Anda di halaman 1dari 3

Opini

Rubrik
Olahraga
Berita Utama
Finansial
Seni & Budaya
Jawa Tengah
Dikbud
Opini
International
Nasional
Iptek
Bisnis & Investasi
Nusantara
Naper
Metropolitan
Jawa Timur
Berita Yang lalu
A udio Visual
Pergelaran
Otonomi
Rumah
Teknologi
Informasi
A groindustri
Makanan dan
Minuman
Bentara
Properti
Teropong
Sorotan
Ilmu Pengetahuan
Swara
Muda
Telekomunikasi
Musik
Kesehatan
Investasi &
Perbankan
Esai Foto
Furnitur
Otomotif
Pendidikan Luar
Negeri
Bahari
Ekonomi
Internasional
Jendela
Pustakaloka
Ekonomi Rakyat
Fokus
Wisata
Dana Kemanusiaan
Pendidikan Dalam
Negeri
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

Sabtu, 31 Mei 2003

Search :

Visi Kemanusiaan Pancasila


Oleh Yonky Karman
KEHIDUPAN berbangsa berpusat pada Pancasila. Namun, disadari atau tidak,
visi kemanusiaan Pancasila sering terlupakan dalam perjalanan bangsa.
Implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masih jauh
dari memuaskan, misalnya kekerasan dan pelanggaran HAM masih cukup tinggi.
Dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sila kemanusiaan tidak eksplisit
disebutkan. Tekanan pidato kala itu pada bentuk dan dasar negara bangsa
(nationale staat). Disebutkan lima prinsip sebagai dasar negara yakni,
kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Prinsip perikemanusiaan diletakkan dalam kerangka internasionalisme dan
diurutkan setelah nasionalisme. Memang internasionalisme dan perikemanusiaan
adalah dua hal (entitas) berbeda, namun dalam konteks pidato itu keduanya
bertalian erat dihubungkan dengan prinsip kebangsaan. Bung Karno tidak
menghendaki nasionalisme di Indonesia berkembang menjadi chauvinisme, yang
memilah-milah kemanusiaan berdasarkan ras seperti slogan diktator Jerman,
Hitler: Deutschland ber alles.
Dalam visi proklamator, nasionalisme Indonesia "bukan kebangsaan yang
menyendiri", yang meninggikan diri di atas bangsa lain. Indonesia hanya salah
satu anggota keluarga bangsa-bangsa. Tujuan pendeklarasian bangsa Indonesia
merdeka adalah persatuan dan persaudaraan dunia. Dan, yang menyatukan
seluruh bangsa-bangsa di dunia adalah kemanusiaan yang sama martabatnya.
Maka Bung Karno mengutip ucapan Mahatma Gandhi, "Saya seorang nasionalis,
tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity."
Dari pidato yang menandai lahirnya Pancasila, perikemanusiaan baru dipahami
secara abstrak dan fungsional mendasari hubungan Indonesia dengan bangsabangsa lain di dunia, dalam kerangka hubungan internasional. Dalam kursuskursus yang disampaikan Bung Karno tahun 1958, diterbitkan Departemen
Penerangan dengan judul Pancasila sebagai Dasar Negara, kembali diulangi
pentingnya perikemanusiaan untuk nasionalisme yang tidak chauvinistik.
Dengan sadar Bung Karno membedakan "perikemanusiaan" (menselijkheid) dari
"kemanusiaan" (mensheid). Ia menyatakan, kemanusiaan menyangkut jender dan
jumlah manusia, sedangkan perikemanusiaan menyangkut sifat-sifat luhur dalam
diri manusia atau segala sesuatu yang menyangkut martabat manusia. Namun
dasar distingsi itu tidak kuat, sebab kata kemanusiaan maksudnya juga
perikemanusiaan. Dalam Pembukaan UUD 1945, misalnya, sila kemanusiaan
yang dimaksud tidak lain adalah prinsip perikemanusiaan yang disebut dalam
pidato lahirnya Pancasila.
Hermeneutika
Dalam rumusan Pancasila yang berlaku hingga kini, sila pertama adalah
ketuhanan, disusul sila kebangsaan, baru kemudian sila kemanusiaan. Sila

Berita Lainnya :

TAJUK
r Pe rburuhan
Standa
dalam AFTA
Madjid
Nurcholish
dan Politik
Biok ultura

Mak anan P ara dok s


Ke m anusia an
Visi
Panca sila
Karno,
Bung
Panca sila, da n
R e volusi Be lum
Se le sai

