin bekerjasama. Teori-teori manajemen modern, kelihatanya memihak kepada yang kedua,sehingga orang akan berusaha semaksimal mungkin menggerakan orang lain untuk menjadi kontributor pencapai kesuksesan diri dan korporetnya. Penerapan teori ini tidak akan berbicara cara melainkan hasil. Dalam manejeman modern, bekerjasama berawal dari niat individu untuk mencapai kesuksesan yang dalam pencapainya memerlukan bantuan orang lain, sehingga perlu kerjasama (bekerjasama untuk sukses bersama). Keharusan untuk bekerja sama, bukan hanya karena manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain,akan tetapi sebagai konsekuensi dari sikap profesionalisme.

31

facebook.arnold status.

Pepatah yang mengatakan, ringan sama - sama dijinjing dan berat sama sama dipikul adalah mereflesikan suatu Team Work yang solid. Selain beban akan semakin ringan, hasil yang dicapai juga akan semakin optimal. Peranan Team Work sangat besar kontribusinya bagi tercapainya target / goal dari suatu organisasi. Dalam suatu organisasi tanpa adanya Team Work yang tangguh, selain terbuka peluang menuju kegagalan, hasilnya pun tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. "Great achievement is usually born of great sacrifice, and is never the result of selfishness" Napoleon Hill. Untuk membangun Team Work yang tangguh maka : 1. VISI DAN MISI. Semua orang yang terlibat dalam Team Work harus benar - benar memahami dan mengerti dengan baik Visi dan Misi organisasi. Jika kondisi ini telah terpenuhi, selain akan menghilangkan sikap curiga / tidak percaya maka tujuan yang ingin dicapai akan semakain mudah direalisasikan karena semuanya telah terfokuskan / terkonsentrasikan dengan baik pada target / goal yang ingin dicapai. "If you chase two rabbits, both will escape" Chinese Proverb. 2. SALING PERCAYA. Siapapun yang terlibat dalam suatu Team Work, harus mau membuka diri / transparan. Yang namanya rahasia, sedini mungkin disirnakan. Setiap permasalahan yang timbul, setiap orang dalam Team Work akan berusaha seoptimal mungkin memberikan solusi pemecahan. Jika senang akan sama - sama dinikmati dan begitu juga sebaliknya, jika susah akan sama - sama dipikul. "We make a living by what we get, we make a life by what we give" Winston Churchill. 3. KESATUAN. Selalu tekankan dalam Team Work bahwa kita adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ibarat sapu lidi. Jika bersatu akan memberikan manfaat tetapi jika dipisahkan, manfaatnya akan sirna. Ketika ada yang sakit maka spontanitas semua yang terlibat dalam Team Work juga akan merasakannya dan berusaha menyembuhkannya. "If anything goes bad, I did it. If anything goes semi - good, we did it. If anything goes real good, then you did it. That's all it takes to get people to win football games for you" Paul "Bear" Bryant 4. SALING MENGHORMATI. Dikarenakan Team Work adalah satu kesatuan yang tidak terpisah maka setiap orang yang berada dalam Team Work memiliki fungsi dan peranan yang sangat vital dan penting. Tidak ada satu hal pun yang logis dikatakan bahwa si A, B atau C lebih penting / vital peranannya jika dibandingkan dengan si D, E atau F. Didasarkan oleh kondisi ini maka siapapun yang terlibat dalam Team Work harus saling menghormati dan menghargai. "Coming together is a beginning, staying together is progress, and working together is success" Henry Ford 5. POSITIVE THINKING. Ini adalah salah satu hal fundamental yang harus dimiliki dalam Team Work, yang menilai / menvonis baik tidaknya diri seseorang adalah didasarkan oleh apa yang dia kontribusikan dan bukan semata - mata hanya oleh penampilan luar.

"A positive attitude brings strength, energy and initiative" Remez Sasson 6. KERJASAMA. Karena ini adalah untuk kepentingan bersama maka sudah seyogianya bentuk dari kerjasama yang diberikan adalah kerjasama yang tulus dan ikhlas serta tanpa adanya niat - niat terselubung. "A successful team beats with one heart" Unknown 7. RELA BERKORBAN. Makna dari rela berkorban adalah selain korban dalam bentuk materi tetapi juga waktu dan perasaan. Wujud nyata dari rela berkorban ini juga harus tulus dan ikhlas serta tanpa pamrih adanya. Motivasi utama dari perbuatan mulia ini adalah demi kesuksesan bersama dalam suatu team Work. "Individuals play the game, but teams beat the odds" SEAL Team saying. 8. TANTANGAN DAN RINTANGAN. Kembali, apapun tantangan dan rintangan yang timbul, semuanya akans selalu bersatu padu dalam menanganinya. Tidak seorangpun akan dibiarkan menderita / bahagia sendirian. Semuanya akan selalu dirasakan bersama - sama. "If all my friends were to jump off a bridge, I wouldn't jump with them, I'd be at the bottom to catch them. Everyone hears what you say. Friends listen to what you say. Best friends listen to what you don't say" Tim McGraw Dengan dimilikinya Team Work yang tangguh di unswagati maka apapun yang telah direncanakan akan semakin mudah direalisasikan. "There are three ways to get something done: do it yourself, employ someone, or forbid your children to do it" Monta Crane e. Makna Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik lembaga Unswagati dalah kewajiban kami, karena itu kami akan mempertahankan degan segala upaya dan daya agar tetap menjadi lembaga terhormat dimata masyarakat nasional dan interasional. Bangga menjadi diri sendiri bukan membanggakan diri adalah sikap yang wajib di miliki oleh setiap diri manusia. Sikap yang demikian dapat mengantarkan pada opotimisme dan tidak menempatkan diri pada posisi yang rendah. Keberhasilan Amerika, Jepang dan negara lain diawali oleh kebanggaan warga negara atas negaranya. Kegagalan Indonesia, berawal dari sikap yang tidak bangga menjadi warga negara Indonesia. Menjaga nama baik Unswagati, wajib di miliki setiap orang yang berada di Unswagati.Kebanggaan itu harus tercermin dari sikap dan tindakan yang mendukung keberlangsungan Unswagati untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Identitas Unswagati, bukan hanya terdapat dalam busana tetapi dalam hati dan jiwa. Saya bangga sebagai orang Unswagati, adalah sikap mental yang harus terus di gelorakan.Keberhasilan Unswagati di masa datang, di awali oleh sikap bangga sebagai orang Unswagati pada hari ini.

3. Hakikat dan budaya Unswagati Keberadaan Perguran Tinggi (termasuk Unswagati) sebagai bagian integral dari masyarakat secara umum, harus memberikan kontribusi positif bagi mahasiswa dan masyarakat dalam membentuk karakter. Meskipun tidak secara struktur, penekanan pentingnya pendidikan karakter bagi mahasiswa dan dosen juga disiratkan dalam Buku Pedoman Akademik. Dalam buku pedoman akademik, dicantumkan tentang kode etik dosen, kode etik dosen wali dan kode etik mahasiswa. Kode etik dosen, dosen wali dan kode etik mahasiswa, dalam pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Rektor. Penekanan pentingnya pedidikan berkarakter bagi masyarakat, di lakukan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat keilmuan maupun praktik keagaamaan. Misalnya untuk memberikan karakter peduli, lembaga mengadakan kegiatan santunan bagi anak yatim dan kaum dhuafa. Untuk membentuk karakter agamis, setiap malam jumat dilaksanakan Kajian Studi Al-Quran civitas akademik dan juga masyarakat. melakukan apel dan lain sebagainya. Untuk itu, dalam perkembangannya Unswagati diharapkan memiliki hakikat dan budaya yang melekat, sebagaimana berikut ini : a. Kultur, suasana dan kualitas, tata kehidupan serta tradisi akademik yang universal. b. Unswagati berpengaruh kuat dalam melakukan serta membangun prestasi pada kontribusi perguruan tinggi dan kepada lingkungannya (pengabdian masyarakat). c. Berpengaruh kuat dalam menumbuhkembangkan kepribadian, karakter, norma, potensi dan kualitas lulusan merupakan nilai jual bagi stakeholder. d. Penerapan Pendidikan Karakter di Unswagati melalui Mata Kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Kewirausahaan. 4. Penerapan Lima Pilar Unswagati kedalam Mata Kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Kewirausahaan

Secara legalistik, konsepsi pendidikan merupakan bagian integral dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Penyelenggaraan terencana untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia serta dapat membuka pengetahuan, kesadaran dan pemahaman mengenai diri maupun lingkungan di sekitarnya, sehingga bermanfaat dalam melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. a. Konsep dan Operasional

Penerapan Lima Pilar menyiratkan bahwa nilai-nilai yang terkandungan di dalamnya perlu disebarluaskan dan ditanamkan melalui jalur pendidikan. Nilai lima pilar unswagati perlu dijabarkan kedalam kompentensi dan deskripsi pembelajaran agar dapat menjadi pedoman atau acuan bagi pihak terkait dalam upaya penerapan dalam pembelajaran.

Bagan 1 : Penjabaran Konsep dan Operasional

Konsesus Nasional

Komponen MKDU Pen. Agama PPKN

B. Indonesia

Kewirausaha an

Karakteristik Budaya Lima Pilar Unswagati

DESKRIPSI PEMBELAJARAN LIMA PILAR UNSWAGATI

STRATEGI PEMBELAJARAN

INDIKATOR

Penanaman karakteristik Lima Pilar Unswagati kedalam pendidikan karakter di Unswagati tidaklah lepas dari dukungan seluruh sivitas akademik, sehingga pendalaman dan penerapan konsep lima pilar sangatlah diperlukan kerjasama dari unsur pimpinan serta unsur pelaksana di mata kuliah yang dimaksud.

Rangkaian diatas melingkupi konsep pengembangan lima pilar Unswagati ke dalam komponen tema, kompentensi dan deskripsi pembelajaran sampai dengan Strategi dan Indikatornya.

b. Penerapan melalui Intrakurikuler Selain elemen kegiatan Pendidikan yang dapat digunakan dalam pengembangan dan pendalaman Lima Pilar Unswagati kepada peserta didik,perlu kiranya dikembangkan melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Upaya yang semestinya dijalankan adalah bagaimana agar nilai-nilai yang terkandung dalam Lima Pilar Unswagati dapat menyelimuti dan menjadi acuan penerapan dalam segenap kegiatan intra-kurikuler dan ekstrakurikuler tersebut.

Upaya membina dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan guru perlu di jalankan secara intensif dan berkesinambungan agar dapat memeainkan peran dan fungsi sebagaimana di harapkan.Untuk itu di kabupaten/kota dapat di bentuk tim pengembang yang bertugas mensosialisasikan, membimbing, dan membantu guru dalam mengintegrasikan nilai dan tujuan lima pilar Unswagati ke dalam mata pelajaran. Selanjutnya dosen menggunakannya sebagai bahan ajar dalam menjalankan proses pembelajaran kepada peserta didiknya. Di bawah ini di tampilkan kerangka berfikir penerapan konsep dapat Lima Pilar dalam kegiatan intrakurikuler. Sama halnya dengan intrakurikuler yang di bicarakan di atas, penerapan konsep Lima Pialr Unswagati melalui ekstrakurikuler pun di lakukan dengan cara mengintegrasikan ke dalam kegiatan tersebut.

Bagian 3: Penerapan Nilai Lima Pilar melalui intrakurikuler. Lingkungan Instansi (Unswagati)
Kebijakan Rektor

Karakteristik Budaya, peradaban Lima Pilar

Komponen Tema Kompetensi Deskripsi Umpan Balik

Fakultas

Tim Pengamp u Mata Kuliah Pelibatan Pihak terkait/ Narasumber

Integrasi ke dalam intrakulikul er

Satuan Pendidikan (Dosen)

Pelaksanaa n Pembelajar an

Hasil

Dalam Intrakurikuler, nilai-nilai Lima Pilar Unswagati di integrasikan dan menjadi bagian dalam mata kuliah dasar umum, sedangkan dalam ekstrakurikuler di integrasikan ke dalam jenis kegiatan yang relevan. Namun apabila dalam intrakurikuler melibatkan pendekatannya terhadap peran tenaga pendidik mata kuliah tersebut, maka penerapan konsep Lima Pilar Unswagati melalui kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarahkan perhatian ketingkat satuan pendidikan.

Selanjutnya di kemukakan suatu alternative pengembangan model penerapan konsep Lima Pilar Unswagati melalui ekstrakurukuler.

Kegiatan ekstrakuler merupakan salah satu komponen dari kegiatan pengembangan diri yang terprogram. Artinya kegiatan tersebut di rencanakan secara khusus dan di ikuti oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadinya.

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan yanmg secara khusus di selenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di satuan pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler berfungsi untuk mengembangkan diri, social, rekreatif dan persiapan karir siswa melalui prinsip: individual, pilihan, keterlibatan aktif, menyenangkan, etos kerja dan kemanfaatan sosial.

5. Pengembangan Strategi Lima Pilar berdasarkan Rencana Pengembangan Unswagati 2011-2019 beserta Indikatornya Unswagati menerapkan tujuh sasaran strategik, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Pengembangan sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran. Pengembangan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Peningkatan pengelolaan program. Peningkatan kegiatan kemahasiswaan dan alumni.

Induk

6. 7.

Peningkatan sarana-prasarana dan keuangan. Pengembangan kerja sama dan kemitraan.

Sasaran Strategik tersebut dijabarkan dalam sasaran kunci yaitu : Sasaran Strategik Pengembangan sumber daya manusia Sasaran kunci Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi staf pengajar (UU Nomor 14 Tahun 2005) Meningkatan motivasi dan kesejahteraan pegawai Meningkatkan kinerja pegawai Peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran Pengembangan penelitian dan pengabdian pada masyarakat Peningkatan pengelolaan program Meningkatkan kualitas calon mahasiswa Meningkatkan kualitas proses belajar mengajar Meningkatkan kualitas lulusan Meningkatkan peran LPPM Meningkatkan penelitian dan pengabdian pada masyarakat Meningkatkan pengelolaan kurikulum secara berkelanjutan Pengembangan fakultas dan program studi Meningkatkan akuntabilitas Unswagati Peningkatan kegiatan kemahasiswaan dan alumni Peningkatan saranaprasarana dan pembiayaan Pengembangan kerjasama dan kemitraan Meningkatkan pelayanan terhadap mahasiswa Meningkatkan kegiatan kemahasiswaan dan alumni Meningkatkan sarana-prasarana Meningkatkan kinerja keuangan Meningkatkan kerja sama dengan perguruan tinggi dan institusi Meningkatkan peran dan kontribusi Unswagati terhadap masyarakat

Indikator yang digunakan untuk mengukur sasaran strategis dalam kurun waktu 20112019 adalah : Sasaran Strategik Pengembangan Sumber Daya Manusia Meningkatkan kompetensi dan kualifikasi staf pengajar (UU Nomor 14 Tahun Program peningkatan kompetensi dan kualifikasi dosen Sasaran Kunci Program Indikator Kinerja Kunci - Tingkat pendidikan - Jabatan akademik - Sertifikasi

2005 tentang Guru dan Dosen)

- Penguasaan bahasa Inggris - Pelatihan dosen - Aktivitas dosen dalam seminar

Meningkatan motivasi dan kesejahteraan pegawai

Program peningkatan motivasi dan kesejahteraan pegawai

- Gaji - Insentif - Tunjangan - Jaminan sosial - Kepuasan pegawai

Meningkatkan kinerja pegawai

Program peningkatan kinerja pegawai

- Hasil kerja - Evaluasi kinerja - Umpan balik - Tindak lanjut

Peningkatan kualitas pendidikan dan penga-jaran

Meningkatkan kualitas calon mahasiswa

Program peningkatan kualitas calon mahasiswa

- Entry Grade - Hasil seleksi/testing - Rasio Mahasiswa Diterima : Pendaftar - Penguasaan Bahasa Asing

Meningkatkan kualitas proses belajar mengajar

Program peningkatan kualitas proses pembelajaran

- Jumlah pertemuaan (tatap muka) - Indeks Prestasi Semester - Rasio Dosen : MahaSiswa - Evaluasi dosen

Meningkatkan kualitas lulusan

Program peningkatan

- IPK lulusan

kualitas lulusan

- Lama studi - Penguasaan bahasa Inggris - Kepuasan lulusan - Penyerapan oleh pasar kerja - Umpan balik dari stakeholders

Sasaran Strategik Pengembangan penelitian dan pengabdian pada masyarakat

Sasaran Kunci

Program

Indikator Kinerja Kunci

Meningkatkan peran LPPM

Program kerja - Kerja sama dengan sama penelitian berbagai institusi dan pengabdian pada masyara- - Nilai penelitian kat dengan berbagai insti- Nilai pengabdian tusi, baik negeri masyarakat maupun swasta - Nilai hibah

Meningkatkan penelitian dan pengabdian pada masyarakat

Program - Hasil penelitian dan peningkatan pengabdian pada kuantitas dan kualitas kegimasyarakat atan penelitian dan pengabdian - Jumlah penelitian dan pada pengabdian pada masyarakat masyarakat

Peningkatan pengelolaan

Meningkatkan pengelolaan kurikulum secara

Program pengembanga n kurikulum

- Frekuensi peninjauan

program

berkelanjutan

berkelanjutan

kurikulum - Relevansi kurikulum dengan tujuan program serta kebutuhan mahasiswa dan masyarakat

Mengembangkan fakultas dan program studi

Program pengembanga n fakultas dan program studi

- Pembukaan fakultas, program studi, dan konsentrasi baru - Pembentukan Unit Penjaminan Mutu di tingkat fakultas dan Gugus Penjaminan Mutu di tingkat program studi

Meningkatkan akuntabilitas Unswagati

Program peningkatan akuntabilitas Unswagati

- Akreditasi Program Studi - Akreditasi Institusi - Akreditasi Jurnal Ilmiah - EPSBED - Evalusi internal - Audit akademik - Citra Unswagati

- Kepuasan orang tua - Kepuasan stakeholder

Sasaran Strategik Peningkatan kegiatan kemahasiswaan dan alumni

Sasaran Kunci

Program

Indikator Kinerja Kunci

Meningkatkan pelayanan terhadap mahasiswa

Program peningkatan pelayanan terhadap maha-siswa

- Layanan administrasi - Layanan perpustakaan - Layanan informasi/ internet - Kepuasan mahasiswa

Meningkatkan kegiatan kemahasiswaan dan alumni

Program peningkatan kegiatan kemahasiswaan dan alumni

- Kegiatan organisasi kemahasiswaan dan UKM - Partisipasi alumni (Ikal Unswagati)

Peningkatan saranaprasarana dan keuangan

Meningkatkan sarana-prasarana

Program peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana

- Web based learning - Kelengkapan saranaprasarana - Pemeliharaan saranaprasarana

- Pembangunan Kampus III - Pembangunan Rusunawa - Pembangunan aula yang representatif - Pembangunan perumahan dosen Meningkatkan kinerja keuangan Program peningkatan kinerja keuangan - Pendapatan - Pertumbuhan pendapatan - Defisit anggaran - Deviasi anggaran - Diversivikasi sumber penerimaan - Hasil audit keuangan Pengembangan kerjasama dan kemitraan Meningkatkan kerja sama dengan perguruan tinggi dan institusi Program kerja - Kerjasama pendidisama dengan berbagai pergu- kan dan pengajaran ruan tinggi dan - Kerjasama penelitian institusi - Kerjasama pengabdian masyarakat Meningkatkan peran dan kontribusi Unswagati terhadap masyaProgram peningkatan peran dan kontribusi - Bantuan sosial - Pelatihan

rakat

Unswagati

- Bantuan bea siswa pendidikan

BAB IV PELAKSANAAN DESKRIPSI MODEL DAN EVALUASI PENDIDIKAN KARAKTER DI UNSWAGATI MELALUI MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA, PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN, BAHASA INDONESIA DAN KEWIRAUSAHAAN. A. Pengembangan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Agama 1. Metode Pemeliharaan Karakter.

Mengapa dikatakan pemeliharaan bukan pembentukan, karena istilah pembentukan memiliki arti dan konotasi tentang sesuatu yang belum ada dan baru diciptakan kemudian. Adapun penggunaan kata pemeliharaan, mengacu pada menjaga sesuatu yang memang telah ada sebelumnya. Sebuah perjanjian sakral saat ditiupkan ruh, pada usia 4 bulan kehamilan. Pertanyaan dari Allah sang pencipta. Apakah aku ini adalah Tuhanmu? Benar kami bersaksi engkau adalah tuhan kami. Pengakuan makhluk kepada Khaliknya, adalah sinyal kejujuran dan aqidah. Kemanapun manusia pergi dan dimanapun ia berada, manusia selalu mencari sang pencipta. Ia cenderung mendekati bayang-bayang sifat penciptanya. Mungkin inilah yang diduga sebagai super-ego oleh Freud atau self-actualization menurut Maslow. Mungkin itulah sebenarnya yang mereka cari, walaupun masih belum mecapai titik sumber yang sesungguhnya. Anggaplah hal itu sebagai sebuah dorongan atau upaya pencarian Sang Pemilik Hakikat yang sebenarnya. Untuk membentuk sebuah karakter manusia unggul, dibutuhkan mekanisme RMP (Repetitive Magic Power) atau pengulangan yang terus menerus. Dalam RMP ini, energy potensial yang maha dahsyat yang berada dalam diri setiap manusia (dalam God Spotnya) diubah menjadi energy kinetic (energy gerak) secara berulang-ulang. Sehingga menghasilkan sebuah karakter manusia yang handal. Ini telah terbukti seperti kisah Matsushita dll. Namun, masalahnya, adalah metode pengulangan seperti itu memiliki nuansa spiritualitas dan tetap bisa dilakukan secara pribadi dengan privacy yang penuh. Josephson Institute menyampaikan 6 pilar yang perlu dibangun dalam dunia pendidikan: 1. Trusworthinnes (Dapat dipercaya) adalah karakter jujur, tidak curang, licik (cheat =nyontek), mencuri, reliable (lakukan apa yang dikatakan). Mempunyai keberanian (keteguhan) untuk melakukan hal yang benar dalam kondisi apapun (integritas), membangun reputasi, loyal (siap membantu keluarga/teman dan membela Negara). 2. Respect (menghormati orang lain) adalah karakter anak didik dalam menghargai terhadap sesama. Toleran terhadap perbedaan. Perilaku baik dan bertuturkata yang sopan. Peka terhadap persaaan orang lain. Tidak menyakiti orang lain. Serta menahan amarah (perbedaan atau cacian) 3. Responsibility (tanggung jawab). Adalah karakter untuk melakukan apa yang diharapkan untuk dilakukan. Gigih; coba terus terang dan pasti bisa. Melakukan yang

terbaik. Memiliki kendali diri, motivasi diri, disiplin. Memperhitungkan semua konsekuensi sebelum bertindak. Bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan. 4. Fairness (adil) adalah karakter yang membangun perilaku taat sesuai dengan aturan main, mau berbagi, berpikiran terbuka, mau mendengar orang lain, tidak memanfaatkan orang lain dan tidak selalu menyalahkan orang lain. 5. Caring (Perhatian terhdap orang lain) adalah karakter baik hati, peduli pada penderitaan orang lain, pandai berterimakasih, pemaaf, dan penolong. 6. Citizenship (warga masyarakat, warga Negara). Adalah karakter mau berbagi dengan komunitas tempat tinggal, kampus, sekolah, tempat kerja, masyarakat (to livetogether), mau kerjasama, terlibat partisipasi dalak kegiatan masyarakat/Negara, kerja bakti, sukarelawan, pajak, pemilu, menjadi tetangga yang baik, mentaati hokum, menghormati petugas hokum, birokrasi dan melestarikan lingkungan. Abraham Lincoln mengatakan:reputasi adalah bayangan, dan karakter adalah pohon. Maka karakter bangsa adalah sifat mental atau etika yang kompleks, yang menjadi ciri suatu bangsa. Karakter ini merupakan bawaan yang melekat pada suatu bangsa; cara berfikir, berkata, dan bertindak. Karakter bangsa ini akan menjadi cara respon bangsa terhadap lingkungannya, bagaimanapun kondisi lingkungan yang dihadapinya. Karakter bukan sesuatu untuk diperlihatkan kepada orang atau bangsa lain tetapi adalah sesuatu yang ditunjukan meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya. 2. Asas-asas kurikulum dalam Membentuk Karakter. Pengembangan kurikulum pada hakikatnya sangat kompleks karena banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Tiap kurikulum didasarkan atas asas-asas tertentu32, yaitu : 1. Asas filosofis, yang menjadi pegangan ideal; pada hakekatnya menentukan tujuan umum (majlis ta'lim). 2. Asas sosiologis, yang memberikan dasar untuk menentukan ha-hal yang akan dipelajari sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebudayaan, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Asas organisatoris yang memberikan dasar-dasar dalam bentuk cara bahan pelajaran (ta'lim) itu disusun termasuk luas dan urutannnya. 4. Asas psikologis yang memberikan prinsip-prinsip tentang kondisi individu mustami' secara umum dan khusus dalam berbagai aspek serta ta'lim itu disampaikan agar bahan ajar yang disediakan dapat dicerna dan dipahami oleh jama'ah sesuai dengan kadar berfikirnya. Sebagaimana firman Allah: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah33dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
32

Diadaptasi penulis. Lihat yang selengkapnya pada Nana Sudjana (1989) Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
33

Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Asas-asas tersebut cukup kompleks dan mengandung hal-hal yang saling bertentangan, sehinggga harus diadakan pilihan. Setiap pilihan akan menghasilkan kurikulum yang berbeda-beda walaupun mengenai salah satu asas saja. Pengorganisasian kurikulum bersifat subject centered dan terpadu. Jenis pertama disusun menurut mata kajian yang terpisah-pisah, sedangkan yang terpadu mengintegrasikan bahan kajian tanpa menghiraukan batas-batas disiplin ilmu. Untuk majlis ta'lim, selayaknya menggunakan jenis kurikulum terpadu. 3. Komponen-Komponen Kurikulum Dalam Membentuk Karakter. Komponen-komponen kurikulum34 yang lazim disebut dan selalu dipertimbangkan dalam pengembangan tiap kurikulum ialah : (1). Tujuan/gayah (2). Bahan ta'lim/madah (3). Proses ta'lim/amaliyah (4). Evaluasi/muhasabah/muzakarah Tiap komponen saling bertalian erat dengan semua komponen lainnnya. Tujuan meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor, yang dievaluasi dengan cara berbeda, misalnya bahan pengetahuan tentang tauhid akan berbeda dengan ibadah. Kesalingterkaitan komponen-komponen itu dapat kita gambarkan dalam bagan sebagai berikut :

Tujuan Penilaian Bahan/materi ta'lim

Proses ta'lim Tanda panah dua arah melambangkan inter-relasi antara komponen-komponen kurikulum. Kita lihat tiap komponen yang manapun ada hubungannya dengan semua komponen lainnya. Apa yang tampak gampang pada bagan sebenarnya tidak mudah dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum, apalagi dalam mebcapai tujuan-tujuan yang bersifat umum, terutama dalam bidang afektif. Bahan apa yang paling serasi untuk membentuk manusia yang jujur, bertanggung jawab, taqwa kepada Allah swt, yang setia kepada janji, cermat, bersih, bijaksana, sopan dan sebagaimana. 1) Urutan Komponen dalam Pengembangan Kurikulum Mentoring di Unswagati Cirebon.
34

Sebagaimana yang dikemukakan Nana Sujana (1989, 23), kemudian dikembangkan oleh penulis.

