Anda di halaman 1dari 24

TUGAS BESAR

MEMBUAT RINGKASAN DARI E-BOOK


PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI
MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN

NAMA : RIDUAN SAHRIL


NIM : 531201038
FAKULTAS : TEKNIK ELEKTRO
DOSEN : RENGGA SENDRIAN,M.Hum

UNIVERSITAS DIAN NUSANTARA


2022
BAB 1 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC
EDUCATION) DAN REAKTUALISASI PANCASILA

Pendidikan Kewarganegaraan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah


penndidikan nasional di Indonesia. Beragam model dan sebutan bagi
Pendidikan Kewarganegaraan dengan bermacam komponennya telah
banyak dilakukan pemerintah Republik Indonesia. Di tingkat perguruan
tinggi, pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD
1945 , Filsafat Pancasila , dan Pendidikan Kewiraan .

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan


warga negara Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara
Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sikap bertolak belakang pemerintah Orde Baru tersebut
terlihat pada tidak sejalannya antara tujuan Pendidikan Kewiraan dan
Pancasila dan perilaku elite Orde Baru dalam mengelola negara yang
penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme . Sejak era
Reformasi 1998, banyak hal positif yang sudah berubah, namun masih
terlalu banyak yang harus dibenahi dalam tata kelola kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Demokrasi yang menjadi komitmen gerakan reformasi masih diwarnai


oleh budaya korupsi dan kolusi yang kerap dilakukan oleh masyarakat
dan aparatur negara. Sebaliknya, demokrasi hanya menjadi kepanjangan
tangan bagi mereka yang memiliki modal dan akses terhadap kekuasaan.
Dengan kata lain, jika hal ini berlangsung berlarut larut, maka
sesungguhnya demokrasi telah dibajak oleh mereka yang pernah
diuntungkan oleh sistem kekuasaan masa lalu yang sarat dengan praktik
feodalisme dan KKN. Salah satu contoh tindakan anti demokrasi yang
mencolok adalah budaya politik uang dalam pemilihan kepala daerah.

Bentuk lain dari praktik korupsi ini seakan sudah menjadi tradisi bahkan
keyakinan di tengah masyarakat bahwa uang telah menjadi sarat mutlak
bagi seseorang yang hendak menjadi pemimpin formal. Konsekuensi
logis dari penyakit moral kolektif adalah peluang munculnya
ketidakpuasan masyarakat yang dapat menyulut tindakan-tindakan
anarkis yang dapat mengancam sendi-sendi persatuan dan kohesi sosial.
Membangun budaya politik bersih dan murah sangatlah mendesak bagi
Indonesia sekarang ini demi masa depan demokrasi yang lebih
substantif. Melalui paradigma pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang humanispartisipatoris ini diharapkan ia mampu
menjadi laboratorium bagi pembumian prinsip-prinsip demokrasi yang
terintegrasikan dengan nilai-nilai keindonesiaan di kalangan generasi
muda. Melalui upaya kontekstualisasi prinisp dan nilai demokrasi dan
Pancasila, misalnya, diharapkan keduanya dapat menjadi sesuatu yang
nyata dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Mempertentangkan antara demokrasi dan falsafah Pancasila tentu saja


tidak selamanya relevan dengan tata kehidupan masyarakat dunia yang
semakin mengglobal tanpa sekat. Prinsip kemajemukan dalam persatuan
Indonesia telah memberi ruang sah bagi munculnya pemikiran dan
pandangan yang beragam, bahkan kemungkinan lahirnya tafsir dan
pandangan baru atas Pancasila sekalipun. Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang besar yang mendiami sebuah negara yang besar pula. Pada
saat yang sama kemajemukan juga tidak boleh menjadi pemicu hilangnya
rasa persatuan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terikat dalam sebuah
negara kesatuan.

Kemajemukan dalam persatuan tentu saja tidak bertentangan dengan


prinsip demokrasi yang mengatur dan menjamin keragaman politik,
sosial, dan budaya. Sepanjang Orde Baru, misalnya, Pancasila telah
menjadi ideologi pelayan pemerintah, yang dijadikan sebagai
legitimasi bagi tindakan tidak demokratis dan anarkis terhadap warga
negara. Pancasila dijadikan rujukan pembangunan, dan pada saat yang
sama ia dikhianati dengan praktik bernegara dan berpolitik yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Pancasila tidak saja terpasung oleh kebijakan pemerintah, ia
juga menjadi ideologi negara yang tertutup, terpusat, dan antikritik.

