Anda di halaman 1dari 16

Bermasyarakat, Berbangsa

Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

KOMPAS, 14 April 2015

Menilik gelagatnya kita dewasa ini tak lagi saling terikat dengan ide, melainkan dengan kepentingan. Kelihatan
betapa opini human direduksi jadi sejenis debu intelektual, bertebaran ke segala penjuru, tak berdaya untuk
menghimpun, tak mampu berkohesi.

Rangkaian gerakan nasionalis di masa pra-kemerdekaan membuat kaum terpelajar kita percaya bahwa "sejarah"
adalah resultan dari implementasi maksud-maksud yang disadari. Ide kemerdekaan-otonomi, kesempatan, peluang,
keterbukaan-menjadi aset nasional yang sama nilainya dengan humus di permukaan tanah pulau-pulau. Namun
lapisan teratas tanah terbuka untuk erosi. Ia memerlukan usaha pencegahan yang relevan dan konsisten.

Maka perlu disadari sejarah merupakan pula sebuah "cerita" tentang yang tak terduga dan aneka kelalaian. Yang
sering tak terduga adalah kelalaian. Akibatnya, hukum kedua termodinamika punya analogi: sistem sosio-politik
kita cenderung kian merosot ke entropi. Ia semakin efektif karena masyarakat kita berkembang jadi medan
kekuatan-kekuatan impersonal yang menyuburkan pertumbuhan individualisme bawaan kapitalisme liberal dari
pembangunan ekonomi teknokratis.

Padahal, kemerdekaan nasional terwujud berkat dedikasi orang-orang, di antaranya relatif muda, yang melampaui
pertimbangan individualisme. Ongkos mahal kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa yang tak ternilai dalam
kehidupan pribadi. Lalu apakah bangsa ini, Indonesia, yang begitu didambakan dan begitu diabdi, dapat bertahan?
Jawabannya tergantung, antara lain, pada "siapa" kita ini, pada "pengertian bangsa", pada apa yang dimaksud
dengan "bertahan" (survive).

Ketika perang revolusioner di Amerika kian mendesak, Jenderal George Washington memberi perintah pada
pasukannya (30/4/1777), "Put none but Americans on guard tonight!". Beginilah sikap visioner seorang founding-
father, mengandalkan warga negara sebelum membentuk bangsa. Kewarganegaraan merupakan suatu mindset
(alam pikiran dan kejiwaan). Ide visioner seperti ini yang kiranya terlalaikan oleh para pendiri bangsa kita. Padahal,
himne nasional "Indonesia Raya" telah mengingatkan "jiwa" Indonesia-lah yang perlu dibangun lebih dahulu, baru
kemudian "badannya", demi kejayaannya.

Sewaktu pra-merdeka muda-mudi kita bersumpah "kami bertanah-air satu", natur arsipelago Indonesia ketika itu
masih berupa suatu lokalitas fisik dan berpenduduk. Ketika di masa pasca merdeka kita menyatakan diri suatu
bangsa yang merdeka, natur negeri kepulauan ini bukan lagi sekadar berupa substansi fisik. Hotel adalah sebuah
lokalitas fisik dan eksistensinya memerlukan penghuni (penduduk). Negara-Bangsa merdeka bukan lokalitas fisik
dan tak butuh penduduk, tetapi warga negara, personalitas yang tak hanya "engage", tetapi"commit", tak hanya
punya kewajiban moral, tetapi juga hak.

Jika hanya berdasarkan konvensi, tanpa rujukan pada natur, ia berpijak pada opini yang menentukan konvensi. Bila
opini berubah-secara luas meliputi kebiasaan, norma, adat istiadat-konvensi akan berubah, disusul hak. Demikian
pula karakter dan kejiwaan warga negara. Berhubung kewarganegaraan adalah suatu mindset, bila alam pikiran dan
kejiwaan mengalami cukup perubahan, orang bersangkutan mungkin masih tetap formal warga negara, tetapi dari
suatu bangsa yang lain.

Bagi orang atau orang-orang seperti ini, Tanah Air dihayati dalam term fisik, bumi tempat berpijak serta menggali
rezeki dan dalam term formal, entitas politik dan ketatanegaraan yang memberikan mereka identitas serta status
manusia merdeka, tetapi tidak merunut term mental, yang mengharapkan dari mereka kesediaan senasib-
sepenanggungan dengan Tanah Air, kerelaan berkorban demi preservasi harkat dan martabat Negara-Bangsa. Harta
galian dari bumi Indonesia mereka tumpuk dan putar di negeri lain, menciptakan lapangan kerja di sana. Mindset
mereka berkiblat pada negara asing. Mereka "berbadan" Indonesia namun "berjiwa" asing.

Politikus dan negarawan

Parpol perlu waspada agar tak menjadi kumpulan kaum oportunis. Para politikus boleh saja membina dirinya
menjadi profesional di bidang politik, namun sungguh tak layak bila mereka lalu membuat kerja politik menjadi
sumber kekayaan dan pelesiran. Apakah mereka tak risi menerima "gaji" yang jauh lebih besar daripada
penghasilan rata-rata orang yang mereka wakili ditambah aneka fasilitas kerja yang tak pernah diminta
persetujuannya lebih dulu dari publik. Begitupun masih jelalatan cari proyek. Kini organisasi mereka, parpol, malah
diberi subsidi. Mengapa dana itu tak disalurkan saja ke bidang pendidikan yang kerjanya jelas membangun masa
depan Indonesia. Ternyata pemerintah tak punya sense of survival.

Kader parpol berusia muda perlu sadar tak akan selamanya jadi generasi muda. Satu waktu mereka harus bisa
dewasa, berani mengambil alih pimpinan partai dari politikus senior yang selalu mau berkuasa, membangun dinasti
politik keluarga berdasarkan keturunan, keuangan. Yang korup bukanlah kekuasaan an sich, seperti sentilan Lord
Acton, tetapi nafsu berkuasa terus menerus at all costs.

Jadi politikus seharusnya bukan ideal "generasi dewasa", tetapi negarawan. Politikus adalah negarawan yang
membuat Negara-Bangsa mengabdi pada dirinya, termasuk kepentingan primordial kelompoknya. Negarawan
adalah politikus yang membuat dirinya pengabdi Negara-Bangsa dan rakyat. Rakyat tetap ingin diperintah para
arifin. Publik mendambakan elite berkarakter dan berprestasi berekam jejak jelas. Namun karakter nasional adalah
suatu substansi riil, dibentuk sebagian oleh hukum dan politik, pasti tak terbuat dari marmer. Premis tata kepartaian
kita justru tak melayani harapan ideal itu. Anggota legislatif asyik menyusun kekuatan, berkoalisi, dengan tujuan
menjegal pemerintah agar politikus dan parpol yang menguasai eksekutif gagal memberikan yang terbaik bagi
rakyat. Tujuan utama mereka memenangi pemilu berikutnya, bukan kebahagiaan umum rakyat.

Besar namun lemah

Negara adalah bangsa terorganisasi. Kerjanya yang kian kompleks urusan pemerintah. Maka diperlukan opini
publik guna mencerahkan kompleksitas itu. Ada tulisan pribadi, atentif, dan serius di rubrik opini dan ruang
pembaca media cetak, namun tak ditanggapi sebagai opini publik oleh pemerintah yang dipagari aneka lapisan dari
the president's men. Tulisan-tulisan bijak tadi tak dibaca oleh alamat yang ditujunya. Sementara maksud
fundamental liberalisme modern adalah kesetaraan dan ini membina pemerintah hingga percaya pada moralequality
of appetites.

