(PDF) Filsafat Pancasila Sebagai Basis Pergerakan Mahasiswa, Kehidupan Sosial, dan Spirit
Kewirausahaan. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/282581016_Filsafat_Pancasila_Sebagai_Basis_Pergera
kan_Mahasiswa_Kehidupan_Sosial_dan_Spirit_Kewirausahaan [accessed Jun 25 2018].
(PDF) Filsafat Pancasila Sebagai Basis Pergerakan Mahasiswa, Kehidupan Sosial, dan Spirit
Kewirausahaan. Available from:
https://www.researchgate.net/publication/282581016_Filsafat_Pancasila_Sebagai_Basis_Pergera
kan_Mahasiswa_Kehidupan_Sosial_dan_Spirit_Kewirausahaan [accessed Jun 25 2018].
TRIBUNNEWS.COM - Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi yang
meletakkan kecintaan, kesetiaan dan komitmen tertinggi pada negara kebangsaan
(Hans Kohn, Nasionalisme. Arti Dan Sejarahnya, (1961) Djakarta, Pustaka Sardjana).
Dalam nasionalisme inilah seorang individu mengintegrasikan perasaan dan
kecintaannya pada negara kebangsaan. Unsur utama yang terkandung dalam
konsep nasionalisme adalah keinginan untuk hidup bersama sebagai suatu komunitas
bangsa yang memiliki tujuan dan cita-cita yang hendak diraih bersama. Dengan
demikian pemikiran dan tingkah laku seorang nasionalis senantiasa didasarkan pada
kesadaran menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa dan berorientasi pada
pencapaian tujuan bersama sebagai bangsa.
Maka nasionalisme Indonesia yang berlandaskan pada sila ke- 3 Pancasila, dengan
konsep Nasionale staat, bertujuan mewujudkan apa yang terkandung dalam sila ke-5.
Dengan ini jelaslah, nasionalisme senantiasa bertujuan pada pewujudan kemandirian,
keadilan sosial dan kesejahteraan bersama (sosialisme Pancasila), Disini jiwa
entrepreneur memperoleh landasan sikap kebangsaannya dalam membangun
kemandirian (wirausaha).
Namun, kenyataannya Bangsa Indonesia di awal abad ke-21 ini masih dihadapkan
pada persoalan krusial pada berbagai segi kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi,
politik dan pertahanan keamanan. Tingkat kemiskinan dan pengangguran menunjukkan
tren semakin tinggi seiring perkembangan dunia industri yang begitu didewakan
sebagai soko guru pembangunan sepanjang Orde Baru hingga mulai merapuh.
Padahal konsep pertahan semesta kini sudah meliputi matra sosial-ekonomi. Artinya
persoalan kemiskinan dan pengangguran adalah bagian elemen dasar dalam
membangun ketahanan dan pertahanan Negara. Beberapa negara maju, seperti
Amerika, telah (lama) memodifikasi stategi politik internasionalnya yang
mengintegrasikan persoalan ekonomi dan kesejahteraan dalam agenda-agenda yang
mereka sebut civilisasi (pemberadaban). Rupanya ini merupakan kebijakan soft-power
untuk memantapkan sebuah ideologi kapitalisme. Sementara kita masih berkutat dan
bergelut dalam cara-cara (metode) dan kebijakan bagaimana mempercepat tercapainya
kesejahteraan rakyat sembari berbaku bantam antar sesama hanya karena ego-
primordial dan aliran politik. Masih belum terlihat agenda bersama untuk membangun
kemandirian bangsa.
Banyak ahli berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalis yang monopolistik yang telah
menggurita di lndonesia sebagai penyebab utama terpuruknya kehidupan bangsa
Indonesia dewasa rm. Meski pendapat ini bisa saja benar, juga bisa saja tidak benar
sepenuhnya. Semua apa yang elialami bangsa kini, berpulang pada kebijakan dan
langkah yang eliambil pemerintah. Apalagi kenyataan ini diperparah dengan konelisi
begitu rapuhnya jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa.