Karakter demografis yang majemuk dan geografis yang dipisahkan oleh


samudra dan sungai meniscayakan Pancasila lahir dari rahim Indonesia.
Hal ini harus pula dikembangkan sebagai elemen penting bagi
pendewasaan bangsa Indonesia untuk meningkat menjadi bangsa yang
modern, demokratis, toleran sebagai prasyarat menuju tingkatan warga
negara yang berperadaban . Untuk melestarikan kemajemukan dalam
persatuan, Pancasila harus tetap menjadi milik publik yang harus tetap
dijadikan media artikulasi kebangsaan sepanjang perjalanan bangsa
Indonesia dalam mengarungi segala tantangan nasional maupun global.

Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban


adalah melalui program Pendidikan.
Kewarganegaraan yang dilakukan melalui cara-cara demokratis oleh
pengajar yang demokratis untuk tujuan demokrasi. Proses demokratisasi
Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi yang genuine.
BAB 2

Pancasila dan Keharusan Reaktualisasi

Setelah Orde Baru berakhir pada 1998, falsafah negara Indonesia


Pancasila seakan hilang bersamaan dengan tamatnya
pemerintahan Presiden Soeharto.
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, Pancasila hadir dalam setiap pidato
kepala negara dan pejabat di bawahnya. Pancasila dalam beragam
program nasional pendidikan dan penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila .

Suasana tersebut berubah total setelah gerakan reformasi muncul dan


mengakhiri kekuasaan panjang Orde Baru. Pancasila tidak lagi menjadi
jargon pembangunan. Pancasila untuk beberapa saat hilang dari sambutan
elite bangsa maupun masyarakat luas. Pancasila hilang, bahkan seakan
raib ditelan ingar-bingar reformasi. Reformasi telah melahirkan era baru
bagi bangsa Indonesia di mana negara dan pemerintah tak lagi menjadi
sumber utama dalam memaknai nilai-nilai Pancasila.

Kegamangan masyarakat Indonesia dengan demokrasi tampak terlihat


pada kesalahpahaman masyarakat terhadap demokrasi yang masih banyak
dianggap sebagai ekspresi kebebasan tanpa dibarengi tanggung jawab dan
penghormatan hak asasi orang lain. Demokrasi saat ini masih dipahami
kebanyakan masyarakat sebagai tiket murah untuk bertindak melanggar
hukum, menyuarakan hak daripada kewajiban dan memaksakan kehendak
pribadi dan kelompok.
Transisi demokrasi dinilai banyak kalangan telah dilalui Indonesia, dan
saatnya menuju era substansialisasi demokrasi dan era reaktualisasi dan
internalisasi atau penghayatan nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari
Pancasila secara rasional dan melibatkan seluruh komponen bangsa. Di
balik dinamika kebangsaan di atas, praktik berdemokrasi di Indonesia
sedang menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan.

Pada era Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada, kata Pancasila
yang berasal dari India ini sudah dapat dijumpai pada kitab
Negarakertagama. Begitu Islam datang menggantikan kejayaan
Majapahit, kosakata Pancasila yang kental dengan muatan nilai-nilai
Jawa tersebut mengalami pengaruh Islam. Kelima ajaran moral
Buddha tecermin dalam tradisi Islam Jawa yang dikenal dengan lima
larangan atau lima pantangan dalam tata kehidupan masyarakat.
Secara historis, munculnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari situasi
perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Keinginan lepas
dari belenggu penjajahan asing dan belenggu pemikiran ideologi dunia
saat itu, yakni liberalisme dan komunisme, para tokoh bangsa antara lain
Soekarno dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai dari negerinya
sendiri yang akan dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka.
Panduan dan dasar negara Indonesia, menurut Soekarno, mestilah bukan
meminjam dari unsur-unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim kebudayaan Indonesia
sendiri. Tanpa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tanah
kelahirannya, tegas Soekarno, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk
mencapai cita-cita kemerdekaannya. Suasana kebatinan ingin lepas dari
dua kungkungan inilah Pancasila seyogianya diposisikan, sehingga
keinginan-keinginan sebagian pihak yang hendak membawa Indonesia ke
arah tatanan demokrasi liberal maupun sosialisme dapat diingatkan
kembali pada konteks sejarah lahirnya Pancasila yang berusaha
menggabungkan segala kebaikan yang terdapat pada ideologi dan
pemikiran asing. Upaya sungguh sungguh ini terbukti mendapatkan
apresiasi setidaknya dari tokoh filsuf Inggris Bertrand Russel seperti
dinyatakan Latif bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif antara
Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi
demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang
merepresentasikan ideologi komunis). Gagasan Pancasila dibahas untuk
pertama kali di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), salah seorang peserta sidang Dr.
Radjiman Widyodiningrat melontarkan gagasan tentang rumusan sebuah
dasar negara bagi Indonesia yang akan dibentuk. Merespons gagasan
ini, sejumlah tokoh pergerakan nasional, antara lain Mohammad Yamin,
Prof. Seopomo, dan Soekarno masing-masing menguraikan buah pikiran
mereka tentang dasar negara pada perhelatan resmi tersebut.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(UUD NKRI 1945)