Biasanya dalam pengembangan kurikulum secara teoritis mulai dengan merumuskan tujuan kurikulum, diikuti oleh penentuan atau pemilihan bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan alat penilaian. Jadi, dapat digambarkan sebagai evaluasinya sebagai berikut: 1 Merumuska n tujuan MT Memilih bahan materi

4 Membuat alat penilaian MT

3 Menentuka n proses ta'lim

Namun, ada yang menganjurkan agar segera setelah dirumuskan tujuan disusun alat evaluasinya kemudian bahan dan proses belajar mengajarnya. Tetapi ada pula yang mulai dengan melihat bahan yang akan dipelajari, sering berpedoman pada materi pelajaran yang dianggap serasi. Sesudah itu baru ditentukan tujuan yang akan dicapai berdasarkan bahan itu. Akhirnya dipikirkan proses belajar mengajar dan cara penilaiannya. Dalam praktik biasanya semua unsur itu dipertimbangkan tanpa urutan yang pasti. Sekalipun telah dimulai dengan perumusan tujuan, masih ada kemungkinan perubahan atau tambahan setelah mempelajari bahan yang dianggap perlu diberikan, jadi dalam proses pengembangannya tampak proses interaksi menuju perpaduan dan penyempurnaaan. 2) Macam-Macam Model Konsep Kurikulum Mentoring a) Kurikulum Subjek Akademik contoh kajian ta'limul muta'alim b) Kurikulum humanistik contoh kitab Hasan al-Bana c) Kurikulum rekontruksi sosial contoh kitab karya ibnu kholdun d) Kurikulum berbasis teknoligi contoh ta'lim ESQ 4. Tujuan Kurikulum Dalam Membentuk Karakter. Tiap-tiap rencana mempunyai tujuan agar diketahui apa yang harus dicapa. Tujuan juga memberi pegangan apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukkannya. Tujuan juga merupakan patokan untuk mengetahui sampai mana tujuan itu telah dicapai. Masalah tujuan dalam kurikulum bahkan dalam tiap persiapan pelajaran sejak dulu sesuatu yang lazim. Namun aspek tujuan dalam pengembangan kurikulum menonjol karena usaha untuk mengkhususkan tujuan itu, sehinggga jelas. Dalam hal ini tokoh-tokoh seperti Ralph Tyler (1949) dan Benyamin Bloom (1956) memberi pengaruh yang besar sekali. 1) Sumber-Sumber Tujuan a) Al-Quran b) Hadits c) Ijma d) Qiyas 2) Perumusan Tujuan

Agar suatu tujuan dapat diwujudkan maka perumusannya harus spesifik. Tujuan adalah apa yang ingin kita capai dari suatu kegiatan dan yang menjadi pegangan filosofis ideal. 5. Kurikulum Mentoring Berbasis POAC di Unswagati Cirebon. Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaannmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghoib dan yang nyata, diberikannNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Ayat di atas menggambarkan betapa pentingnya perencanaan ke arah tujuan dan target, maka POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controling) menjadi proses penting dalam perencanaan kurikulum. Tindakan POAC tersebut telah dinyatakan secara eksplisit oleh sahabat Ali Bin Abi Thalib. Sayang sekali jika disain kurikulum yang diususun tidak dikelola dan direncanakan secara profesional. 1) Planning Dimulai dengan pembuatan tujuan, visi, misi dan program kerja yang dimplementasikan dalam bentuk sasaran, target realistis, jadwal kegiatan, dan anggaran. Minimalnya perencanaan dibuat dalam satu tahun. Tahap perencanaaan merupakan tahapan yang amat penting. Gagal merencanakan berarti merencanakan untuk gagal. 2) Organizing Setelah rencana dibuat, maka perlu diorganisir dalam materi subjek materi, termasuk sumber daya manusia dalam pelaksanaan kerja, struktur dan kelembagaan. Pengelolaan akan berjalan baik bila tahapan sebelumnya telah disesuaikan dengan baik Tahapan pertama dimulai dengan pencarian data-data yang diperlukan dan mengumpulkan materi yang berserakan di berbagai sumber. Tahapan pengelolaan akan lebih bermakna jika sudah ditentukan model majlis talim yang akan diformat. 3) Actuating Penggerakan majlis ta'lim apalagi sebagai pengelola memerlukan keterampilan tersendiri, memimpin, mengarahkan, dan memotivasi termasuk dalam arah kegiatan ini. Bergeraknya suatu organisasi berarti bergeraknya manusia-manusia di dalamnya. Manusia dapat bergerak dengan benar bila telah memiliki motivasi dengan benar. Maka begitupun para pengelola mentoring/da'i/zaim. Kita akan bergerak dengan baik bila telah : a) Memiliki niat yang benar, niat memang berasal dari hati, bagaimana membuat acara untuk memperbaiki niat? Misalnya dengan mengadakan pelatihan (daurah) yang menghadirkan pembicara yang kompeten. b) Memiliki dan memahami tujuan beresama yang uingin dicapai c) Memiliki sistem yang efektif dan sesuai dengan kondisi medan. d) Memiliki ketua yang dapat menggerakan para anggotanya. Ketua memang penting, tetapi bukan orangnya. Maksudnya jangan sampai kita membentuk figur dari seorang ketua, tapi ketualah yang menjadi figur. Maka dalam management diperlukan sistem pergantian pengurus yang baik. 4) Controling

Ketika kegiatan majlis taklim sudah berjalan, para pengelola majlis ta'lim perlu memastikan bahwa semua kegiatan itu berjalan sesuai dengan rencana. Bila ada perubahan situasi harus segera dibuat rencana baru untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Terdapat tiga unsur penting dalam pengendalian yaitu: a) Menetapkan standar ketercapaian target/tujuan b) Mengukur tingkat keketercapaian sekarang dan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan. c) Mengambil tindakan untuk mengoreksi prestasi yang tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kontrol merupakan hal yang seringkali terlewatkan. Kita sudah sering membuat berbagai rencana melalui musyawarah, membuat target, bahkan menunjuk penanggung jawab suatu amata acara namun tidak berjalan dengan baik. Bukan karena tidak ingin dilaksanakan, tetapi lebih karena faktor tidak ada saling menngingatkan sehingga proses kerja tidak berjalan optimal. Perhatikan bagan di bawah ini Mind mapping35 Kebaikan terorganisir 36 rencana 1-3 tahun rapat kerja Planning analisis masa lalu analisis masa sekarang prediksi masa depan Rencana Organizing distribusi kerja SDM POAC Actuating memimpin mengarahkan memotivasi Faktor penting niat ikhlas Tujuan bersama Sistem kerja efektif Figur teladan/da'i Controling
35 36

penugasan yang mampu

standar prestasi

Lihat Ruswandi dan Adeyasa (2007, 14). Kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan kejahatan yang terorganisir. (Ali bin Abi Thalib r.a.)

Kerja sesuai rencana Awas`Masalah !! Koordinasi Komunikasi 6.Penilaian Mentoring

pengukuran prestasi koreksi tindakan

Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu bagian dari proeses mentoring, yang memusatkan perhatian kepada program-program pengembangan karakter mahasiswa. Lingkup evaluasi program mentoring mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengembangan program. R.A. Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex, Inggris menyatakan bahwa, tiap program pengembangan krurikulum mempunyai style dan karakteristik tertentu, dan evaluasi dari program tersebut akan memperlihatkan style dan karakteristik yang sama pula37. Seorang evaluator akan menyusun program evaluasi sesuai dengan style dan karakteristik model yang dikembangkannya. Juga terjadi sebaliknya. Hasil program evaluasi akan mempengaruhi pelaksanaan dalam impelementasinya. EVALUASI pada dasarnya adalah proses penentuan nilai sesuatu berdasarkan tertentu. Dalam proses tersebut tercakup usaha mencari dan mengumpulkan data/informasi, yang diperlukan sebagai dasar dalam menentukan nilai sesuatu yang menjadi objek evaluasi, seperti program, prosedur, cara pendekatan, modal kerja , hasil program dan laiblain. Oleh karena itu Stufflebeam38 memandang evaluasi sebagai suatu proses, yakni menentukan, mencari, dan menyajikan informasi yang diperlukan untuk menentukan alternatif keputusan.. Ada tiga hal penting yang harus mncakup dalam proses evaluasi yakni; a). Menetapkan suatu nilai atau judgment, B) adanya suatu kriteria dan c), adanya deskripsi program sebagai objek penilaian. Ketiga aspek tersebut merupakan aspek keharusan adanya dalam suatu tindakan penilaian. Penilaian dalam mentoring dilaksanakan untuk memeperjelas informasi dan keputusan tentanag konteks, masukan/input, proses, dan output/hasil. Penilaian konteks ditujukan untuk menyajikan alasan-alasan sebagai dasar dalam menentukan tujuan program, agar lebih feasible dengan kondisi dan situasi dimana program itu aan dilaksanakan. Penilaian maasukan / input ditujukan untuk memperoleh informasi dan menyajikan keterangan, yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan cara-cara memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu penilaian masukan umumnya mengidentifikasi berbagai kemmpuan yang dimiliki oleh lembaga penanggung jawab program, strategi yang digunakan dalam melkasanakan program termasuk rencana untuk melaksanakan strategi tersebut. Penilaian proses bertujuan untuk; (a) mengetahui dan meramalkan kelemahankelemahan rencana dan pelaksanaannya, (b) memperoleh informasi berbagai kegiatan program sebagai bahan dalam mengambil keputusan seperti perbaikan, penyempurnaan, dan pengembangan program. Penilaian hasil/keluaran/out put bertujuan untuk menentukan keberhasilan program dalam bentuk hasil yang dicapainya, baik seteah program berakhr
37 38

lihat Nana Saodih Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.1997. halaman 173 Lihat Nana Sujana Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, 1989. Halaman 127

maupun pada saat program berjalan. Dalam penilaian hasil termasuk juga dampak dari program/impact terhadap berbagai dimensi sesuai dengan tujuan program. Definsi penilaian sikap mentee digunakan untuk memeperjelas kriteria penialaian dari setiap sikap mentee dalam daftar penilaian perkembangan mentee. Kriteria nilai mutu nilai final yang diberikan sebagai laporan untuk memberi gambaran umum perkembangan mentee. Sistem nilai ABC digunakan dengan alasan simpel dan tidak berbelit-belit. Di lapangan ada tim pengelola yang memberi nilai A+,A,B+, dst. Ada pula D bagi mentee yang tidak pernah hadir dalam mentoring, kondisional sifatnya, namun pada prinsipnya perhitungan nilai tidak berubah, hanya kisaran nilai mutu yang diberikan itu yang berubah, contoh nilai A+ diberikan untuk 110> X> 90; sedangkan nilai A untuk 90 > X > 70 dan seterusnya. Berikut adalah contoh devinisi penialain dan kriteria nilai mutu yang dapat digunakan.: 1. Kerjasama a) Menciptakan suasana kondusif b) Memperhatikan kegiatan mentoring c) Tolong menolong dalam games / outbound d) Mengerjakan tugas bersama-sama 2. Setia kawan: Peduli terhadap teman (tali ukhuwah kuat ) a) Tahu kabar teman yng tidak hadir b) Menjenguk yang sakit c) Tidak mengganggu teman d) Itsar, mendahulukan kepentingan yang lain dst. 3. Sopan santun dan Keramahan a) Pada semua: ramah, mengucapkan salam dan tersenyum b) Pada temen: tidak mengejek,tidak berkata kasar, suka berjabat tangan dsb. c) Pada mentor: ramah, tidak cuek/menyapa, dsb. 4. Daya tangkap a) Percepatan perubhan (hijrah) dari tidak tahu menjadi tahu, konsistensi perubahan b) Cepaqt mengerti maksud dari materi /games yang disampaikan c) Respon yang baik (dilihat dari pernyataan/pertanyaan) 5. Kepatuhan a) Menaati semua aturan bersama b) Taat perintah mentor c) Disiplin, tidak terlambat d) Tdak malas untuk mengikuti kegiatan mentoring 6.Tanggung Jawab a) Menepati janji b) Komitmen c) Amanah (mengerjakan tugas) 7.Aktivitas (di luar mentoring) Mengikuti ekskul, les dan atau kegiatan lainnya diluar kegiatan sekolah 8.Inisiatif a) Mengajak teman untuk mengikuti mentoring (tanpa diminta oleh mentor). b) Menyiapkan sarana dan prasarana mentoring (Membereskan bangku, menyiapkan Alquran dst ) c) Membuka dan menutup majlis d) Mencatat e) Kreatif.

7.Kegiatan Pelaksanaan POAC KeAgamaan di Unswagati a. Kegiatan Study Islam Intensif ( SII) SII adalah program kajian keislaman untuk membentuk karakter pribadi insan kamil sebagai pra persiapan PPL dan KKN bersama. Program ini merupakan program wajib untuk pengembangan karakter bagi mahasiswa Unswagati yang dilaksanakan satu kali selama kuliah di Unswagati Cirebon. Matari SII difokuskan pada peguatan etika/akhlak, pengokohkan aqidah, membangun kecintaan dalam beribadah, dan membangun karakter building. Model pembelajaran dilaksanakan dengan model interaktif active learning dengan pembelajaran aktif inovaatif, kreatif efektif dan menyenangkan serta dikuatkan dengan audit diri (muhasabah) model ESQ dan HI. Tujuan Studi Islam Intensif ( SII ) adalah : 1). Memberikan pengetahuan agam Islam bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa tingkat IV yang akan dan segera mengakhiri masa pendidikan sarjana di Unswagati. 2) Untuk memantapan aqidah dan kesadaran dalam menjalankan agama Islam yang tercermin dalam akhlak dan perilaku bermasyarakat. 3). Menambah wawasan pengetahuan terhadap institusi sosial keagamaan yang ada dalam masyarakat, mengenal kiprah perjuangann ya dan kebersamaannya dalam mensosialisaasikan ajaran Islam. Materi pembelajaran dalam studi Islam intensif merupakan materi umum, akan tetapi lebih ditekankan pada, bagaimana mengimplementaskan pengetahuan agama dalam kehidupan sehari-hari. Bersdasarkan pengelompokan materi atas : 1). Aqidah, 2). Syariah, 3). Ibadah, 4). Muamalah, 5). Munakahat, 6). munakahat,7) tarikh Islam,dan 10). akhlak Narasumber terdiri dari internal dan eksternal. Metode pembelajran menggunakn metode : 1) klasikal, 2), ceramah, 3). Diskusi ( untuk meningkatkan pemahaman peersoalan Islam dalam konstek kehidupan sosial. 2.Tarawih Keliling di bulan Romadhan Tarling ( tarawih keliling) adalah ibadah mahdhoh yang dikemas untuk membentuk kesolehan pribadi dan kesalehan sosial. Selain untuk tujuan silturrahmi tetapi juga berbagi dengan sesama. Karena dalam kegiatan tarling juga diikuti dengan pembagian sembako kepada kaum dhuafa masyarakat lemah dan masyarakat tidak mampu/miskin. Tarling bagi civitas Unswagati merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat setalah pengabdian kepada Allah Swt. Proses mendengarkan keluhan masyarakat menjadi bagian penting untuk dikomunikasikan dengan program-program kampus. Sehingga harapan ideal program-program kampus diarahkan juga kepada kepentingan masyarakat luas. Kedekatan dengan masysrakat menjadi bidikan lembaga Unswagati untuk saling menitipkan, saling membantu, saling menguntungkan. f) Santunan dan Pasar Murah Jiwa sosial/ dermawan bagi civitas Unswagati menjadi program rutin tahunan pada bulan Romadhan, sesuggunya merupakan pengewejawantahan dari sifat-sifat asmaul husna AlWahab artinya maha pemberi. Al-Whab artinya zat yang dermawan dengan pemberian yang banyak. Al-Wahab juga berarti zat yang banyak nikmat-Nya dan terus menerus memberi nikmatnya. Dialah yang maha pemurah, memberikan apasaja yang menjadi keperluan makhluknya, baik yang diminta maupun yang tidak diminta, kapan saja dan dimana saja, tidak terikat oleh situasi dan kondisi. Allah memberikan segala sesuatu dengan kehendaknya, tidak perlu persetujuan dan persyaratan. Tidak ada yang bisa menolak ketika Allah memberi. Dengan kasih sayangnya siapapun akan diberi. Di dalam Al-Wahab ada kekuasaan Allah, dan sepercikannya diberikan kepada manusia, berupa kepeduliaan. Sejahat-jahat manusia, atau sekejam-kejamnya orang,

hatinya akan tersentuh amanakala melihat sesuatu yang menyayat hati, menyaksikan kelaparan misalnya. Hanya orang-orang yang melebihi kewenangan Tuhan yang tidak punya kepedulian. Mereka itulah orang-orang yang pelit dan rakus, yang tidak mau tahu keadaan yang terjadi di sekitarnya. Orang yang mengamakan akhlak Al Wahab disebut Abdul Wahab, artinya hamba yanga maha pemberi. Yaitu orang yang peduli dan suka memberi kepada orang lain. Boleh jadi dibalik kepeduliannya itu ada maksud tersembunyi, tetapi paling tidak dia sudah memulai. Dan jika itu dilakukan secara terus menerus, insya Allah akan menjadi kebiasaan yang baik, dan lama-lama akan hilang rianya. Kekuatan Al Wahab akan benar-benar menjadi kenyataan bila dilakuakan tanpa pamrih. Dalam serba kekuarangan , ia masih menyisihkan rezeki untuk diberikan kepada pihak yang sangat memerlukan. Civitas Unswagati yang dipelopori rektornya DR. H. Zakaria Mahmud SH.SE.Msi. dengan contoh yang kuat menjadi dermawan bagi kaum lemah dan duafa. Sosok rektor sang birikrat, tetapi juga pengusaha yang religius, memberikan warna tersendiri yang sangat berpengaruh bagi seluruh civitaas akademika untuk menjadi pemberi santunan. Bagi mahasiswa program santunan, pasar murah, studi kajian Al Quran, mentoring/ tutorial PAI terasa nuansa kampus nasionalis yang religius. B. Impelementasi model pendidikan karakter melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan 1. Tujuan

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. selanjutnya pada pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut pandangan Sanusi menyatakan bahwa : Pendidikan adalah upaya mencari keberartian dan nilai-nilai dalam berbagai ilmu, teknologi, hukum, ekonomi, dan lain-lain, melalui tafsir manusia atas berbagai gejala alam, sosial, dan metafisika. Meskipun tafsir bebas manusia selalu mungkin mengandung kesalahan, namun dengan pendekatan keimanan maka akan terinternalisasi nilai-nilai yang utuh dan terintegrasi dalam prilakunya (Mimbar Pendidikan, 1998 : 11) . Berdasarkan konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan menurut Wahab mengemukakan, bahwa berdasarkan hasil kajian terhadap arah pembangunan jangka panjang kedua, dapat dikemukakan bahwa arah pembangunan yang akan datang adalah menuntut lahirnya warga negara dan warga

masyarakat yang Pancasilais, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, yang mengetahui dan memahami dengan baik hak dan kewajiban, menyadari betapa pentingnya melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang didasari oleh kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dapat membuat keputusan secara cepat dan tepat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain (AA.Wahab, 1996 : 4) Pendidikan nilai yang merupakan bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) selalu berkaitan dengan perkembangan moral, moral berasal dari kata latin mores yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Soenarjati, 1985).) PKn memiliki peran sebagai Pendidikan Nilai dan Moral Pancasila, sebagai Pendidikan Politik, sebagai Pendidikan Hukum dan Kemasyarakatan (A. Azis Wahab : 1996 : 6) Pertama, Sebagai Pendidikan Nilai dan Moral, PKn diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk dapat meningkatkan pengetahuan serta pemahaman mahasiswa tentang nilai dan moral Pancasila, menghayati dan mengamalkannya. Kedua, Sebagai Pendidikan Politik, yaitu pendidikan untuk membina mahasiswa mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Bagaimana seharusnya mahasiswa berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan sikap-sikap positif terhadap hasil-hasil pembangunan nasional. Di samping itu, memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap berbagai permasalahan sosial dan politik, memiliki sikap kritik dan inovatif, serta memiliki rasa tanggung jawab dan serta menghormati dan menghargai aparat pemerintah. Sebagai pendidikan politik, PKn dapat membina mahasiswa untuk melek politik, di samping itu PKn sebagai pendidikan politik juga diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk melek hukum. Ketiga, Sebagai Pendidikan Hukum dan Kemasyarakatan, diharapkan mahasiswa dapat menumbuhkan pengertian dan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik dalam hubungannya dengan negara maupun antar warga negara serta hubungan dan peranannya. Pendidikan kewarganegaraan adalah sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan, watak dan karakter warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelajaran PKn dalam rangka nation and character building. Pertama : PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang releven, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psokoliogi dan disiplin ilmu lainnya yang digunakan sebagai landasan untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai dan perilaku demokrasi warganegara. Kedua : PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik. Pengembangan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warganegara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan warga negara (civic intelegence) sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi. Ketiga : PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pelatihan penggunaan logika dan pealaran. Untuk menfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan bahan pembelajaran yang interaktif yang dikemas dalam berbagai paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang digali dari ligkungan masyarakat

sebagai pengalaman langsung (hand of experience). Keempat: kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman sikap dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup secara demokrasi (doing democracy). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kedali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi Mahasiswa sehingga lebih dapat berhasil dimasa depan (http/ dedidwitagama.wordpress.com/peneltian tindakan kelas). Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor value-based education. Konfigurasi atau kerangka sistemik Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut. Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 19). Hal ini dapat dikatakan bahwa melihat dan memperhatikan uraian tersebut, maka tampak bahwa PKn merupakan program pendidikan yang sangat penting untuk upaya pembangunan dan pembentukan karakter bangsa.

2.

Nilai Yang Dikembangkan Nilai-nilai yang dikembangkan dapat menumbuhkan karakter mahasiswa melalui pembelajaran pendidikan menggunakan berbasis minat pada situasi yang dihadapi saat ini. sehingga pada tahap pertama pembelajaran mahasiswa dapat menyajikan situasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan Inquiry. Melalui tahap pertama mahasiswa mampu untuk menjelajahi dunia nyata secara kelompok dan individual. Berdasarkan kajian mengenai kecerdasan manusia tentang teori Multiple Intelligences (Howard Gardner) dikenal adanya Seven Intellegences, yakni (1) Linguistic Intellegence; (2) Logical-Mathematical Intellegence; (3) Spatial Intellegence; (4) Musical Intellegence;(5) Bodily-Kinesthetic Intellegence; (6) Interpersonal Intellegence; dan (7) Intrapersonal Intellegence. Sering kali seseorang mempersepsikan dapat memiliki kecerdasan dalam bidang intelegensia yang satu mungkin tidak di yang lain dan seterusnya. Dampaknya dalam proses pembelajaran

adalah seorang mahasiswa yang menonjol dalam logical mathematical intellegence akan sulit menyerap pelajaran apabila pelajaran tidak disampaikan secara logis, tidak disertai data kuantitatif, dan sebagainya. Sebaliknya seorang mahasiswa yang menonjol dalam bidang linguistic intellegence baru dapat menyerap pelajaran jika diberi kesempatan untuk berbicara, berdiskusi, berdebat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bisa jadi minat belajar rendah diakibatkan oleh pola pembelajaran yang monoton, misalnya diskusi saja yang mungkin hanya dapat melayani mahaMahasiswa yang berkemampuan dalam linguistic intellegence. Pendekatan Analisis Nilai adalah satu teknik belajar mengajar khusus untuk pendidikan nilai-moral atau pendidikan afektif. Teknik ini erat kaitannya dengan pendekatan pendidikan nilai umumnya dan khususnya PMP/PPKN yang sejak semula telah ditekankan pada aspek pembinaan sikap/nilai moral Pancasila (GBPP, 1975/1984 dan 1994). Teknik ini mungkin lebih tepat digunakan untuk kelas-kelas tinggi dimana Mahasiswa telah mampu membaca, bernalar dan juga membandingkan. Roberta (1987 : 395) mengatakan bahwa : Value analysis is a term given to a number of techniques to help pupils apply logical thinking to the valuing proces. Pupils try to understand the consequences of particular values, the confilcts that may occur among two or more values, and the reasons for particular values choices. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam menumbuhkan karakter pada mahasiswa melalui pembelajaran PKn selaras dengan pilar pendidikan karakter di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon adalah sebagai berikut : 1. Kejujuran merupakan dasar bertindak dalam menentukan berbagai kebijakan dan keputusan kepentingan lembaga selama ini telah meyakinkan kami bahwa prinsip ini akan terus menjadi rujukan utama Melaui pilar ini, mahasiswa mampu membiasakan diri baik secara individu maupun kelompok untuk mendeksripsikan masalah-masalah dalam masyarakat secara objektif dalam menentukan tema dan masalah yang akan dijadikan penelitian sosial. Selanjutnya mahasiswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan masalah penelitian berkelompok. Mahasiswa juga diharapkan bersikap jujur dan objektif dalam setiap kajian dan tema yang diusulkan dan berlaku secara universal. 2. Profesional adalah menjadi dasar melaksanakan tugas dan kewajiban kami sehari-hari di Unswagati sehingga kualitas proses dan asil terus di tingkatkan secara berkelanjutan. Nilai yang muncul dari kegiatan tersebut adalah mahasiswa diharapkan mampu bekerja dan mencari sumber masalah dan mampu memecahkan masalah melalui penelitian secara berkelompok secara profesional dengan menggunakan metode dan cara-cara ilmiah dan sistematis sehingga dapat menjadikan solusi alternatif terhadap pemecahan masalah. Profesional dilakukan dengan baik dengan menggunakan instumen yang sudah didiskusikan bersama dosen dan kelompoknya.

3.

Disiplin, etos kerja, dan budaya kerja menjadi landasan utama menjadi Universitas Unggulan secara nasional menuju Inernasional. Mahasiswa memiliki nilai disiplin, etos kerja dan budaya kerja didalam menganalisis permasalahan yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian dan akhirnya, mahasiswa secara berkelompok membiasakan mencari sumber informasi yang akurat. Melalui pilar ini juga mahasiswa dapat bekerja dan memiliki budaya akademik yang menjadi motivasi didalam langkah pengambilan data yang ada dimasyrakat. Ketepatan waktu juga yang menjadi dasar sikap disiplin mahasiswa didalam mengerjakan sampai menyajikan hasil temuan penelitianya melalui kelompok di kelasnya.

4.

Kerja sama merupakan perwujudan dari tugas yang di emban sesuai dengan jabatanya masing-masing sehingga tujuan Unswagati tercapai atas kontribusi dan sinergi semua pihak peduli terhadap lembaga; Melalui pilar ini, mahasiswa dapat berkerjasama dengan teman-temannya didalam menentukan dan mencari informasi masalah. Selanjutnya mahasiswa juga memiliki kerjasama dengan kelompok didalam kelasnya, sehingga mereka dapat menyampaikan hasil temuan penelitiannya secara komprehensif.

5.

Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik lembaga Unswagati adalah kewajiban kami, karena itu kami akan mempertahankan degan segala upaya dan daya agar tetap menjadi lembaga terhormat dimata masyarakat nasional dan interasional. Melalui nilai ini, mahasiswa bersikap santun dan ramah sehingga didalam pelaksasanaannya bisa menunjukan dan menjaga harga diri dan almamater perguruan tinggi, terutama didalam mencari data dan informasi baik melalui observasi maupun wawancara. Oleh karenanya, mahasiswa bisa melakukan kegiatan penelitian sosial secara sederhana dengan memperhatikan etika dan estetika dimasyrakat.

3.

Landasan Teoretik

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia dibentuk antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mendapatkan kehidupan bangsa yang cerdas dalam arti yang luas tentu diperlukan warga negara yang cerdas juga dalam arti yang luas. Upaya untuk mencerdaskan warga negara dapat ditempuh melalui program pendidikan nasional. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Pasal 31 UUD 45 ayat (3), Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Pada konteks pendidikan nasional Indonesia telah ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 1 butir 1). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3). Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam konteks itu pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Pasal 3), berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Secara umum yang dimaksud dengan pembudayaan adalah proses pengembangan nilai, norma, dan moral dalam diri individu melalui proses pelibatan peserta didik dalam proses pendidikan yang merupakan bagian integral dari proses kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) secara khusus mempunyai tujuan secara eksplisit yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan dan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air (Penjelasan Pasal 37). Secara sosialpsikologis yang dimaksud dengan cerdas itu bukanlah hanya secara intelektual, tetapi juga cerdas spiritual, emosional, sosial, dan cerdas kinestetik. Dengan kata lain, warga negara Indonesia yang seyogyanya dikembangkan itu adalah individu yang cerdas pikirannya, cerdas perasaannya, dan cerdas perilakunya. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari proses kebudayaan yang pada akhirnya akan mengantarkan manusia menjadi insan yang berbudaya dan berkeadaban. Pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional, 2010 dalam makalah kebijakan pendidikan karakter 2011). Di Indonesia wacana pendidikan nilai tersebut secara kurikuler terintegrasi antara lain dalam pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan bahasa, dan pendidikan seni. Kohlberg (2002 : 20) merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral seperti berikut.