Sebenarnya sejak tahun 1970-an telah banyak kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis,
karena elipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara adil eli banyak
negara berkembang; bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan ketergantungan.
Meskipun ada pengecualian seperti yang tetjadi di Korea Selatan, dikenal sebagai
Negara Kaya Baru eli Asia akibat pengadopsian terhadap sistem kapitalisme elibanding
saudaranya Korea Utara. Kondisi keterbelakangan antara lain merupakan produk
historis hubungan negara kolonial dengan negara tetjajah, negara miskin dengan
negara maju-selebihnya pertarungan ideologis antara faham Kapitalisme dan
Komunisme/Sosialisme di masa lalu.
Nasionalisme dan Kemandirian Bangsa adalah penting bagi perjalanan Negara
Indonesia dalam memastikan bahwa bangsa ini benar-benar merdeka.
Sebagaimana nasionalisme Indonesia awalnya adalah respok atas kolonialisme dan
segala bentuk turunan mutakhirnya (penindasan, perampasan hak: dan kekayaan
bangsa, pemerpurukan sistemik, dan hegemoni politik-ekonomi). Nasionalisme
Indonesia adalah "nasionalisme hybrid" yang menyatukan perbedaan ras, suku dan
agama dimana justru nasionalisme di tanah kelahirannya berawal dari tribalisme
primordialisme; Seperti Naziisme, Zionisme, dan lain-lain. ltu semua dalam bahasa
Sukamo disebut nasionalisme kebablasan. Berkat nasionalisme hybrid
ini, nasionalisme lndonesai selalu mencita- citakan dan bertujuan mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam sila ke-5 Pancasila.
Sekali lagi dari sinilah akar kemandirian atau entrepreneurship Pancasila itu.
Setelah Indonesia merdeka setengah abad lebih, nasionalisme tetap diperlukan dalam
rupa, bentuk dan sikap yang mutakhir sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
pembangunan manusia/ bangsa Indonesia. Kaum professional Indonesia tetap
memerlukan Nasionalisme, kamu muda juga tetap memerlukan nasionalisme di aras
kehidupan masing-masing. Demikian juga kaum pekerja, ilmuwan, akademisi dengan
bidang masing-masing, terutama wirausaha dengan strata karya dan kiprahnya masing-
masmg memerlukan nasionalisme. Jika tidak, keidupan yang berkaitkelindan antara
satu aspek dengan aspek lain, satu bidang dengan bidang yang lain, satu profesi
dengan profesi yang lain tidak akan menciptakan keutuhan, kebersamaan, dan cita-cita
bersama sebagai bangsa Indonesia, negara-bangsa merdeka berdaulat berdasarkan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Harus diakui, dan diperhatikan dengan seksama, bahwa Indonesia mempakan daerah
di belahan bumi yang memiliki wilayah sangat luas yaitu sekitar 587.000 km2, jarak dari
barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia. (Drake, C.
Drake. 1989. National Integration in Indonesia: Patters and Policies. Honolulu:
University of Hawaii Press.) Dengan potensi kewilayahan tersebut bangsa Indonesia
juga dihadapankan pada persoalan yang tidak ringan dalam me.WUjudkan integrasi
nasional sebagai bangsa yang merdeka. Wilayah itu merupakan kawasan kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau besar dan kecil yang dihuni oleh
ratusan suku bangsa (Walcott, A.S., Java and her neighbors: A travele's note in Java
Celebes, the Moluccas and Sumatra (1914), New York and London:
Knickerbocker Press).