Akibatnya, saksikan saja kondisi pemerintah yang berlaku. Ia besar (kabinet berkementerian banyak), tetapi tidak
kuat; mampu memberi, tetapi tidak memimpin, kedodoran. Kondisi ini sebagian karena degradasi dogma
demokratis. Ia jadi begitu jelas oleh kenyataan bahwa kini tidak ada pujian yang lebih tinggi daripada ucapan
bahwa pemerintah atau pejabat adalah responsif. Namun suatu pemerintahan yang keresponsifannya berupa suatu
obsesi, cenderung tak mampu memimpin, lebih-lebih kalau sikap itu berupa blusukan tanpa samaran, non-
incoqnito. Ia tak lebih daripada pencitraan belaka, perbuatan politikus, bukan negarawan.

Kemampuan sejati pemimpin adalah bisa mengatakan kepada rakyat apa-apa yang mereka butuhkan sebelum
mereka menyadarinya sendiri. To govern is to foresee. Liberalisme yang, menurut George F Will, adalah the
politics of the pleasure principle membuat pemerintah berdagang sapi. Pemerintah tumbuh gendut, tetapi lunglai.
Ada beberapa kementerian dan jabatan menteri koordinasi yang serba artifisial. Kemubaziran ini turut dipicu niat
mengadakan perubahan besar-besaran, dalam tempo yang relatif singkat. Too much too soon. Bukan yang banyak
adalah baik, tetapi yang baik itu adalah banyak.

Pemerintah keliru ketika memercayakan program kerja kabinet pada kepakaran atau spesialisasi. Spesialisasi ada di
kabinet, di staf kepresidenan, di administrasi pemerintahan. Sistem pendidikan pun terus membanjiri pemerintahan
dengan alumni yang kian spesialistis. Progres memang butuh spesialisasi. Namun spesialisasi mengabaikan banyak
hal yang diniscayakan. Kenyataan ini membahayakan progres dan, akhirnya, peradaban yang adalah rajutan
keragaman ide yang khas dan unik. Perlu kesadaran tentang ranah intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah
kontemporer.

Sidang kabinet perlu sesekali mengadakan diskusi serius tentang ide politik. UUD '45 dan semua dokumen politik
yang terkait, di antaranya Pancasila, merupakan suatu intricate judgment tentang bagaimana manusia Indonesia
(seharusnya) berperilaku, bukan bagaimana pasar berperilaku, berdasarkan kondisi waktu di saat dokumen-
dokumen itu ditulis. Perlu kejelasan dan kesamaan persepsi apakah ia masih berlaku berdasarkan kondisi kekinian.
Negarawan yang tak menyadari ide yang membentuk lembaga yang di bawahinya dan tak tertarik pada ide yang
membina ekspektasi dan toleransi dari warga negara adalah pejabat publik yang dikuasai kekuatan-kekuatan yang
dia tidak pahami. Dia cenderung mengira punya jangkauan pengaruh lebih luas bagi aksi efektifnya daripada yang
sebenarnya. Dia melalaikan koneksi antara kehidupan mindset dan kehidupan riil masyarakat.

Pemerintah Indonesia yang demokratis perlu bertindak sebagai tutor dan pelayan bagi rakyat. Bila ia lalai
melakukannya, berarti berutang kebajikan kepada mereka. Mengingat kewarganegaraan adalah suatu mindset,
layanan dan ketutoran pertama dan utama dari pemerintah adalah menempa "penduduk" menjadi "warga negara"
pancasilais. Penempaan itu bukan dengan hafalan semua sila dari filosofi dasar Negara-Bangsa, tetapi melalui
pembiasaan perbuatan yang diamanatkannya hingga sikap pancasilais jadi second naturemanusia Indonesia. Salah
satu perbuatan itu adalah kebijakan pembangunan nasional dalam term ruang sosial di mana pembangunan manusia
titik sentralnya.

Konsep pembangunan ini sudah dimuat di harian ini. Kalau ia disimak dengan teliti akan terbayang efek-efek
pancasilais dalam tata kehidupan sehari-hari tanpa menyebut eksplisit terkait dengan sila mana. Bahkan ada efek
lain berupa kebijakan yang cukup komprehensif. Jadi aksi pembangunan ini laksana sekali merengkuh dayung dua-
tiga pulau terlampau. Ini memang baru suatu gambaran imajiner, bukan riil, tetapi teorinya correct untuk
membenarkan ekspektasi konklusifnya.

Pancasila ternyata bisa berlaku dalam kondisi kekinian. Negara-Bangsa tak seharusnya dianggap sebagai tak lebih
baik daripada persepakatan dalam perdagangan cengkeh, kelapa sawit, dan konsen rendahan lainnya. Negara-
Bangsa perlu ditanggapi melalui referensi yang berbeda karena ia bukan suatu kemitraan usaha yang tunduk hanya
pada kehidupan makhluk yang bersifat temporal dan bisa lapuk. Ia satu kemitraan dalam semua ide keilmuan dan
filosofis, dalam semua kiat, dalam segala nilai dan kebijakan, dalam setiap perfeksi. Maka ia diniscayakan jadi
kemitraan di kalangan intelektual, warga negara yang telah mengenyam pendidikan relatif cukup berkat
kemerdekaan.

Dalam mengusahakan perbaikan peradaban human, landasan berpijak tak hanya sulit didapat, tetapi juga sulit
dipertahankan. Pancasila dapat, asal kita tak munafik, diandalkan menjadi the civilizing discipline of well-practiced
politics. Demi survival, Indonesia membutuhkan pembangunan pancasilais dan common happiness, bukan sekadar
pembangunan ekonomi berkelanjutan dan common wealth. ●
Pendidikan dan Kebudayaan
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

KOMPAS, 07 November 2014

SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan
komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.
Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang
saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-
bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya
bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah
kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta.
Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan
oleh Willem Iskander di Tano Bato.

Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas
dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu sama-
sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh
manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.

Satu menteri

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan
sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini
sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang
dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles.

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3.
Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan
pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan
bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka,
penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa
pun dia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan
”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan
Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut tadi
tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk”
ke mana? Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah,
yang masih ”berbudaya”.

Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan
”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa
budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. ”It is not the
business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because
without that, man and belief and science will perish together.”

Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus
menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi
bisa mencapai peradaban. Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan.

Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh
penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas
menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini
dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan
pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada
Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan. Kementerian
Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas.
Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Segera koreksi

Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh
disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga
pendidikan yang selama ini mereka pimpin. Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidik in
spite of kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata-mata sebagai suatu profesi teknis, bukan vokasi
(suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega mempermainkan pendidikan.

Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta
Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa
universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik.
Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan tinggi ke riset dan
teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang fatal.

Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah
pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana
dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar
dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak”
karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah
pikir binasa diri”.

Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti John Lock,
John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman
Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia karena
kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.

Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar,
menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.

Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar
negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan
kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.

Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru
yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau
kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Mereka inilah pelaksana
sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar bahwa le gouvernement passe, les professeurs
restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat. Di Indonesia belum terbentuk
ketegasan profesionalisme di kalangan korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang
pendidikan.

Wahai Presiden dan Wakil Presiden, sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan
kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah keutuhan Kemendikbud, jangan main-main
dengan pendidikan dan kebudayaan. Pikirkan baik-baik. Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu pelita hati,
salah pikir binasa diri”. Sementara itu, kaum intelektual dan para orangtua murid yang terdidik hendaknya tidak
bersikap indifferent. Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka tergantung
dari masa depan Indonesia. ●
Tujuan Universitas
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

KOMPAS, 30 September 2014

Pikiran memindahkan pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset dan
Teknologi adalah demi terwujudnya integrasi yang lebih baik antara fungsi keilmuan pembelajaran universiter
dengan riset dan teknologi industrial.

Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa lembaga ilmiah yang menangani riset yang diharapkan itu atau
membuhul kontrak kerja dengan komunitas bisnis, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atau lembaga penelitian lain. Bukankah di lembaga-lembaga tersebut
ada ”guru besar riset” yang membuat riset tidak dalam rangka perkuliahan (pendidikan), tetapi demi pembangunan
dunia bisnis dan industri.