UUD NKRI 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia.


Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan negara. Semua konstitusi di mana pun mengandung
kekuasaan pemerintah negara terhadap seluruh aset kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kekuasaan itu harus diatur dan
dibatasi agar tidak disalahgunakan secara absolut. Oleh karenanya perlu
ada pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan yang tertuang dalam
konstitusi negara. Dengan kata lain, konstitusi adalah pengaturan
mengenai pembatasan atau pengawasan (check and balance) terhadap
kekuasaan pemerintah negara. Konstitusi tertulis yang mengatur
kekuasaan pemerintah negara Indonesia diwujudkan dalam UUD 1945.
Sebagai hukum dasar, perumusan UUD 1945 disusun secara sistematis
mulai dari prinsip yang bersifat umum dan mendasar sampai ke prinsip
yang bersifat khusus dan perinci. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bukan
hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek lain
seperti pandangan hidup, cita-cita dan falsafah yang merupakan nilai-nilai
luhur bangsa dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara.

3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari takdir dan rahmat Allah atas kemajemukan Nusantara sebagai cikal
bakal negara bangsa Indonesia. Kemajemukan demografis, sosiologis,
kultural, bahasa, dan keyakinan yang dimiliki Nusantara berujung pada
keiginan untuk bersatu yang lahir dari kesamaan nasib dan cita-cita untuk
menjadi sebuah entitas bangsa yang merdeka dari kungkungan penjajahan.
Sejarah berdirinya NKRI hampir sama dengan kemunculan negara-negara
bangsa yang lain yang secara teoretis dapat dijelaskan oleh konsepsi
bangsa dalam pandangan Renan. Dalam konsepsi Renan bangsa (nation)
adalah suatu kesatuan solidaritas, suatu jiwa, dan suatu asas spiritual.
Bangsa lahir dan terbentuk, karena di antara manusia-manusia itu
memiliki
rasa solidaritas lebih besar dan toleransi yang tinggi, yang tercipta dari
perasaan pengorbanan yang telah diperbuat pada masa lampau.
Kemudian mereka bersepakat untuk hidup bersama secara damai di masa
depan

BAB 3 IDENTITAS NASIONAL DAN GLOBALISASI


Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek-aspek kehidupan
suatu bangsa dengan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan bangsa
lain. Proses pembentukan identitas nasional bukan merupakan sesuatu
yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan terus berkembang
mengikuti perkembangan zaman.

Identitas nasional Indonesia yang memiliki basis pada model


masyarakat multikultur sangat relevan bagi penegasan kembali identitas
nasional bangsa Indonesia yang inklusif dan toleran dengan tetap
mengakar pada identitasnya yang majemuk sebagaimana terefleksi dalam
konsep dasar negara Pancasila. Konsep masyarakat multikultural dapat
menjadi wadah pengembangan demokrasi dan masyarakat sipil serta bisa
menjadi modal sosial (social capital) bagi pengembangan model
masyarakat multikultural Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Wawasan Nusantara adalah kesamaan persepsi pada segenap


komponen bangsa Indonesia sebagai dasar bagi terbangunnya rasa dan
semangat nasional yang tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional,
sebagai faktor pendorong untuk berbuat dan berprestasi bagi kejayaan
negara dan bangsa. Ketahanan Nasional adalah sebuah konsep yang
bersifat menyeluruh tentang keselamatan nasional atau kelangsungan
hidup bangsa, yang bergantung kepada keserasian aspek kehidupan
seperti ideologi, politik, ekonomi, di mana masing-masing unsur ini
saling terkait dan memengaruhi satu dengan yang lainnya. Secara
umum, ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa dalam
menghadapi dan mengatasi ancaman, baik dalam maupun luar negeri,
langsung maupun tidak yang dapat membahayakan integritas, identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan
dan cita-cita nasionalnya.