Berdasar fakta aktual itu, kita sebagai bangsa besar hidup dalam satu wilayah yang luar
biasa potensi alamnya, dan sekaligus besar pula tantangannya. Krisis multidimensi
menggelayuti bangsa, sejak penegakkan keadilan hukum, pemberantasan tindak
pidana korupsi, kemiskinan, angka pengangguran, dan dekadensi moral remaja. Dalam
kehidupan ekonomi, berangsur-angsur kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki
kemandirian apalagi kedaulatan, sehingga perencanaan dan kebijakan pembangunan
semesta tidak berlangsung otonom, mandiri dan berpihak pada mayoritas lemah (32,53
juta orang miskin, per Maret 2009: Data Strategsi BPS-2009.). Padahal kemandirian
adalah kata lain sekaligus bentuk kongkrit dari kemerdekaan yang diperjuangkan oleh
para founding fathers dan pejuang revolusi kemerdekaan
1945 kita.
Tidak berlebihan jika kemudian disimpulkan bahwa nasionalisme dan kemandirian
bangsa Indonesia dewasa ini sangat sangat diperlukan demi cita-cita kemerdekaan
Indonesia. Pengurangan angka pengangguran mempakan bagian dari
sikap nasionalisme yang dapat berefek balik: pada jiwa patriotisme itu sendiri dalam
membangun kemandirian secara ekonomi, politik, dan budaya
1Seorang pemimpin di Indonesia adalah seorang yang mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan
kemajuan zaman
2.Seorang pemimpin hendaknya berwibawa, yakni timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya,
bukan karena katakutan, tetapi karena kesadaran dan kerelaan
3.Seorang pemimpin bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya.
Dengan demikian, pemimpin benar-benar bersifat “ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun
karsa, Tut wuri handayani”
Menurut Pak Harto
Mantan presiden Soeharto menjelaskan tentang asas kepemimpinan Hasta Brata
(delapan laku kepemimpinan). Delapan laku tersebut antara lain:
Ø Lir Surya (matahari)
Dengan lambang ini diharapkan seorang pemimpin dapat berfungsi seperti matahari bagi yang
dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi orang-orang yang
dipimpinnya.
Ø Lir Candra (bulan)
Dengan lambang ini seorang pemimpin hadaknya berfungsi sebagai bulan, yakni membuat
senang bagi anggotanya dan memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, Sang
pemimpin mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari kesulitan.
Ø Lir Kartika (bintang)
Bintang adalah sebagai pedoman bagi pelaut atau pengarung samudra. Dengan lambang ini
pemimpin handaknya berteguh iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga menjadi
pedoman dan panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.
Ø Lir Samirana (angin)
Dengan lambang ini, diharapkan seorang pemimpin bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah
dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer” bergaul dengan rakyat lapisan manapun, guna mencari
masukan untuk menetapakan kebijakan dan keputusan.
Melihat perilaku pemimpin bangsa kita sekarang yang bercokol di Jakarta, tentunya kita
masih bersikap bijak dengan tidak menyalahkan rakyat pemilihnya, dan tentunya kita juga tidak
layak mempermasalahkan ungkapan vox populi, vox dei, suara rakyat, suara Tuhan. Kerena ini
menyangkut pesan moral bagi pemimpin yang masih merasa beriman untuk memperhatikan
rakyat, terlepas dari rakyat pemilihnya yang memang juga tidak bermoral, tapi ini tentunya
menjadi tanggung jawab pemimpin yang masih saja mengklaim ia di pilih rakyat, ia mewakili
suara rakyat, suara Tuhan yang tentunya tidak diskriminasi.
Pemimpin kita selalu mengklaim diri seorang Pancasilais sejati, namun selalu
menunjukan ironi, ketika dipertanyakan nilai-nilai Pancasila yang dianutnya, ia lebih
menunjukan diri sebagai perwujudan paham nasionalisme sempit, atau suatu ketidakperdulian
dengan pembenaran di sisi lain. Dia meniadakan sila-sila Pancasila, apa lagi Bhineka Tunggal
Ika yang kita anut. Dia hanya menunjuk diri, kuasa egonya agar diketahui dirinya orang besar
yang mempunyai modal untuk menguasai dunia, dimana Pancasila yang sesungguhnya hanya
sebuah inspirasi untuk dijadikan alatnya agar dapat di pakai dalam masa kepemimpinannya yang
sifatnya sementara ini untuk menindas. Ia hanya menjadikan Pancasila untuk meningkatkan
kapitalnya tanpa perduli terhadap yang lain, rakyat pemilihnya.
