Oleh : Ikhlasun Malik Fajar/Ketua Umum HMI Komisariat Supel UIN KHAS Jember
Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa, semakin jarang diucapkan,
dikutip, dan diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara (B.J. Habibie, 2011). Sebagai anak bangsa, sudah seharusnya kita menggelorakan
spirit pancasila dalam agenda berfikir dan bergerak pada setiap lini kehidupan.
Jika kita buka lembaran sejarah negara pada tahun 1945, 28 Mei sidang BPUPKI
dibuka dan 29 Mei hingga 1 Juni para pendiri bangsa duduk dalam forum membahas dasar –
dasar negara. Konon kata John Titaley, tiga kekuatan ideologis dengan sengit bertarung
dalam sidang itu adalah Nasionalisme, Islam, dan Sosialisme/Marxisme. 22 Juni BPUPKI
membentuk panitia kecil (9 orang) berusaha keras mengintegrasikan gagasan hingga
membuahkan hasil Piagam Jakarta.
Pada tanggal 18 Agustus Perdebatan panjang itu akhirnya menemukan titik temu:
Pancasila dengan ke-5 sila yang kita kenal hari ini sebagai jalan tengah. Dan dengan lapang,
semua agama, kepercayaan, dan etnik menerimanya. Pancasila sebagai dasar negara hasil
dari sebuah kompromi agung, dari konsensus para pendiri bangsa dengan melihat fakta
sosiologis masyarakat Indonesia yang heterogen sekaligus mempertimbangkan fakta
teologis yang menjadi keyakinan masyarakat negeri kepulauan.
Pancasila jadi payung yang menaungi semua keragaman dan memberikan jaminan
tentang tekad hidup dalam NKRI. Pancasila inilah sejatinya yang menjadi perekat kokohnya
negara persatuan. Padahal, sebelumnya masih berupa puak yang terserak, kerajaan tersebar
dengan bahasa dan budaya yang juga berlainan.
Rekaman panjang masa orde baru dalam kaitan dengan Pancasila tidak boleh kita
lupakan, kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) khususnya. Orde Baru meski dari pagi ke
pagi mendengungkan kembali Pancasila dan UUD 1945, dalam praktiknya, Pancasila telah
dikerdilkan menjadi sebuah ”ideologi tertutup”, dikerangkeng dalam penafsiran tunggal. Di
luar tafsir penguasa dianggap bidah dan berbahaya. Pancasila lengkap dengan P4-nya
dijejalkan kepada publik lewat indoktrinasi, pemaksaan dan jauh dari yang disebut Jurgen
Habermas penciptaan ruang deliberatif bagi terjadinya percakapan yang mengedepankan
kesetaraan dan kekuatan nalar.
Penerapan apa yang disebut “Asas Tunggal Pancasila” pada tahun 1985 pemerintah
Suharto, dimaksudkan semua organisasi yang ada di Indonesia harus menerapkan Pancasila
sebagai asasnya. Hal ini menjadi sebuah dilematis tersendiri bagi kader HMI. Hingga
akhirnya sesuatu yang tidak diingankan banyak orang terjadi pada kongres HMI di Padang.
Kongres ke-16 di Padang pada 1986, HMI pecah menjadi dua yaitu biasa kita kenal
dengan nama HMI DIPO dan HMI MPO. Hal ini terjadi lantaran HMI yang notabene adalah
organisasi yang berasaskan islam harus diganti dengan Pancasila. Kader yang menerima HMI
berasaskan Pancasila disebut kader HMI DIPO sedangkan sisanya kader yang tetap setia pada
HMI yang berasaskan islam membentuk sebuah Majelis Penyelamat Organisasi atau biasa
kita kenal HMI MPO.
Hubungan agama dan negara telah lama dipercakapkan oleh bangsa kita, hingga hari
ini pun masih ramai dibicarakan. Di sidang-sidang Konstituante beberapa dasawarsa lalu,
salah satu tema yang hangat diperdebatkan adalah posisi agama kaitannya dengan negara.
Apakah mau mengambil pilihan negara agama atau negara sekuler. Seharusnya perdebatan
ini selesai pada konsensus 18 Agustus 1945.
Solusi Ideal
Indonesia dengan Heterogenitas nya merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai
harganya, untuk itu harus dikembangkan dan dibina. Sebaliknya apabila tidak dikelola
dengan benar akan berkembang menjadi sesuatu yang menakutkan. Dulu keberagaman
merupakan kekayaan bangsa yang paling dibanggakan, dibangun atas dasar tujuan dan
kepentingan bersama yaitu kemerdekaan Indonesia.
Di Kalimantan Barat terjadi konflik etnik yang menyebabkan korban jiwa yang tak
terhitung jumlahnya. Di Ambon dan Poso terjadi konflik antar penganut agama yang hampir
menyeret bangsa ini ke jurang kehancuran. Di Papua sering terjadi perang antar suku yang
menelan banyak korban jiwa, dan ini dianggap suatu tradisi untuk mempertahankan gengsi
dan prestise. Perselisihan terjadi di mana-mana, antar pendukung kesebelasan sepak bola,
antar ormas, antar mahasiswa, tawuran antar penonton pagelaran musik, antar padepokan
silat, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa rasa kebersamaan warga masyarakat sudah
hilang, yang ada perbedaan idelogi dan kepentingan, apabila berbeda kepentingan dan
ideologi dianggap lawan.
Sebagai bangsa yang besar dengan cita-cita luhur dan jelas, suasana negara yang kita
impikan bersama agar tidak menjadi utopis, maka wajib hukumnya menghayati serta
mengamalkan Pancasila. Pancasila sebagai “Jalan Tengah” diantara persimpangan agenda
keagamaan, agenda kenegaraan dan kebangsaan. Sebagaimana tempo dulu melihat realitas
masyarakat majemuk, Muhammad SAW menampilkan “Piagam Madinah” sebagai dasar dan
komitmen bermasyarakat.
*) penulis adalah Ketua Umum HMI Komisariat Supel UIN KHAS Jember