Kalau bersamaan dengan hal itu, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dosen dituntut menjadi ujung tombak
di bidang riset, tentu bisa saja tanpa harus memindahkannya ke jajaran Kemristek. Hal ini wajar mengingat
universitas/ institut merupakan kumpulan dari the relatively best brains of the country.

Riset sudah membudaya

Adapun riset, sejatinya, sudah ada sejak awal pembentukan perguruan tinggi, sudah membudaya dan bukan hal
yang baru lagi. Bagi dosen, melaksanakan riset merupakan satu panggilan karena pekerjaannya lebih merupakan
vokasi ketimbang profesi. Nyaris semua ilmuwan yang mendapat anugerah Nobel adalah guru besar yang
memanfaatkan fasilitas di lembaganya atau menggunakan dana pribadi.

Madame Curie yang mempelajari radioaktivitas alami, misalnya, menyewa bekas gudang batubara sebagai
laboratorium riset. Dia memakai sisa-sisa batubara sebagai bahan bakar dan ketika bahan ini habis, dia pakai
perabotan rumahnya sendiri karena ketiadaan uang. Dia menerima penghargaan Nobel dua kali, dalam fisika (1903)
dan kimia (1911), dan menjadi perempuan pertama yang dikukuhkan menjadi guru besar di Sorbonne. Mengenai
dia, Einstein berkata, ”she is the only person where glory had not corrupted”.

Sumbangan universitas/institut dapat berupa periset yang ia cetak melalui proses pendidikannya. Periset lalu
berkarya di lembaga-lembaga penelitian, di pusat-pusat penelitian di perguruan tinggi, maupun badan-badan R&D
perusahaan. Mereka inilah yang melaksanakan riset fundamental maupun riset terapan yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu, meningkatkan daya produktif dan daya saing industrial, dan kemudian dipatenkan.

Di samping ini para dosen—secara individual atau berkelompok—tetap harus turut berpartisipasi dalam riset
seperti itu di lingkungan universitas/institut. Dapat dibayangkan empat jenis kegiatan riset yang relevan, yaitu (i)
riset fundamental bebas, (ii) riset fundamental terarah (yang berusaha mendalami satu sektor khusus di bidang
pengetahuan), (iii) riset terapan yang bertujuan mendapat solusi dari masalah praktis, dan (iv) studi terapan yang
dipusatkan pada eksploitasi efektif ilmu pengetahuan demi perbaikan produksi barang dan jasa.

Kegiatan riset ini dipaparkan dalam makalah dan/atau jurnal yang beredar di komunitas ilmiah regional dan
internasional. Dari isi paparan itulah komunitas ini lalu menetapkan ranking keilmuan dari universitas/institut
berdasarkan kriteria yang disepakati. Ranking ini pada gilirannya menentukan gengsi akademis dari
universitas/institut yang bersangkutan.

Riset seperti itu pasti memerlukan dana dan ia bukan tidak ada di Kemdikbud. Namun, penyalurannya semakin
tidak memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan dan kekisruhan inilah yang menyebabkan beberapa rektor
mengusulkan agar PT dipindah saja ke Kemristek. Mengenai siapa yang menjadi pengelola dana riset ini pasti perlu
pembahasan tersendiri.

Namun, dalam kesempatan ini ada baiknya dikemukakan kehadiran sebuah lembaga sejak 30 Januari 2012,
berbentuk Badan Pelayanan Umum, bernama Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP), berada di jajaran
Kementerian Keuangan. Dana yang dikelola lembaga ini meliputi antara lain beasiswa dan pendanaan riset. Sampai
sekarang tidak ada keluhan mengenai kinerjanya, dana yang dikelola diaudit dengan baik, tidak melakukan riset
atas nama sendiri, semata-mata melayani kebutuhan dana dari Kemdikbud, Kementerian Agama, dan individu
untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Apabila masalah pendanaan riset sudah terjawab, ada masalah lain yang membayangi kegiatan riset oleh
universitas/institut, yaitu akibat sampingan yang bisa merusak holisme pemikiran universiter. Akibat sampingan ini
justru timbul apabila riset dilakukan sebagaimana seharusnya— correct, terarah, dan dengan penuh tanggung
jawab. Maka kemungkinan ini perlu direnungi bersamaan dengan pengambilan keputusan riset agar jauh-jauh hari
sudah disiapkan cara menanggulangi konsekuensi yang tidak dikehendaki itu.

Pembagian radikal

Bayangkan! Tiga dari keempat jenis riset tersebut mengakibatkan lahirnya suatu pembagian radikal dalam
pengetahuan, suatu kompartementalisasi ketat, suatu superspesialisasi bidang riset/pengetahuan. Berarti,
spesialisasi menjadi semakin sempit dan tajam, para peneliti semakin dikondisikan oleh logika intern dari sektor-
sektor yang digarap. Setiap orang sibuk menggali salurannya sendiri, setiap orang mengunci diri dalam biro dan
laboratoriumnya, hingga pertemuan antarpribadi akademisi menjadi semakin jarang. Maka kontak antara anggota-
anggota dari universitas dan institut yang sama menjadi semakin lemah dan terjadilah isolasi human dari individu.

Universitas/institut cenderung menjadi pemusatan guru besar dan dosen-dosen muda yang superspesialis, yang
tidak lagi menguasai jenis-jenis pengetahuan yang memungkinkan transmisi high knowledge, mengabaikan
kompleksitas dari realitas dan kesukaran manusia untuk memahaminya. Mereka puas dengan menghasilkan
teknokrat yang juga puas dan bangga dengan pengetahuan spesialistisnya, tidak mau tahu dengan pengetahuan
teknokratis lain. Mereka anggap wajar kalau masing-masing bertanggung jawab atas solusi dari masalah khas
masing-masing. Padahal, masalah gawat biasanya timbul pada konjungsi antara solusi-solusi sepihak yang diambil
secara terpisah. Lalu masalah ini tanggung jawab siapa?

Universitas/institut ditantang untuk melawan kecenderungan yang merusak holisme pemikiran universiter.
Sementara fakultas dari universitas dan departemen dari institut membanjiri masyarakat dengan spesialis bidang
tertentu yang memang dibutuhkan, universitas/institut perlu mengimbanginya dengan menghasilkan lulusan terlatih
menurut pendekatan keterkaitan monodisiplin pokok.

Untuk keperluan ini universitas/institut membuka suatu program pembelajaran S-2 dan S-3. Dengan menangani
sendiri pelaksanaan program ini, universitas/institut berarti tidak hanya berfungsi administratif, koordinator dari
fakultas/departemen yang dicakupnya, tetapi melaksanakan pula fungsi edukatif, sesuai dengan khitah awal
jadinya.

Kuliah program ini membahas subjeknya melalui visi poliokuler. Kuliah pembangunan atau kesehatan nasional,
misalnya, terang akan lebih mencerahkan apabila semua aspek dibahas sama penting. Yang menjadi concern
perkuliahan universitas/institut bukanlah suatu sintetis, tetapi suatu pikiran yang tidak pecah di perbatasan
antardisiplin. Yang menjadi perhatian adalah gejala multidimensional dan bukan disiplin yang mengiris-iris
dimensi di gejala. Sebab, apa-apa yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis,
antropologis. Maka penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, diabstraksi dengan asumsi ”ceteris
paribus”, tetapi dikerahkan menjadi satu visi poliokuler.

Ini bukan perkuliahan yang mengada-ada. Kompleksitas adalah suatu gejala yang didesakkan oleh realitas kepada
kita dan yang tidak dapat ditolak begitu saja. Yang perlu ditentang adalah simplifikasi arogan yang memuja
formalisasi yang mereduksi kesatuan global jadi unsur-unsur konstitutifnya. Perkuliahan ini bukan hendak
mengetengahkan ”sistem kompleksitas”, tetapi menyadarkan adanya ”uncontourable problem of complexity”.