Melihat hal ini, rakyat tentunya tahu bahwa pemimpinnya bukan pemimpin Pancasila,
dan senjata untuk melawannya tidaklah kuat jika hanya dengan seeokor Kerbau. Rakyat tentunya
masih berpikir untuk melawan pemimpin yang memperalat mereka, dan masih terus berharap
mempunyai pemimpin yang berpihak pada mereka.
Bila kita sejenak merujuk pada referensi sejarah, Pidato Bung Karno 1 Juni tentang
Lahirnya Pancasila memberi kita pencerahan bahwa kita mendirikan negara semua untuk semua
dimana tidak ada klaim kultural maupun stempel identitas tertentu di atas blanko republik ini.
Dalam UUD 1945, Pasal 1 ayat 3 menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan dalam
pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas
tercantum “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum”. Sementara Bhinneka Tunggal
Ika, nilai-nilai luhurnya sudah lama ada di sanubari tiap-tiap rakyat Indonesia. Kesadaran akan
hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat anak-anak
bangsa di negeri ini.
Rujukan ideologis, kultural dan konstitusional memberi kita makna bahwa Indonesia
punya cita-cita kolektif dimana semua golongan bisa hidup berdampingan dengan berlandaskan
pada norma-norma hukum dimana sumber rujukanya adalah Pancasila. Pembangkangan terhadap
hukum dengan dalih menjaga ketertiban umum adalah sikap pengecut. Selama bangsa ini
dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa kerdil, jangan pernah berharap bangsa ini bisa besar.
Demokrasi yang bersendi Pancasila harus dijalankan dengan hubungan mayoritas dan minoritas
yang berimbang (majority rule, minority rights). Dalam hal ini berwujud kebijakan publik yang
berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Tanpa itu, demokrasi hanya akan jadi pepesan kosong bagi rakyat yang lapar rasa adil dan haus
rasa nyaman.
Pemimpin Indonesia harus menjadi “Pancasila Hidup” atau “Pancasila Berjalan”
Tanggal 1 Juni 1945 merupakan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam
menentukan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja lahir.
Kukuhnya Pancasila sebagia dasar NKRI kenyataannya memang banyak mengorbankan nyawa
sesama bangsa sendiri. Ini membuktikan bahwa Pancasila adalah hasil kerja keras para
pemimpin bangsa dalam menghadapi kondisi pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri atas
berbagai macam unsur, baik suku bangsa, adat istiadat maupun agama yang berbeda-beda. Nilai-
nilai universalitas Pancasila makin tampak ketika menghadapi pluralitas masyarakat Indonesia
ketimbang harus mengadopsi kelompok agama tertentu.
Yang paling ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila hanya sebagai hiasan
dinding yang tak memiliki makna. Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala aspek
kehidupan berkebangsaan tak lagi menyentuh moralitas bangsa dan memengaruhi mentalitas
para pemimpin bangsa.
Dengan demikian, yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam sanubari
para pemimpin kita. Simbol-simbol burung Garuda yang dipajang di setiap kantor pemerintahan
seolah tak memiiki pengaruh apa-apa bagi aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para
pejabat tingi ada burung Garuda yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan
tanpa merasa berdosa mereka berani manandatangani “perjanjian” korupsi yang jumlahnya
miliaran rupiah. Di lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima sila Pancasila secara
lengkap di depan para bawahannya secara jelas dan tegas. Namun, Pancasila kini telah
kehilangan eksistensinya sebagai perekat kekuatan moral dan pemersatu bangsa. Yang paling
ironis sekarang ini adalah menjadikan Pancasila hanya sebagai hiasan dinding yang tak memiliki
makna.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang memuat segala aspek kehidupan berkebangsaan tak lagi
menyentuh moralitas bangsa dan memengaruhi mentalitas para pemimpin bangsa. Dengan
demikian, yang terjadi adalah mentahnya nilai-nilai Pancasila dalam sanubari para pemimpin
kita. Simbol-simbol burung Garuda yang dipajang di setiap kantor pemerintahan seolah tak
memiiki pengaruh apa-apa bagi aktivitas pemerintahan sendiri. Di setiap ruangan para pejabat
tingi ada burung Garuda yang selalu mengawasi segala aktivitasnya, namun dengan tanpa merasa
berdosa mereka berani manandatangani “perjanjian” korupsi yang jumlahnya miliaran rupiah. Di
lain kesempatan mereka dengan rajin membacakan lima sila Pancasila secara lengkap di depan
para bawahannya secara jelas dan tegas. Namun, Pancasila kini telah kehilangan eksistensinya
sebagai perekat kekuatan moral dan pemersatu bangsa.