Tingkat I: Prakonvensional (Preconventional) Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan (Apapun yang mendapat pujian atau dihadiahi adalah baik dan apapun yang dikenai hukuman adalah buruk). Tahap 2 : Orientasi instrumental nisbi (Berbuat baik apabila orang lain berbuat baik padanya dan yang baik itu adalah bila satu sama lain berbuat hal yang sama). Tingkat II: Konvensional (Conventional) Tahap 3 : Orientasi kesepakatan timbal balik (Sesuatu dipandang baik untusk memenuhi anggapan orang lain atau baik karena disepakati). Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban (Sesuatu yang baik itu adalah yang diatur oleh hukum dalam masyarakat dan dikerjakan sebagai pemenuhan kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut). Tingkat III: Poskonvensional (Postconventional) Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalistik (Sesuatu dianggap baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual). Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal (Sesuatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan dijabarkan). Dengan teorinya itu, Kohlberg (SMDE-Website, 2002 : 20) menolak konsepsi pendidikan nilai/karakter tradisional yang berpijak pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan/keadaban (bag of virtues), seperti kejujuran, budi baik, kesabaran, ketegaran yang menjadi landasan perilaku moral. Oleh karena itu, ditegaskannya bahwa tugas guru adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung, keyakinan, serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu dengan memberinya penguatan. 4. Deskripsi Model Deskripsi model karakter yang akan digunakan dalam pengembangan nilainilai karakter mahasiswa adalah melalui pendekatan kelompok inquiri (Group Inqury Model) menekankan pada kemampuan mahasiswa untuk selalu dalam usaha pemecahan masalah dan dapat menmukan hasil penelitan yang akan dijadikan bahan diskusi. Pada tahap ini mahasiswa melakukan diskusi, penelitian, wawancara, mencari sumber dan fakta sehingga dapat dijadikan pengumpulan data sesuai dengan tema dan kompleks permasalahan yang didiskusikan. Selanjutnya pengembangan kemampuan mahasiswa melalui penerapan model ini akan mampu menyusun permasalahan yang akan diadikan sebagai bahan penelitian untuk mencari informasi dan data sehinga dapat dijadikan temuan penelitian. Adapun secara rinci nilai-nilai yang dikembangkan pada setiap langkah pembelajaran PKn melalui pendekatan kelompok inquiri (Group Inquiry model) adalah sebagai berikut :

1. Merumuskan dan menyajikan situasi yang problematik. Hal tersebut tumbuh berkat belajar berbasis pemecahan masalah (problem solving) dengan menggunakan pendekatan model kelompok inquiri dengan kelompok investigasi. Mahasiswa diharapkan mampu merumuskan situasi dan dapat menyajikan situasi yang akan dijadikan sebagai bahan dalam penelitian sehingga dapat menemukan sesuatu temuan penelitian secara sederhana. yang memperkenalkan permasalahan norma dan nilai yang ada di masyarakat. Pada saat para mahasiswa diperkenalkan pada sejumlah persoalan yang terkait dengan bahan pelajaran akan menyadarkan mereka bahwa belajar sesungguhnya harus sampai pada adanya upaya untuk menyelesaikan persoalan kehidupan, bukan menghafalkan seonggok fakta dan data. 2. Meningkatkan Keterampilan-keterampilan penelitian

Pengalaman yang dapat diperoleh pada saat pembelajaran adalah para mahasiswa dapat mencari data dan informasi yang mendukung pentingnya masalah untuk dijadikan bahan sehingga mampu memunculkan keterampilanketerampilan penelitian yang diperoleh dengan melakukan identifikasi masalah. Mereka membuat desain format pengumpulan data yang dapat digunakan dalam menjaringan data seperti halnya mampu melakukan observasi, melakukan wawancara terhadap sejumlah nara sumber, mencari informasi dari berita dan artikel surat kabar, menyaksikan siaran radio, televisi, dan bahkan mencari informasi dari internet. Proses inilah yang mengasah rasa ingin tahu mereka untuk menegaskan bahwa masalah yang mereka ajukan itu penting berdasarkan fakta dan data lapangan, tidak atas dasar akal sehat (common sense) belaka. 3. Menumbuhkan kebiasaan keterampilan dalam penelitian mahasiswa untuk membuat

Pengalaman belajar demikian diperoleh setelah para mahasiswa untuk menyajikan situasi problematik yang dijadikan dasar dalam penyusunan format penelitan. Mahasiswa akan dengan terbiasa dengan mudah melakukan penelitian dan merumuskan penelitian dalam usaha pemecahan permasalahan baik secara individual maupun kelompok. Kebiasaan yang tumbuh memlalui pembelajaran ini adalah mengajakn mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan didalam proses penelitian. 4. Menyajikan temuan-temuan secara bertanggung jawab.

Pengalaman belajar ini diperoleh ketika para mahasiswa secara sungguhsungguh melaksanakan proses penelusuran dengan menginvestigasi permasalahan kompleks didalam usaha penyelesaian masalah. Mahasiswa dapat mempertanggung jawabkannya segala aktivitas didalam penelitian yang dilakukan secara kelompok untuk mencari sumber informasi yang akurat didalam lingkungan masyarakat. Kerangka operasional metodologik pendidikan kewarganegaraan (PKn) untuk mengembangkan karakter berpijak pada kerangka teori perkembangan nilai-moral

dan merujuk pada upaya pencapaian semua aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut. a. Misi utama pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah meningkatkan kualitas penguasaan (pemahaman, penghayatan, dan pengamalan) individu terhadap suatu nilai sebagai bagian yang melekat dari karakteristik pribadinya. b. Ukuran kualitas penguasaan nilai adalah tingkat perkembangan nilai heteronomis menuju nilai autonomis melalui proses internalisasi dan personalisasi. c. Proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya merupakan proses fasilitasi-dialogis antara pendidik dan peserta didik dalam rangka mewujudkan isi dan metodologi kurikulum. Proses fasilitasi dialogis ini dimaksudkan untuk menghasilkan lingkungan dan iklim belajar yang kondusif bagi pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai oleh individu dalam konteks sosial-kultural lingkungannya. d. Lingkungan sosial-kultural yang berkualitas, dalam pengertian merangsang individu untuk meningkatkan kualitas penguasaan nilainya sangat diperlukan untuk memfasilitasi peningkatan perkembangan nilai dalam diri masing-masing individu. e. Model generik pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dalam upaya mengembangkan karakter bersifat holistik, terkait aspek sosiokultural, fasilitatifdialogis, dan berorientasi pada peningkatan tahap perkembanmgan nilai-moral individu. f. Guru dapat berperan secara dinamis sebagai mitra dialog, teladan, penggali nilai, penopang kajian, pengembang nilai, transformator nilai, penguat, dan pengelola pembelajara nilai yang efektif. Merujuk pada Tujuan Pendidikan Nasional yang sangat sarat dengan nilai, yakni ... beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003) perlu dikembangkan berbagai model pembelajaran afektifnilai- moral yang berpijak dan merujuk pada semua nilai sentral tersebut. Pada rumusan tersebut terdapat delapan konsep nilai yang merupakan bagian integral dari sejumlah central values, yakni: a) Beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa sebagai bentuk nilai aqidah keberagamaan; b) Berakhlak mulia sebagai bentuk nilai sosio-kultural keberagamaan; c) Sehat sebagai bentuk nilai fisikal dan rohaniah; d) Berilmu sebagai bentuk nilai kecerdasan substantif; e) Cakap sebagai bentuk nilai kecerdasan operasional; f) Kreatif sebagai bentuk nilai kecerdasan inovatif; g) Mandiri sebagai bentuk nilai personal-sosial; dan

h) Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab i) sebagai nilai personal sosial-politik. Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) untuk mengembangkan karakter yang perlu dikuasai oleh mahasiswa adalah yang terkait pada central values yang terkandung dalam atau menopang konsep nilai yang menjadi elemen dari tujuan pendidikan nasional tersebut. Pendekatan kelompok inquiri menekankan pada kemampuan mahasiswa untuk mengembankan diri dan mampu melakukan penelitian yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelas dan mampu untuk mencari berita dan informasi yang akurat sesuai dengan topik permasalahan kelompoknya. 5. Prosedur / Metode Pelaksanaan

Beberapa prosedur/ metode yang digunakan adalah dengan melalukan model kelompok inquiri melalui investigasi kelompok dilakukan secara sistematis dengan melakukan pengumpulan situasi yang problematis sesuai yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya untuk dapat menyajikan dan menemukan permasalahan untuk dilakukan proses penelitian. Problematik tersebut disesuaikan dengan topik yang ada diperkuliahan pendidikan Kewarganegaraan. Secara prosedur pelaksanaan model kelompok inquiri dengan menggunakan model investigasi kelompok memlailiki enam tahapan kegiatan sebagai berikut: 1) Menyajikan situasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan inquiry Pada tahap ini kelas difasilitasi untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul yang akan dijadikan topik melalui pengamatan, wawancara, dan buktibukti dokumentasi yang yang terjadi permasalahan dilingkungan masyarakat secara kelompok. 2) Merencanakan Investigasi (penelitian) Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk mengkaji permasalahan yang akan dijadikan sebagai bahan investigasi (penelitian) untuk dapat dilakukan pemecahan masalahan secara ilmiah dan sistematis. 3) Melaksanakan Investigasi Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk melaksanakan proses investigasi berdasarkan topik permasalahan yang dipilih oleh kelompok sehingga mampu menemukan jawaban investigasi. 4) Menyajikan Temuan-temuan Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk menyajikan hasil temuan-temuan yang diperoleh untuk dapat disajikan didepan kelas berdasarkan kerja kelompoknya.

5) Mengevaluasi Investigasi Pada langkah ini, kelas difasilitasi untuk melakukan evaluasi terhadap hasil investigasi sehingga dapat dijadikan bahan tindak lanjut untuk menyusun program pemecahan masalah lainnya secara sistematis dan ilmiah.

Setelah selesai proses pembelajaran ini, dosen selanjutnya dapat melakukan refleksi untuk mencari dan menganalisis kekurangan apa yang ada pada hasil temuan penelitian tersebut, sehingga dari hasil temuan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lain yang relevan. Dosen mengajukan sejauh mana pemahaman yang dapat diperoleh melalui penggunaan model pembelajaran kelompok inquiri tersebut.

6. Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Langkah 1 : Menyajikan situasi dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan inquiry Pertama-tama mahasiswa diberikan arahan mengenai informasi awal bahan materi perkuliahan yang akan dipelajari dalam satu semester kedepan sesuai dengan topik dan tema yang ditentukan sesuai dengan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan Keputusan Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, adapun topik perkuliahan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah : NO 1. TOPIK PERKULIAHAN FILSAFAT PANCASILA - Pancasila sebagai sistem filsafat - Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara 2. IDENTITAS NASIONAL - Karakteristik identitas nasional - Proses berbangsa dan bernegara 3. POLITIK DAN STRATEGI - Sistem Konstitusi - Sistem Politik dan ketatanegaraan Indonesia 4. DEMOKRASI INDONESIA - Konsep dan prinsip demokrasi - Demokrasi dan pendidikan demokrasi 5. HAK AZASI MANUSIA DAN RULE OF LAW - Hak Azasi Manusia (HAM) - Rule of law HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA - Warga Negara Indonesia - Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

6.

7.

8.

GEOPOLITIK INDONESIA - Wilayah sebagai ruang hidup - Otonomi Daerah GEOSTRATEGI INDONESIA - Konsep Asta Gatra - Indonesia dan perdamaian dunia

Selanjutnya mahasiswa diberikan topik dan mengemukan masalah yang dihadapi terhadap situasi lingkungan masyarakat. Tahapan dan langkah selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan untuk dapat mengajukan dan menyajikan situasi-situasi yang akan dijadikan sebagai bahan investigasi dengan mengungkapkan bahan problematis sehingga mahasiswa dengan menarik dan minat untuk melakukan investigasi secara kelompok. Mahasiswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dengan masing-masing dari mereka menyajikan permasalahan yang dihadapi sesuai dengan topik perkuliahan. Berikut ini permasalahannya sebagai berikut :

No Lingkup Masalah Contoh Masalah 1. Pengamalan o Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pancasila sebagai pancasila ideologi bangsa dan o Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap negara yang belum ideologi pancasila maksimal o Terjadinya perilaku yang tidak sesuai dengan pancasila bahkan tertentangan dengan nilai-nilai pancasila 2. Melemahnya identitas o Memudarnya rasa identitas kebangsaan nasional Indonesia o Munculnya disintegrasi bangsa o Melemahnya pemahaman terhadap lagu dan simbol-simbol negara o Sikap tidak menghormati terhadap nilai dan simbol kenegaraan 3. Melemahnya sistem o Banyaknya aksi suap Politik o Pelanggaran calon Kepala Daerah dalam Pemilukada o Rendahnya SDM masyarakat terhadap partisipasi politik 4. Persoalan Demokrasi o Munculnya pelaksanaan pemilu yang tidak luber di Indonesia dan jurdil o Memudarnya semangat demokrasi di Indonesia o Munculnya Sikap apatis masyarakat terhadap proses demokrasi 5. Pemajuan, o Banyaknya tindakan pelanggaran HAM penghormatan o Aksi pembunuhan terhadap Hak Asasi o Memudarnya penghormatan terhadap orang lain Manusia Melemahnya Rule Of o Maraknya aksi mafia hukum

Law

6.

7.

8.

o Praktik jual beli jabatan o Memudarnya rasa persatuan o Banyaknya korupsi Persoalan Bela o Munculnya kerusahan Massal Negara o Tawuran antar Pelajar o Terorisme o Anarkisme berbasis SARA o Separatisme Politik Geopolitik Indonesia o Pudarnya semangat Kebangsaan o Batas wilayah suatu negara o Letak geografis masih belum menguntukngkan bagi Indonesia Geostrategi o Strategi belum terarah dalam Indonesia o Munculnya Sikap arogansi militer

Langkah 2 : Merencanakan Investigasi (Penelitian/penemuan) Tahapan selanjutnya adalah dengan cara mahasiswa merencanakan investigasi (penelitian) untuk dapat menemukan hasil permasalahan yang akan dijadikan bahan diskusi kelas. Perencanaan ini dilakukan secara sistematis dengan menggunakan format yang disediakan oleh dosen dan didiskusikan bersama mahasiswa. Penelitian yang akan digunakan mengacu terhadap topik permasalahan yang dipilih oleh kelas dalam kelompok yang akan dijadikan sebagai bahan dalam menyusun rencana penelitian. Tahapan ini menekankan pada mahasiswa untuk mampu menyusun daftar masalah yang nanti akan dijadikan sebagai bahan penelitian. Mahasiswa secara berkelompok mengajukan rencana penelitan yang akan dilakukan dengan melihat masalah dan peristiwa yang diajukan oleh kelompok. Penyusunan rencana penelitan ini membuat mahasiswa mengumpulkan informasi yang akurat, sehingga informasi itu membantu dalam proses perencanaan penelitian. Langkah 3 : Melaksanakan Investigasi Tahap dan langkah selanjutnya, mahasiswa melaksanakan investigasi diberbagai lokasi dan tempat penelitan, hal ini didasarkan pada pengembangan karakter yang diharapkan yaitu dengan mencari data melalui wawancara dengan sumber langsung, observasi langsung terhadap setiap kejadian dan peristiwa yang ada dilingkungan masyarakat. Mahasiswa secara berkelompok mencari informasi dana dapat mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah dan lokasi yang memiliki nilai yang relevan dengan topik yang jadi bahan permasalahan. Melalui tahap melaksanakan investigasi ini mahasiswa mampu secara langsung terjun ke masyrakat mengenai konsep permasalahan bela negara dan masalahmasalah kewarganegaraan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tahap melaksanakan Investigasi ini juga, mahasiswa secara berkelompok membagi topik permasalahan dengan melihat indikator yang akan dicapai. Langkah 4 : Menyajikan temuan-temuan

Langkah-langkah dalam pembelajaran ini, mahasiswa dapat menyajikan temuan-temuan berdasarkan hasil identifikasi masalah yang diungkapkan, temuan-temuan dalam investigasi kelompok ini melibatkan seluruh mahasiswa dalam kelompoknya. Penyajian dalam kelompok dapat dilakukan dengan pembuatan makalah, dan gambar-gambar sesuai dengan hasil yang relevan dengan topik yang menjadi bahan permasalahan. Mahasiswa menemukan dan dapat memecahkan masalah secara ilmiah dan sistematis. Pada pertemuan ini secara berkelompok, mahasiswa diminta menguraikan isi dari penyelesaian masalah. Sumber-sumber yang dapat diperoleh melalui wawancar, observasi, studi pustaka. Langkah 5 : Mengevaluasi investigasi Langkah-langkah selanjutnya adalah mahasiswa dapat melakukan evaluasi terhadap hasik kerja yang dicapainya untuk dapat dijadikan bahan ukuran dalam membuat keputusan yang relevan. Pada tahap ini dilakukan refleksi atas penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa untuk disajikan bahan tindak lanjut sesuai dengan topik yang akan dibahas selanjutnya. Hasil penelitian yang berupa bahan investigasi mengevakuasi terhadap berjalannya pembelajaran menggunakan pendekatan kelompok inquiri. Penilaian kelompok juga merupakan bagian penting didalam pembelajaran investigasi untuk dapat diketahui sejauhmana ketercapaian terhadap indikator yang diperoleh dari mahasiswa. 7. Penilaian Penilaian dalam pendidikan merupakan bagian dalam proses pengumpulan, dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Kegiatan mengumpulkan informasi tersebut sebagai bukti untuk dijadikan dasar menetapkan terjadinya perubahan dan derajat perubahan yang telah dicapai sebagai hasil belajar peserta didik. Keputusan penilaian seperti lulus atau tidak lulus, telah mencapai standar penguasaan minimal kompetensi atau belum, dinyatakan dalam bentuk yang bersifat kualitatif, seperti baik sekali, baik, cukup, kurang, dan kurang sekali. Sebagai keputusan (judgement) dalam penilaian harus didukung oleh bukti-bukti sebagai data yang cukup yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik yang diperoleh melalui tahap pengukuran.melalui penilaian (assesment) peserta didik dan pendidik dapat mengetahui perkembangan didalam proses pembelajaran, sebagai bahan evaluasi didalam menentukan bahan pembelajaran yang didasarkan pada hasil belajar peserta didik. Dosen diharapkan mampu mengetahui secara detail mengenai kompotensi yang dimiliki oleh mahasiswa didalam melakukan tindakan pembelajaran sesuai dengan tema dan topik yang dijadikan bahan diskusi dikelas, kemudian dijadikan dalam mengalisis nilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Penilaian berfungsi dalam mengidentifikasi gejala yang ada pada peserta didik didalam proses kegiatan pembelajaran. Konteks pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan melalui pendekatan berbasis analisis nilai adalah dengan menggunakan beberapa teknik penilaian baik dengan tes maupun non. Instrumen yang digunakan pun bervariasi mulai dari observasi,wawancara, tes perbuatan, tes produk dan keterampilan/unjuk kerja.

Tes tertulis digunakan dengan tujuan untuk dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa didalam setiap topik pembahasan dengan menggunakan pendekatan berbasis analisis nilai. Berikut ini instrumen yang digunakan sebagai bahan didalam penilaian: Petunjuk Penilaian : 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa NO KRITERIA 1. MENYAJIKAN SITUASI DAN MERUMUSKAN PERTANYAAN Menampilkan topik yang dijadikan situasi masalah. Merumuskan dan mengidentifikasi pertanyaan Mendeskripsikan pertanyaan-pertanyaan inquiri 2. MERENCANAKAN INVESTIGASI Menjelaskan rencana investigasi (penelitian) Menyusun format secara sistematis terhadap pedoman investigasi MELAKSANAKAN INVESTIGASI Mencari sumber informasi dan data Mengumpulkan informasi yang sudah diperoleh Relevansi dengan bahan topik permasalahan MENYAJIKAN TEMUAN-TEMUAN Menyajikan hasil temuan dalam proses penelitian Menginventarisir hasil-hasil temuan untuk dapat dijadikan tindak lanjut. MENGEVALUASI INVESTIGASI Melaksanakan evalasui terhadap hasil penelitian secara berkelompok Mendeskripsikan bahan investigasi Melakukan penilain terhadap pencapaian hasil yang diperoleh. SKOR CATATAN

3.

4.

5.

C. Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter pada Mata Kuliah Bahasa Indonesia berbasis pada Penguatan Local Wisdom di Unswagati

1.

Tujuan Bahasa Indonesia merupakan mata kuliah yang wajib diberikan kepada mahasiswa di setiap perguruan tinggi. Bahasa Indonesia dipelajari dengan tujuan agar mahasiswa memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia. Sikap positif ini, menurut Zaenal Arifin dan Amran Tasai (2004:1), diwujudkan dalam bentuk: 1) kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, 2) kebanggaan berbahasa Indonesia, dan 3) kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan terhadap bahasa Indonesia akan mendorong mahasiswa memelihara dan melestarikan bahasa Indonesia dan mencegah adanya pengaruh bahasa asing dalam berbahasa. Kebanggaan terhadap bahasa Indonesia akan mendorong mahasiswa mengutamakan bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa dalam pemakaian bahasa sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun nonformal. Adapun kesadaran akan norma bahasa ditunjukkan dengan penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Bahasa Indonesia juga termasuk dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) bersama-sama dengan Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini berarti, bahasa Indonesia dapat dijadikan sarana pengembangan kepribadian mahasiswa menuju terbentuknya insan terpelajar yang mahir menggunakan bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan, baik lisan maupun tulisan. Mahasiswa, melalui mata kuliah ini, diharapkan mampu menggunakan kemahiran berbahasa Indonesia untuk mengembangkan diri sepanjang hayat. Sebagai mata kuliah pengembang kepribadian, penguasaan bahasa Indonesia diharapkan dapat mengembangkan berbagai kecerdasan, karakter, dan kepribadian. Orang yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik akan dapat mengekspresikan pemahaman dan kemampuan dirinya secara runtut, sistematis, dan logis. Hal ini dapat mengorganisasi karakter dirinya yang terkait dengan potensi daya pikir, emosi, dan keinginannya yang kemudian diekspresikan dalam berbagai bentuk, seperti artikel, proposal, laporan. Orang yang menguasai bahasa Indonesia dengan baik, ditegaskan Widjono (2007: 3), akan mampu memahami pemikiran dan pendapat orang lain. Kemampuan ini akan dapat mengembangkan karakter dan kepribadiannya melalui proses berpikir sinergis, yaitu kemampuan menghasilkan konsep baru berdasarkan pengalaman yang sudah dimilikinya bersamaan dengan pengalaman baru yang diperolehnya. Dampaknya, orang yang berkarakter demikian akan menjadi lebih cerdas dan kreatif dalam memanfaatkan situasi, stimulus, dan pengalaman baru yang diperolehnya. Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pengembang kepribadian juga diarahkan pada kemampuan berbahasa yang baik. Kemampuan ini didukung penggunaan bahasa yang santun, yaitu bahasa yang sopan, halus, menghargai orang lain, dan tidak menyinggung. Kemampuan ini didukung pula dengan penggunaan bahasa yang benar yaitu bahasa yang sesuai dengan kaidah dan aturan bahasa Indonesia yang berlaku. Kepribadian yang baik dapat diartikan bahwa perilakunya (ucapan, tindakan, perbuatan) baik dan dapat diterima orang lain. Karakter, watak, atau kepribadian seseorang salah satunya teridentifikasi dari bahasa yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, teratur, sistematis, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa

yang kasar, memaki, menghujat, memfitnah, mencela atau melecehkan, akan mencerminkan pribadi yang tidak berbudi. Mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai MPK menekankan keterampilan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional secara baik dan benar untuk menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sebagai perwujudan kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia (Rahayu, 2009: 5). Dalam kaitannya dengan pembelajaran, bahan kajian bahasa Indonesia dipadukan ke dalam kegiatan penggunaan bahasa Indonesia melalui empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Rahayu (2009: xii) menegaskan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia seyogyanya diberikan dalam sistem yang utuh menyeluruh meliputi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak peserta didik. Sebagai salah satu mata kuliah yang berperan penting dalam upaya pengembangan karakter dan peningkatan kompetensi berbahasa Indonesia sebagai pendukung kecakapan profesional individu dalam melaksanakan tugas profesi atau keahliannya, pembelajaran bahasa Indonesia seharusnya dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan dan kondusif yang dapat menumbuhkembangkan potensi kreatif peserta didik. Situasi tersebut dapat tercipta apabila pelaksanaan proses belajar mengajar sedapat mungkin dipusatkan pada aktivitas belajar peserta didik yang terlibat langsung secara internal dan emosional dalam proses belajar mengajar. Dalam pendekatan komunikatif ada beberapa model yang dapat diterapkan. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana pendidikan karakter akan diterapkan model bermain peran (role playing). Tujuan penggunaan model bermain peran (role playing) dalam perkuliahan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran Berbasis pada Pendekatan Belajar Aktif Bahasa merupakan keterampilan. Oleh karena itu, pembelajaran harus diarahkan pada keaktifan mahasiswa untuk berbahasa, seperti memahami, menggunakan/menerapkan, dan mengevaluasi pembelajaran. Pendekatan yang tepat yang mengaktifkan mahasiswa harus digunakan dalam pembelajaran, seperti melalui presentasi, pemecahan masalah, dan diskusi. Pendekatan komunikatif melalui model bermain peran tepat digunakan untuk melibatkan peserta didik secara penuh dalam pembelajaran. Mahasiswa dilibatkan sejak awal hingga akhir dalam pembelajaran, seperti memilih topik, merumuskan masalah, memilih pemeran, memerankan hingga mengevaluasi. 2. Pembelajaran menjadi Lebih Menyenangkan dan Bermakna Perkuliahan Bahasa Indonesia selama ini dianggap sebagai pembelajaran yang membosankan dan menjenuhkan karena selama ini pembelajaran lebih difokuskan pada penguasaan materi dan konsep. Pembelajaran Bahasa Indonesia juga dianggap enteng karena mahasiswa mengganggap sudah bisa dan sudah menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa identitas bangsa. Bahasa Indonesia digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mahasiswa sudah terbiasa dalam penggunaannya. Pembelajaran yang efektif, menarik, dan menyenangkan akan menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar. Model bermain peran dapat menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan menarik sehingga motivasi

belajar tumbuh. Pendekatan komunikatif melalui bermain peran ini dapat menumbuhkan kemampuan belajar aktif pada diri peserta didik. Melalui model ini diharapkan tercipta proses pembelajaran yang utuh menyeluruh melibatkan pikiran, sikap, dan perilaku mahasiswa. 3. Pembelajaran Menjadi Lebih Terintegrasi Perkuliahan Bahasa Indonesia terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pendekatan komunikatif melalui model bermain peran memadukan empat keterampilan ini dalam pembelajaran. Pendekatan komunikatif dengan model ini menekankan kemampuan dan kemahiran peserta didik dalam berkomunikasi. Pendekatan ini mengutamakan pemakaian bahasa sesuai dengan fungsinya sebagai alat komunikasi. Melalui berbagai pengalaman belajar, mahasiswa diharapkan mampu menguasai kemampuan berkomunikasi yang baik, santun, sopan, dalam berbagai situasi dan konteks, baik lisan maupun tulisan dengan memerhatikan etika berbahasa. 4. Pembelajaran Berbasis pada Nilai-Nilai Model bermain peran ini efektif dalam menyajikan dan mengembangkan nilai-nilai karakter, seperti kedisiplinan, tanggung jawab dalam mengemban tugas, dan kerja sama. Model ini menyajikan situasi masalah yang nyata dan aktual dalam kehidupan sehari-hari sehingga mahasiswa dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah. Pembelajaran dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan pengertian dan perasaan seseorang. Mahasiswa juga dapat memetik butir-butir hikmah serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan sendiri. 2. Nilai yang Dikembangkan Pendidikan karakter memiliki tujuan yang pasti apabila berpijak pada nilai-nilai karakter dasar manusia. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah/perguruan tinggi harus berpijak pada nilai-nilai yang diacu dan dikembangkan oleh sekolah/ perguruan tinggi tersebut. Sekait dengan ini, Lickona (Kesuma, dkk., 2011: 63) menyatakan bahwa pendidikan karakter di sekolah memiliki dua prinsip, yaitu terdapat nilai-nilai yang secara objektif, disepakati secara universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan sekolah hendaknya tidak hanya memapari para peserta didik dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga membantu mereka memahami, menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut. Muslich (2011: 129) menyatakan bahwa dalam pendidikan karakter sangat penting dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilainilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Adapun dalam kajian Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan bangsa saat ini adalah jujur, kerja keras, dan ikhlas (Kesuma, dkk., 2011: 16). Bahasa adalah produk budaya masyarakat pemakai bahasa. Bahasa menunjukkan identitas masyarakat itu sendiri. Unswagati yang berada di tengah-tengah masyarakat Cirebon yang plural memiliki nilai-nilai budaya, bahasa, dan karakter tersendiri yang menjadi ciri khas masyarakat Cirebon. Noer (2007: 9, 13, 41, dan 65)