Salah satu isu penting yang mengiringi gelombang demokratisasi


adalah munculnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada
intinya adalah kesediaan menerima dan mengakui keberadaan kelompok
yang berbeda budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama.

BAB 4

DEMOKRASI: TEORI DAN POLITIK

Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) merupakan


bentukan dari dua kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan
dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratein atau cratos
membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai
sebuah bentuk pemerintahan rakyat (government of the people) di mana
kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara
langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme
pemilihan yang berlangsung secara bebas. Secara substansial,
demokrasi adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln—
suatu pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Karena slogannya yang
mengatasnamakan rakyat, kata demokrasi menjadi kata yang paling
diminati oleh siapa pun yang berada atau sedang bertarung menuju
kekuasaan. Tidak jarang kata ini disalahartikan bahkan
disalahgunakan oleh para pemimpin pemerintahan yang paling otoriter
sekalipun. Slogan demokrasi acap kali dijadikan alat untuk memperoleh
dukungan politik dari masyarakat, tanpa dijalankan praktiknya secara
nyata.
Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang paling baik dari sekian
banyak sistem yang ada dewasa ini. Pengertian umum demokrasi adalah
suatu model pemerintahan atau sistem sosial yang bertumpu pada
kepentingan rakyat dari, oleh, dan/atau rakyat.

Tiga faktor yang menjadi tolok ukur umum dari suatu pemerintahan
yang demokratis, yaitu:
(1) pemerintahan dari rakyat (government of the people)
(2) pemerintahan oleh rakyat (government by the people)
(3) pemerintahan untuk rakyat (government for the people).

Untuk mendukung terlaksananya demokrasi, perlu didukung oleh enam


norma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat
pluralisme, yaitu: pertama, kesadaran akan adanya pluralisme. Kedua,
musyawarah. Ketiga, sejalan dengan tujuan. Keempat, ada norma
kejujuran dan mufakat. Kelima, kebebasan nurani, persamaan hak, dan
kewajiban; dan keenam, adanya trial and error (percobaan dan salah).

Wacana Islam dan demokrasi dapat dikelompokkan menjadi dua


pandangan di kalangan pemikir Muslim: Kelompok anti dan kelompok
pendukung demokrasi. Kelompok pertama menyimpulkan bahwa Islam
dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda dan tidak bisa
bertemu. Adapun pandangan kelompok kedua (pro demokrasi)
menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, Islam adalah
sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi
seperti yang dipraktikkan di negaranegara maju. Islam memiliki
instrumen internal (syura, ijtihad, dan ijma’) untuk mempraktikkan
demokrasi yang lahir dan berkembang di Barat.

BAB 5

KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANGAN INDONESIA

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam


penyelenggaraan suatu negara. Ia merupakan seperangkat aturan
kehidupan bernegara yang mengatur hak dan kewajiban warga negara dan
negara. Di Indonesia, jika menyebut kata konstitusi negara, maka hal itu
mengacu pada UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Konstitusi untuk
sebuah negara adalah hal yang sangat penting terutama dalam
pembangunan negara dan warga negara yang demokratis. Meski
demikian, tidak ada jaminan konstitusi yang demokratis akan
menghasilkan negara yang demokratis. Konstitusi membutuhkan
penyelenggara negara yang mampu menerjemahkan konstitusi dengan
baik, dan penyelewengan atas konstitusi bisa mengubah nilai dan peran
dari konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang
pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Adapun, fungsi konstitusi adalah
sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan
sistem hukum negaranya.

Konstitusi demokratis meliputi:


(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik)
tunduk pada hukum
(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(3) Peradilan yang bebas dan mandiri
(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik)
sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang
demokratis bagi seluruh warga negara. Negara yang memilih
demokrasi sebagai
pilihannya, maka konstitusi demokratis merupakan aturan yang dapat
menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan
kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula. Agar nilai-nilai
demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi
warga negara dalam menyuarakan aspirasi perlu ditetapkan di dalam
konstitusi untuk ikut berpartisipasi dan mengawal proses demokratisasi
pada sebuah negara. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebelum
perubahan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, alat-alat
kelengkapan negara dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA, DPR, BPK, dan Kekuasaan
Kehakiman. Setelah amendemen secara keseluruhan terhadap UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alat kelengkapan negara yang
disebut dengan lembaga tinggi negara menjadi delapan lembaga, yakni
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, KY, dan BPK. Posisi
masing-masing lembaga setara, yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang
memiliki korelasi satu sama lain dalam menjalankan fungsi check and
balances antarlembaga tinggi tersebut.

Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala


peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya batal demi
hukum dan tidak bisa dilaksanakan.
BAB 6
NEGARA, AGAMA, DAN WARGA NEGARA

Salah satu unsur penting dalam membangun masyarakat demokratis


adalah peranan negara. Negara yang menjalankan perannya secara
demokratis akan menumbuhkan masyarakat yang demokratis pula, dan
masyarakat yang demokratis harus bersinergi dengan negara dalam
pembangunan peradaban demokrasi. Hubungan antara negara dan
masyarakat di dalam kehidupan yang demokratis adalah hubungan setara
yang saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya. Negara
demokratis adalah negara yang berperan aktif dalam membangun budaya
demokrasi di kalangan warga negara dan melaksanakan konstitusi
demokrasi. Pada saat yang sama masyarakat demokratis harus bersinergi
dengan negara dalam pembangunan peradaban demokrasi. Dalam konteks
pembangunan demokrasi di Indonesia, salah satu yang paling krusial
adalah terkait dengan pola hubungan antara negara dan agama dalam
negara bukan berdasarkan agama.
Negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya adalah dua
komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang
berkeadaban. Dua komponen ini memiliki peluang yang sama sebagai
komponen strategis bagi pembangunan karakter bangsa dan demokrasi
Indonesia. Salah satu dari pembangunan karakter demokrasi ini adalah
melalui proses membangun kepercayaan (trust) di antara sesama warga
negara maupun antara warga negara dan negara.

Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara kelompok


masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam satu
kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Dalam konsepsi
Islam, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep
negara. Dua sumber Islam, Al-Qur'an dan Sunnah, tidak secara tersurat
mendefinisikan model negara dalam Islam. Meskipun demikian, Islam
mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya negara itu
dibangun dan dibesarkan.
Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas
ke seimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan
teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan
politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala
peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan
negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain,
pola hubungan agama dan negara di Indonesia membantu apa yang sering
disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik-mutualita.
Secara konseptual, negara Indonesia dibangun dengan prinsip tidak
berlandaskan pemisahan agama dan negara (sekularistik), tetapi
berlandaskan pemisahan antara urusan negara dan urusan agama.

BAB 7
HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan
segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak
tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Senada dengan
pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia (HAM) yang
dikemukakan oleh John Locke. Menurut Locke, hak asasi manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian,
maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak
asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa
sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian
manusia atau lembaga kekuasaan.

Menurut DUHAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh
setiap individu yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi),hak
legal (hak jaminan perlindungan hukum),hak sipil dan politik dan hak
subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan) dan hak ekonomi, sosial, budaya.
Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan
HAM. Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
mendefinisikan hal tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undangundang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM
merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh
individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak
asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional
yang menjadi pijakannya.

Tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban harus berjalan secara


seimbang dan simultan. Hak diperoleh bila kewajiban terkait telah
dilaksanakan.
Ada dua pendapat mengenai apakah HAM bersifat universal atau
kontekstual. Teori relativitas berpandangan bahwa ketika berbenturan
dengan nilai-nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan,
sedangkan teori radikal universalitas berpandangan bahwa semua nilai
termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa
dimodifikasi sesuai dengan perbedaan budaya dan sejarah tertentu.

Perkembangan HAM dalam sejarahnya tergantung dinamika model


dan sistem pemerintahan yang ada. Dalam model pemerintahan yang
otoriter dan represif, perkembangan HAM relatif mandek seiring
ditutupnya atau dibatasinya keran kebebasan, sedangkan model
pemerintahan yang demokratis relatif mendukung upaya penegakan
HAM karena terbukanya ruang kebebasan dan partisipasi politik
masyarakat.
Ketidakadilan gender menyebabkan perlakuan sosial seperti
marginalisasi perempuan, penempatan perempuan pada posisi
tersubordinasi, citra
negatif perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan pemberian beban
kerja yang tidak proporsional terhadap perempuan.