Tanggal 1 Juni yang diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila tidak hanya menjadi
ajang simbolisasi peringatan yang tak memiliki makna. Kita tidak bisa berdiam diri membiarkan
nilai-nilai luhur Pancasila hilang tanpa meninggalkan jejak. Berkaitan dengan itu semua, sebagai
bangsa yang menjujung tinggi demokrasi, sudah saatnya kita kini selektif memilih sosok calon
pemimpin yang benar-benar memiliki kapabilitas yang cukup mumpuni dan bermoral Pancasila.
Seorang pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang selalu memperhatikan nasib
rakyatnya sesuai dengan tujuan kesejahteraan dalam sila Pancasila. Seorang pemimpin yang
Pancasilais adalah sosok pemimpin yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan masyarakatnya. Pemimpin yang Pancasilais harus mengedepankan kepentingan
rakyat daripada kepentingan-kepentingan yang lain. Pemimpin yang Pancasilais adalah
pemimpin yang tidak terlalu berambisi mengejar jabatan demi kepentingan pribadi, menanamkan
permusuhan dengan lawan-lawan politiknya.
Pemimpin yang Pancasilais adalah sosok pemimpin yang selalu dengan teguh
mengamalkan sila-sila Pancasila dengan sempurna. Ia adalah pemimpin yang memiliki jiwa
religiositas sesuai dengan sila pertama Pancasila, selalu menanamkan jiwa-jiwa keadilan dalam
setiap aspeknya, bersikap toleran dan terbuka sebagai jalan untuk mempersatukan semua unsur
perbedaan yang ada, dan selalu bijak dalam pengambilan keputusannya. Dalam cara pandang
sudut agama, Pancasila telah mewakili semua agama yang ada di negeri ini. Sebagai jalan
penengah di antara semua unsur perbedaan itu, Pancasila tidak pernah memihak kepada salah
satu di antara semua agama yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-
nilai moral universal di mana semua agama mengajarkannya.
Seorang agamawan yang baik sudah pasti mengerti filsafat Pancasila menurut
pandangan agamanya. Sebab, Pancasila bersifat netral. Pancasila sesuai dengan agama apa pun
yang ada di negeri ini karena ia yakin bahwa setiap agama pasti mengajarkan nilai-nilai
kebenaran, keadilan, serta toleransi. Kalaupun ada sekelompok orang yang ingin mengganti
Pancasila dengan hukum-hukum agama tertentu, berarti ia kurang bisa membedakan dan
memahami antara agama dan substansi ajarannya.
2.6 Azas-azas kepemimpinan pancasila
Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola pikir modern
dengandengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai berikut:
1. Azas Kebersamaan;
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan Pancasila hendaknya:
a. pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi;
b. pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin;
c. pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi;
d. p e m i m p i n dan ya n g dipimpin bukan unsur ya n g saling
b e r t e n t a n g a n sehingga tak terjadi dualisme;
e. masing-masing unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dankewajiban hidup
(dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golonganyang paling kuat, tetapi juga tidak
menganggap kepentingan seseorangsebagai pusat;
f. tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin;
http://nursoviyati.blogspot.com/