mengidentifikasi karakter masyarakat dan nilai-nilai kehidupan masyarakat Cirebon yang bersikap santai, terbuka terhadap siapapun, terus terang/jujur, suka bersilaturahmi, toleransi, dan religius. Masyarakat Cirebon juga memiliki karakter lugas, tanggap, dan kreatif dalam melakukan pembaruan-pembaruan, terutama dalam bahasa. Selain itu, walaupun dialek bahasa Cirebon terdengar kasar sebagai ciri khas orang pesisir (pelabuhan), tidak menjamin pribadi yang kasar dan mudah tersinggung. Selain bahasa, hal lain yang menjadi simbol identitas diri suatu bangsa adalah kearifan lokal (local wisdom). Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal tersendiri yang merupakan pencerminan cara pandang, perilaku, sikap, nilai-nilai, sistem pengetahuan yang mengakar kuat dan menjadi pedoman hidup masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal ini bukan sesuatu yang diperoleh secara instan, melainkan melalui proses yang panjang, diwariskan secara turun-temurun dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, kearifan lokal menjadi budaya yang melekat kuat pada masyarakat pendukungnya. Sebagai suatu budaya yang mentradisi, kearifan lokal menjadi pengarah dalam bersikap, berperilaku, bertutur, berkehidupan. Kearifan lokal mengatur kehidupan masyarakat. Misalnya, mengatur dalam cara bertani yang baik, cara beternak, cara bergaul. Bahkan, sampai pada cara mengelola lingkungan alam sekitar mereka. Lebih dari itu, dengan kearifan lokal juga, masyarakat bereksistensi dan berdampingan secara damai. Mereka hidup dengan aman, tertib, dan teratur. Cirebon sebagai bagian dari wilayah Indonesia mempunyai kearifan lokal sendiri yang menjadi ciri khas dan jati diri yang membedakan dengan daerah lainnya. Kearifan lokal Cirebon juga menjadi pengarah dan pedoman hidup bagi masyarakatnya. Masyarakat Cirebon hidup berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh yang juga diwariskan secara turun-temurun dari generasi sebelumnya. Nilai-nilai ini mengikat dan mengatur kehidupan mereka. Mustakim dalam menyebutkan bahwa kearifan lokal dapat digali dari berbagai sumber yang hidup di masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi leluhurnya dalam bentuk pepatah, tembang, permainan, syair, kata bijak, dan berbagai bentuk lain39. Kearifan lokal masyarakat Cirebon dapat dilihat dalam bentuk pepatah, ajaran dan pemikiran, suluk dan kidung, babad, serat, dan sebagainya. Kearifan lokal ini sarat akan nilai-nilai luhur yang sepantasnya dijiwai dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, dikutip nilai-nilai luhur dalam Suluk Sujinah (Noer, 2009: 2) yang terjemahannya seperti berikut. .Dalam tata cara pergaulan hidup bermasyarakat hendaklah mematuhi hidup dan mempunyai watak terpuji, ialah sabar penuh pengertian, berbudi luhur, rendah hati, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh maupun congkak, tidak iri maupun dengki, dan bersyukur atas barang apa yang telah dicapai berkat ridla Tuhan. Di samping itu, hendaklah sadar bahwa manusia itu bersifat lemah, ibarat wayang yang hanya dapat bergerak atas kuasa dalang. Berdasarkan suluk itu, masyarakat Cirebon mempunyai nilai-nilai yang baik dan luhur yang dapat menumbuhkan kehidupan tenteram dan damai apabila masyarakat mau mematuhi dan memedomaninya dalam kehidupan sehari-hari. Sekait dengan kesantunan berbahasa, dapat kita baca dalam suluk itu bahwa dalam pergaulan hidup
39

http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/?q=detail_artikel/2603

tidak boleh mencela, harus jujur, tulus ikhlas, dan tidak congkak. Artinya, dalam berbahasa, kita tidak boleh mencela orang lain yang dapat menyakiti hati, berkata dengan sebenarnya, tidak berkata dengan maksud menyombongkan diri. Contoh lain dalam Ajaran Budi Pekerti Suluk dan Kidung (Noer, 2011: 11), yaitu Mituhua pitutur kang becik, yayi den kalakon, nyingkir ana jubriya kibire, lan sumungah aja anglakoni (Patuhilah nasihat utama dinda, semoga terlaksana, singkirkan watak congkak dan takabur, dan jangan pula angkuh). Contoh lain yang berbeda dibahas pada bagian materi pembelajaran. Namun, sayang nilai-nilai kearifan lokal ini kini seiring waktu telah memudar, meredup, kehilangan maknanya. Masyarakat tidak lagi berpegang pada nilai-nilai ini. Kearifan lokal hanya sekadar wacana yang didengung-dengungkan, tetapi tidak dihayati, dimaknai, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, seperti yang kita saksikan sehari-hari di dalam pergaulan dan juga di layar kaca, masyarakat saling menghujat, mencemooh, mencela, mengritik dengan tidak santun. menuding, dan bahasa, sikap, serta perilaku lain yang tidak mencerminkan jati diri masyarakat Indonesia yang sejak dulu terkenal akan sifat santun, sopan, lembut, dan ramah. Hal ini dilakukan bukan hanya oleh kalangan tidak terpelajar, bahkan dilakukan juga oleh kalangan terpelajar dan terdidik. Masyarakat Indonesia sudah kehilangan jati dirinya. Krisis identitas menjangkiti masyarakat kita. Pendidikan karakter melalui perkuliahan bahasa Indonesia bermaksud mengembalikan, menumbuhkembangkan, dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal agar masyarakat dapat berperilaku, bersikap, bertutur lebih baik, sopan, dan santun. Masyarakat juga dapat lebih bijak dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap persoalan yang timbul. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan masyarakat yang makmur, tenteram, dan damai. Setiap jenjang pendidikan harus dapat memberikan kontribusi positif bagi pembentukan karakter masyarakat, termasuk perguruan tinggi. Unswagati sebagai salah satu universitas yang tumbuh dan besar dalam lingkungan masyarakat Cirebon berkontribusi positif membangun mahasiswa dan masyarakat Cirebon yang berkarakter. Dalam hal ini, Unswagati mengembangkan nilai-nilai karakter tersendiri yang disebut dengan istilah lima pilar, yaitu kejujuran, profesionalisme, kerja sama, menjunjung tinggi lembaga, dan kedisiplinan. Lima pilar tersebut merupakan karakter atau identitas diri Unswagati yang membedakan dengan universitas lain di Cirebon. Seiring dengan memudarnya prinsip dan nilai kejujuran, profesionalisme, disiplin, kerjasama, dan penghormatan terhadap lembaga tempat bekerja, seluruh civitas akademika Unswagati berkomitmen bahwa sikap dan nilai tersebut harus menjadi nafas dalam bekerja. Dengan kata lain, lima pilar ini menjadi pedoman, pijakan, dan pengarah dalam bertindak, bersikap, berperilaku, serta beraktivitas di dalam dan di luar perkuliahan setiap mahasiswa, dosen, pegawai, bahkan seluruh civitas akademika Unswagati. Melalui lima pilar ini, Unswagati berharap menjadi universitas yang dapat menghasilkan lulusan-lulusan yang berkarakter, berkepribadian, berdaya saing tinggi, dan berkompeten. Lulusan Unswagati diharapkan mampu mengabdi dengan baik kepada masyarakat dan negara dalam segala bidang kehidupan. Hal ini berarti lulusan Unswagati tidak menyengsarakan kehidupan masyarakat dan tidak merugikan masyarakat dan negara seperti halnya yang dilakukan para pejabat kita saat ini. Lulusan Unswagati diharapkan dapat meningkatkan kehidupan masyarakat dalam segala bidang kehidupan sehingga tercipta kehidupan masyarakat dan bangsa yang

sejahtera, tenteram, dan damai. Bahkan, lebih dari itu lulusan diharapkan mampu mengharumkan nama Unswagati di Indonesia dan di kancah internasional. Berdasarkan uraian di atas, nilai-nilai yang akan dikembangkan dalam pendidikan karakter melalui perkuliahan Bahasa Indonesia memadukan nilai karakter dasar, nilai karakter masyarakat Cirebon, kearifan lokal Cirebon, serta terutama lima pilar nilai Unswagati. Secara rinci nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendekatan komunikatif melalui model belajar bermain peran (role playing) adalah sebagai berikut. 1. Bersahabat/ Komunikatif Sikap ini tumbuh dari tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Kegiatan berkelompok membuat dialog-dialog yang sesuai dengan topik dan ilustrasi serta memerankan peranan dalam dialog tersebut akan melatih kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Sikap ini juga diperoleh ketika mahasiswa harus mengomunikasikan gagasan kepada temannya pada saat kegiatan berdiskusi. Keterampilan mengemukakan pendapat yang sistematis, runtut, logis, dan lugas sangat diperlukan pada kegiatan ini agar mahasiswa lain (anggota forum diskusi) dapat memahami pendapat yang dikemukakan sehingga diskusi dapat berjalan dengan lancar. 2. Sopan dan Santun Sikap santun dapat tumbuh pada saat para mahasiswa memilih dan menggunakan kata-kata dan kalimat yang santun, tidak menyinggung, tidak menghina, tidak mencela, tidak merendahkan dalam dialog yang dibuat. Santun, menurut Asmani (2011: 39), merupakan sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang. Adapun hal kesopanan dapat terjadi apabila mahasiswa mampu memilih dan menggunakan tuturan yang memerhatikan identitas sosial budaya para partisipan (penutur dan lawan tutur), topik pertuturan, dan konteks waktu, situasi, dan tempat pertuturan berlangsung. 3. Toleransi Sikap ini diperoleh pada saat para mahasiswa mau menghargai dan menerima pendapat orang lain saat berdiskusi untuk memilih topik, mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul, dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah yang akan dijadikan sumber pembelajaran. 4. Disiplin Sikap ini tercermin dari kemauan dan kesadaran akan penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, penggunaan bahasa yang sopan dan santun, serta etika berbahasa yang baik. 5. Bertanggung jawab Sikap ini diperoleh pada saat para mahasiswa melaksanakan tugas membuat dialog, memainkan peranan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan topik yang dipilih berdasarkan keputusan bersama, dan mendiskusikan hasil pemeranan. 6. Jujur Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai orang yang selalu dapat dipercaya, baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Hal ini

diwujudkan dalam hal perkataan, tindakan, pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Sikap jujur diperoleh saat mahasiswa mengungkapkan ekspresi, perasaan, dan luapan emosi dengan sesungguhnya. Mahasiswa dapat memahami dan menghayati peran yang dimainkan dengan sepenuh hati. 7. Berpikir Kritis Sikap ini diperoleh ketika mahasiswa berdiskusi memilih topik masalah, mengidentifikasi masalah yang mungkin muncul, dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah. Sikap dan pola berpikir kritis dapat diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan identifikasi dan pemecahan masalah. 8. Tulus Ikhlas Sikap ini diperoleh ketika mahasiswa mau menerima segala putusan bersama dengan ikhlas, yaitu saat perumusan topik yang dipilih untuk bahan pemeranan, pemilihan pemain, dan pemilihan aternatif penyelesaian masalah. 9. Rendah Hati Sikap ini diperoleh ketika mahasiswa berpendapat dalam merumuskan topik dan memilih pemeran. Sikap ini tercermin ketika mahasiswa tidak merasa paling benar dan tidak merasa idenya yang paling baik ketika berpendapat. 10.Bekerja Sama Sikap ini diperoleh ketika mahasiswa berkelompok untuk mendiskusikan topik, membuat dialog, memilih pemeran, dan melakukan pemeranan. Kemampuan bekerja sama dikembangkan dalam tahap ini. Pendidikan karakter yang terpadu dalam pembelajaran merupakan pengenalan nilainilai, penyadaran akan pentingnya nilai, penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran yang berlangsung di dalam dan di luar kelas. Pendidikan karakter diimplementasikan melalui intervensi dan habitual action. Artinya, pendidikan karakter melalui perkuliahan Bahasa Indonesia dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas dan dalam pembiasan sehari-hari di lingkungan civitas akademika Unswagati. Pendidikan karakter dalam proses pembelajaran dibahas pada bagian F, yaitu pada bagian langkah-langkah pelaksanaan model. Adapun pembiasaan pendidikan karakter berbahasa Indonesia di atas, dapat dilakukan melalui kegiatan nonformal di luar kelas, seperti berikut. 1) Mahasiswa, dosen, staf pegawai menyapa dengan santun dan ramah saat bertemu, serta mengucapkan salam. 2) Mahasiswa meminta izin saat hendak keluar kelas dengan bahasa yang santun. 3) Mahasiswa bertanya dengan bahasa yang sopan dan santun, tidak bernada memerintah kepada dosen dan yang lain, baik lisan maupun tulisan (sebagai contoh dalam bahasa sms). 4) Keteladanan juga dilakukan oleh dosen dalam berbahasa Indonesia yang santun. Misalnya, menegur peserta didik yang tidak disiplin dengan bahasa yang tidak menyinggung dan menyakitkan hati. 5) Sikap disiplin diterapkan melalui datang tepat waktu dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan konteks dan situasi, baik lisan maupun tulisan.

Lomba pidato dan debat antarmahasiswa di Unswagati agar mahasiswa terbiasa berbahasa dengan sopan, santun, baik dan benar dengan memerhatikan kaidah berbahasa dan etika berbahasa. 7) Lomba demonstrasi yang santun agar mahasiswa terbiasa berdemonstrasi dengan etika dan bahasa yang santun, tidak menyinggung, mencela, dan menyakiti. 8) Diadakan UKM jurnalistik untuk mahasiswa yang menyukai bidang ini. Kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap bekerja sama, menghormati, menghargai, jujur, dan profesionalisme dalam bekerja. Kegiatan ini juga dapat menumbuhkan sikap disiplin dalam berbahasa. 3. Landasan Teoretis 1. Kesantunan Berbahasa Dalam berkomunikasi, kita harus memerhatikan beberapa hal, bukan saja siapa lawan tutur kita, tetapi juga lebih dari itu. Lubis (1994: 58) menyatakan bahwa dalam tiaptiap peristiwa tutur (percakapan), selalu terdapat faktor-faktor yang mengambil peranan, seperti penutur, lawan bicara, pokok pembicaraan, tempat pembicaraan, situasi pembicaraan. Faktor-faktor tersebut dapat menentukan ragam bahasa yang kita gunakan. Dell Hymes (Lubis, 1994: 84) menyebut faktor-faktor peristiwa tutur itu dengan istilah SPEAKING yang merupakan kependekkan dari: S : Setting atau scene, yaitu tempat pembicaraan dan suasana pembicaraan. P : Partisipan, yaitu pembicara, lawan bicara, dan pendengar. E : End atau tujuan, yaitu tujuan akhir pembicaraan. A : Act, yaitu suatu peristiwa ketika pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya. K : Key, yaitu nada dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya. I : Instrument, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya, secara lisan, tertulis, lewat telepon. N : Norma, yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap partisipan. G : Genre, yaitu jenis kegiatan pembicaraan yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan lain. Faktor-faktor yang dikemukakan di atas menjadi acuan dalam pembicaraan tentang kesantunan berbahasa karena faktor-faktor tersebut harus diperhatikan agar kita dapat berbahasa dengan santun. Dalam kaitannya dengan kegiatan berkomunikasi, Heatherington (Tarigan, 2009: 30) menyatakan bahwa ada tiga jenis prinsip kegiatan ujaran, yaitu kekuatan ilokusi (illocutionary force), prinsip-prinsip percakapan (conversational principles), dan presuposisi (presuppositions). Ketiga prinsip ini akan dibicarakan karena berkaitan dengan masalah kesantunan berbahasa. Austin membedakan tindak ujar menjadi tiga, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Schmidt dan Richards (Nadar, 2009: 14) menegaskan bahwa tindakantindakan tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi percakapan antara dua pihak, misalnya situasi perkuliahan, situasi perkenalan, situasi upacara keagamaan. Tindakan lokusi adalah melakukan tindakan untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah melakukan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu. Adapun tindak perlokusi adalah melakukan tindakan dengan menyatakan sesuatu. Tindak tutur ilokusioner dapat dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur.

6)

Prinsip-prinsip konversasi terdiri atas prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun. Keberhasilan suatu percakapan ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip ini. Prinsip kerja sama akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan prinsip sopan santun akan dibicarakan pada uraian selanjutnya (masalah kesantunan berbahasa). Grice dalam Rahardi (2005: 53) membagi prinsip kerja sama menjadi empat maksim, yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Berikut prinsip kerja sama Grice selengkapnya. a) Maksim kuantitas. Di dalam maksim ini, penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup dan seinforrmatif mungkin. Informasi tersebut harus sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur dan tidak berlebihan. b) Maksim kualitas. Dengan maksim kualitas, penutur dan lawan tutur diharapkan dapat menyampaikan suatu hal yang sebenarnya, nyata, dan sesuai dengan data dan fakta. c) Maksim relevansi. Maksim ini menghendaki peserta pertuturan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah atau topik yang dipertuturkan. d) Maksim pelaksanaan. Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan berbicara secara langsung, jelas, tidak kabur, tidak ambigu, dan tidak berlebihan. Faktor lain yang turut menentukan kelancaran percakapan selain dua faktor yang telah dibicarakan di atas adalah presuposisi. Chaer (2010: 32) mengemukakan bahwa presuposisi (praanggapan, perkiraan) adalah pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur yang melatarbelakangi suatu tindak tutur. Ada tiga hal utama yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi agar kita disebut sebagai manusia yang beradab, yaitu kesantunan berbahasa, kesopanan berbahasa, dan etika berbahasa. Ketiga hal ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan yang harus ada ketika berkomunikasi. a. Teori Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa lebih berkenaan dengan substansi bahasanya. Kesantunan, menurut Chaer (2010: vii), mengacu pada unsur-unsur bahasa (kalimat-kalimat, kata-kata, atau ungkapan-ungkapan yang digunakan). Beberapa pakar yang membahas masalah kesantunan berbahasa, antara lain Brown dan Levinson, Leech, dan Pranowo. Secara singkat dan umum, menurut para pakar itu, ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality for camaraderie) (Chaer, 2010: 10). Teori-teori kesantunan tersebut akan menjadi acuan kesantunan berbahasa dalam pembahasan ini. 1) Teori Kesantunan Leech Leech mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principle) yang dijabarkan menjadi enam maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact), kedermawanan/penerimaan (generosity), kemurahan/penghargaan (approbation), kesederhanaan/kerendahan (modesty), kesetujuan/permufakatan (agreement), dan kesimpatian (sympathy). Berikut uraian tiap maksim beserta dengan contoh-contohnya. a) Maksim Kebijaksanaan. Maksim ini menghendaki agar para peserta pertuturan harus mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Contohnya pada tuturan berikut. (1) Bawakan daftar hadir mahasiswa! (2) Bawakanlah daftar hadir mahasiswa! (3) Sudilah kiranya membawakan daftar hadir mahasiswa! (4) Kalau tidak keberatan sudilah membawakan daftar hadir mahasiswa!

Tuturan-tuturan tersebut makin ke bawah makin santun. Dari contoh tersebut, Chaer (2010: 56-57) menyimpulkan semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya; tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung; dan memerintah dengan kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah. b) Maksim kedermawanan. Dengan maksim ini, peserta tutur harus memaksimalkan kerugian diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Contoh dalam pertuturan (5) dan (6) berikut. (5) Pinjami saya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia! (6) Saya akan meminjami Anda buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia! Tuturan (5) terasa kurang santun karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya, sedangkan tuturan (6) terasa lebih santun karena penutur berusaha memaksimalkan kerugian diri sendiri. c) Maksim Penghargaan. Maksim ini menghendaki agar peserta tutur saling menghormati. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta tutur tidak saling mencaci, saling mengejek, atau saling merendahkan. Contoh dalam pertuturan berikut. (7) A : Tas yang dipakai Ibu bagus; isinya besar lagi! B : Wah, tidak juga. Menurut saya hampir sama ukurannya dengan tas yang Ibu pakai. d) Maksim Kesederhanaan. Maksim ini menghendaki setiap peserta tutur bersikap rendah hati dan hormat dengan cara mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Rahardi (2005: 64) menyatakan bahwa dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan. Contoh pertuturan sebagai berikut. (8) A : Nanti mbak yang menyampaikan sambutan untuk perwakilan juri, ya! B : Wah, jangan suara saya lagi serak, loh. Informasi pertuturan: dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang bersama-sama menjadi juri lomba puisi pada kegiatan yang dilaksanakan mahasiswa. e) Maksim Permufakatan. Di dalam maksim ini, dikehendaki agar peserta tutur dapat saling membina kemufakatan, yaitu dengan memaksimalkan kesetujuan dengan orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan. Contoh dapat dilihat pada pertuturan (9) berikut. (9) A : AC di ruangan kelas ini tidak menyala, ya. Rasanya panas sekali! B : Ya, memang sangat panas udaranya. f) Maksim Simpati. Maksim kesimpatian mengharuskan para peserta tutur agar memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipasti kepada orang lain. Berikut contoh pertuturannya. (10) A : De, minggu depan Kakak ujian proposal tesis. B : Ya, Kak. Mudah-mudahan lancar dan sukses menempuh ujiannya. 2) Teori Kesantunan Brown dan Levinson Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa berkisar atas muka (face). Muka (face) ini, menurut Brown dan Levinson (Nadar, 2009: 161) dapat dibedakan menjadi dua yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang. Muka negatif adalah keinginan setiap orang agar tindakannya tidak dihalanghalangi pihak lain. Adapun muka positif adalah keinginan setiap orang agar dirinya dapat diterima pihak lain. Muka ini harus dijaga dan tidak boleh direndahkan orang. Sebagai contoh, kalimat yang berupa perintah atau permintaan akan mengancam muka negatif. Hal

ini terjadi karena dengan memerintah atau meminta seseorang melakukan sesuatu, kita telah menghalangi kebebasannya melakukan sesuatu. 3) Teori Kesantunan Pranowo Pranowo, Guru Besar Universitas Sanata Dharma, tidak memberikan teori kesantunan berbahasa, tetapi memberikan pedoman berbicara secara santun. Menurut Pranowo (Chaer, 2010: 62), suatu tuturan akan terasa santun apabila memerhatikan hal-hal berikut. a) Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita. b) Mempertemukan perasaan penutur dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan. c) Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati. d) Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidakmampuan penutur di hadapan lawan tutur. e) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisin lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. f) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur. Lalu, yang berkenaan dengan bahasa, Pranowo (Chaer, 2010: 62) menyarankan diksi yang sebaiknya digunakan agar tuturan terasa santun sebagai berikut. a) Gunakan kata tolong untuk meminta bantuan pada orang lain. b) Gunakan kata maaf untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain. c) Gunakan kata terima kasih sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain. d) Gunakan kata berkenan untuk meminta kesediaan orang lain melakukan sesuatu. e) Gunakan beliau untuk menyebut orang ketiga yang dihormati. f) Gunakan kata bapak/ibu untuk menyapa orang ketiga. b. Penyebab Ketidaksantunan Untuk dapat memahami, menguasai, dan menggunakan bahasa secara santun, Pranowo dalam Chaer (2010: 69) menyebutkan adanya beberapa faktor yang menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun, antara lain 1) mengeritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar; 2) dorongan emosi penutur; 3) sengaja menuduh lawan tutur; 4) protektif terhadap pendapat sendiri; dan 5) sengaja memojokkan lawan tutur. Contoh-contoh dalam pertuturan diangkat dari Pranowo (Chaer, 2010). 1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar akan menyebabkan pertuturan menjadi tidak santun. Berikut contoh tuturannya. (11) Pidato-pidato pimpinan Dewan selama ini jelas menunjukkan bahwa kaliber pimpinan memang payah. Tuturan yang langsung di atas menjadi lebih tidak santun. Kata payah pada kalimat di atas akan menyinggung perasaan lawan tutur. Hal ini akan melanggar muka negatif lawan tutur yang seharusnya dijaga. Akan sedikit lebih santun kalau kata payah diganti belum bekerja maksimal. 2) Dorongan rasa emosi penutur Dorongan emosi penutur terkadang berlebihan ketika bertutur sehingga terkesan penutur marah kepada lawan tutur. Contoh terdapat pada tuturan berikut. (12) Tidak apa-apa, KPK kan tukang geledah 3) Protektif terhadap pendapat