Jurnalism e Patriotik
R EDAKSI YTH
PO JO K

kemanusiaan menyusul sesudah sila kebangsaan, urutan itu sama dengan yang
ditemui dalam pidato lahirnya Pancasila. Perbedaan signifikan adalah sila
kemanusiaan diurutkan sesudah sila ketuhanan.
Dalam Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa negara RI "berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral yang luhur." Dalam visi para pendiri
Republik, pemerintah tidak langsung bertanggung jawab untuk sebuah agama,
tetapi wajib memelihara inti ajaran semua agama, yakni kemanusiaan dan
moralitas.
Dalam kursus tentang Pancasila (1958), Bung Karno menegaskan, agama-agama
"berdiri kuat atas dasar perikemanusiaan". Itulah dasar solidaritas dan toleransi di
antara umat-umat beragama. Para pendiri Republik menyadari implementasi
religiusitas tidak otomatis konstruktif dan menyejahterakan manusia. Atas nama
agama, terjadi bangsa menaklukkan bangsa lain, atau sesama anak bangsa
saling membunuh atau melakukan tindak kekerasan. Padahal, semua itu
bertentangan dengan nilai-nilai agama!
Tanpa kontrol nilai-nilai kemanusiaan, agama dapat memotivasi penganutnya
menjadi fanatik buta. Untuk mencegah religiusitas yang dalam praktik bisa
semena-mena dan destruktif, sila ketuhanan langsung dibatasi sila kemanusiaan.
Umat beragama harus dicegah dari kecenderungan untuk berhenti pada
formalisme agama yang tidak mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu,
visi kemanusiaan harus mengarahkan energi religiusitas kepada upaya
konstruktif, dan mencegah yang destruktif.
Dalam Tap MPR No II/MPR/1978, penjabaran sila kemanusiaan adalah mengakui
persamaan derajat manusia serta hak dan kewajibannya di antara sesama, saling
mencintai, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap
orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran
dan keadilan, memandang diri sebagai bagian umat manusia yang
konsekuensinya adalah mengembangkan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain
dan saling menghormati.
Demikianlah, bangsa dan negara Indonesia didirikan di atas visi kemanusiaan.
Para pendiri Republik menyadari signifikansi visi yang tertuang dalam sila
"kemanusiaan yang adil dan beradab". Bahkan, martabat manusia merupakan
fondasi semua nilai moral dasar Pancasila (William Chang, The Dignity of the
Human Person in Pancasila and the Churchs Social Doctrine: An Ethical
Comparative Study, Quezon City, 1997).
Implementasi
Prioritas negara berdasar Pancasila mestinya peningkatan dimensi kemanusiaan
rakyatnya. Sila kemanusiaan memayungi sila kebangsaan agar nasionalisme
tidak membuahkan pemerintahan dan rakyat yang diskriminatif berdasar ras atau
etnis. Rasialisme dalam segala bentuk harus diakhiri karena melahirkan hal-hal
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Di era otonomi daerah, isu etnosentrisme telah menggeser isu nasionalisme,
bersamaan dengan menguatnya sentimen primordialisme. Kenyataan inilah yang
harus disurutkan, supaya bangsa ini jangan melemah dari dalamnya sendiri.
Pembangunan tidak boleh berhenti pada slogan "untuk rakyat banyak",
sementara sebagian besar kue pembangunan dinikmati sebagian kecil rakyat,
sedangkan yang sebagian besar rakyat hanya menikmati sebagian kecil hasil
pembangunan. Dulu slogan pembangunan "tinggal landas" begitu populer di era
Orde Baru. Sedangkan kenyataannya, rakyat miskin tergusur, dan kemiskinan itu
sendiri sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan hilang. Jadi, siapa yang
tinggal landas dan siapa jadi landasannya?

Rakyat kecil sering dituntut berkorban dan bersabar demi kepentingan nasional,
kepentingan lebih besar. Nyatanya pengorbanan itu hampir selalu hanya demi
menyejahterakan elite penguasa atau segelintir orang. Rakyat kecil selalu
menjadi tumbal pembangunan (Peter L Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika
Politik dan Perubahan Sosial, tr AR Tolleng, Jakarta, 1982). Yang terjadi selama
ini, keadilan sosial belum merata bagi seluruh rakyat Indonesia dan pembangunan
tanpa visi kemanusiaan.
Memasuki babak baru konflik di Aceh, tentu saja sila perikemanusiaan menjadi
amat penting. Banyak pihak khawatir apakah pemberlakuan darurat militer di
sana tidak akan mengulangi rangkaian tragedi kemanusiaan selama
pemberlakuan Daerah Operasi Militer (1989-1998).
Maka, harapan semua pihak adalah operasi militer mempercepat proses
perdamaian di Aceh, menghormati hukum humaniter dan HAM, disertai langkahlangkah kemanusiaan.
Yonky Karman Pemerhati sosial keagamaan, tinggal di Jakarta

Design By KCM
Copyright 2002 Harian KOMPAS

Anda mungkin juga menyukai