Mungkin mahasiswa yang tertarik pada program ini tidaklah banyak. Tidak apa, sebab not the many is good, but
the goodness is many.

Ketahuilah bahwa kemajuan kita selaku bangsa tidak akan bisa lebih cepat daripada kemajuan pendidikan nasional.
Ia memang butuh pembenahan agar bisa maju, tetapi bukan dengan jalan mengubah strukturnya. Para pengasuhnya
perlu diganti besar-besaran. Kalau di suatu rumah diketahui ada maling, sebagai perbaikan bukan rumah itu yang
harus dibakar, tetapi malingnya yang harus ditangkap. ●
Jangan Mempermainkan Pendidikan
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

KOMPAS, 17 September 2014

Menjelang pembentukan kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla tercetus aneka ide spekulatif tentang berbagai bidang
kehidupan. Sejauh menyinggung pendidikan, ada kehendak memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
berdasarkan pertimbangan tertentu.

Mengenai kehendak itu, izinkan saya mengingatkan: wahai, jangan main-main dengan pendidikan. Melalui
pendidikan, yang kita pertaruhkan adalah masa depan Indonesia melalui ketepatan fungsionalisasi pembangunan
jiwa dan badan anak-anak kita. Jangan jadikan mereka kelinci percobaan aneka ide politis bertopeng pedagogis.
Risikonya terlalu besar, bahkan fatal, bagi eksistensi negara-bangsa kita.

Usaha membangun satu sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi pertanyaan how should we
live atau what kind of educated people do we want our citizens to be? Kedua pertanyaan itu pada gilirannya
merupakan respons kreatif terhadap tantangan masa depan seperti apa yang seharusnya kita bangun guna mampu
sintas di tengah gejolak dunia mendatang yang serba kompleks.

Manusia terdidik

Pada hemat saya, kita diniscayakan membangun sistem pendidikan nasional yang dapat menghasilkan (1) satu tipe
manusia terdidik ideal (atau fungsional) di tengah-tengah tantangan dan ancaman ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) abad XX1, (2) sejenis berpikir melebihi (transendental) berpikir sekadar terpuji di zaman iptek abad XX dan
sebelumnya.

Maka, tipe ideal dari manusia terdidik untuk abad XX1 dan selanjutnya adalah manusia yang mampu mengubah
(mengolah/mengembangkan) informasi jadi pengetahuan, pengetahuan jadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan
jadi kearifan, baik kearifan praktis maupun teoretis.

Yang dimaksud dengan ”berpikir lebih” adalah bukan sekadar (a) punya opini atau pengertian tentang apa saja; (b)
memiliki ide mengenai sesuatu atau keadaan tertentu; (c) rasiosinasi, yaitu pengembangan serangkaian premis yang
menjurus ke arah satu kesimpulan absah; atau (d) berpikir par excellence (konseptual, analitis, dan sistematis)
sebagaimana menurut pemikir rasionalis.

Berpikir seperti yang disebutkan dalam poin (a)-(d) tak berarti tidak efektif untuk menghasilkan buah pikiran yang
serba praktis/berguna atau membantu memecahkan aneka masalah kondisional, termasuk menyempurnakan
kemampuan bertindak dalam memecahkan teka-teki dan rahasia alam. Adapun ”berpikir lebih” daripada sekadar
yang disebut dari (a) sampai dengan (d) tadi lebih merupakan sikap hidup berupa suatu respons dari pihak yang
berpikir terhadap panggilan yang datang dari the nature of things—dari hidup, kehidupan, dan keber-Ada-an
(Being) itu sendiri. Artinya, ”berpikir” itu ditentukan sekaligus oleh apa-apa yang harus dipikirkan dan oleh sang
pemikir itu sendiri.

Perbuatan berpikir itu melibatkan tidak hanya penerimaan manusia terhadap yang Ada, tetapi juga penerimaan
yang Ada terhadap manusia. Jadi, kemampuan berpikir tidak seluruhnya bergantung pada kemauan dan kehendak
kita meski banyak ditentukan kesiapan kita menangkap panggilan berpikir saat panggilan itu terdengar mengajak
kita memberi respons yang relevan.

Dengan kata lain, ”berpikir lebih” seperti ini dalam dirinya berupa suatu kesadaran tentang siapa kita sebagai
makhluk manusia dan ketergolongan kita pada makhluk itu. Berpikir seperti ini juga merupakan suatu pemusatan
keseluruhan diri kita pada apa-apa yang ada di depan kita dan menempatkannya dalam keseluruhan nalar dan hati
agar bisa menemukan di dalam semua itu hakikat serta kebenarannya.

Bila demikian ”berpikir lebih” itu, pertama harus bersifat reseptif: kita membuka diri mendengarkan tantangan yang
ada, mendengarkan apa adanya. Kemudian, secara aktif memberikan respons yang bersifat menyeluruh: kita
bersedia melihat kaitan-kaitan yang ada.

Walaupun kita berada di titik yang lain, kita sadar merupakan bagian dari suatu keseluruhan. Bumi adalah an
indivisible whole, sama dengan setiap diri kita yang merupakan juga suatu keseluruhan yang tidak terbagi-bagi.
Alam di mana kita tergolong tidak terbuat dari bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan. Ia terbentuk oleh
keseluruhan dalam keseluruhan. Inilah filosofi dasar berpikir sistematik, inti berpikir yang mencerahkan, yang
diamanatkan Pancasila.
Jadi, ”berpikir lebih” itu tidak hanya berpikir secara ilmiah, yaitu dari (a)-(d) tadi, tetapi lebih luas dan transenden,
berpikir reseptif, aktif, dan holistik. ”Berpikir lebih” ini, bila dibiasakan, dapat sangat membantu kita kalau kita
memang berkemampuan baik, mengembangkan Pancasila menjadi satu applied political and social moralities demi
kesehatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di zaman iptek abad XXI dan selanjutnya.

Bagian integral

Sejauh mengenai sistem pendidikan nasional yang ideal bagi hidup dan kehidupan sekarang dan mendatang, yaitu
sistem yang dapat menghasilkan ”manusia terdidik” ideal dan kebiasaan ”berpikir lebih” yang juga ideal, adalah
pendidikan yang tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan (sistem nilai). Berarti ia suatu proses belajar-
mengajar yang membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mengenal, memahami, menguasai, menghayati,
dan mengamalkan nilai yang disepakati bersama sebagai terpuji, dikehendaki, dan berguna bagi kehidupan dan
perkembangan diri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.

Nilai adalah genus dan salah satu spesies vital yang dicakupnya dalam proses pendidikan adalah semangat ilmiah.
Dengan kata lain, pendidikan yang kita bina dan laksanakan lebih berupa suatu pencarian ketimbang sebagai suatu
keadaan keberadaan (state of being). Maka, itu ada ide pendidikan sepanjang hayat, life long education, in order to
be more, tidak puas dengan sekadar to have more, di tengah-tengah kehidupan universal yang terus menerus
menyempurnakan diri.

Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati. Mengaitkannya dengan pendidikan tidak berarti membonsaikannya.
Dengan membuat pendidikan bagian integral dari kebudayaan, bukan bermaksud membebani kebudayaan demi
membesarkan pendidikan. Justru pendidikan inilah, selaku usaha resmi, kegiatan informal (familly education) dan
aksi nonformal (community education) yang mengolah dan mentransmisikan nilai-nilai yang memanusiawikan
manusia.

Nilai ini ada yang berwujud benda—candi, rumah adat, serta bangunan keagamaan dan bersejarah; ada yang tidak
berbentuk: ide vital, norma, adat-istiadat, ketuhanan, kawruh, pengetahuan, ilmu pengetahuan, skills, yang
diperlukan orang untuk bisa imajinatif, jadi Homo poeta, makhluk pencipta makna dan nilai.