BAB 8 OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NEGARA


KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah pembagian kewenangan
kepada organ-organ penyelenggara negara. Otonomi menyangkut hak
yang mengikuti pembagian wewenang tersebut, sedangkan desentralisasi
adalah sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB):
“Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara
dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya
maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di
daerah.”

Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan


pusat kepada daerah, tetapi belum menjelaskan isi dan keluasan
kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan itu kepada
badan-badan otonomi daerah. Terdapat beberapa alasan mengapa
Indonesia membutuhkan desentralisasi:
1. kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bidang ekonomi,
dimasalalu yang terpusat di ibu kota. Sementara pembangunan di
beberapa wilayah lain cenderung bahkan dijadikan objek “perahan”
pemerintah pusat.
2. pembagian kekayaan negara kurang adil dan merata. Daerah-
daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh,
Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi, tidak menerima
perolehan dana yang sesuai dengan kebutuhan daerah dari pemerintah
pusat. 3. kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain
sangat mencolok.

Otonomi Daerah dapat dijadikan sebagai kawah persiapan yang


bersifat terbuka bagi semua warga negara di tingkat daerah untuk meniti
karier lanjutan, terutama karier politik dan pemerintahan di tingkat
nasional. Keberadaan peme-rintahan daerah (eksekutif dan legislatif)
sangat penting dan tepat bagi penggodokan calon-calon pemimpin
nasional.
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan
mempunyai tiga visi yang saling terkait: politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia bersifat luas,
nyata, dan bertanggung jawab. Luas karena kewenangan berada pada
pemerintah pusat,nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu
menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di
daerah; dan bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan
harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar
daerah.

BAB 9 TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN


BERSIH (GOOD AND CLEAN GOVERNANCE)

Good and clean governance adalah implikasi dari reformasi dan


menjadi daya dukung demokrasi. Istilah good and clean governance
sering kali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang
profesional, akuntabel, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Lahirnya gagasan good and clean governance di era Reformasi
merupakan bagian dari gerakan perlawanan terhadap pemerintahan di
masa lalu yang sarat dengan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).
Dengan demikian, komitmen Indonesia mewujudkan prinsip dan
nilainilai good and clean governance sama dengan melakukan perubahan
secara substantif dari praktik pemerintahan yang buruk menuju tata kelola
pemerintahan yang sejalan dengan prinsip-prinsip birokrasi modern.
Secara umum, pengertian good governance adalah interaksi seimbang
antara lembaga pemerintahan dengan masyarakat dan kalangan swasta, di
mana lembaga pemerintah memberlakukan kebijakan yang seimbang
untuk perkembangan masyarakat dan sektor swasta. Leftwich
menjelaskan good governance sebagai administrasi yang sehat, dan
sekaligus juga politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang
non-ekonomis, seperti kesamaan, keseimbangan gender, menghormati
hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai


dengan cita good governance, seluruh mekanisme pengelolaan negara
harus dilakukan secara terbuka dalam hal:
a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b. Kekayaan pejabat publik.
c. Pemberian penghargaan.
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e. Kesehatan.
f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g. Keamanan dan ketertiban.
h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

Untuk mendukung pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan


prinsip prinsip pokok good and clean governance, setidaknya dapat
dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
a. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.
b. Kemandirian lembaga peradilan.
c. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.
d. Penguatan partisipasi Masyarakat Sipil (civil society).
e. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.

Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata


kelola pemerintahan yang baik (good governance), untuk membangun
aparatur negara yang lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.

BAB 10
PENCEGAHAN KORUPSI

Angka penyelewengan anggaran negara melalui tindakan korupsi, kolusi,


dan nepotisme (KKN) telah menempatkan Indonesia yang kaya raya
menjadi di antara negara paling koruptif di dunia. Akibat budaya korupsi,
kekayaan alam Indonesia yang melimpah tidak mampu menjadikan
rakyatnya hidup dalam kesejahteraan dan keadilan, sebagaimana
diimpikan oleh para pendiri bangsa. Kenyataannya, hingga saat ini
Indonesia masih dihadapkan dengan angka kemiskinan dan kebodohan
yang masih tinggi. Tidak hanya sebagai penyebab kemiskinan dan
kebodohan rakyat, korupsi menjadi ancaman serius bagi masa depan
demokrasi dan sendi-sendi karakter bangsa. Dampak buruk korupsi telah
melahirkan kesadaran bersama masyarakat Indonesia untuk
menjadikannya sebagai musuh utama masa depan bangsa. Tidaklah
berlebihan jika korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime), karena tidak hanya negara bisa runtuh, tapi juga
dapat mengancam eksistensi suatu bangsa. Banyak cara telah dilakukan
untuk mengatasi korupsi di Indonesia. Namun upaya pencegahan korupsi
masih dinilai belum sebanding dengan tindakan pemberantasannya.
Faktanya tindakan pemberantasan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Komisi (KPK) selama ini belum mampu mengurangi
perilaku korupsi di jajaran penyelenggara negara. Langkah-langkah
pencegahan korupsi menjadi hal yang sangat mendesak.