Seringkali ketika bertutur seorang penutur protektif terhadap pendapatnya sehingga lawan tutur tidak dipercaya pihak lain. Berikut contoh tuturannya. (13) Silakan kalau mau banding. Kita nggak masalah. Sebab dari awal Tomy tidak melakukan perbuatan melawan hukum. 4) Sengaja menuduh lawan tutur Seringkali penutur menuduh lawan tutur dalam tuturannya sehingga tuturan menjadi tidak santun. Berikut contoh tuturannya. (14) Pemerintah ngawur. Mbok ya tahu kondisi orang-orang seperti saya. Dengan solar Rp 4500,- per liter dan tarif Rp 2.000,- penumpang sudah sepi karena memilih naik motor. 5) Sengaja memojokkan mira tutur Pertuturan dapat menjadi tidak santun karena dengan sengaja penutur ingin memojokkan lawan tutur. Berikut contoh tuturannya. (15) Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membumbung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik. c. Kesopanan Sebuah pertuturan dianggap benar kalau tuturan itu mematuhi keempat maksim kerja sama Grice. Tuturan juga akan dianggap santun kalau mematuhi keenam maksim kesopanan Leech. Namun selain santun, dalam berbahasa pun harus sopan. Kesopanan mengacu pada pantas tidaknya suatu tuturan disampaikan kepada lawan tutur. Meskipun kalimat-kalimat yang digunakan santun, menurut Chaer (2010: 76), masalah sopan tidaknya sebuah pertuturan, tergantung pada tiga hal pokok, yaitu (1) identitas sosial budaya para partisipan (penutur dan lawan tutur); (2) topik petuturan; dan (3) konteks waktu, situasi, dan tempat pertuturan berlangsung. Ketiga hal itu, selain menentukan pilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu juga menentukan ukuran peringkat kesantunan yang berbeda. Identitas sosial budaya penutur dan lawan tutur di dalam satu pertuturan harus dilihat dari pihak penutur terhadap lawan tutur. Identitas sosial budaya ini dapat dilihat dari segi usia. Faktor usia penutur dan lawan tutur akan menyebabkan dipilihnya kata sapaan tertentu yang dianggap tepat, sopan, dan santun. Identitas sosial budaya juga dapat dilihat dari tingkat perekonomian, pendidikan, kekerabatan, jabatan, atau kedudukan dalam organisasi kemasyarakatan. Topik tuturan sebagai materi yang dipertuturkan dapat mengenai masalah apa saja yang terjadi di masyarakat. Misalnya, tentang pendidikan, kesehatan, anak, hal-hal yang berbau porno, pekerjaan. Layak tidaknya topik ini dituturkan bergantung pada faktor-faktor tertentu, misalnya usia penutur dan lawan tutur. Konteks situasi berkenaan dengan masalah tempat, waktu, dan suasana psikologis. Tempat dapat di mana saja, seperti ruang kuliah, kamar praktik dokter, ruang rapat. Waktu kapan saja, seperti pagi, siang, malam. Adapun suasana psikologis, misalnya, sangatlah tidak sopan kalau di tempat kematian kita berbicara dengan suara keras dan gembira dan membicarakan masalah ulang tahun meskipun tuturannya memenuhi persyaratan kesantunan. Faktor lain yang menentukan sopan tidaknya sebuah pertuturan adalah tujuan pertuturan. Sebagai contoh topik seks. Kalau yang terlibat dalam pertuturan itu adalah pasien dengan dokter di ruang praktik dengan tujuan pengobatan tentu saja pertuturan

tersebut wajar dan sopan. Sebaliknya, jika topik itu dilakukan untuk bertutur saja, pertuturan tentang seks itu akan menjadi sesuatu yang tidak sopan dan tidak wajar. d. Etika Berbahasa Perilaku verbal berbahasa akan selalu diikuti oleh perilaku nonverbalnya. Oleh karena itu, etika berbahasa pun harus selalu diperhatikan karena berkenaan dengan sikap fisik dan perilaku dalam bertutur. Etika berbahasa berkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Seseorang baru dapat dikatakan pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Dengan demikian, untuk dapat berbahasa dengan santun, sopan, dan dengan perilaku yang sesuai dengan etika berbahasa, kita harus memenuhi persyaratan bahwa kita telah dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Etika berbahasa, menurut Clifford Geertz (Chaer, 2010: 6), akan mengatur kita dalam hal (1) apa yang harus dikatakan kepada seorang lawan tutur pada waktu dan keadaan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (2) ragam bahasa yang paling wajar digunakan dalam waktu dan budaya tertentu; (3) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran kita berbicara dan menyela atau menginterupsi pembicaraan orang lain; (4) kapan kita harus diam, mendengar tuturan orang; (5) bagaimana kualitas suara kita keras, pelan, meninggi, dan bagaimana sikap fisik kita dalam berbicara itu. Chaer (2010:109) menyimpulkan jika kita ingin bertutur dengan santun, ada sejumlah larangan yang sebaiknya tidak dilanggar dan ada sejumlah keharusan yang sebaiknya dilaksanakan. Hal-hal yang berupa larangan dan sebaiknya tidak dilanggar, yaitu (1) jangan mempermalukan lawan tutur; (2) jangan menyombongkan diri; (3) jangan menghina orang lain; (4) jangan menunjukkan perasaan senang terhadap kemalangan orang lain; (4) jangan menyatakan ketidaksetujuan dengan lawan tutur; (5) jangan menggunakan kalimat langsung untuk menyuruh atau menolak permintaan lawan tutur; dan (6) jangan memaksa lawan tutur melakukan sesuatu. Ada beberapa hal yang harus dilakukan jika ingin berbicara santun, yaitu (1) membuat lawan tutur merasa senang; (2) memberi pujian kepada lawan tutur; (3) menunjukkan persetujuan kepada lawan tutur; (4) menunjukkan sikap rendah hati terhadap lawan tutur; (5) memberi simpati pada lawan tutur; (6) menggunakan kosakata yang secara sosial budaya terasa lebih santun dan sopan; (7) menggunakan kata sapaan dan kata ganti yang sesuai dengan identitas sosial penutur dan lawan tutur; (8) menggunakan kata maaf bila harus menyebut kata-kata yang dianggap tabu; (9) menggunakan kalimat tidak langsung dalam menyuruh; (10) menggunakan kalimat berputar dalam menolak suatu suruhan, ajakan, atau permintaan; (11) menggunakan kata maaf disertai dengan penjelasan ketika meminta maaf dan akan lebih santun lagi kalau diawali dengan kata mohon; dan (12) menggunakan kata mohon untuk meminta bantuan. Tuturan yang santun tidak akan berarti jika tidak disertai dengan sikap atau perilaku yang santun sesuai dengan norma sosial budaya yang berlaku, seperti (1) berikan perhatian penuh ketika lawan tutur berbicara; (2) berikan senyuman yang disertai anggukan kepala; (3) simaklah baik-baik tuturan lawan tutur; (4) jangan cepat-cepat dan selalu menyela ketika lawan tutur berbicara; (5) jangan meninggalkan tempat pertuturan kalau tidak diizinkan; (6) jangan menyuruh lawan tutur mendengarkan tuturan, tetapi kita tidak menyimak tuturan mereka. 2. Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa diilhami oleh suatu teori yang memandang bahasa sebagai alat berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, tujuan pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh Hymes disebut kompetensi komunikatif. Pendekatan komunikatif menitikberatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi. Pendekatan komunikatif memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa. Dengan kata lain, bahasa untuk tujuan tertentu dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam pendekatan komunikatif, yang menjadi acuan adalah kebutuhan si terdidik dan fungsi bahasa. Pendekatan komunikatif berusaha membuat si terdidik memiliki kecakapan berbahasa. Dengan sendirinya, acuan pokok setiap unit pelajaran ialah fungsi bahasa dan bukan tata bahasa. Dengan kata lain, tata bahasa disajikan bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sarana untuk melaksanakan maksud komunikasi. Iskandarwassid dan Sunendar (2008: 55) menyebutkan ciri pendekatan komunikatif sebagai berikut. a. Acuan berpijaknya adalah kebutuhan peserta didik dan fungsi bahasa; b. Tujuan belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya; c. Silabus pengajaran harus ditata sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa; d. Peranan tatabahasa dalam pengajaran bahasa tetap diakui; e. Tujuan utama komunikasi yang bertujuan; f. Peran pengajar sebagai pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam berkomunikasi diperluas; g. Kegiatan belajar harus didasarkan pada teknik-teknik kreatif peserta didik sendiri, dan peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.

Strategi belajar-mengajar dalam pendekatan komunikatif didasarkan pada cara belajar peserta didik/mahasiswa, yang sekarang dikenal dengan istilah Student Centered Learning (SCL). Peserta didik distimulasi dengan pengalaman-pengalaman belajar yang membuat mereka aktif dan terlibat penuh sehingga pembelajaran dirasakan lebih bermakna. Prinsip dasar pendekatan komunikatif dalam proses pembelajaran ialah: a) materi harus terdiri dari bahasa sebagai alat komunikasi; b) desain materi harus menekankan proses belajar-mengajar dan bukan pokok bahasan; dan c) materi harus memberi dorongan kepada pelajar untuk berkomunikasi secara wajar. Tarigan (2009: 224) menyatakan bahwa pendekatan komunikatif menggunakan prosedur-prosedur sebagai wadah para pembelajar bekerja berpasang-pasangan atau berkelompok-kelompok memanfaatkan sarana-sarana/sumber-sumber bahasa yang tersedia dalam tugas-tugas pemecahan/penyelesaian masalah. Tarigan (2009: 241) juga menambahkan bahwa pendekatan komunikatif dalam proses pembelajaran dapat dilaksanakan melalui berbagai ragam permainan, permainanperan, simulasi dan kegiatan-kegiatan komunikasi yang berdasarkan tugas telah dipersiapkan untuk menunjang/menyokong kegiatan-kegiatan dalam kelas. Selanjutnya, untuk memahami hakikat pendekatan komunikatif, menurut Syafiie (Solehamin, 2010) ada delapan hal yang perlu diperhatikan, yaitu teori bahasa, teori belajar, tujuan, silabus, peranan pendidik, peranan peserta didik, tipe kegiatan, dan peranan materi. Uraian kedelapan hal itu sebagai berikut. a. Teori Bahasa

Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi semantik dan komunikatif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif yang perlu ditonjolkan ialah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa. b. Teori Belajar Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dan dituntut untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini salah satunya ialah teori belajar bermakna Ausubel. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif apabila bahasa diajarkan melalui komunikasi langsung. c. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan tujuan yang lebih mencerminkan kebutuhan peserta didik yaitu kebutuhan berkomunikasi. Oleh karena itu, tujuan umum pembelajaran bahasa ialah mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi). d. Silabus Silabus disusun searah dengan tujuan pembelajaran, yang harus diperhatikan ialah kebutuhan para pembelajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dan materi yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. e. Tipe Kegiatan Tipe kegiatan komunikasi dapat berupa kegiatan tukar informasi, negosiasi makna, atau kegiatan berinteraksi. f. Peranan Pendidik Pendidik berperan sebagai fasilitator, konselor, dan manajer proses pembelajaran. Yang lebih diutamakan adalah keterlibatan dan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. g. Peranan Peserta didik Peranan peserta didik sebagai pemberi dan penerima, sebagai negosiator dan interaktor. Di samping itu, pelatihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya menguasai struktur bahasa, tetapi menguasai pula bentuk dan maknanya dalam kaitan dengan konteks pemakaiannya. h. Peranan Materi Materi disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi yang nyata. Materi berfungsi sebagai sarana yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Menurut tarigan (2009: 240), ada tiga jenis materi yang dewasa ini dipakai dalam pendekatan komunikatif, yaitu materi yang berdasarkan teks, materi yang berdasarkan tugas, materi realita, otentik, dari kehidupan nyata. Misalnya, iklan, koran, dan majalah yang berkaitan dengan kegiatan komunikatif. 4. Model Pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang manusia senantiasa berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai individu, manusia memiliki suatu pola yang unik saat berinteraksi dengan manusia lain. Ia menaruh rasa senang, curiga, percaya, dan lain-lain terhadap manusia lain. Akan tetapi, perasaan dan sikap itu diarahkan pula kepada dirinya. Perasaan dan sikap terhadap orang lain dan diri sendiri itu memengaruhi pola respons individu terhadap individu lain atau situasi-situasi di luar dirinya. Respons seseorang terhadap orang lain atau suatu situasi berbeda-beda.

Beberapa orang merespons baik dan mendekat bila senang; bila tak senang dan curiga, respons menjauh. Manifestasi-manifestasi perilaku itulah yang disebut peran. Peran dapat didefinisikan sebagai Suatu rangkaian perasaan, ucapan, dan tindakan. Peran merupakan suatu pola hubungan unik dan membiasa yang ditunjukkan seorang kepada individu lain. (Dahlan, 1984: 124) Chester dan Fox dalam Joyce dan Weil (2009: 330) menyatakan bahwa peran adalah rangkaian perasaan, kata-kata, dan tindakan. Peran merupakan sebuah alat yang unik dan lumrah dalam berhubungan dengan orang lain. Peran yang dimainkan individu dalam hidupnya dipengaruhi oleh persepsi individu itu terhadap dirinya dan individu lain. Untuk dapat berperan dengan baik, diperlukan pemahaman terhadap peran yang aku dan engkau mainkan. Selain dalam tindakan, pemahaman terhadap penentuan peran, yakni perasaan, persepsi, dan sikap, juga diperlukan. Dengan demikian, bermain peran berusaha membantu individu untuk memahami perannya sendiri dan peran orang lain dan mengerti perasaan, sikap, dan nilainilai yang mendasarinya. Konsep peran merupakan salah satu pusat teori dasar dari model bermain peran. Konsep peran juga menjadi tujuan utama model ini. Dalam pembelajaran, peserta didik dibimbing bagaimana menggunakan konsep ini, memerhatikan beberapa peran yang berbeda, persepsi dan perilaku setiap orang, situasi permasalahan, dan solusi permasalahan. Untuk itu, dalam menciptakan bagian inti dalam pengalaman bermain peran, konsep peran harus dikukuhkan, tetapi tetap harus dijaga sepanjang proses aktivitas bermain peran. Model bermain peran, menurut Joyce dan Weil (2009: 321), berperan untuk: a) mengeksplorasi perasaan siswa; b) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa; c) mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan tingkah laku; dan d) mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda. Bermain peran dapat bermanfaat bagi pemeran dan pengamat bergantung pada kualitas pemeranan, analisis yang dilakukan melalui diskusi, dan persepsi siswa terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata. Shaftels (Joyce dan Weil, 2009: 332) mengidentifikasi sembilan langkah bermain peran, yaitu memanaskan suasana kelompok, memilih partisipan, mengatur setting tempat kejadian, menyiapkan peneliti, pemeranan, diskusi dan evaluasi, memerankan kembali, berdiskusi dan mengevaluasi, saling berbagi dan mengembangkan pengalaman. Adapun asumsi yang mendasari model bermain peran adalah sebagai berikut. a) Secara implisit bermain peran mendukung situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan dimensi di sini dan kini sebagai isi pengajaran. b) Bermain peran memberi kemungkinan kepada para peserta didik untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tidak dapat mereka kenali tanpa bercermin pada orang lain. c) Model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. d) Model ini juga mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi berupa sikap-sikap, nilai-nilai, perasaaan-perasaan, dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya. Bermain peran (role playing) merupakan sebuah model pembelajaran yang berakar pada dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu masing-masing peserta didik untuk menemukan makna dari dunia sosial yang bermanfaat bagi mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi melalui proses kelompok sosial. Dalam dimensi sosial, model ini memudahkan individu untuk bekerjasama dalam menganalisis situasi-

situasi sosial, terutama masalah hubungan antarindividu. Model ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Bermain peran diawali dengan suatu situasi permasalahan dalam kehidupan peserta didik. Melalui bermain peran, peserta didik mengeksplorasi masalah-masalah tentang hubungan antarmanusia dengan cara memeragakannya dalam suatu situasi permasalahan. Setelah itu, peserta didik mendiskusikan hasil pemeranan dan peraturan-peraturan dalam pemeranan. Secara bersama-sama, peserta didik bisa mengungkapkan perasaan, tingkah laku, nilai, dan strategi pemecahan masalah. Melalui bermain peran juga dapat dijelaskan bagaimana nilai-nilai yang ada dalam diri para peserta didik dapat menentukan perilaku dan menumbuhkan kesadaran mereka terhadap nilai-nilai moral. Efek langsung bermain peran, menurut Joyce dan Weil (2009: 326), adalah pemahaman mengenai sikap empati terhadap perbedaan-perbedaan nilai moral saat berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, diperolehnya strategi untuk memecahkan masalah dengan tetap menghargai perbedaan sudut pandang tanpa mengabaikan kebutuhan adanya nilai-nilai kemanusiaan universal. Model bermain peran adalah model yang fleksibel, serbaguna, dan dapat diterapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang penting. Melalui bermain peran, peserta didik dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengenali dan memperhitungkan perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, dapat memiliki perilaku baru dalam menghadapi situasi sulit yang tengah dihadapi, dan dapat meningkatkan keterampilan memecahkan masalah. Ada dua alasan dasar mengapa seorang pendidik memutuskan untuk menerapkan model bermain peran. Alasan pertama adalah memulai program pendidikan sosial yang sistematis karena bermain peran menyediakan banyak materi untuk didiskusikan dan dianalisis. Untuk itu, sebuah masalah dalam situasi tertentu mungkin akan dipilih. Alasan kedua adalah membantu siswa memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Masalah sosial yang layak diangkat dan dieksplorasi melalui model ini adalah sebagai berikut. a) Konflik antarpribadi. Fungsi utama bermain peran adalah memunculkan konflik antara beberapa orang sehingga peserta didik dapat menemukan teknik untuk mengatasinya. b) Relasi dalam kelompok. Masalah antarpribadi yang menyangkut status sosial, etnis, ide, dan sebagainya dapat muncul dalam proses pembelajaran. c) Dilema individu. Dilema muncul tatkala individu dihadapkan pada dua pilihan antara kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain atau antara dua nilai yang bertentangan. Bermain peran membantu peserta didik keluar dari dilema. d) Masalah historis atau kontemporer. Hal ini mencakup situasi yang bermasalah, baik di masa kini maupun masa lalu. Misalnya, pembuat kebijakan, hakim, pemerintah yang menghadapi suatu masalah dan harus membuat keputusan. Jenis-jenis masalah yang dikemukakan di atas harus dipilih berdasarkan relevansinya dengan dunia peserta didik dan kebermaknaannya bagi mereka. Dalam memilih masalah-masalah tersebut, pendidik harus memerhatikan usia peserta didik, latar belakang budaya para peserta didik, kompleksitas situasi masalah, kepekaan topik yang diangkat sebagai masalah, dan pengalaman para peserta didik dalam memainkan peran. Dalam pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Indonesia, model bermain peran diarahkan agar mahasiswa dapat berinteraksi dengan menggunakan bahasa yang santun, sopan, dan etika yang baik dengan mahasiswa lain. Mahasiswa bekerja sama

memainkan peran untuk memecahkan masalah yang telah mereka tentukan. Mahasiswa juga dapat belajar memahami perasaan, sikap, dan perilaku mahasiswa lain. Selama interaksi berlangsung, setiap mahasiswa dapat melatih sikap empati, simpati, menumpahkan rasa senang, benci, marah, dan sebagainya. Inti bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat ke dalam suatu situasi masalah yang dihadapi. Dalam menumpahkan segala perasaan dan emosinya, mahasiswa diharapkan dapat berbahasa dengan baik, sopan, dan santun. Perilaku berbahasa ditunjukkan dengan etika berbahasa yang baik, seperti menunjukkan sikap hormat ketika bertemu dengan orang lain, tersenyum, ramah. 5. Deskripsi Model Bermain Peran 1. Orientasi Model Bermain Peran Sebelum sampai pada pembahasan bagaimana desain pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah belajar dalam konteks pendidikan karakter. Pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang teoriteori belajar perlu dikuasai oleh setiap pendidik dalam merancang suatu model pembelajaran. Hal ini dapat membantu dalam memilih dan menerapkan prinsip prinsip dan pendekatan- pendekatan spesifik yang sangat diperlukan untuk mendesain sebuah program pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik. Teori-teori ini meliputi teori belajar, filsafat pendidikan, pendekatan komunikatif, pendidikan karakter dan nilai. Semua teori mengacu pada orientasi model pembelajaran bermain peran (role playing) sebagai model pendidikan karakter dalam Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Menurut Gagne (Suprijono, 2009: 2), belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah. Skinner (Syah, 2002:64) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Syah (2002:68) menyimpulkan bahwa belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Dengan demikian, seorang individu dikatakan telah mengalami proses belajar apabila terjadi perubahan perilaku dalam dirinya. Perubahan perilaku tersebut tidak diperoleh secara alami, tetapi dapat terjadi sebagai hasil pengalaman dan proses adaptasi dengan lingkungannya. Belajar yang bermakna akan lebih membekas dalam diri para peserta didik. Teori belajar bermakna dikemukakan oleh Ausubel (Trianto, 2011: 95). Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui peserta didik. Dengan demikian agar terjadi belajar bermakna, konsep atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsepkonsep yang sudah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Model bermain peran menekankan proses pemecahan masalah, terutama hubungan antarindividu. Peserta didik belajar menemukan makna dirinya dari dunia sosial. Dalam pandangan belajar sosial, manusia tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus-stimulus lingkungan. Namun, fungsi psikologi diterangkan sebagai interaksi yang kontinu dan timbal balik dari determinan pribadi dan determinan lingkungan (Bandura dalam Dahar, 2011: 22).

Prinsip dasar belajar Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Sekait dengan ini Bandura (Syah, 2002: 107) menyatakan bahwa pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral peserta didik ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan) dan imitation (peniruan). Dengan demikian, seorang peserta didik belajar mengubah perilakunya melalui pengamatan terhadap cara orang atau sekelompok orang merespons stimulus tertentu. Dalam filsafat pendidikan, muncul mahzab atau aliran progresivisme. Aliran ini identik dengan nama besar Jhon Dewey (1859-1952). Teori filsafat pendidikan Dewey (Alwasilah, 2008: 105) menstimulasi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Dewey pun menyatakan bahwa sekolah harus membuat peserta didik cerdas dan pendidik harus merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu peserta didik. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan terampil berbahasa baik lisan maupun tulisan. Pendekatan komunikatif menitikberatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi. Dengan kata lain, pendekatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi. Melalui berbagai aktivitas pembelajaran yang melibatkan peserta didik, diharapkan siswa menguasai ragam bahasa dalam berkomunikasi yakni kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan. Dalam konsep pendidikan karakter, Fakry Gaffar (Kesuma, dkk., 2011: 5) menyatakan bahwa sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Pendidikan karakter dalam setting sekolah didefinisikan sebagai Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. (Kesuma, dkk., 2011: 5). Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tak layak, adil dan tak adil, dan sebagainya. Nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria tentang baik dan buruk dan sebagainya sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Asmani (2011: 27) mengutip dari metronews.fajar.co.id bahwa karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, serta meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Dalam proses pembelajaran, Muslich (2011: 130) mengemukakan bahwa siswa memahami nilai-nilai inti dengan memelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Pemahaman tentang teori-teori belajar, pendekatan, dan nilai di atas menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan karakter karena sikap dan perilaku yang berkarakter itu terbangun melalui proses belajar, bukan suatu yang instan dan kebetulan. Pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Indonesia menekankan kemampuan siswa berbahasa Indonesia yang sopan dan santun dengan memerhatikan etika berbahasa. Pendekatan komunikatif melalui model bermain peran memokuskan pembelajaran yang menyenangkan, menarik, dan melibatkan mahasiswa. Mahasiswa memahami nilai-nilai dengan mengamati perilaku model, mendiskusikan, dan mempraktikkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Dengan model ini pada akhirnya diharapkan mahasiswa

dapat berkomunikasi dalam berbagai situasi dan konteks dengan menggunakan bahasa yang santun, sopan, baik, dan benar sesuai dengan kaidah dan etika berbahasa. 2. Model Pembelajaran Bermain Peran a. Sintaks Model bermain peran dimainkan dalam beberapa rangkaian tindakan, yaitu menguraikan sebuah masalah, memeragakan, dan mendiskusikan masalah tersebut. Beberapa peserta didik bertugas sebagai pemeran, sedangkan yang lainnya sebagai pengamat. Seseorang menempatkan dirinya dalam posisi orang lain dan mencoba berinteraksi dengan orang lain yang juga mendapatkan tugas sebagai pemeran. Semua luapan emosi, rasa simpati, empati, kemarahan, dan kasih sayang yang merupakan bagian kehidupan juga dilibatkan dalam praktik pemeranan ini. Ketika peragaan selesai, pengamat kemudian terlibat dalam upaya mengetahui beberapa hal, seperti apa solusi setiap permasalahan, apa sumber pertengkaran, dan dapatkah model bermain peran dijadikan sebuah pendekatan dalam situasi tersebut. Shaftel mengemukakan sembilan tahap bermain peran, yakni (1) merangsang semangat kelompok; (2) memilih pemeran; (3) mempersiapkan pengamat; (4) mempersiapkan tahap-tahap peran; (5) melakukan pemeranan; (6) mendiskusikan dan mengevaluasi peran dan isinya; (7) memerankan ulang; (8) mendiskusikan dan mengevaluasi pemeranan ulang; dan (9) mengkaji kemanfaatannya dalam kehidupan nyata melalui saling tukar pengalaman dan penarikan generalisasi. b. Sistem Sosial Sistem sosial model bermain peran ini cukup terstruktur. Pendidik bertanggung jawab, paling tidak pada awal permainan, untuk memulai tahap-tahap permainan. Selanjutnya, pendidik membimbing para peserta didik melalui aktivitas dalam setiap tahap permainan. Kendatipun begitu, materi khusus dalam diskusi dan pemeranan sangat ditentukan oleh peserta didik. Intervensi pendidik perlu dikurangi manakala bermain peran memasuki tahap pemeranan dan diskusi. Dalam kedua kegiatan ini, para peserta didiklah yang lebih banyak aktif. Peserta didik terkadang memilih masalah yang akan ditelusuri, melaksanakan diskusi, membantu pengaturan pemeranan. Pendidik bertindak sebagai pengamat, tetapi sekalisekali dapat saja melibatkan diri jika dipandang perlu. Peran pendidik yang cukup penting adalah mengajukan pertanyaan dan komentar kepada para peserta didik. Pertanyaan dan komentar yang diajukan pendidik seyogianya dapat mendorong para peserta didik untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya secara bebas dan jujur. Pendidik harus dapat menumbuhkan rasa saling percaya, baik antara dirinya dan para peserta didik maupun di antara para peserta didik. Hal ini dapat terwujud jika pendidik bersikap terbuka terhadap setiap saran yang dikemukakan para peserta didik dan bersikap tidak menghakimi. Dengan cara ini semua hal yang diungkapkan hanya mencerminkan perasaan atau sikap peserta didik. Dengan demikian, fungsi pendidik yang utama dalam konteks ini adalah mendorong para peserta didik untuk aktif dan merefleksikan usul dan gagasan para peserta didik. c. Prinsip Reaksi Prinsip-prinsip reaksi model bermain peran lebih banyak menyangkut pendidik. Pendidik harus menerima semua respons dan saran peserta didik, khususnya pendapat dan perasaan mereka, dengan cara yang tidak terkesan menghakimi. Pendidik membantu para peserta didik untuk mengeksplorasi situasi permasalahan tertentu dalam berbagai segi, memperhitungkan, dan mempertimbangkan alternatif yang muncul dari sudut pandang yang

berbeda. Adanya proses refleksi, parafrase, dan rangkuman respons, dapat meningkatkan kesadaran peserta didik mengenai perasaan dan pikiran mereka sendiri. Pendidik harus menekankan bahwa ada berbagai cara untuk memainkan peran yang sama dan ada pula konsekuensi berbeda yang akan mereka temui. Ada banyak alternatif untuk memecahkan suatu masalah, tidak ada satu cara pun yang mutlak benar dan tepat. Selain itu, pendidik harus membantu peserta didik mempertimbangkan dan melihat konsekuensi untuk mengevaluasi solusi dan membandingkannya dengan alternatif lain. d. Sistem Penunjang Materi yang diperlukan dalam bermain peran cukup sederhana, tetapi sangat penting. Perangkat utamanya adalah situasi permasalahan. Situasi ini terkadang membantu dalam membentuk pengarahan pada setiap peran. Pengarahan ini menggambarkan peran atau perasaan masing-masing karakter. Masalah dapat disampaikan secara lisan, tetapi dapat pula melalui lembaranlembaran yang dibagikan kepada para peserta didik. Dalam lembaran tersebut, tertera perincian tahap-tahap pemeranan lengkap dengan karakter yang dituntut. Kadang-kadang digunakan juga format pengamatan sebagai pedoman bagi para pengamat. Format itu berisi butir-butir peran yang perlu diberi perhatian secara khusus. Situasi permasalahan dapat diangkat dari berbagai sumber. Film, novel, dan cerpen merupakan sumber yang istimewa untuk dijadikan situasi permasalahan. Masalah sosial yang terjadi di sekitar kehidupan para peserta didik dan masalah pribadi mereka juga dapat dijadikan sumber. Selain itu, cerita problematik atau rangkuman situasi permasalahan juga penting. Cerita-cerita problematik adalah narasi-narasi pendek untuk menggambarkan setting, keadaan, aksi, dan dialog dalam situasi tersebut. Satu atau beberapa karakter menghadapi dilema dalam menentukan pilihan atau tindakan. Cerita pun berakhir namun tak terselesaikan. 3. Dampak Instruksional dan Penyerta Dampak instruksional yang diharapkan bagi peserta didik, yaitu: a) dapat menggunakan ragam bahasa sesuai dengan situasi dan konteksnya; b) dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan ejaan dan kaidah yang berlaku, baik lisan maupun tulisan; c) dapat berbahasa dengan memerhatikan kesantunan, kesopanan, dan etika berbahasa. Adapun dampak pengiring yang diharapkan, yaitu: a) dapat menganalisis nilai dan perilaku masing-masing individu; b) dapat mengembangkan berbagai strategi pemecahan masalah interpersonal dan personal; c) dapat mengembangkan rasa empati terhadap orang lain; d) dapat melatih kemampuan berbicara dan bernegosiasi; e) dapat belajar bekerja sama dengan orang lain; f) dapat mengekspresikan pendapat; g) dan dapat menghargai pendapat orang lain. 6. Prosedur/ Tahap-Tahap Pelaksanaan Shaftel mengidentifikasi tahap-tahap bermain peran terdiri dari sembilan langkah, yaitu sebagai berikut. Tahap Pertama: Memanaskan Suasana Tahap Kedua: Memilih Partisipan Kelompok

Mengidentifikasi dan memaparkan masalah Menjelaskan masalah Menafsirkan masalah Menjelaskan bermain peran Tahap Ketiga: Mengatur Setting Memerinci urutan peran Menjelaskan kembali peran yang akan dimainkan Memasuki situasi masalah Tahap Kelima: Pemeranan Memulai bermain peran Meneruskan bermain peran Menyudahi bermain peran