Pewayangan yang dikenal di Jawa sejak tahun saka 700 (778 M), yang ditanggap keluarga (perhelatan pribadi),
digelar komunitas (hajatan desa) adalah pola pendidikan informal pada era tidak adanya pendidikan formal, diakui
Dr Stutterheim, sarat dengan makna dan pesan serta tetap aktual bagi pengembangan (karakter) manusia di setiap
generasi dari zaman ke zaman.

Apakah kita bisa bicara tentang scientific culture? Istilah ini berlebihan dan menyesatkan jika implikasinya, moral
dan politik, antara lain, scientific progress, tidak kita renungi sungguh-sungguh. Mengenai inovasi teknologis,
misalnya, siapa yang dilayaninya dan untuk apa?

Lembaga pendidikan, terutama di jenjang universiter, merupakan tempat merenungi makna kebudayaan pada era
teknologi modern. Bukan kebetulan kalau pada era modern, ketika pendidikan formal telah berkembang, sang
ilmuwan Einstein bahkan masih mengingatkan betapa penting siswa memahami dan menghayati nilai. Dia harus
mendapatkan suatu makna distingtif tentang apa-apa yang indah dan baik menurut moral. Bila tidak, dia dengan
pengetahuannya yang serba spesialistis lebih mirip a well-trained dog ketimbanga harmoniously developed person.
Bisa begitu karena nilai yang dihayati sangat menentukan karakter.

Jadi, kebijakan mengaitkan pendidikan dan kebudayaan telah membuat kedua jenis kegiatan itu tidak mengambang,
tidak bergerak dalam vakum. Kebijakan itu malah mengukuhkan keduanya dalam konteks keuniversalan sebab
yang universal itu bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas kultural dan
kemudian berperilaku term itu.

Merupakan satu keniscayaan bahwa urusan pendidikan dan kebudayaan ditetapkan di bawah satu atap menjadi
tanggung jawab seorang menteri. Demikian pula dengan proses pendidikan itu sendiri sebab ia merupakan satu
keseluruhan pedagogis yang berkesinambungan walau berjenjang, sejak pendidikan awal, yaitu prasekolah
(TK/taman bermain), sampai dengan jenjang tertinggi (S-3). Dengan kata lain, Dikdasmen dan perguruan tinggi
tidak dipisah, tidak dikelola oleh dua kementerian yang berbeda.

Ide tentang kebudayaan mengandung ide supremasi manusia terhadap warga negara. Manusia adalah manusia
sebelum menjadi warga negara, tetapi dia mentransendenkan pula kualitas kewargaannya. Jadi, ada
komplementaritas antara pendidikan dan sistem nilai yang dihayati.

Komplementaritas konstruktif ini menunjukkan bahwa penduduk tidak identik dengan warga negara. Penduduk
hanya ”terlibat”, tetapi tidak merasa terikat, tidak mewajibkan diri. Maka, percuma berbicara ”bonus
kependudukan” selama penduduk tidak berupa warga negara. Kewarganegaraan adalah suatu mindsetditempa oleh
nilai-nilai (kebudayaan) selama dalam proses pendidikan, terutama di jalur formal dan informal. Jadi, jangan main-
main dengan pendidikan! ●
Pemupuk Nasionalisme
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne

KOMPAS, 23 Oktober 2012

Di samping ”penumbuh”, ada ”pemupuk” nasionalisme kita, misalnya ”pembangunan”. Ia adalah sebutan lain dari
perdamaian, yang merupakan lanjutan dari perang (revolusi) dengan cara lain.

Yang kita perangi bukan lagi penjajah, melainkan semua keburukan yang ditinggalkannya: keterasingan antarsuku,
kesalahpahaman antarbudaya lokal, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan rakyat di aneka bidang kehidupan.

Selama perang revolusi Bung Karno selalu berteriak, ”Kemerdekaan adalah jembatan emas!” Maksudnya, ia
merupakan kesempatan luar biasa bagi kita mewujudkan sendiri semua aspirasi revolusi kemerdekaan. Dia ciptakan
lembaga pemerintah yang khusus ditugaskan untuk melaksanakan pembangunan, yaitu Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, Pak Harto mereduksinya menjadi pembangunan ekonomi dan para
teknokrat yang dia percaya kian memperparah keadaan dengan mendasarkan pembangunan itu hanya pada
penalaran ekonomika.

Bung Hatta ternyata lebih memahami ekonomi. Selama perang kemerdekaan, dia selalu berseru, ”Kita ingin
membantu suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia tahu persis bahwa kata ”bahagia” tidak ada
dalam kamus ekonomika. Ilmu sosial yang satu ini bukan mengutamakan human, tetapi things.

Rezim reformasi yang semula mengecam gaya pembangunan teknokratis rezim Orba malah kini meneruskannya
dengan cara lebih buruk. Tanda keberhasilan yang dipakai tetap berupa patokan IMF, Bank Dunia, yaitu
pendapatan nasional. Yang terus ditonjolkan adalah kenaikan GNP. Angka ini memang serupa suatu kepastian,
exactness, tetapi apakah ia memberikan kebenaran? Ternyata tidak.

Hal ini dipaparkan oleh tulisan kritis dari beberapa intelektual-akademisi kita yang pernah dimuat di rubrik Opini
Kompas. Pembangunan ekonomi yang sama sekali bukan berupa lanjutan yang wajar dan konstitusional dari
aspirasi revolusi tidak memupuk nasionalisme, menimbulkan ketakpuasan suku di luar Jawa, mengabaikan natur
Indonesia sebagai negara maritim begitu rupa hingga beberapa daerah bagian Timur berkeinginan keluar dari
NKRI.

Ruang Sosial

Senyampang belum terlambat, marilah kita pikirkan suatu konsep alternatif pembangunan nasional. Yang pernah
saya usulkan adalah pembangunan dalam term ruang sosial. Ini adalah suatu pendekatan di mana bersinergi
tuntutan politik, penalaran ekonomi, kehendak demokrasi, desentralisasi, dan partisipasi langsung rakyat (Kompas,
30/4/2012).

Pembangunan ekonomi sekarang me- ngedepankan kekayaan ekonomi di mana manusia hidup bukan meng-kaya-
kan manusia. Anomali yang diakibatkannya berupa individualisme dari para warga, suku, dan kedaerahan.
Sementara pembangunan, sama dengan sejarah, tidak terdiri atas kejadian yang terisolasi dan tidak dibuat oleh
orang yang terisolasi.

By nature warga negara sama; melalui kegiatan (kerja), mereka jadi terpisah. Pembangunan seharusnya bisa
mendekatkan mereka (nasionalisme) di mana aku adalah kita, setiap persona merupakan jamak dari persona-
persona, sesuatu yang kolektif, Gemeinschaft, seperti yang tecermin dalam Pasal 33 UUD 1945.

”England win the war at the yard of Eaton”, demikian bunyi ungkapan filosof Ortega y Gesset yang pernah
bergema di UNESCO, lembaga PBB yang khusus menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Perang Dunia I dan II bukan dimulai oleh Inggris, melainkan bangsa ini selalu menyelesaikan dengan
kemenangan. Namun, patriotisme, keperwiraan, dan nasionalisme yang menjadi upaya kemenangan itu sudah
dipupuk sejak di sekolah menengah (Eaton), bukan baru dimulai di Akademi Militer (Sandhurst).

Pendidikan

Pendidikan juga terbukti menjadi pemupuk nasionalisme Indonesia. Kita adalah satu-satunya bangsa di dunia yang
sudah mendirikan sekolah nasional ketika masih dijajah. Bahkan, pembelajaran di situ terang-terangan menyiapkan
anak- anak daerah menjadi pejuang tangguh ke- merdekaan nasional, pembebasan Indonesia.