A. BENTUK-BENTUK KORUPSI
Kata «korupsi» berasal dari bahasa Latin corruptio, atau «corruptus» dari
asal katanya corrumpere. Dari kata Latin inilah kemudian menjelma
dalam bahasa Eropa: corruption, corrupt , corruption , corruptie atau
korruptie . Secara harfiah kata «korupsi» mengandung banyak pengertian
yang bersifat negatif, yakni kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Di era modern, masih menurut
Tarling, term korupsi secara umum dikaitkan dengan hubungan antara
sektor publik dan privat. Definisi yang diberikan Organization for
Economic Cooperation and Development misalnya mendefinisikan
korupsi sebagai penyalahgunaan fungsi lembaga atau sumber publik
untuk kepentingan pribadi, baik materi maupun nonmateri. Definisi
korupsi yang pertama adalah pengertian korupsi yang berpusat pada
kantor publik, yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan
seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik
formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi
orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga,
karib kerabat, dan teman.
Definisi kedua adalah pengertian korupsi yang berpusat pada dampak
korupsi terhadap kepentingan umum . Adapun definisi ketiga adalah
pengertian korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial,
serta pendekatan ekonomi yang di gunakan dalam kerangka analisis
politik.
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Modus pemberian hadiah ini merupakan bentuk korupsi paling banyak
dilakukan di jajaran birokrasi di Indonesia, bahkan hampir terjadi di
semua tingkatan birokrasi. Budaya memberi hadiah di kalangan
masyarakat acap kali menjadi alasan seseorang melakukan gratifikasi
kepada pejabat publik. Perilaku korupsi di Indonesia sudah hampir merata
pada semua tingkatan birokrasi dan dan masyarakat. Korupsi seakan telah
menjadi sesuatu yang halal dilakukan oleh siapa saja, tak mengenal latar
belakang.Ekonom Kwik Kian Gie, Seperti dikutip Mansyur Sema, beliau
pernah mengatakan jika ditelisik lebih dalam, masalah besar yang
dihadapi Indonesia di bidang ekonomi Ujung-ujungnya ternyata bukan
masalah ekonomi, tapi karena Di luar ekonomi, yaitu moral rendah, erosi
etika, erosi spiritual, korupsi, dll. Secara umum, korupsi dapat dibagi
menjadi dua kategori: korupsi besar (big corruption) dan korupsi kecil.

BAB 11
MASYARAKAT SIPIL

Konsep civil society dalam sejarah modern dikembangkan oleh G.W.F.


Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci
(1891-1837 M). Hegel memandang civil society sebagai kelompok
subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Ryaas
Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi
Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri
dari cengkeraman dominasi negara.

Masyarakat sipil merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan


prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan
berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan
undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu. Masyarakat
sipil ditandai dengan karakteristik Masyarakat wilayah publik yang bebas
(free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan
berkeadilan sosial. Strategi membangun masyarakat sipil di Indonesia
dapat dilakukan dengan integrasi nasional dan politik, reformasi sistem
politik demokrasi, pendidikan, dan penyadaran politik.
Masyarakat sipil (civil society) mengejawantah dalam berbagai wadah
sosial politik di masyarakat, seperti organisasi keagamaan, profesi,
komunitas, media, dan lembaga pendidikan. Di era Reformasi gerakan
masyarakat sipil telah berubah menjadi organisasi atau lembaga nonprofit
dengan basis manajemen modern, transparan, dan akuntabel dalam
rangka menjalankan kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan lainnya.
Bagian dari perkembangan ini adalah munculnya asosiasi warga
masyarakat pengguna media sosial (netizen) yang telah berperan penting
dalam menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah maupun sesama

komponen masyarakat sipil.

Anda mungkin juga menyukai