Menganalisis peran Memilih dan menetapkan pemeran

Tahap Keempat: Mempersiapkan Pengamat Memutuskan apa yang akan dan perlu diamati Memberikan dan menjelaskan tugas pengamatan Tahap Keenam: Berdiskusi dan Mengevaluasi Mereview pemeranan Mendiskusikan fokus-fokus utama Mengembangkan pemeranan selanjutnya

Tahap Ketujuh: Memerankan Kembali Tahap Kedelapan: Diskusi dan Evaluasi Memainkan peran yang diubah, Sebagaimana dalam tahap enam memberikan masukan atau alternatif perilaku dalam langkah selanjutnya Tahap Kesembilan: Berbagi dan Menggeneralisasi Pengalaman Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan di dunia nyata serta masalahmasalah yang baru muncul. Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku Seluruh langkah di atas berorientasi pada pemberian pengalaman belajar kepada para peserta didik sebagai fokus utama. Secara bersamaan langkah-langkah di atas juga memastikan bahwa selama aktivitas pembelajaran semua peserta didik telah siap dengan peran mereka masing-masing, memahami tujuan dari peran mereka, dan mengadakan diskusi. Berikut uraian setiap langkah model bermain peran. 1. Tahap Pertama: Memotivasi Kelompok Pada tahap ini pendidik memancing sensitivitas kelompok dengan mengemukakan sebuah masalah. Masalah dapat diangkat dari kehidupan sehari-hari peserta didik atau yang berkaitan dengan dunia mereka. Masalah mungkin juga dapat muncul dari keadaan yang dipilih pendidik dan diilustrasikan dalam sebuah film, televisi, pertunjukkan, dan contoh kasus. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan agar siswa tertarik pada masalah. Peserta didik tidak akan menaruh minat pada masalah yang diajukan jika masalah itu tidak menarik. Oleh karena itu, keberhasilan pemeranan banyak ditentukan oleh tahap ini. Ada beberapa pertimbangan dalam memilih masalah yang akan diperankan, yakni: a) aktual, hangat; b) langsung menyangkut kehidupan peserta didik; c) menarik dan merangsang rasa ingin tahu; d) problematik dan memungkinkan berbagai alternatif pemecahan. Setelah masalah diidentifikasi, peserta didik menyimak penjelasan pendidik masalah itu secara terperinci melalui beberapa contoh. Kemudian dikemukakan peran-peran apa yang akan dimainkan. Masalah yang akan diperankan mungkin berbeda atau sama dengan cerita yang dimaksudkan untuk memotivasi kelompok. 2. Tahap Kedua: Memilih Peran Pada tahap ini peserta didik dan pendidik menggambarkan karakter yang berbedabeda, seperti apa peran-peran itu, apa yang dirasakan, dan apa yang mungkin dilakukan. Penggambaran karakter itu berdasarkan tuntutan cerita menurut persepsi peserta didik sendiri. Peserta didik kemudian diminta menjadi sukarelawan untuk bermain peran. Bahkan,

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

mereka akan diminta untuk memainkan peran tertentu. Terdapat beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk memilih pemeran, misalnya, peserta didik yang terlihat sangat antusias dan terlibat dalam masalah yang sedang mereka identifikasi atau peserta didik yang memberikan usul. Tahap Ketiga: Mengatur Setting Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dialog khusus tidak perlu dipersiapkan karena dalam bermain peran peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Mereka hanya membuat sketsa adegan dan perkiraan-perkiraan tindakan seorang pemain. Peserta didik dapat dibantu dalam proses ini dengan mengajukan pertanyaan, seperti di mana pemeranan dilakukan, bagaimana tempat ditata. Tahap Keempat: Menyiapkan Pengamat Pengamat haruslah terlibat dan sama-sama berperan dalam cerita sehingga seluruh kelompok turut mengalami, menghayati, serta aktif mendiskusikannya. Pengamat bertugas untuk memberikan komentar terhadap efektivitas dan urutan pemeranan, serta dapat mendefinisikan perasaan dan pola pikir orang yang digambarkan. Jika pengamat dapat terlibat, diharapkan mereka dapat mengajukan alternatif pemeranan. Tahap Kelima: Melakukan Pemeranan Pemain memainkan peran dan menghidupkan situasi secara spontan, dan saling merespons secara realistis. Tidak ada ukuran yang pasti berapa lama pemeranan dilakukan. Hal ini bergantung pada kompleksitas situasi masalah, jumlah pemeran yang aktif, dan kelancaran pemeranan. Tahap Keenam: Melakukan Diskusi dan Evaluasi Diskusi dapat dimulai dengan spontan jika ada keterlibatan partisipan dan pengamat secara intelektual dan emosional dalam pemeranan. Spontanitas ini akan terjadi apabila para peserta didik mengerti, merasakan, dan menghayati apa yang baru saja diperankan. Pertama-tama, diskusi mungkin akan fokus pada penafsiran yang berbeda mengenai pemeranan dan ketidaksetujuan terhadap cara-cara memainkan peran. Hal yang lebih penting adalah konsekuensi akting/tindakan dan motivator para pemain. Tahap Ketujuh: Melakukan Pemeranan Ulang Dari diskusi dan evaluasi muncul gagasan mengenai alternatif-alternatif pemeranan. Oleh karena itu pemeranan ulang dilakukan. Peserta didik dan pendidik dapat saling berbagi penafsiran baru tentang peran dan pemerannya. Karena perubahan itu, sangat mungkin terjadi perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan menimbulkan perubahan pada peran-peran yang lainnya. Tahap Kedelapan: Melakukan Diskusi dan Evaluasi Tahap ini dimaksudkan untuk mengkaji kembali hasil pemeranan ulang. Diskusi dan evaluasi berlangsung seperti tahap keenam, tetapi mungkin pemecahan masalah pada tahap ini sudah lebih jelas. Peserta didik mungkin berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah. Namun, kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang paling mutlak dan tepat dalam menghadapi masalah kehidupan. Tahap Kesembilan: Membagi Pengalaman dan Menarik Generalisasi Tujuan pokok bermain peran adalah membantu para peserta didik untuk memperoleh pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya melalui aktivitas interaksional dengan orang lain. Mereka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Oleh karena itu, pada tahap ini seharusnya tidak diharapkan akan mendatangkan hasil secara langsung dalam pengembangan aspek hubungan antarmanusia dalam sebuah situasi. Pengembangan semacam ini membutuhkan banyak pengalaman dan proses.

Tujuan ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling menukar pengalaman. Proses ini mewarnai segenap aktivitas bermain peran. Bermain peran dianggap berhasil jika mampu mengungkap lebih banyak pengalaman individual peserta didik. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, ditarik generalisasi. Generalisasi tidak perlu pasti. Apa yang dikehendaki dari bermain peran adalah peserta didik memperoleh pengalaman mengenai prinsip-prinsip umum cara menghadapi suatu masalah. Langkah-langkah Pelaksanaan Model Dalam model bermain peran (role playing) ini digunakan juga strategi instruksional pemecahan masalah dan inkuiri. Sebagai contoh latihan, kompetensi dasar yang akan dipelajari adalah menguasai dan menggunakan berbagai ragam bahasa sesuai dengan situasi dan konteks dengan memerhatikan syarat kesantunan, kesopanan, etika berbahasa, dan kaidah bahasa yang baik dan benar. Pendekatan komunikatif melalui model bermain peran dilakukan dengan tahapan sebagai berikut. 1. Tahap Pertama: Menghangatkan Situasi Kelas Pada tahap awal, para mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil. Kegiatan ini bertujuan agar proses pembelajaran lebih efektif dan terarah. Para mahasiswa dilatih untuk bekerja sama melalui kegiatan ini. Untuk memberikan motivasi pada kelompok, dosen menyiapkan sebuah masalah berupa dialog yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa. Kemudian mahasiswa ditugasi menganalisis dan mengidentifikasi penggunaan bahasa tersebut. Topik dialog yang dipilih dosen sebagai contoh harus menarik, aktual, berkaitan dengan kehidupan mahasiswa itu sendiri, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan juga mengandung pemecahan masalah. Dosen dapat menggunakan film, novel, cerpen, berita di surat kabar sebagai contoh pemodelan dan sumber situasi masalah. Sebagai contoh, dialog dan ilustrasi berikut diangkat dari Nadar (2009: 168). SHB IX : Saya memiliki pertimbangan kalau dicalonkan dari partai lain. Tapi belum tentu, belum tentu. Nanti malah dikira saya hanya mencari jabatan, kalau mau dicalonkan partai lain. Kan mengurangi aspek moralitas saya. (Kedaulatan Rakyat, 14 Februari, halaman 24) Konteks tuturan: SHB menjawab pertanyaan wartawan mengenai kemungkinan dirinya dicalonkan oleh partai lain. Pertanyaan ini diajukan setelah SHB menyatakan pengunduran dirinya dari konvensi pencalonan calon presiden yang diselenggarakan partai Golkar. SHB mengeluarkan keputusan ini setelah Mahkamah Agung menerima kasasi AT terkait dengan suatu perkara korupsi sebesar 40 milyar rupiah. Interpretasi : Pada tuturan di atas tidak secara frontal menolak dicalonkan, melainkan secara halus dengan mengatakan kalau dirinya bersedia nanti dikira sangat memerlukan jabatan. Tuturan di atas termasuk tuturan yang santun dan sopan karena menggunakan maksim kesederhanaan, yaitu tuturan tidak menyombongkan diri, bersikap rendah, dan menggunakan kalimat berputar yang tidak secara langsung menolak suatu permintaan. Topik di atas dapat menjadi suatu masalah yang menarik karena berkaitan dengan masalah sosial yang berkembang di masyarakat saat ini. Topik yang berkaitan dengan masalah politik pada saat ini dapat dipertimbangkan untuk dijadikan masalah sebagai bahan pemeranan. Agar mempermudah proses pemeranan, dosen memberikan contoh pemodelan melalui topik ini. Pemodelan dapat dilakukan oleh mahasiswa. Fokus masalah pemeranan, misalnya, bagaimana sikap mahasiswa sebagai seorang politisi apabila ia berada pada posisi sebagai SHB yang dicalonkan oleh partai lain. Dari pemeranan yang mahasiswa 7.

lakukan akan terlihat bahasa yang digunakan ketika menolak/menerima pencalonan tersebut. Selanjutnya, mahasiswa secara bersama-sama mendiskusikan ragam bahasa yang digunakan dalam tuturan tersebut. Selain itu, mahasiswa juga mendiskusikan kesantunan berbahasa dalam tuturan tersebut. Mahasiswa diminta pula menjelaskan alasan mengapa tuturan tersebut dikatakan santun atau tidak santun. Dosen memberikan umpan balik terhadap analisis siswa, misalnya, dengan menjelaskan interpretasi terhadap kesantunan tuturan tersebut. Berdasarkan analisis tersebut, mahasiswa mengidentifikasi ciri penggunaan bahasa yang santun dan sopan. Contoh berikutnya, diambil dari kearifan lokal Suluk Sujinah (Noer, 2009: 2) sebagai berikut. Dyah Ayu Sujinah umatur ngabekti, langkung nuwun pangandika tuwan, kapundhi ing jro kalbune, dados panancang emut, karumatan sajroning budi. Terjemahan : Dyah Ayu Sujinah berkata dengan hormat, sangat berterimakasih atas penjelasanmu, kuingat dalam hati baik-baik, dan kulakukan. Dalam Suluk tersebut, terdapat kesantunan berbahasa, yaitu berkata dengan hormat kepada orang lain. Di situ juga terdapat nilai tanggung jawab dalam melaksanakan segala sesuatu. Sekait dengan kesantunan berbahasa, nilai kearifan lokal terdapat pada ajaran dan pemikiran Syekh Siti Jenar (Mas Kumitir dalam Noer, 2011: 18), yaitu manusia tidak boleh bohong (ajaran ke-113) dan manusia tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar, dan menyakiti orang lain (ajaran ke-114). Dalam pepatah Cirebon, juga tersirat kesantunan berbahasa, yaitu adigang, adigung, adiguna, adiwicara. Artinya, orang yang merasa dirinya pandai bicara akan berkecenderungan mempengaruhi orang lain dengan kelihaiannya berbicara (Mas Kumitir dalam Noer, 2011: 8). Dalam pepatah ini, manusia tidak boleh menyombongkan keahliannya dalam berbicara. Contoh lain yang lebih menarik selain contoh di atas dengan pemodelan secara langsung dapat digunakan tayangan film. Ada dua buah tayangan film yang akan dijadikan bahan pemeranan yaitu film Alangkah Lucunya Negeri Ini dan Forrest Gump. Film-film lain dapat digunakan selain yang disebutkan di sini, tetapi disesuaikan dengan usia, latar sosial budaya, dan isi cerita. Sebagai contoh penggunaan bahasa santun yang lain akan digunakan film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Berikut penggalan dialog pembuka film ini. a. Latar film adalah keramaian pasar Ilustrasi: Ketika berjalan ke sana ke mari mencari pekerjaan dan melewati keramaian pasar, Muluk melihat seorang anak mencopet sebuah dompet. Muluk mengikuti anak tersebut dan menangkapnya. Muluk : Diem-diem. Gue bawa ke kantor polisi lu. Lu tahu nggak gue cape-cape cari kerja biar dapet duit. Enak aja nyomot dompet orang. Nyinggung perasaan gue tahu. Orang-orang susah cari kerja, diem-diem duitnya lu ambil. Lu gak bisa minta baik-baik. (Muluk mencengkeram anak itu dan berkata dengan nada marah) Anak : Saya, kan pencopet Bang. Bukan tukang minta-minta. b. Latar di suatu masjid

Ilustrasi: dua orang bapak yang sedang berzikir usai sholat bercakap-cakap mengenai Muluk anak Pak Bul. H. Sabini : Kenyataannya memang begitu Pak Bul. Pak Bul : Kenyataan yang mana? H. Sabini :Anak lu si Muluk dan jutaan anak lain stress gara-gara nganggur. Pak Bul :Heh, Haji Sabini, si Muluk bukan nganggur, dia lagi berusaha. H. Sabini :Kelamaan nganggur dia bisa stress. Pak Bul :Dia bukan nganggur, lagi berusaha. Beda nganggur dengan berusaha. Beda. H. Sabini :Orang berpendidikan selalu bisa memecahkan masalahnya. Pak Bul :Kita lihat saja nanti. Mahasiswa mendiskusikan penggunaan bahasa yang santun, sopan, dan etika berbahasa melalui tayangan film ini. Film lain yang digunakan sebagai media pembelajaran yaitu Forrest Gump. Film ini menceritakan keajaiban penghargaan. Seorang pemuda bernama Forrest Gump dengan kakinya yang memakai penyangga sering diejek dan dilempari batu oleh teman-temannya. Dengan penghargaan dan semangat dari teman wanita masa kecilnya dia bisa berlari dan akhirnya kakinya menjadi sembuh. Tahap berikutnya mengidentifikasi masalah. Mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari dua topik tersebut mana yang paling menarik bagi mereka. Setelah memilih berdasarkan kesepakatan kelompok, mereka mengidentifikasi dan menafsirkan kemungkinan masalah-masalah yang muncul dari situasi masalah yang dipilih dan kemungkinan pemecahannya. Tahap ini melibatkan dua keterampilan berbahasa mahasiswa, yaitu keterampilan berbicara dan menyimak. Keterampilan menyimak diperlukan saat menyimak tayangan film untuk menganalisis dan mengidentifikasi penggunaan bahasa model. Adapun keterampilan berbicara diperlukan saat mengomunikasikan ide dalam pemilihan topik, pengidentifikasian masalah, dan penjelasan masalah kepada dosen dan anggota kelompok lainnya. Dalam tahap ini dikembangkan nilai-nilai karakter, seperti berpikir kritis, bekerja sama, toleransi, rendah hati, dan ikhlas. Kegiatan ini akan merangsang sikap rasa ingin tahu mahasiswa dan membangkitkan pola berpikir kritis. Melalui contoh tayangan yang mengandung permasalahan-permasalahan, mahasiswa dituntut menganalisis penggunaan kesantunan berbahasa, memilih topik permasalahan aktual yang sedang terjadi, dan mencari alternatif pemecahan masalah. Mahasiswa dengan ikhlas mau menerima putusan hasil diskusi kelompok mengenai topik yang akan dijadikan sumber situasi permasalahan dalam pemeranan. Mahasiswa tidak merasa idenya yang paling baik dan paling benar. Mahasiswa juga, melalui kegiatan ini, dikembangkan sikap bersedia menerima dan menghargai pendapat setiap anggota kelompoknya. 2. Tahap Kedua: Memilih Partisipan Pada tahap ini mahasiswa menggambarkan berbagai karakter yang akan diperankan melalui diskusi kelompok. Penggambaran karakter itu didasarkan tuntutan cerita menurut persepsi mahasiswa. Sebagai contoh, bagaimana karakter Muluk, anak pencopet, Pak Bul, dan H. Sabini dalam cerita Alangkah lucunya Negeri Ini. Jika peran dan karakternya sudah cukup jelas, dosen memilih mahasiswa yang akan memerankan karakter tersebut. Pemeranan karakter tersebut pun dapat dipilih oleh mahasiswa itu sendiri berdasarkan hasil diskusi kelompok. Mahasiswa yang mendapat tugas memerankan karakter tersebut harus melakukannya dengan sungguh-sungguh dengan penuh penghayatan.

Pada tahap ini pun dikembangkan sikap toleransi, rendah hati, dan ikhlas. Mahasiswa dengan ikhlas menerima putusan mengenai siapa saja yang akan melakukan pemeranan. Dalam memilih pemeran, mereka juga dituntut untuk bersikap toleransi dan rendah hati. 3. Tahap Ketiga: Mengatur tempat Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dialog khusus tidak perlu dipersiapkan karena dalam bermain peran dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Mereka hanya membuat sketsa adegan dan perkiraan-perkiraan tindakan seorang pemain. Mahasiswa dapat dibantu dalam proses ini dengan mengajukan pertanyaan, seperti di mana pemeranan dilakukan, bagaimana tempat ditata. Namun, jika sulit, dialog boleh saja dipersiapkan. Hal ini diperbolehkan agar saat pemeranan mahasiswa tidak mengalami kebingungan dan terhambat karena masalah dialog. Pada tahap ini keterampilan berbahasa dilibatkan. Keterampilan berbahasa yang diaktifkan adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis diperlukan agar mahasiswa mampu menulis rangkaian dialog yang baik, sistematis, logis dengan memerhatikan kaidah ejaan, sistematika kalimat efektif, dan kaidah penulisan dialog. Kemampuan mengekspresikan perasaan dan emosi ditumpahkan melalui rangkaian dialog sesuai dengan isi cerita menurut persepsi kelompok. Dengan demikian, pada tahap ini dikembangkan sikap disiplin, terutama disiplin dalam penyusunan dialog yang harus memerhatikan penggunaan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, penggunaan bahasa yang sopan dan santun, serta etika berbahasa yang baik. Untuk memperkaya bahan penulisan dialog, mahasiswa diperbolehkan mencari sebanyak mungkin sumber. Mahasiswa diperkenankan membaca surat kabar, novel, cerpen, berita atau menyimak tayangan televisi sebagai sumber inspirasi sesuai dengan topik cerita yang dipilih. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mahasiswa, menajamkan kemampuan analisis, dan menajamkan kemampuan berpikir kritis. Melalui kegiatan ini pula, keterampilan membaca mahasiswa diharapkan dapat meningkat. 4. Tahap Keempat: Menyiapkan Pengamat Kelompok yang belum tampil bertugas sebagai pengamat. Pengamat haruslah terlibat dan sama-sama berperan dalam cerita sehingga seluruh kelompok turut mengalami, menghayati, serta aktif mendiskusikannya. Kemampuan menyimak yang baik diperlukan agar bisa mengamati jalannya pemeranan. Pengamat bertugas untuk memberikan komentar terhadap proses pemeranan. Lembar observasi berikut dapat dijadikan acuan pengamatan. No Pengamatan Ya Tidak 1 Efektivitas dan urutan permainan 2 Peran yang dimainkan cocok dengan keadaan masalah sesungguhnya 3 Pemeran menghayati peran yang dimainkan 4 Ekspresi dan mimik sesuai dengan pertuturan 5 Penggunaan ragam bahasa sesuai dengan situasi dan konteks 6 Penggunaan bahasa santun atau tidak 7 Perilaku berbahasa sesuai dengan etika berbahasa Jika pengamat cukup melibatkan diri dan mendalami satu peran khusus, mereka akan dapat mengajukan alternatif pemeranan. Misalnya, karakter yang berbeda menurut persepsi mereka, pemecahan masalah yang berbeda, penggunaan bahasa yang berbeda pula. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan mereka berminat menjadi pemeran ulang. Pada saat itu, mahasiswa yang menjadi pengamat menunjukkan bagaimana suatu

peran sebaiknya dilakukan dan bagaimana bahasa yang sebaiknya digunakan menurut persepsi mereka. 5. Tahap Kelima : Memerankan Pada tahap ini mahasiswa diberi kesempatan untuk memainkan peran hingga tindakan dan karakter yang mereka mainkan tampak jelas. Keterampilan mengekspresikan pikiran, perasaan, emosi melalui rangkaian lisan dibutuhkan pada tahap ini. Mahasiswa memulai permainan peran, menghidupkan situasi secara spontan, dan saling merespons secara realistis. Selama pemeranan berlangsung, para mahasiswa dapat memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan yang diekspresikan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh pemeran melalui kata-kata dan tindakan-tindakan mereka, pemecahan masalah, atau konsekuensi perilaku yang muncul. Namun, dalam proses pemeranan ini, fokus permainan tetap ditekankan pada penggunaan bahasa dan perilaku berbahasa mahasiswa. Pada tahap pemeranan dikembangkan sikap bertanggung jawab, bekerja sama, dan jujur. Mahasiswa bertanggung jawab melaksanakan pemeranan dengan sebaik-baiknya. Mahasiswa harus menghayati karakter yang dimainkan sesuai dengan tuntutan naskah. Mahasiswa juga harus mampu mengekspresikan perasaan dan luapan emosi dengan sesungguhnya. Selain itu, kemampuan bekerja sama mengatur segala hal yang berkaitan dengan pemeranan dan prosesnya diperlukan agar pemeranan berjalan dengan lancar. Setiap anggota kelompok diharapkan kompak dan ikut terlibat aktif dalam proses ini. 6. Tahap Keenam:Mendiskusikan dan Mengevaluasi Pada tahap ini dilakukan diskusi awal. Diskusi ini berguna untuk mengevaluasi pemeranan yang telah dilakukan. Pengamat pada tahap ini menyampaikan apa yang telah ia observasi dan analisis berdasarkan lembar observasi. Para pengamat dan pemain peran mendiskusikan penafsiran mengenai pemecahan masalah yang dimainkan oleh pemain peran berdasarkan pendapat pengamat. Para pengamat mengemukakan bagaimana seharusnya karakter para pemeran, penggunaan bahasa, dan perilaku/tindakan dalam pemeranan. Kemudian, pada tahap ini dikembangkan pemeranan selanjutnya. Kemampuan mengomunikasikan gagasan dituntut pada tahap ini. Mahasiswa yang bertugas sebagai pengamat harus terampil mengemukakan pendapat yang sistematis, runtut, logis, dan lugas pada kegiatan ini agar mahasiswa lain (anggota forum diskusi) dapat memahami pendapat yang dikemukakan sehingga diskusi dan evaluasi dapat berjalan dengan lancar. Sikap jujur juga dikembangkan pada kegiatan ini. Mahasiswa pengamat dengan sesungguhnya mengungkapkan segala hal yang terjadi dalam pemeranan. Mereka secara apa adanya mengungkapkan setiap karakter yang dimainkan, bagaimana jalannya pemeranan, dan kesesuaian proses pemeranan dengan naskah. Mahasiswa diharapkan berbicara sopan dan santun dalam tahap ini. Bahasa yang digunakan harus sopan dan santun ketika mengemukakan pendapat dan mengomentari. Tidak ada kata-kata yang mencela, menghina, menuduh, memojokkan dan menyinggung walaupun terjadi perbedaan pendapat. 7. Tahap Ketujuh: Memerankan Kembali Langkah selanjutnya, mahasiswa menyelidiki sebanyak mungkin kemungkinan baru tentang penyebab dan pengaruh dari alternatif perilaku di dalam cerita. Dari diskusi dan evaluasi pemeranan sebelumnya, muncul gagasan-gagasan mengenai alternatif pemeranan. Mahasiswa dengan bimbingan dosen berbagi penafsiran baru kemudian pemain peran memainkan peran yang telah diubah. Kemungkinan terjadi perubahan karakter peran yang dituntut, bahasa yang digunakan, dan pelaku-pelakunya.

Tahap pemeranan ulang ini dapat dilakukan pengamat yang menyampaikan hasil pengamatannya. Pengamat memerankan kembali cerita berdasarkan penafsiran mereka. Tidak menutup kemungkinan cerita yang diperankan, karakter, bahasa, dan tindak-tanduk dalam pemeranan sangat berbeda dengan pemeranan awal. Namun, bisa jadi pemeranan ulang hampir sama dengan pemeranan sebelumnya. Pemeranan ulang ini sangat bergantung pada penafsiran para pengamat. 8. Tahap Kedelapan: Mendiskusikan dan Mengevaluasi Diskusi pada tahap ini dilakukan untuk mengevaluasi hasil pemeranan ulang. Diskusi dan evaluasi pada tahap ini berlangsung seperti tahap keenam. Namun, mungkin pemecahan masalah pada tahap ini sudah lebih jelas. Mahasiswa mendiskusikan bagaimana penggunaan ragam bahasa pada tahap ini. Mahasiswa juga mendiskusikan apakah bahasa yang digunakan pada tahap ini sudah atau lebih santun dibandingkan dengan pemeranan awal atau bahkan lebih tidak santun. Selain itu, etika berbahasa pada pemeranan ulang pun didiskusikan; apakah etika berbahasa mahasiswa sudah meningkat atau belum. 9. Tahap Kesembilan: Membagi Pengalaman dan Menggeneralisasi Pada tahap ini dilakukan refleksi. Mahasiswa menghubungkan situasi permasalahan yang terdapat di dalam cerita-cerita tersebut dengan pengalaman yang sebenarnya terjadi dan masalah-masalah mutakhir. Mahasiswa dapat belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Mahasiswa dapat bercermin pada orang lain untuk memahami dirinya melalui bermain peran. Melalui bermain peran, keterampilan berbahasa mahasiswa dapat dikembangkan. Berkaitan dengan pendidikan karakter melalui perkuliahan Bahasa Indonesia, dengan model bermain peran, mahasiswa dapat mengembangkan nilai-nilai pada dirinya, seperti jujur, bersahabat, sopan dan santun, displin. Mahasiswa dapat belajar bagaimana memilih diksi yang tepat, menggunakan ragam bahasa sesuai dengan situasi dan konteks, menggunakan bahasa yang sopan dan santun dengan lawan bicara. Mahasiswa juga dapat berperilaku yang sopan dan santun sesuai dengan etika. Penilaian Proses penilaian sangat penting dilakukan dalam sebuah kegiatan. Penilaian menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan proses dan hasil belajar. Kegiatan penilaian dapat memberikan umpan balik bagi pendidik dan peserta didik. Dengan penilaian dapat diketahui proses dan hasil kegiatan yang telah dilakukan apakah berjalan dengan baik atau masih ada kekurangan yang harus diperbaiki. Melalui kegiatan penilaian, pendidik dapat mengetahui informasi mengenai proses dan hasil kegiatan pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan mengajarnya. Melalui kegiatan ini juga, peserta didik dapat meningkatkan kemampuan belajarnya secara optimal. Kegiatan penilaian secara umum bertujuan untuk (1) mengetahui tingkat penguasaan materi yang telah diberikan; (2) mengetahui kecakapan, bakat, minat, dan sikap peserta didik terhadap program pembelajaran; (3) mengetahui kemajuan belajar peserta didik; (4) mendiagnosis keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran; (5) meningkatkan kemampuan mengajar pendidik; (6) meningkatkan efektivitas kurikulum dan pembelajaran; Sejumlah teknik penilaian dapat dilakukan untuk melaksanakan penilaian. Teknik penilaian dapat dilakukan melalui tes dan nontes. Tes digunakan untuk mengukur prestasi belajar peserta didik dalam bidang kognitif, seperti pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. Adapun nontes digunakan untuk mengetahui kualitas proses dan

8.

produk suatu kegiatan dan hal-hal yang berkenaan dengan domain afektif, seperti sikap, minat, motivasi. Dalam perkuliahan Bahasa Indonesia dengan model bermain peran, dilaksanakan dua teknik penilaian, yaitu tes dan nontes. Teknik tes yang digunakan adalah tes perbuatan dan tes tertulis. Adapun teknik nontes yang digunakan adalah observasi. 1. Tes Perbuatan Tes ini dilakukan pada saat mahasiswa melakukan pemeranan dengan menggunakan instrumen penilaian berikut. Untuk setiap kriteria, berilah skor pada pemeranan setiap kelompok dengan memberikan tanda centang () dengan 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa. No Kriteria Skor Catatan 1 2 3 4 5 1 Ekspresi, Gerak-gerik, dan Mimik a.Ekspresi dan mimik sesuai dengan isi dialog yang diucapkan. b.Gerak-gerik sesuai dengan karakter yang diperankan. c.Pemeran dengan sungguh-sungguh menghayati peran yang dimainkan sesuai dengan karakter. 2 Penggunaan Suara a. Intonasi sesuai dengan ekspresi dan isi dialog. b. Volume suara nyaring dan terdengar secara jelas. c. Pengucapan vokal dan konsonan terdengar jelas, lancar, dan tidak terbata-bata. d. Penempatan tekanan dan nada sesuai. 3 Sikap atau Perilaku a. Keberanian dan semangat terlihat ketika memerankan suatu karakter. b. Sikap percaya diri dan tidak ragu-ragu tampak pada proses pemeranan. c. Perilaku berbahasa sesuai dengan etika berbahasa (etika berbahasa yang diungkapkan Pranowo), seperti memberi perhatian penuh ketika lawan tutur berbicara, menyimak baik-baik tuturan lawan tutur. 4 Penggunaan Bahasa a. Ragam bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi dan konteks. b. Isi dialog sesuai dengan syarat kesopanan, seperti sesuai dengan identitas sosial budaya penutur dan lawan tutur, topik pertuturan, dan konteks waktu, situasi, dan tempat pertuturan berlangsung. c. Dialog (kalimat-kalimat) yang digunakan santun, seperti tidak mempermalukan lawan tutur, tidak menyombongkan diri, tidak menghina, menggunakan kosakata yang secara sosial budaya lebih sopan dan santun, menggunakan kata sapaan dan kata ganti yang sesuai dengan identitas penutur dan lawan tutur.