Willem Iskandar sekitar tahun 1870 mendirikan sekolah guru di desa Tano Bato, Tapanuli Selatan. Jauh sebelum
Kartini lahir, dia sudah berusaha mengangkat derajat kaum perempuan di kampung halamannya, di lingkungan
komunitas patriarkat, dengan mendesak setiap keluarga supaya menyekolahkan juga anak gadisnya. Di antara
alumni sekolah ini ada yang menjadi guru perempuan pertama di Aceh. Dia menyusun kamus bahasa Batak dan
Belanda. Renungan paedagogis yang dia bukukan berjudul Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk disita Belanda karena
dianggap mengandung ajaran nasionalisme.

Lalu ada Muhammad Syafei yang mendirikan Indonesiasche Nationale School pada 1926 di Kayutanam, Sumatera
Barat. Di sini murid-murid dididik bisa hidup mandiri dengan aneka keterampilan dan bersikap nonkoperatif
terhadap Belanda.

Tokoh ini lalu mendorong alumni sekolah nasionalnya menyebar ke daerah- daerah, terutama di luar Jawa,
mendirikan cabang Taman Siswa demi memupuk nasionalisme di samping pembelajaran pengetahuan umum dan
bahasa asing seperti yang lazim diberikan di sekolah Belanda. Jadi bermutu sama secara intelektual, berbeda besar
dalam sentimen kebangsaan.

Ketiga tokoh pendidikan nasional itu tergolong pendiri negara-bangsa kita. Mereka berani mendirikan sekolah
nasional di kampung halaman masing-masing sekembali dari menempuh pendidikan di negeri Belanda. Mereka
rupanya mula-mula berusaha mengenal diri dengan menatap cermin orang (bangsa) lain. Namun, dengan menyusup
ke bangsa lain sebagai orang lain, selaku warga asing, mereka menemukan jati diri sendiri dan sebagai kelompok,
kepribadian nasional.

Pengenalan dengan ide khas pemikir Jerman—Hegel, Fitche, Schiller, Goethe— mengenai kebudayaan,
menyadarkan mereka tentang perspektif zaman baru yang sedang menyingsing. Ide ini disebut Bildung, yaitu
pembentukan intelektual, estetik dan moral manusia, dan kemerdekaan bangsa melalui kebebasan human. Proses
pendidikan membimbing manusia berkembang, bukan sebagai makhluk yang terisolasi, tetapi subyek yang sadar,
terkait dengan dunia melalui tri-hubungan fundamental yang menyatukannya dengan alam, pihak lain, dan
ketuhanan.

Zaman Baru

Zaman baru itu mereka wujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan nasional, menandingi persekolahan
kolonial. Kalau persekolahan mengurus keseluruhan dari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan anak
didik, pendidikan menangani perkembangan dari keseluruhan pribadi anak didik dan memupuk a sense of mission,
ketika itu berupa nasionalisme.

Walaupun ada perbedaan dalam gaya dan cara bekerja masing-masing, mereka sama-sama menanggapi pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan, sistem nilai yang dihayati sebab yang universal bukanlah natur human kita, tetapi
kemampuan kita, manusia, untuk menciptakan realitas kebudayaan dan lalu berperilaku dalam term itu.

Sistem pendidikan nasional pada era pra-kemerdekaan itu terbukti berhasil berfungsi sebagai pemupuk
nasionalisme Indonesia. Bagaimana dengan sekarang, di zaman pascareformasi ini? Pokoknya ”lain” dengan yang
tempo doeloe. Hasilnya? Kacau, tambal-sulam di sana-sini.

Mula-mula kebudayaan dikeluarkan dari ranah pendidikan (era Gus Dur) untuk dikelompokkan ke pariwisata.
Kemudian dikembalikan ke pendidikan (era SBY) tanpa dibarengi dengan ide Bildung yang selama ini
mengilhaminya. Lalu, pemerintah dengan bangga mendirikan sekolah bertaraf internasional yang berbahasa
pengantar Inggris. Ini melecehkan bahasa Indonesia mengingat ia sudah berkembang menjadi suatu bahasa modern,
yaitu berkemampuan membahas hal-hal yang abstrak: ide-ide filosofis, ilmiah, transendental.

Kebijakan tersebut pasti mengkhianati Sumpah Pemuda berhubung bahasa adalah ekspresi den kinerja kultural
human yang terpenting dari komunitas manusia. Bahasalah, apalagi bila sudah bersifat nasional, yang
melambangkan konsensus yang mendasari suatu komunitas, dan selaku alat komunikasi mengondisikan kehidupan
bersama.

Kalau sistem pendidikan kacau, anak didik tentu menjadi bingung. Dalam konteks ini dapat kita telusuri akar
masalah tawuran pelajar. Dulu untuk pendidikan budi pekerti kewargaan, di samping pendidikan keluarga dan
pendidikan sekolah, ada gerakan kepanduan, yang kini diganti oleh organisasi kepramukaan. Kalau sekarang,
selaku pramuka, anak tegak menyanyikan ”Indonesia Raya”, dia tidak merasa tergugah memupuk nasionalisme
ketika menyerukan, ”Indonesia tanah-airku... di sanalah aku beridiri menjadi pandu ibuku...” Pandu itu makhluk
lain, bukan dia sendiri.

Anak sekarang rata-rata berupa makhluk dunia maya. Dengan komputer dia berkelana dari situs ke situs. Dia
berkonsultasi pada surel. Apa wilayahnya? Menurut dia, dunia! Di mana dia mengakar? Internet! Sebutan
Indonesia, buat dia, hanya berarti kemenangan bulu tangkis, sepak bola, sarang koruptor, kumpulan politikus
munafik!

Setelah mencermati diskusi ”Managing the nation”, nalar dan rasa saya bertanyawhich nation are they talking
about? Kayak bukan tentang Indonesia yang diaspirasikan oleh revolusi kemerdekaan, tetapi mengenai bangsa X
yang mau disempurnakan menjadi bangsa antah-berantah.

Wahai, ki sanak! Ke teluk sudah, ke tanjung sudah, memasang taut yang belum lagi. Berusaha sudah, berkeringat
sudah; konsep nan tepat masih dinanti! ●
Disiplin Budaya Ilmu Pengetahuan

Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE


Sumber : KOMPAS, 24 Januari 2012

Kompas telah menurunkan tajuk (10/1) yang langsung membangkitkan kenangan indah selagi saya belajar di Sorbonne, Perancis.
Tajuk ini membahas buah pikiran kimiawan Ilya Prigogine, peraih Nobel 1977, demi pemahaman keadaan Indonesia yang
mengkhawatirkan dewasa ini.

Pemikiran teoretisnya tentang ”struktur disipatif”, creation of order through disorder, telah dielaborasi oleh sosiolog Edgar Morin
jadi suatu metode berpikir antisipatif tentang (perkembangan) sesuatu kejadian: dari ”tata tertib” (order) ke ”kekacauan”
(disorder) ke ”interaksi” dan ke ”tata tertib kembali” (organisasi).

Perbuatan sosiolog ini kiranya mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh matematikawan Laplace terhadap karya Newton
tentang alam semesta. Dia menciptakan rumus-rumus matematika canggih sebagai penjelasan nalariah mengenai hal-hal yang
belum terjelaskan Newton dengan alasan ”invisible hand”. Dengan rumusan matematikanya, Laplace mampu membilang tiap
keadaan masa datang dan masa lalu dalam sistem alam semesta.

Dia menunjukkan karyanya kepada Napoleon. Setelah mempelajarinya, sang Kaisar menanyakan mana kehadiran Tuhan, pencipta
alam semesta ini. Laplace menjawab dengan ungkapan, yang kemudian menjadi begitu ”historis”, berbunyi: Sire, je n’ai pas
besoin de cet hypothese—Tuhan, saya tidak memerlukan hipotesis itu.

Saya pernah bertanya kepada Abdus Salam, fisikawan Pakistan, bagaimana pendapatnya tentang ungkapan ini. Dari jawabannya
tentang hubungan antara kesalehan dan nalar (akal), saya simpulkan bahwa tak menyebut Tuhan dalam usaha merumuskan hukum
alam bukan berarti tak beriman, justru karena mengagumi Sang Pencipta alam secara ex-nihilo. Setelah saya kembali ke Tanah
Air, Abdus Salam meraih Nobel Fisika pada 1979.

Pembelajaran Sejarah

Tajuk rencana Kompas menyatakan betapa pemikiran Ilya Prigogine merupakan suatu jembatan antara ilmu eksakta dengan ilmu
sosial. Memang benar. Penjembatanan ini berupa suatu pembelajaran baru ilmu pengetahuan yang pernah dibahas Ortega Y
Gasset, filosof Spanyol, awal abad XX. Dia adalah—menurut Albert Camus, peraih Nobel Sastra 1957 dari Perancis—penulis
terbesar Eropa sesudah Nietzsche. Pembelajaran baru ini adalah pengkajian ilmu fisika selaku ”disiplin kebudayaan” di samping
sebagai ”disiplin ilmiah”. Peruntukan ganda ini mengingatkan adanya perbedaan antara suatu ”disiplin kebudayaan” yang secara
vital terkait pada hidup dan kehidupan dan the corresponding ”disiplin ilmiah” yang mengasuh ”disiplin kebudayaan” tadi.

Fisika dan metode kerja keilmuannya merupakan salah satu instrumen esensial dari berpikir dan berpenalaran modern. Ia adalah
ciptaan yang diwarisi oleh seluruh humanitas. Ke dalam ilmu pengetahuan yang satu ini telah dipompakan disiplin intelektual
selama hampir lima abad. Kajian fisika selaku ”disiplin kebudayaan” berusaha menggali ide vital yang dikandung doktrinnya
tanpa terlalu menonjolkan teknikalitas khas (matematika canggih) dari penalaran fisika.

Doktrin fisika terkait erat dengan konsep manusia tentang Tuhan, ketuhanan dan masyarakat, tentang materi dan bukan-materi,
bersama dengan semua esensial lain untuk suatu kehidupan yang mencerahkan. Melalui pemaparan asas-asas fisika dan
penelusurannya, dapat dijelaskan jalannya evolusi historis dari asas-asas tersebut.

Ide itu dikatakan ”vital” karena ia adalah persepsi kita, makhluk manusia, menjalankan dan mengatur hidup kita. Jadi, ia
merupakan seperangkat keyakinan hidup, sebuah katalog dari pendirian aktif kita tentang natur dunia kita beserta sesama makhluk
yang mendiaminya, keyakinan mengenai hierarki dari nilai sesuatu. Adapun sistem nilai yang dihayati, per definisi, adalah
kebudayaan.

Ide vital mengenai hidup dan bagi kehidupan serta dunia yang diciptakan disiplin ilmiah jadi kian jelas melalui pemaparan tentang
gerakan-gerakan besar dari sejarah yang telah mengantar humanitas kepemisahan jalan-jalan kehidupan selama ini. ”Disiplin
kebudayaan” dari ilmu sejarah bisa membantu pengembangan penilaian manusia karena ia menunjuk rangkaian kasus
pengambilan keputusan di saat-saat krusial atau apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kondisi
tertentu.

Machiavelli dan Bismarck menyimpulkannya sebagai pembelajaran sejarah. Bukankah Bung Karno juga cenderung berpikir
begitu dengan mengatakan ”jas merah”, jangan melupakan sejarah. Jenderal Vo Nguyen Giap mampu memimpin pasukannya
mengusir Perancis dan Amerika dari Vietnam dengan pembelajaran ilmu sejarah selaku ”disiplin kebudayaan”. Di zaman
kolonial, dia guru sejarah sekolah menengah di Saigon dan tak pernah dapat pendidikan formal kemiliteran. Kepiawaian
berperang diperoleh dari mempelajari kiat berperang Napoleon dan Jomini, marsekal kesayangan sang Kaisar.

Diskusi yang Mencerahkan

Diskusi interaktif dalam kelas selalu lebih meriah dan mencerahkan jika kuliah mengenai ”disiplin kebudayaan” dari sesuatu ilmu
pengetahuan karena diikuti oleh lebih banyak mahasiswa dari aneka disiplin spesialis, lebih-lebih kalau dipandu oleh Prof Edgar
Morin. Dia sangat meminati gejala multidimensional dan bukan disiplin yang membelah satu dimensi dalam gejala ini. Menurut
dia, segala yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis. Jadi, penting bahwa aspek-aspek
tersebut tidak dipisah-pisah, tetapi bergabung menuju visi poliokuler. Artinya, orang menyiapkan diri menjadi ”a specialist in the
construction of the whole”, suatu kualitas yang diniscayakan bagi pemimpin, terutama di bidang ketatanegaraan dan politik.

Tak jarang diskusi dilanjutkan para mahasiwa di klub-klub studi, di trotoar kafe-kafe yang bertebaran di sekitar Sorbonne.
Keunikan diskusi lanjutan ini adalah bahwa ia bisa diikuti siapa saja, termasuk turis yang sedang lewat, hanya bermodal secangkir
kopi sebagai sewa kursi. Kalau cuaca sedang baik, diskusi kadang dilakukan di Taman Luxembourgi yang berlokasi tidak jauh
dari Sorbonne. Para peserta diskusi duduk atau tiduran di rumput, tanpa bayaran.

Suatu ketika diskusi di taman ini berupa ”disiplin kebudayaan” dari ilmu biologi. Seperti biasa, ada saja orang-orang yang bukan
mahasiswa turut bicara. Salah seorang di antaranya sangat mengesankan karena pembahasannya teratur, betul-betul mengena dan
bermutu, tentang apa-apa yang sedang didiskusikan. Bahasa Perancisnya lancar dan sesekali, kelihatan tanpa disengaja, telontar
ungkapan dalam kata-kata Belanda. Saya terpaksa menerjemahkannya ke bahasa Perancis untuk teman-teman mahasiswa.

Agak lama dia turut berdiskusi, kemudian pergi begitu saja. Para mahasiswa tak peduli karena orang boleh datang dan pergi
sesuka hati. Diskusi berjalan terus. Setelah bubar, salah seorang peserta asing, bukan mahasiswa, mengatakan bahwa orang yang
sangat mengesankan itu adalah seorang guru besar dari Universite Libre di Brussel, Belgia, dan sedang didesas-desuskan sebagai
salah seorang calon laureat Nobel, bernama Ilya Prigogine. ●
Misi Perguruan Tinggi Kita
Daoed Joesoef ; Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

KOMPAS, 18 Februari 2014

Rekomendasi Forum Rektor Indonesia agar perguruan tinggi ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan
Teknologi sungguh mengejutkan.

Mengejutkan karena ide ini datang dari forum rektor, pimpinan universitas dan institut, bukan dari forum dosen
yang adalah pengajar di situ. Namun, hal ini melegakan karena akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di
perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan
keilmuan dari PT.

Ada anggota Komisi X DPR yang sangat antusias, menganggap ide Forum Rektor Indonesia (FRI) itu begitu tepat,
suatu terobosan, karena membuat hasil riset PT jadi sesuai kebutuhan masyarakat.

PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang ”siap pakai” di bidang
kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia
untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin
banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human. Tanpa spirit begini orang tidak akan
menjadi periset, sementara riset diperlukan demi perbaikan serta kemajuan hidup dan kehidupan.