Jumlah 2. Tes Produk Tes ini dilakukan untuk menilai hasil penulisan dialog yang ditulis mahasiswa. Instrumen penilaian adalah sebagai berikut. Dari tes produk ini akan terlihat sikap disiplin, terutama dalam penggunaan kaidah bahasa. Untuk setiap kriteria, berilah skor pada hasil penulisan dialog setiap kelompok dengan memberikan tanda centang () dengan 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa. No Kriteria Skor Catatan 1 2 3 4 5 1 Penggunaan kaidah EYD dan kalimat efektif dengan indikator kemampuan sebagai berikut. a. Pembaca tidak melihat banyak kesalahan dari penulisan ejaan (huruf dan kata), pemberian tanda baca, dan struktur kalimat efektif dalam keseluruhan tulisan (skor 5) b. Pembaca menyadari, tetapi tidak disusahkan oleh kesalahan penulisan ejaan, pemberian tanda baca, atau struktur kalimat yang sekali-sekali ditunjukkan penulisnya. (skor 4) c. Pembaca menyadari kesalahan penulisan ejaan, pemberian tanda baca, dan struktur kalimat yang cukup mengganggu. (skor 3) d. Pembaca terutama menyadari akan besarnya kekurangtepatan penulisan ejaan, pemberian tanda baca, dan struktur kalimat sehingga sering mengganggu. (skor 2) e. Pembaca menyadari adanya kesalahan dalam penulisan ejaan, pemberian tanda baca, dan struktur kalimat dalam keseluruhan tulisan sehingga makna kabur/ membingungkan. Oleh karena itu, tulisan mustahil dapat dipahami. (skor 1) 2 Pilihan Kata (Diksi) Diksi yang digunakan memenuhi syarat kesopanan dan kesantunan, seperti menggunakan kosakata yang secara sosial budaya lebih sopan dan santun, menggunakan kata sapaan dan kata ganti yang sesuai dengan identitas penutur dan lawan tutur. Jumlah 3. Observasi Teknik nontes observasi dilakukan pada saat kegiatan berdiskusi dalam kelompok, seperti ketika merumuskan pemilihan topik, mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, dan memilih pemeran. Observasi dilakukan juga pada saat diskusi dan evaluasi hasil pemeranan yang melibatkan pemeran dan pengamat. Instrumen penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut.

Untuk setiap kriteria, berilah skor pada pemeranan setiap kelompok dengan memberikan tanda centang () dengan 5 adalah skor tertinggi dan 1 adalah skor terendah. 1 = rendah; 2 = cukup; 3 = rata-rata; 4 = di atas rata-rata; 5 = istimewa. No Kriteria Skor Catatan 1 2 3 4 5 1 Kemampuan bekerja sama ditandai dengan ikut terlibat aktif memberikan pendapat dalam memilih topik, mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, dan memilih pemeran. 2 Kekompakan terlihat pada waktu memilih topik dan memainkan peranan. 3 Kesediaan menghormati dan menghargai pendapat orang lain dengan menggunakan bahasa dan perilaku yang santun ditandai dengan: a. tidak memaksakan pendapat kita terhadap lawan tutur; b. menyimak baik-baik pendapat lawan tutur; c. memberikan perhatian penuh ketika lawan tutur berbicara; d. menunjukkan persetujuan terhadap lawan tutur; e. jangan menggunakan kalimat langsung untuk menolak pendapat lawan tutur; f. menggunakan kosakata yang secara sosial budaya terasa lebih santun dan sopan; g. menggunakan kata sapaan dan kata ganti yang sesuai dengan identitas penutur dan lawan tutur; h. menggunakan kata maaf dan mohon ketika meminta maaf dan meminta penjelasan; i. jangan cepat-cepat dan selalu menyela ketika lawan tutur berbicara. 4 Sikap dan Keterampilan Memecahkan Masalah (berpikir kritis) a. Keterbukaan terhadap setiap kemungkinan pemecahan masalah. b. Kemampuan mengidentifikasi masalah. c. Kemampuan menjabarkan alternatif-alternatif pemecahan masalah. d. Kemampuan untuk mengevaluasi konsekuensi setiap alternatif pemecahan masalah terhadap diri sendiri dan orang lain. 5 Kemampuan komunikatif ditandai dengan keruntutan, kelogisan, dan kesistematisan pendapat serta dialog yang dikemukakan. Kemampuan ini juga terlihat dari seberapa besar lawan bicara memahami pendapat yang dikemukakan. 6 Kemampuan bertanggung jawab dan sikap ikhlas ditandai dengan penghayatan terhadap karakter yang dimainkan dan kesungguhan melakukan pemeranan.

Jumlah D. MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEWIRAUSAHAAN MAHASISWA (STUDENT ENTREPRENEURSHIP) Semakin maju suatu negara semakin banyak orang yang terdidik, dan banyak pula orang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha. Pembangunan akan lebih berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka lapangan kerja karena kemampuan pemerintah sangat terbatas. Pemerintah tidak akan mampu menggarap semua aspek pembangunan karena sangat banyak membutuhkan anggaran belanja, personalia, dan pengawasan.. Oleh sebab itu, wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha itu sendiri. Sekarang ini kita menghadapi kenyataan bahwa jumlah wirausahawan Indonesia masih sedikit dan mutunya belum bisa dikatakan hebat, sehingga persoalan pembangunan wirausaha Indonesia merupakan persoalan mendesak bagi suksesnya pembangunan. Jika kita perhatikan manfaat adanya wirausaha banyak sekali. Lebih rinci manfaatnya antara lain : Menambah daya tampung tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Sebagai generator pembangunan lingkungan, bidang produksi, distribusi, pemeliharaan lingkungan, kesejahteraan dan sebagainya. Menjadi contoh bagi anggota masyarakat lain, sebagai pribadi unggul yang patut dicontoh, diteladani, karena seorang wirausaha itu adalah orang yang terpuji, jujur, berani, hidup tidak merugikan orang lain. Selalu menghormati hukum dan peraturan yang berlaku, berusaha selalu menjaga dan membangun lingkungan. Berusaha memberi bantuan kepada orang lain dan pembangunan sosial sesuai dengan kemampuannya. Berusaha mendidik karyawannya menjadi orang mandiri, disiplin, jujur, tekun dalam menghadapi pekerjaan. Memberi contoh bagaimana kita harus bekerja keras, tetapi tidak melupakan perintah-perintah agama, dekat kepada Allah SWT. Hidup secara efisien, tidak berfoya-foya dan tidak boros. Memelihara keserasian lingkungan, baik dalam pergaulan maupun kebersihan lingkungan. Melihat banyaknya manfaat wirausaha di atas, maka ada dua darma bakti wirausaha terhadap pembangunan bangsa, yaitu : a) Sebagai pengusaha, memberikan darma baktinya melancarkan proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Wirausaha mengatasi kesulitan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat. b) Sebagai pejuang bangsa dalam bidang ekonomi, meningkatkan ketahanan nasional, mengurangi ketergantungan pada bangsa asing. 1. TUJUAN Perguruan Tinggi/Universitas senantiasa mengembangkan Academic excellence unutuk pendidikan yang intinya adalah :

1. Menyediakan kesempatan seluas-luasnya pada civitas academica untuk menjadi individu yang berintegritas, terpercaya, memiliki kemampuan berusaha, berkomunikasi, bekerja sama, dan berkompetensi dengan baik. 2. Menghasilkan para lulusan yang dapat menjadi professional yang handal dan dipercaya, pemimpin yang adil, pengusaha yang jujur dan bermartabat, atau pendidik yang cendekia dan mumpuni dalam ilmunya. Dari pengembangan kebijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberhasilan seorang lulusan dalam karirnya tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam bidang akademik selama masa studi, tetapi juga sangat ditunjang oleh kemampuan non akademiknya. Dalam rangka meningkatkan mutu lulusan professional, pengusaha yang jujur dan bermartabat tersebut maka dapat dilakukan student enterpreneurship (kewirausahaan mahasiswa) dengan tujuan sebagai berikut : a. Pemberian kesempatan kepada mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica untuk dapat membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan praktik kewirausahaan. Sehingga diharapkan setelah lulus nanti menjadi job creator daripada sekedar job seeker dengan menciptakan lapangan usaha dan pekerjaan baru baik yang berbasis teknologi maupun kemampuan berwirausaha yang bersifat umum. b. Mengupayakan lulusan yang dapat menjadi pengusaha yang jujur dan bermartabat melalui pembentukan karakter dan mental wirausaha yang beretika. Usaha-usaha yang ditempuh antara lain melibatkan mahasiswa secara langsung sebagai subjek kegiatan, dan juga menggalang kerja sama dengan pemerintah khususnya Dinas perindustrian dan UMKM dan pengusaha, terutama dengan pengusaha industri kecil dan menengah. Pendidikan kewirausahaan diharapkan memberikan wawasan pada mahasiswa dan memberikan motivasi yang cukup bagi mahasiswa untuk dapat memahami dan memiliki jiwa kewirausahaan, dan bahkan lebih jauh mempunyai keinginan sungguh-sungguh untuk berwirausaha setelah lulus nanti. Kewirausahaan mahasiswa tidak hanya akan bermanfaat bagi pelakunya tetapi juga bermanfaat untuk dapat membantu lulusan baru bekerja dan juga pengembangan ekonomi negara secara makro, terutama melalui kegiatan usaha kecil dan menengah yang justru pada saat ini, Indonesia masih tertinggal. Salah satu akibatnya adalah kekuatan dan daya tahan perekonomian Indonesia lemah dan pemerataan pendapatan negara sulit dicapai. Kewirausahaan untuk mahasiswa memiliki 3 tahapan yaitu tahap penyadaran, tahap pembekalan dan tahap pelaksanaan (berwirausaha).Penyadaran diperlukan karena sebagian besar mahasiswa belum tahu apa pentingnya kewirausahaan. Pembekalan bertujuan memberikan struktur pengetahuan dan pengalaman yang akan dapat digunakan untuk jangka panjang dan untuk kepentingan yang luas. Tahapan pelaksanaan (berwirausaha) diharapkan agar menghasilkan wirausahawan-wirausahawan baru yang mampu terjun ke masyarakat. 3. NILAI KARAKTER YANG DIKEMBANGKAN Menurut McGraith & Mac Millan (2000) dalam Rhenald Kasali dkk (2010 : 18-19), ada tujuh karakter dasar yang perlu dimiliki oleh sertiap calon wirausaha. Ketujuh karakter tersebut adalah sebagai berikut : 1) Action oriented. Bukan tipe menunda, wait and see, atau membiarkan sesuatu (kesempatan) berlalu begitu saja. Mereka adalah orang yang ingin segera bertindak, sekalipun situasinya tidak pasti (uncertain). Prinsip yang dianut adalah see and do. Bagi

mereka, risiko bukanlah untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dan ditaklukkan dengan tindakan dan keahlian. 2) Berpikir simpel. Sekalipun dunia telah berubah menjadi sangat kompleks, mereka selalu belajar menyederhanakannya. Mereka melihat persoalan dengan jernih dan menyelesaikan masalah satu demi satu secara bertahap. 3) Mereka selalu mencari peluang-peluang baru. Apakah itu peluang usaha yang benarbenar baru, atau peluang dari usaha yang sama. Untuk usaha-usaha yang baru, mereka selalu mau belajar yang baru, membentuk jaringan dari bawah dan menambah lanscape atau scope usahanya. Sedangkan dalam usaha yang sama, mereka selalu tekun mencari alternatif-alternatif baru, seperti model, desain, bahan baku, energi, kemasan dan struktur biaya produksi. Mereka meraih keuntungan bukan hanya dari bisnis atau produk baru, melainkan juga dari cara-cara baru. 4) Mengejar peluang dengan disiplin tinggi. Seorang wirausaha bukan hanya awas, memiliki mata yang tajam dalam melihat peluang atau memiliki penciuman yang kuat terhadap keberadaan peluang itu, tetapi mereka bergerak ke arah itu. Peluang bukan hanya dicari, melainkan diciptakan, dibuka dan diperjelas. Karena wirausaha melakukan investasi dan menanggung risiko, maka seorang wirausaha harus memiliki disiplin yang tinggi. 5) Hanya mengambil peluang yang terbaik.Seorang wirausaha akan menjadi sangat awas dan memiliki penciuman yang tajam pada waktunya. Wirausaha yang terlatih akan cepat membaca peluang. Namun , wirausaha sejati hanya akan mengambil peluang yang terbaik. 6) Fokus pada eksekusi. Wirausaha bukanlah seorang yang hanya bergelut dengan pikiran, merenung atau menguji hipotesis,elainkan seorang yang fokus pada eksekusi. Manusia dengan enterpreneurial mindset mengeksekusi, yaitu melakukan tindakan dan merealisasikab apa yang dipikirkan.Mereka juga adaptif terhadap situasi, yaitu mudah menyesuaikan diri dengan fakta-fakta baru atau kesulitan di lapangan. 7) Memfokuskan energi setiap orang pada bisnis yang digeluti. Seorang wirausaha tidak bekerja sendirian. Dia menggunakan tangan dan pikiran banyak orang, baik dari dalam maupun luar perusahaannya. Untuk itu, dia harus memiliki kemampuan mengumpulkan orang, membangun jaringan , memimpin, menyatukan gerak, memotivasi dan berkomunikasi. Stephen Covey (2004) dalam Rhenald Kasali dkk (2010 : 55-66) mengemukakan bahwa karakter seseorang dibentuk oleh kebiasaan (habit). Oleh karena itu, kebiasaan yang harus dikembangkan oleh seorang wirausaha adalah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat produktif. Secara spesifik, kedelapan kebiasaan tersebut adalah be proactive, begin with the end in mind, put first things first, think win/win, seek first to understand-then to be understood, synergize, sharpen the saw, they find their voice, and help others find theirs. 1) Proaktif. Bertindak proaktif adalah mengambil tindakan sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki muncul. Dengan kata lain, orang-orang yang proaktif selalu mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi dan cepat mengambil tindakan penyelamatan 2) Bermula dari ujung pemikiran (Goal Oriented). Manusia yang berorientasi pada tindakan tidak hanya mengejar pencapaian tujuan, akan tetapi juga berburu tujuan yang benar. Untuk dapat menjadi seseorang yang berorientasi pada tujuan, harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut : menetapkan tujuan akhir, menentukan langkahlangkah untuk mencapai tujuan tersebut, memperhatikan setiap kemajuan yang telah dicapai, ketika dapat mencapai tujuan rayakan bersama karyawan dan keluarga dan tahap terakhir adalah memikirkan tujuan-tujuan baru yang lebih menantang.

3) Mendahulukan hal yang utama. Kebiasaan ini berkaitan dengan sikap yang mengedepankan prioritas. Seringkali manusia menghabiskan waktu untuk bereaksi pada situasi darurat, bukan menginvestasikan waktu untuk mengembangkan kemampuan dan mencegah situasi darurat tersebut. Manusia seperti ini kurang memahami perbedaan makna antara urgent (mendesak) dengan important (penting). Urgent adalah situasi yang mendesak, sedangkan penting membutuhkan perhatian yang besar. Intinya adalah seseorang harus fokus pada hal-hal yang urgent dengan membuat prioritas, dan menyadari bahwa tidak semua hal dikategorikan urgent. 4) Berpikir dan bertindak win/win. Manusia efektif akan selalu bersikap win-win. Mereka berusaha agar semua pihak mencapai kondisi akhir yang baik. Mereka menyadari bahwa dengan menang sendiri dapat bersifat destruktif karena hal itu hanya menghasilkan pihak yang kalah dan akhirnya akan memunculkan perasaan bermusuhan dan perasaan buruk lainnya, seperti merasa dirugikan, dikalahkan, diperlakukan kurang/tidak adil. Pola berpikir win-win akan membantu kita menciptakan kerja sama. 5) Cari tahu dulu untuk memahami, baru memahami.Agar dapat mengembangkan hubungan yang win-win, seseorang harus dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh pihak lain dan apa makna menang bagi mereka. Dalam hal ini, kita harus dapat memahami apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan orang lain sebelum mengutarakan tujuan pribadi kita. Dengan demikian , seorang wirausaha harus memiliki keterbukaan untuk mendengarkan pihak lain. 6) Sinergi. Dalam berwirausaha harus mencari sinergi. Oleh karena itu, selalu carilah rekan usaha yang saling melengkapi, yang berorientasi pada sinergi agar dapat berorientasi pada tindakan. 7) Menajamkan ketahanan, fleksibilitas, dan kekuatan. Kebiasaan ini berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk melatih ketahanan, fleksibilitas dan kekuatannya. Upaya yang harus dilakukan adalah memberi makanan pada jiwa melalui kegiatan-kegiatan spiritual dan hidup yang seimbang. Keseimbangan mental dapat mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk. 8) Menemukan keunikan pribadi dan membantu orang lain menemukannya. Kebiasaan kedelapan berhubungan dengan perubahan dari perilaku efektif menjadi luar biasa. Untuk itulah, seseorang harus memulai dengan menemukan atau mengenali keunikan dirinya. Menemukan keunikan berarti mengenal potensi yang dimiliki, yang tersebar pada empat elemen utama, yaitu pikiran (mind), tubuh, hati dan jiwa. Jika pikiran terus dikembangkan dan visi yang hebat dapat dirumuskan, maka hal tersebut dapat memampukan seseorang untuk mengembangkan potensi terbesar seseorang. Dari uraian di atas nilai karakter yang dikembangkan dalam bidang kewirausahaan mahasiswa di Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI) mencakup ketujuh karakter dasar yang harus dimiliki seorang entrepreneur yaitu : berorientasi pada aksi, berpikir simpel, selalu mencari peluang-peluang baru, berdisiplin tinggi, hanya mengambil peluang yang terbaik, fokus pada eksekusi dan memfokuskan energi tiap orang pada bisnis yang digeluti dalam arti memiliki kemampuan dalam memimpin, memotivasi dan membangun jaringan. Pelaksanaan secara nyata di lapangan ,ketujuh karakter yang dikembangkan adalah sebagai berikut : a. Pengembangan usaha dan managerial koperasi mahasiswa (KOPMA), dimana mahasiswa terjun langsung didalam mengelola usaha operasi dari mulai perencanaan usaha, pelaksanaan usaha, mengorganisasikan usaha dan mengevaluasi usaha koperasi.

b. Mahasiswa dilibatkan langsung dalam program bantuan dana bergulir bagi usaha ekonomi mikro, dimana mahasiswa diberi peranan sebagai AMEL (Agen Masyarakat Ekonomi Lemah) dalam pengelolaan program tersebut. Tujuan progam dana bergulir antara lain : (1) Pengentasan Kemiskinan di Kota Cirebon dan Wilayah Ciayumajakuning, (2) Menumbuhkan kemandiriannya Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang tergolong kalangan ekonomi lemah, (3) Tujuan jangka panjang untuk mewujudkan sustainability development dengan metode atau proses pemberdayaan masyarakat (community empowering) melalui pembangunan kapasitas dan pengembangan kelembagaan ekonomi lemah. c. Mahasiswa melakukan kegiatan wirausaha melalui kegiatan Himpunan Mahasiswa Jurusan, seperti yang dilakukan mahasiswa Agribisnis dan Agroteknologi Fakultas Pertanian Unswagati memproduksi dan memasarkan Rosella dan berbagai produk makanan/kue berbasis produk hasil pertanian. d. Mahasiswa melalui lembaga kemahasiswaan BEM diberi kesempatan untuk mengelola kantin di lingkungan kampus.

3. LANDASAN TEORITIK 3.1. Pengertian Kewirausahaan Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. (Kasmir, 2007: 18). Seorang wirausahawan selalu diharuskan menghadapi resiko atau peluang yang muncul, serta sering dikaitkan dengan tindakan yang kreatif dan innovatif.Wirausahawan adalah orang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan caracara baru. Selain itu, seorang wirausahawan menjalankan peranan manajerial dalam kegiatannya, tetapi manajemen rutin pada operasi yang sedang berjalan tidak digolongkan sebagai kewirausahaan.Seorang individu mungkin menunjukkan fungsi kewirausahaan ketika membentuk sebuah organisasi, tetapi selanjutnya menjalankan fungsi manajerial tanpa menjalankan fungsi kewirausahaannya.Jadi kewirausahaan bisa bersifat sementara atau kondisional. Kesimpulan lain dari kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi. 3.2. Fungsi Kewirausahaan Fungsi wirausaha meliputi dua fungsi, antara lai : (1) wirausaha adalah membuat keputusan-keputusan yang penting dan mengambil risiko tentang tujuan sasaran perusahaan, bidang usaha dan pasar yang akan dilayani, skala usaha dan permodalan, jumlah dan kualifikasi pegawai yang dibutuhkan serta standar operasional presudur sebagai pijakan operasional. Fungsi pokok wirausaha adalah mencari dan menciptakan inovasi baru, melakukan terobosan-terobosan dalam mencari input dan mengolahnya menjadi barang dan jasa baru yang mempunyai kualitas dan daya saing tinggi, (2) mengenali lingkungan dalam mencari dan menciptakan peluang bisnis sehingga dapat menciptakan lapangan kerja,

menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan jenis usaha, tujuan perusahaan dan penggunaan teknologi tepat guna serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. 3.3. Persyaratan Utama Bagi Seorang Wirausaha 1) Memiliki rasa percaya diri dan sikap mandiri yang tinggi dalam bisnis. a. Mau dan mampu melihat dan menangkap peluang usaha yang menguntungkan. b. Mau dan mampu bekerja keras, tekun untuk mengembangkan serta menghasilkan barang dan jasa, cara kerja yang efektif dan efisien. c. Mau dan mampu berkomunukasi, negosiasi, dan lobi dengan berbagai pihak dalam rangka untuk kemajuan dan pertumbuhan perusahaan.(memiliki salesmanship yang kuat) d. Dalam menjalankan usaha pempunyai sikap dan gaya hidup yang jujur, terencana, hemat dan disiplin. e. Menyenangi, mencintai kegiatan usahanya. f. Mempunyai kemauan untuk mengembangkan dan meningkatkan kapasitas diri serta menguasai gaya kepemimpinan (leadership dan managerialship) untuk menggerakan dan memotivasi orang lain dalam upaya mencapai tujuan perusahaan g. Mengenal lingkungan bisnis dan h. Mau bekerja sama dengan berbagai pihak untuk kemajuan perusahaan. 2) Kualifikasi Wirausaha Tangguh ( Innovative Etrepreneurs) a. Berpikir dan bertindak strategis serta adaptif terhadap perubahan b. Mencari keuntungan melalui berbagai keunggulan dalam memuaskan pelanggan c. Mengenal dan dapat mengendalikan kekuatan dan kelemahan perusahaan dan mau meningkatkan kemampuan dengan melakukan sistem pengendalian internal. d. Selalu berusaha meningkatkan kemampuan dan ketangguhan perusahaan dengan memelihara motivasi, semangat kerja tinggi. 3) Kualifikasi Wirausaha Unggul. a. Berani mengambil risiko, mampu menganalisa dan merusahaa menghindarinya. b. Selalu berusaha menghasilkan karya yang lebih baik untuk pelanggan, pemilik modal, pemasok, karyawan, masyarakat, bangsa dan negara c. Mampu mengantisipasi terhadap perubahan lingkungan d. Kreatif mencari dan menciptakan peluang pasar, selalu berusaha meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi e. Selalu meningkatkan keunggulan dan citra perusahaan melalui inovasi, investasi di berbagai bidang usaha. 4) Sifat Sifat yang Perlu Dimiliki oleh Seorang Wirausaha. Untuk bisa berhasil dalam dunia usaha seseorang harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a. Percaya diri Mempunyai kepribadian yang matang dan mantap Matang secara jasmani dan rohani Mandiri Emosi dan rationya stabil Ketidak tergantungan Optimisme

b. Berorientasi pada tugas dan hasil Lebih mendahulukan prestasi dibandingkan prestise Berorientasi pada hasil (profit) Energik Kerja keras, ulet, tabah, tekun Banyak inisiatif c. Berani mengambil resiko Berani menghadapi resiko dan tantangan Dalam menjalankan bisnis berani untung dan rugi d. Mempunyai jiwa dan gaya kepemimpinan Mampu memimpin (manajerial) Bisa bergaul dengan orang lain Mau menerima dan menanggapi saran dan kritik Bisa memberikan reward dan funishment kepada staff dan karyawannya. Bisa menempatkan karyawan sesuai dengan bakat dan keahliannya. e. Keorisinilan Inovatif (selalu mencari cara dan teknologi baru) Kreatif Flexible Banyak sumber dan relasi Luas wawasan dan pengetahuannya serta terampil f. Berorientasi ke Masa Depan, mempunyai visi ke depan (perspektif) g. Kreativitas, adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk menciptakan sesuatu yang baru (gagasan, produk, jasa, teknologi, dll). Kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi individu, proses, produk dan press/kualitas barang dan jasa (Dedi Supriadi, 1994) 3.4. Karakteristik Kewirausahaan Wirausaha adalah seseorang yang menciptakan sesuatu yang baru dengan mengambil resiko dan ketidakkpastiaan demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkannya. Untuk menjadi pemilik bisnis juga diperlukan kemauaan yang kuat untuk bekerja sendiri. Ciri watak wirausahawan menurut Geoffrey G. Meredith antara lain adalah : 1) Percaya diri wirausahawan memiliki watak berkeyakinan tinggi, tidak tergantung pada orang lain, individualistis, dan optimis.Sifat ini adalah langkah awal untuk menjadi wirausaha, karena dengan percaya diri wirausaha menjadi bisa atau sanggup dalam menjalani setiap usaha-usaha Dengan demikian dapat maju kearah selanjutnya utnuk mencapai kesuksesan. Tapi perlu digarisbawahi percaya diri disini bukan berarti kita menyombongkan diri kita sendiri, akan tetapi menjadi tolak ukur kemampuan dan diri kita pribadi. 2) Berorientasi pada tugas dan hasil.Wirausahawan berwatak butuh berprestasi, beorientasi laba, tekun, dan tabah, tekad bekerja keras, mempunyai dorongan kuat, energik, dan inisiatif. Dengan berorientasikan pada tugas dan hasil seorang wirausaha tidak mengutamakan prestise dulu, prestasi kemudian. Akan tetapi, ia senang pada prestasi

3)

4)

5) 6)

baru kemudian setelah berhasil prestisenya akan naik. Seorang wirausaha yang selalu memikirkan prestise lebih dulu dan prestasi kemudian, tidak akan mengalami perkembangan dan kemajuan. Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika kita berusaha menyingkirkan prestise. Kita akan mampu bekerja keras, enerjik tanpa malu dilihat teman, asal yang kita kerjakan itu pekerjaan halal. Pengambila resiko dan suka tantangan.Wirausahawan memiliki watak mampu mengambil resiko yang wajar.Kecermatan, ketelitian, kehati-hatian merupakan sikap yang harus dimiliki juga oleh seorang wirausaha. Penggabungan dari kesemuanya itu adalah memfokuskan kepada dampak yang akan terjadi setelah bisnis dijalankan. Entah itu untung ataupun rugi.Serta bagaimana menanggulanginya secara profesional, tanpa mengabaikan hal-hal yang sekecil mungkin.Seorang wirausaha harus mampu dan bisa mengkalkulasi kesemuanya itu. Jangan ceroboh dalam mengambil sikap, menggampangkan apalagi menyepelekannya, karena ini akan membuat kesalahan yang fatal bagi kemajuan bisnis. Jika perhitungan sudah matang, membuat pertimbangan dari segala macam segi, maka berjalanlah terus dengan tidak lupa berlindung kepada-Nya. Kepemimpinan.Wirausahawan berprilaku sebagai pemimpin, bergaul denga orang lain, menanggapi saran dan kritik.Sifat kepemimpinan memang ada dan selalu terpancar dalam diri masing-masing individu.Karena setiap manusia dituntut untuk dapat memimpin dirinya sendiri.Namun sekarang ini, sifat kepemimpinan sudah banyak dipelajari dan dilatih. Ini tergantung kepada masing-masing individu dalam menyesuaikan diri dengan organisasi yang ia pimpin. Jiwa pemimpin merupakan hal yang vital sekali bagi wirausaha untuk dikembangkan. Keorisinilan.Wirausahawan berwatak inovatif dan kreatif, serta fleksibel. Berorientasi ke masa depan. Wirausahawan berpandanang ke depan, prespektif.Seorang wirausaha haruslah perspektif, mempunyai visi ke depan, apa yang hendak ia lakukan, apa yang ingin di capai. Sebab sebuah bisnis bukan didirikan untuk sementara, tetapi untuk selamanya. Oleh sebab itu, faktor kontinuitasnya harus dijaga dan pandangan harus ditujukan jauh ke depan. Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah-langkah yang akan dilaksanakan.