Namun, riset bukanlah sembarang kerja karena ia bersyarat keilmuan serta latihan terbimbing dan terarah. Dengan
kata lain, pendidikan berperan menentukan dalam menyiapkan periset, yang kelak setelah lulus, siap menjadi staf
periset profesional di lembaga-lembaga riset, seperti BPPT, LIPI, Kementerian Ristek, atau lembaga-lembaga
swasta di komunitas bisnis. Di lembaga-lembaga riset khusus itulah para periset alumni PT seharusnya bisa
menghasilkan aneka invensi dan penemuan, sesuai dengan tugas lembaga riset yang mempekerjakan mereka.

Tugas perguruan tinggi

Tridharma PT di negeri kita cukup correct, sudah betul untuk tahap akademis Indonesia dewasa ini yang masih
perlu ditingkatkan. Tugas PT pertama dan terutama adalah mendidik, baru riset, lalu pengabdian masyarakat.
Dalam mendidik termasuk pendidikan tentang seluk-beluk riset. Kalau dalam proses pendidikan riset ini PT sampai
menghasilkan biji jagung sebesar jempol kaki atau obat manjur serba guna, tentu terpuji. Namun, pujian ini tidak
karena hasil yang menakjubkan tadi, tetapi berhubung sudah berprestasi ”melahirkan” periset andalan sementara
masih dalam proses pendidikan. Prestasi ini sudah dianggap tergolong pengabdian masyarakat yang ideal.

Sejarah keilmuan, di luar sejarah kerja lembaga riset khusus, memang mencatat bahwa ilmu pengetahuan (IP) sarat
invensi yang berguna. Teori-teori ilmiah kadang kala disusun oleh orang-orang yang imajinasinya diarahkan ke
kegunaan yang sedang didambakan oleh zamannya. Newton, misalnya, wajar mengarahkan nalarnya ke astronomi
karena hal ini adalah subyek pembicaraan harian zamannya. Ketika itu, ”menemukan jalan di laut” merupakan
masalah masyarakat di mana dia dilahirkan. Faraday menghabiskan waktu hidupnya untuk mengaitkan elektrisitas
dengan magnetisme karena ini yang diributkan oleh zamannya. Ketika itu masyarakat, seperti kita sekarang, sedang
mencari sumber-sumber energi baru.

Maka, para rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan PT yang dipimpinnya menjadi
pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan IP yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan
demi perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Justru mengenai pelaksanaan misinya yang sejati ini,
PT kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur
dari IP.

IP bukanlah lanjutan otomatis dari pengetahuan di level pendidikan menengah sebelumnya. Ia adalah hasil dari
suatu cara khas pembelajaran dan cara ini tidak muncul begitu saja bagai sebuah nova soliter yang muncul di langit
hanya untuk segera lenyap atas kehendaknya sendiri. Sebaliknya, ia menjelma dalam konteks komunikasi antara
mereka yang menulis dan mereka yang membaca, antara mereka yang memakai idiom keterpelajaran untuk
mencatat observasinya dan mereka yang menganggap catatan itu menarik.

Spesies pembelajaran yang kini disebut ”ilmu pengetahuan” merupakan contoh yang paling tepat dari proposisi tadi
sebab kerja dan karya dari ilmuwan kontemporer mengisyaratkan keberadaan suatu keseluruhan kompleks dari ide,
instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, memedulikan karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua
hal tersebut tidak ada, yang kita namakan ”kegiatan ilmiah” hanya berupa suatu fatamorgana karena nyaris tak
terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi
akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat.

Ilmu pengetahuan sebagai gejala sosial

Perlu kesadaran PT untuk memperlakukan IP yang menjadi urusan sejatinya sebagai suatu ”gejala sosial”, paling
sedikit di lingkungannya sendiri. Ia dituntut berbuat demikian bukan karena anggapan menanggapi capaian
intelektual khas adalah produk dari suatu masyarakat khas, melainkan karena cara pembelajaran khas yang
membuat pengetahuan sebagai komunikasi, merupakan medium sosial di mana IP dipolakan, melalui mana ia
dikembangkan dan dengan mana ia ditransmisikan di kalangan orang-orang yang sama-sama terlibat dalam
penyelidikan yang serius. Maka, pengetahuan khas dan cara pembelajaran khas ini, yaitu IP, dinobatkan oleh zaman
modern sebagai ”the most dominant contemporary form of communicable knowledge”.

Sejarah IP menampilkan lapisan-lapisan fakta dan kejadian. Inti dari lapisan ini adalah pembentukan teori ilmiah
berupa tabel-tabel kronologis dan catatan tentang invensi serta penemuan. Inti ini langsung dilapisi oleh suatu dunia
pemikiran yang melahirkan teori-teori tadi. Lalu, ada lapisan ketiga berupa lingkungan profesional di mana
ilmuwan berkarya, yaitu kelompok riset tempat dia bergabung, asosiasi akademis di mana dia tergolong, PT di
mana dia mendidik, turut membuat orang ”to be more”. Lapisan ini adalah infrastruktur akademis. Akhirnya, ada
lapisan terluar, yaitu masyarakat luas.

Kita anggap remeh lapisan-lapisan perkembangan IP dan ilmuwan tersebut dalam upaya membangun sistem
pembelajaran IP selama ini. Kita anggap ada hubungan langsung antara perkembangan teori dengan masyarakat
luas dan mengabaikan unsur-unsur antaranya. Dengan begitu kita tidak menyadari bahwa perkembangan IP tidak
dapat diwujudkan kecuali ada usaha partikular yang relevan untuk ”menghidupkan” unsur-unsur antara tadi, lebih-
lebih infrastruktur akademis.

Keseluruhan unsur itu adalah ”komunitas ilmiah” yang eksistensinya merupakan basis sosial determinatif, baik bagi
penggeloraan spirit ilmiah di kalangan sivitas akademika kampus maupun bagi pemahaman yang benar dari
masyarakat pengguna IP tentang makna/misi sejati kampus.

Belum komunitas ilmiah

Sejujurnya, kampus-kampus kita belum merupakan komunitas ilmiah yang worthy by the name. Maka, tugas
mendesak para rektor adalah mewujudkannya karena diniscayakan.

Dari komunitas ini sudah lama ditunggu ide-ide pencerahan, solusi beberapa masalah yang kian memprihatinkan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, antara lain (i) akibat sampingan buruk dari spesialisasi
walaupun diperlukan, akhirnya bisa mengganggu kemajuan dan membahayakan peradaban; (ii) akibat
pembangunan nasional ala ”the economics of development” membuatnya bukan pembangunan Indonesia, tetapi
pembangunan di Indonesia dan terperangkap dalam ”a great economic system which is heartless”; (iii) ada
beberapa IP yang ternyata bisa dibahas sebagai ”scientific discipline” dan ”cultural discipline” dan karena itu
pantas dikuliahkan secara pararel sekaligus, demi perluasan dan keseimbangan wawasan intelektual, seperti
matematika, fisika, biologi, sejarah, arkeologi, dan filosofi.

Sebenarnya masih ada aneka masalah lain, tetapi tak bisa diketengahkan karena ruangan yang terbatas dari tulisan
ini.

Ketika menemui Albert Einstein, Paul Valery bertanya: ”Master, what do you do to keep track of these ideas you
keep generating?” Jawaban Einstein adalah, ”But I've only two ideas in my whole life”, yang ternyata ide tentang
dari mana kita berangkat (titik awal) dan hendak ke mana kita menuju (titik final). Bukankah ini senada dengan
ungkapan kearifan nenek moyang kita sangkan paraning dumadi. Maka, alangkah baiknya jika FRI mendatang
dimanfaatkan untuk merenungi sangkan paraning dumadi di bidang pendidikan keilmuan kita.

Jika kebijakan FRI merupakan the geometry of motion, antara titik awal dan titik final bisa ditarik satu garis lurus
yang terdiri atas titik-titik di mana setiap titik mewakili ide yang konstruktif tentang misi sejati PT. Dengan
demikian, FRI tidak melontarkan ide rancu di bidang pendidikan yang sudah membingungkan. ●

Anda mungkin juga menyukai