4.DESKRIPSI MODEL Di Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati), pengenalan kewirausahaan dilakukan melalui mata kuliah kewirausahaan dengan bobot 2 sks dan di program studi tertentu diberikan dengan bobot 3 sks dengan rincian sebagai berikut : Program Studi Manajemen Akuntansi Pendidikan Ekonomi Komunikasi Agrobisnis Agroteknologi Bobot SKS 3 2 2 2 3 3 Semester 3 3 3 3 5 5

Dari 7 Fakultas yang ada di lingkungan Unswagati , baru 4 Fakultas yang menjadikan kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib. Dengan adanya kurikulum yang baru di tahun akademik 2011/2012 menjadikan matakuliah kewirausahaan menjadi mata kuliah wajib dan

pilihan di seluruh Program Studi di lingkungan Unswagati. Selain tatap muka, para mahasiswa peserta mata kuliah kewirausahaan juga diharuskan membuat suatu rencana bisnis sebagai suatu tugas . Setiap semester dilakukan workshop kewirausahaan dasar bagi seluruh mahasiswa di lingkungan Unswagati dengan tujuan utama untuk merubah pola pikir mahasiswa tentang paradigma be a job creator not a job seeker. Selain itu, dilakukan juga workshop penyusunan business plan yang tujuannya agar mahasiswa dapat membuat rencana usaha atau rencana pengembangan usaha. Fasilitator untuk kegiatan workshop adalah dosen pengampu mata kuliah kewirausahaan, maupun praktisi kewirausahaan yang diutamakan berasal dari alumni, dengan harapan dapat memberikan motivasi kepada mahasiswa. Selain itu, mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengelola koperasi mahasiswa (KOPMA) dan kantin, dalam rangka membina jiwa wirausaha. Pusat Kewirausahaan ( Entrepreneurship Center) Unswagati Agar program kewirausahaan di Unswagati dapat berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan serta mempunyai sistem pengelolaan yang terencana secara sistematis dan progresif, maka dibentuk suatu lembaga khusus sebagai pusat pengembangan kewirausahaan. Lembaga khusus sebagai pusat pengembangan kewirausahaan dimaksud adalah Pusat Kewirausahaan (Entrepreneurship Center) Unswagati yang dibentuk pada Bulan Oktober 2011. Untuk mencapai target maksimal dan kelancaran PK, maka telah dibentuk unit-unit sebagai berikut : a. Pusat Kewirausahaan di tingkat Universitas, terdiri dari pelindung (1 orang), Pengarah (4 orang), Penasehat (3 orang), Pengelola inti (3 orang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara), serta seksi-seksi (9 orang). b. Pusat Kewirausahaan di tingkat Fakultas, dengan penanggung jawab wakil Dekan III (ex officio). c. Pusat kewirausahaan di tingkat Program Studi, dengan Penanggung Jawab Ketua program Studi (ex officio). d. Dosen-dosen pengampu dan pengajar mata kuliah Kewirausahaan di tiap-tiap Program studi sebagai pendamping atau pembimbing. e. Kelompok mahasiswa wirausaha sebanyak 5 orang di tiap-tiap Program Studi. Tugas Pokok PK adalah : a. Meningkatkan dinamika pengembangan pendidikan kewirausahaan di Unswagati. b. Meningkatkan dinamika pengelolaan kegiatan kewirausahaan di Unsawgati secara profesional, terkoordinasi dan sinergis. c. Sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator dalam kegiatan kewirausahaan di Unswagati. d. Meningkatkan jumlah usaha yang ada di Unswagati.

Program penguatan Pusat Kewirausahaan di Unswagati melibatkan pihak-pihak terkait sebagai stakeholdernya, baik eksternal maupun internal agar pelaksanaan program berjalan secara efisien dan efektif. Stakeholders eksternal terdiri dari : 1. Direktorat pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional. 2. Organisasi perangkat Daerah (OPD) yang terkait di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UMKM, dan sebagainya. 3. Alumni yang sukses sebagai pengusaha atau job creator. 4. Pengusaha sukses. Adapun stakeholders internal terdiri dari :Pimpinan Universitas. 1. Pimpinan Fakultas. 2. Pusat Kewirausahaan di tingkat Universitas. 3. Pusat Kewirausahaan di tingkat Fakultas. 4. Pusat Kewirausahaan di tingkat Program Studi. 5. Dosen mata kuliah Kewirausahaan di tiap-tiap Program Studi. 6. Kelompok mahasiswa Wirausaha di tiap-tiap Program Studi. Para stakeholders tersebut merupakan jejaring kerja dalam Program Penguatan Pusat Kewirausahaan Unswagati. Para Stakeholders diharapkan dapat menjalankan peran dan fungsinya secara sinergis dan terkoordinasi guna mendudkung penguatan Pusat Kewirausahaan Unswagati. Untuk mewujudkan pelaksanaan Program penguatan Pusat kewirausahaan Unsawgati secara efisien dan efektif, diperlukan dukungan sistem informasi yang memadai. Sistem informasi kewirausahaan di Unswagati dibangun dengan mengikuti alur struktur sebagai berikut :

PUSAT KEWIRAUSAHAAN TINGKAT UNIVERSITAS

PUSAT KEWIRAUSAHAAN TINGKAT FAKULTAS

PUSAT KEWIRAUSAHAAN TINGKAT PROGRAM STUDI

MAHASISWA WIRAUSAHA

Diseminasi informasi mengenai Program Kewirausahaan di Unswagati dilakukan secara top down dan bottom up sekaligus. Diseminasi informasi secara top down dilakukan dari atas ke bawah yaitu dari Pusat Kewirausahaan Universitas sampai ke Mahasiswa Wirausaha di tiap-tiap program Studi. Wujudnya adalah pemberian informasi melalui sosialisasi, rapat, briefing, dan sebagainya. Sedangkan diseminasi informasi secara bottom up dilakukan dari bawah ke atas yaitu dari Mahasiswa Wirausaha dan seterusnya sampai kepada PK tingkat Universitas.Wujudnya adalah pemberian laporan, konsultasi, saran/masukan, dan sebagainya mengenai pelaksanaan program. Selain sistem informasi, juga diperlukan database lengkap mengenai kewirausahaan di Unswagati. Database lengkap kewirausahaan mahasiswa ini meliputi : 1) Minat mahasiswa terhadap wirausaha. 2) Kelompok mahasiswa wirausaha di tiap-tiap Program Studi. 3) Kegiatan wirausaha mahasiswa di tiap-tiap Program Studi. 4) Lulusaan yang menjadi wirausaha dan job creator. 5) Profil mahasiswa dan alumni yang sukse dalam wirausaha. Dengan adanya database tersebut maka outputnya dapat digunakan oleh pimpinan Unsawgati untuk membuat keputusan program pengembangan kewirausahaan mahasiswa setiap tahun secara sistematis, terprogram dan terencana, sehingga program tersebut dapat berkelanjutan (sustainable).

PROGRAM BANTUAN DANA BERGULIR BAGI MASYARAKAT EKONOMI LEMAH

Program ini diharapkan bermanfaat bagi pengentasan kemiskinan dan kemandirian usaha ekonomi masyarakat di wilayah Cirebon. Program yang melibatkan mahasiswa sebagai AMEL (Agen Masyarakat Ekonomi Lemah) ini, bagi Unswagati merupakan perwujudan

nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya bidang pengabdian kepada masyarakat dan merupakan kajian dalam program pemberdayaan masyarakat. Hasil yang diharapkan dari terlaksananya program ini antara lain : 1. Tumbuhnya jiwa wirausaha pada masyarakat ekonomi lemah 2. Mengembangkan usaha masyarakat ekonomi lemah 3. Meningkatkan kemandirian dalam berusaha bagi masyarakat ekonomi lemah. 4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah.

Peran mahasiswa sebagai AMEL dalam program ini adalah : 1. Melakukan survei kepada obyek/calon penerima pinjaman. 2. Melakukan wawancara kepada calon peminjam 3. Melaporkan hasil survei kepada pengelola program bantuan dana bergulir (LPPM) 4. Melakukan penagihan kepada para peminjam setiap minggu. Pinjaman diberikan kepada anggota masyarakat yang menjalankan usaha ekonomi produktif seperti pedagang kecil, warung, kios-kios di pinggir jalan atau di pasar tradisional, para pengrajin, industri kecil rumah tangga dan usaha produktif lainnya yang membutuhkan pinjaman termasuk untuk membuka usaha baru. Adapun besarnya pinjaman yang diberikan adalah maksimal Rp. 1.000.000 dengan periode pengembalian 10 minggu atau maksimal 3 bulan tanpa beban bunga pinjaman dan tanpa adanya agunan. Prosedur pinjaman dilaksanakan sebagai berikut : 1. Berkas permohonan dari peminjam masuk, kemudian dilakukan survei oleh AMEL. 2. Amel melakukan penelitian atas calon peminjam berkaitan dengan permohonannya. 3. Amel melakukan analisis pinjaman sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan calon peminjam layak atau tidak layak untuk dipinjami. Beberapa aspek yang perlu dianalisis adalah : aspek administrasi, berjiwa wirausaha dan memiliki kemampuan untuk menjalankan usaha dan aspek kemampuan mengembalikan pinjamana. 4. Amel mengajukan calon peminjam kepada pengelola (LPPM) dan selanjutnya akan diputuskan oleh pimpinan apakah permohonan pinjaman ditetima atau ditolak. 5. Pencairan pemberian pinjaman kepada calon peminjam. 6. Penagihan oleh AMEL. Sejak diperkenalkan program ini kepada masyarakat pada tanggal 7 Oktober 2011, sampai saat buku ini disusun, aplikasi permohonan yang masuk telah 304 peminjam. Sedangkan jumlah masyarakat ekonomi lemah yang sudah mendapat bantuan dana bergulir sebanyak 71 orang dengan total pinjaman Rp. 35.600.000.

5. INDIKATOR KEBERHASILAN Pendidikan karakter mahasiswa bidang kewirausahaan dalam pengertian sehari-hari sering diartikan sebagai upaya pemberian atau optimalisasi daya yang telah dimiliki oleh seseorang atau mahasiswa, yang dalam hal ini daya usaha diartikan sebagai kemampuan yang mencakup pengetahuan, sikap, keterampilan, dan aksesbilitas terhadap kemampuan berwirausaha. Pemberdayaan mahasiswa dalam kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai penguatan mahasiswa (community strengthening) atau pengembangan mahasiswa (capacity development). Penguatan atau pengembangan kapasitas di sisni tidak terbatas pada kapasitas pribadi atau individual, tetapi juga kapasitas entitas (organisasi) serta kapasitas sistem atau jejaring kelembagaan kemahasiswaan. Lingkup pemberdayaan mahasiswa tidak cukup dilakukan terbatas pada upaya bina manusia/ mahasiswa tetapi harus diikuti oleh upaya bina usaha guna memberikan penghasilan atau pendapatan yang lebih baik, tanpa itu bina manusia akan membuat mahasiswa jemu, bahkan menumbuhkan kekecewaan yang berakibat pada skeptisme (ketidak percayaan) terhadap program/kegiatan pemberdayaan mahasiswa berikutnya. Adapun indikator kegiatan Pemberdayaan mahasiswa bidang kewirausahaan dapat di lihat pada Tabel di bawah ini. Tabel Indikator Kegiatan Pemberdayaan Mahasiswa Lingkup Kegiatan Bina Manusia/ mahasiswa Bina Usaha mahasiswa Indikator - Pengembangan kapasitas kepribadian mahasiswa - Pengembangan kapasitas keprofesionalan - Status kelayakan dan perencanaan bisnis - Pembentukan badan usaha/koperasi mahasiswa - Perencanaan investasi dan penetapan sumber-sumber pembiayaan bidang usaha - Pengelolaan SDM dan pengembangan karir - Manajemen produksi dan operasi - Manajemen logistik dan finansial - Penelitian dan pengembangan bidang usaha mahasiswa - Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi bisnis - Pengembangan jejaring dan kemitraan bidang usaha - Pengembangan sarana dan prasarana pendukung bidang usaha - Kepedulian dan kesetiakawanan sosial - Akulturasi dan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal - Pengembangan dan optimasi efektifitas kelembagaan Koperasi mahasiswa - Pengembangan dan optimasi efektifitas kelembagaan Koperasi mahasiswa - Pengembangan dan optimasi efektifitas kelembagaan Koperasi mahasiswa

Bina Lingkungan Mahasiswa Bina Kelembagaan Mahasiswa

Syarat untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan mahasiswa terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu : a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi mahasiswa untuk berkembang. Titik-tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia atau mahasiswa memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. b. Pemberdayaan mahasiswa adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya. c. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki mahasiswa (empowering). Upaya pemberdayaan kewirausahaan mahasiswa perlu mengikut-sertakan semua potensi yang ada pada mahasiswa. Indikator keberhasilan yang dipakai untuk mengukur pelaksanaan program-program pemberdayaan mahasiswa bidang kewirausahaan mencakup : a. Jumlah mahasiswa yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan kewirausahaan yang dilaksanakan. b. Frekuensi kehadiran mahasiswa pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan kewirausahaan. c. Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh mahasiswa yang ditujukan untuk kelancaran pelaksanaan program kewirausahaan. d. Jumlah dana yang dapat digali dari mahasiswa untuk menunjang pelaksanaan program kewirausahaan e. Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah. f. Meningkat kapasitas skala partisipasi mahasiswa g. Meningkatnya kepedulian dan respon dari mahasiswa terhadap perlunya peningkatan jiwa kewirausahaan. h. Meningkatnya kemandirian mahasiswa dalam kewirausahaan.

6. PENILAIAN DAN EVALUASI Penilaian dan evaluasi kewirausahaan mahasiswa di Unswagati adalah sebagai berikut : 1. Pada pelaksanaan Mata Kuliah Kewirausahaan maupun pelaksanaan workshop semesteran (tahap penyadaran) diharapkan 10-20% dari seluruh mahasiswa dapat turut berpartisipasi secara aktif sampai pelaksanaan kegiatan selesai. Bentuk kegiatan adalah kuliah umum yang diberikan oleh wirausahawan-wirausahawan yang sukses. Topik bahasan meliputi pemberian motivasi dengan contoh-contoh pengalaman, baik hal-hal mendasar yang seharusnya dimiliki seorang entrepreneur, maupun praktik wirausaha di berbagai bidang yang relevan.

2. Tahap pembekalan diberikan kepada mahasiswa yang telah sadar dan termotivasi akan pentingnya kewirausahaan. Diharapkan mereka secara serius akan mengikuti pembekalan kewirausahaan dengan garis besar terdiri atas : a. Mengembangkan rencana bisnis dan pengetahuan aspek hukum b. Pembuatan proposal Studi kelayakan Usaha (SKU) c. Analisis kegiatan bisnis perusahaan 3. Tahap pelaksanaan, pada tahap ini adalah kompetisi atau proses seleksi pada mahasiswa yang sudah memahami bekal tentang organisasi kewirausahaan dan telah membuat proposal Studi Kelayakan Usaha (SKU) Penilaian layak tidaknya suatu SKU dilakukan dengan melibatkan investor-investor. Diharapkan dapat diperoleh 10 bentuk usaha sebagai target tahun pertama pelaksanaan kewirausahaan mahasiswa. Selain itu, proposal SKU juga diikutsertakan dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dikti khususnya PKM Kewirausahaan. Saat ini yang telah berjalan dlakukan oeh mahasiswa wirausaha adalah usaha ternak ayam dan mengelola Koperasi mahasiswa (KOPMA) serta kantin di lingkungan kampus Unswagati dan keterlibatan mahasiswa sebagai AMEL dalam program bantuan dana bergulir bagi masyarakat ekonomi lemah.

BAB IV

REKOMENDASI Bahwa dalam kesempatan ini kami menyampaikan usulan bahwa untuk melembagakan semangat dan ideologi kebangsaan Indonesia haruslah dimulai dengan penataan dan pembentukan karakter tersebut ke dalam kurikulum nasional yang berkesinambungan dan dananya sharing program dari Dikti guna keberlangsungan pematangan materi selanjutnya.

Perlunya peran Perguruan Tinggi dalam mengimplementasikan 4 pilar kebangsaan Sebagai Penguatan Kebijakan Lokal pada mata kuliah Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia dan Kewirausahaan sehingga menghasilkan alumnus-alumnus yang emiliki jiwa dan raga untuk membangun bangsa ini. Penunjangnya adalah bagaimana kita bersama berniat mengembangkan dari apa yang kita punyai dan berkehendak dikembangkan dengan kesungguhan.

DAFTAR PUSTAKA

- Anhar Gonggong dalam Diskusi Terbatas, Perspektif Sejarah atas Demokrasi Indonesia, 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi - Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. - Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya. - Asmani, Jamal Mamur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press. - Basics of Marketing, Ciba Geigy Ltd. 1988.http.google.com - Basics of Marketing, Ciba Geigy Ltd. 1988.http.google.com - Birch, Paul brian Hersey.(1997). Management Organizational Behavior prentice hall, Inc. - Birch, Paul brian Hersey.(1997). Management Organizational Behavior prentice hall, Inc. - Buchari Alma .(2007). Pengantar Bisnis Penerbit CV Alfabeta, Bandung. - Buchari Alma .(2007). Pengantar Bisnis Penerbit CV Alfabeta, Bandung. - Budimansyah, D. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio, Bandung: PT Genesindo. - Budimansyah, D. (ed). (2006). Pendidikan Nilai-Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Laboratorium PKn UPI. - Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press. - Chaedar, A. Alwasilah. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. - Chaer, A. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta. - Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga. - Dahlan, M. D. (Ed.). 1984. Model-Model Mengajar. Bandung: Diponegoro. - Dewanti, Retno. 2003. Kewirausahaan.Mitra Wacana Media.Yogyakarta. - Dewanti, Retno. 2003. Kewirausahaan.Mitra Wacana Media.Yogyakarta. E Fidelis, Waruwu. 2010. Membangun Budaya Berbasis Nilai Panduan Pelatuhan Bagi Trainer , Yogyakarta :Kanisius

- Erni Sule dan Asep Mulyana. Kewirausahaan. Melalui http://google.com - Erni Sule dan Asep Mulyana. Kewirausahaan. Melalui http://google.com - Fachri Ali,Aspek Politik Kebijakan Publik dan Demokrasi Pengalaman ORBA,Komunal:jakarta;2006 Fatchul Muin. 2011. Pendidikan Karakter : Konstruksi Teoritik & Praktik, Jogjakarta : Arruzz Media - Hasan Basari, Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm,.-- Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian - Hisrich, Robert. D., Peters M.P. (1995). Entrepreneurship. Irwin. Chicago - Hisrich, Robert. D., Peters M.P. (1995). Entrepreneurship. Irwin. Chicago - Hunger, J.David. Wheelen, L. Thomas. 2001.Manjaemen Strategis. Penerbit Andi. Yogyakarta. - Hunger, J.David. Wheelen, L. Thomas. 2001.Manjaemen Strategis. Penerbit Andi. Yogyakarta. - Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosdakarya. Isna Aunillah, Nurla. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter Di Sekolah, Jogjakarta : Laksana - Joice, Bruce dkk. 2009. Model-model Pengajaran. Pen. Fawaid, Ahmad dan Mirza, Ateilla. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kementrian Pendidikan Nasional, Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, 2011. Jakarta : Dikti - Kesuma, Dharma, Cepi Triatna, dan Johar Permana. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: Rosdakarya. - Kompas 2007Serba serbi Otonomi Daerah dan Permasalahannya - Kotler, Philip.1995.Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Impletasi, dan Pengendalian.Salemba Empat:Jakarta - Kotler, Philip.1995.Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Impletasi, dan Pengendalian.Salemba Empat:Jakarta - Lubis, Hamid Hasan. 1994. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. - Malta.2010.Karakteristik Kewiraswastaan.http://www.yahoo.com. - Malta.2010.Karakteristik Kewiraswastaan.http://www.yahoo.com. - MarkPlus & Co Education Division 2004, Professional Salesmanship. http.wikipedia.com - MarkPlus & Co Education Division 2004, Professional Salesmanship. http.wikipedia.com - Masykur Wiratmo dkk. 1996, Pengantar Kewiraswastaan.http.wikipedia.com - Masykur Wiratmo dkk. 1996, Pengantar Kewiraswastaan.http.wikipedia.com Muhammad Thohir, ApKj. DR. Menjadi Manusia Pilihan dengan Jiwa Besar, Jakarta : Lentera Hati - Musa Hubeis.2009. Prospek Usaha kecil Dalam wadah Inkubator Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia - Musa Hubeis.2009. Prospek Usaha kecil Dalam wadah Inkubator Bisnis. Bogor : Ghalia Indonesia - Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. - Mustakim. Bahasa sebagai Jati Diri Bangsa. [online]. Tersedia: http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/?q=detail_artikel/2603. [31 Oktober 2011]. - Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Najib Sulhan, MA. Drs. 2011. Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa, Surabaya : PT JePe Press Media Utama - Naniek Ratni Jar. Hand Out Kewirausahaan. http://google.com

- Naniek Ratni Jar. Hand Out Kewirausahaan. Melalui http://google.com - Naniek Ratni Jar. Hand Out Kewirausahaan. Melalui http://google.com Nazili Shaleh Ahmad. Dr. 2011. Pendidikan Dan Masyarakat Terjemah Al-tarbiyyah wal Mujtama, Yogyakarta : Sabda Media - Noer, Nurdin M. 2007. Menusa Cerbon. Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. - Noer, Nurdin M. 2011. Ajaran Budi Pekerti Suluk dan Kidung. Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. - Noer, Nurdin M. 2011. Ajaran dan Pemikiran Syekh Siti Jenar. Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. - Noer, Nurdin M. 2011. Pepatah Jawa. Cirebon: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. Prayitno, MSc.Ed. Prof. Dr dan Belferik Manullang, Prof. Dr. 2011. Pendidikan Karakter Dalam Pengembangan Bangsa, Jakarta : PT Grasindo - Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. - Rahayu, Minto. 2009. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Jakarta: Grassindo. - Rhenald Kasali dkk. 2010. Modul Kewirausahaan. Penerbit Hikmah. Jaakarta - Rhenald Kasali dkk. 2010. Modul Kewirausahaan. Penerbit Hikmah. Jaakarta - Robin.2008.Perseroan Terbatas.http://www.shvoong.com. - Robin.2008.Perseroan Terbatas.http://www.shvoong.com. - Roy Erickson Mamengk, Ideologi Kebangsaan vs Politik Segmentasi, www.Facebook.Com 2011 - S, Widjono. 2008. Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo. - Salim Siagian, 1996, Kewirausahaan Indonesia, Puslatkop dan PK. http:goegle.com - Salim Siagian, 1996, Kewirausahaan Indonesia, Puslatkop dan PK. http:goegle.com - Sanusi, Achmad (1998) Jurnal Mimbar Pendidikan, Jakarta: FIP UNJ - Sofjan, Assauri.1987.Manajemen Pemasaran. PT.Raja Grafindo Presada:Jakarta - Sofjan, Assauri.1987.Manajemen Pemasaran. PT.Raja Grafindo Presada:Jakarta - Suara,art.1938. Kewiraswastaan Motivasi Perubahan Berpikir. http://wordpress. com. - Suara,art.1938. Kewiraswastaan Motivasi Perubahan Berpikir. http://wordpress. com. - Suharna,Dede.2010.Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Perusahaan. http://dedesuharnas.blog. - Suharna,Dede.2010.Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Perusahaan. http://dedesuharnas.blog. - Sumarsono, Sonny.2010.Kewirausahaan.Graha Ilmu:Yogyakarta - Sumarsono, Sonny.2010.Kewirausahaan.Graha Ilmu:Yogyakarta - Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. - Syafii. 2010. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Prosa. [online]. Tersedia: http://solehamin.wordpress.com/tentang-kami/artikel-7/. - Syah, Muhibbin.2009. Psikologi Belajar. Jakarta : Rajagrafindo Persada. - Tarigan, H. G. 2009. Metodologi Pengajaran Bahasa. Edisi revisi. Bandung: angkasa - Tarigan, H. G. 2009. Pengajaran Pragmatik. Edisi revisi. Bandung: Angkasa. - Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Tim Prestasi Pustaka. - Undang-Undang Dasar 1945, - Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional - UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional - UUD 1945 - Wahab, A. A. (1999) Paradigma Pedagogis Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: CICED

- Wahab.A.A (1996) Politik Pendidikan Dan Pendidikan Politik : Model Kependidikan Kewarganegaraan Indonesia Menuju Warga Negara Global. Pidato Pengukuhan Jabatan Dosen Besar Tetap Dalam Ilmu Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung - Wijaya Kusuma,Pergulatan Perjalanan Reformasi,UII Yogyakarta;2006, - Wijaya kusumaPradigma Negara Hukum dan Permaslahannya, UII Pers Yogyakarta: 2007, - Winardi, J. 2008. Entrepeneur & Entrepeneurship.Kencana.Jakarta - Winardi, J. 2008. Entrepeneur & Entrepeneurship.Kencana.Jakarta - Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi, (Disertasi), Bandung: Program Pascasarjana UPI Yoggi Herdani , Pendidikan Karakter Sebagai Pondasi Kesuksesan Peradaban Bangsa, Thursday, 03 June 2010 ,www.dikti.com

Anda mungkin juga menyukai