Anda di halaman 1dari 6

MENCARI KESINAMBUNGAN PIKIRAN

TENTANG DESA DAN PEREMPUAN


RISA PERMANADELI
PUSAT KAJIAN REPRESENTASI SOSIAL

Perjalanan peradaban modern selama 6 abad, yang membuat gerak linear dari alam ke
bangku sekolah, dari tubuh ke pikiran, dari pertanian ke industry, dari tradisi ke modernitas,
dan dengan sendirinya dari desa ke kota, akhirnya mengalami jalan buntu justru ketika
modernitas telah mencapai puncaknya 1. Apabila perjalanan 6 abad selalu menyisakan
mitologi tentang kebenaran pikiran yang selalu dibayangkan menjadi puncak dari peradaban
manusia, tiba-tiba kita bertemu dengan kesadaran bahwa kedigdayaan pikiran memiliki
kegamangan yang harus berakhir di hadapan sebuah mahluk bernama covid19 - yang
senyatanya hidup dalam darah daging manusia untuk membuat pikiran menemukan batas
kebenarannya sendiri. Pandemi covid19, hanyalah titik letup yang kemudian menyadarkan
kita semua bahwa jalur kemajuan peradaban manusia yang dibayangkan selama ini, adalah
sebuah perjalanan yang harus kita kaji ulang arah dan tujuannya.

Untuk masyarakat dimana pikiran telah terlampaui (masyarakat paska industrial - Barat),
maka kerinduan untuk menemukan kembali semua yang ditinggalkan 6 abad yang silam,
menjadi beralasan. Mengapa? Alam tetap menjadi sumber utama seluruh daya hidup
mahluk semesta. Pertanian tetap menjadi wahana untuk belajar tentang hubungan paling
mendasar antara manusia dan semesta tanpa harus mengurai seluruh misteri dan
kerahasiaannya. Tubuh yang selama ini terpinggirkan oleh mitologi dosa sekaligus mitologi
kebenaran pikiran, ternyata adalah bagian paling hakiki yang menentukan seluruh rumusan
untuk menjadi manusia. Tradisi yang dianggap sebagai penghalang untuk memenangkan
pertarungan menegakkan pikiran, ternyata adalah rumah makna yang aman untuk menjaga
sebuah garis lurus kesinambungan bukan hanya waktu, akan tetapi juga ruang dan
bagaimana ruang dan waktu bergerak bersama nafas kehidupan setiap manusia yang hidup
di dalamnya. Dalam arti tertentu, kemudian bisa dimengerti ketika mahluk modern tersebut
secara kritis mempertanyakan kembali tentang modernitas, tanpa bisa ditolak mereka
menggugat sebuah kebenaran untuk memuja mitologi kota sebagai pusat peradaban. Dalam
gugatan inilah, tanpa bisa ditolak pertanyaan tentang modernitas mulai memaksa untuk
menengok ulang desa (baca: alam).

Gerakan untuk menanggalkan mitologi kota bagi masyarakat modern, sebenarnya sudah
bergema sejak akhir tahun 60an pada abad yang lalu, ketika pikiran yang mereka letakkan
sebagai penggerak peradaban memperlihatkan petaka baru atas nama pikiran: ideologi! 2

1
Dalam dunia ilmu pengetahuan sosial, keadaan ini yang disebut sebagai tahap paska
industrial.
2
Kesadaran bermula dari gerakan demonstrasi mahasiswa di Paris tahun 1968, yang
dianggap sebagai Revolusi Kebudayaan karena mereka memutar ulang seluruh ingatan
tentang kemajuan dan kenyamanan, dengan mempertanyakan kembali otoritas pikiran di
hadapan sejumlah pertanyaan tentang kemanusiaan yang tidak bisa diselesaikan oleh
pikiran itu sendiri. Teori-teori ilmu social yang berkembang pasca periode ini, kemudian
Perang dan naluri untuk berkuasa atas nama apapun, kemudian mengoyak seluruh otoritas
pikiran dengan mempertanyakan apa yang selama sekian abad telah ditinggalkan, sekaligus
apa yang harus dibayar dalam perjalanan tadi. Pengetahuan paling dasar atas kegelisahan
modern, terjawab ketika mereka menemukan ulang desa (alam) lengkap dengan seluruh
kemanusiaan yang melekat di dalamnya.

Awal gerakan kembali ke desa dan menemukan ulang martabat kemanusiaan, juga menjadi
titik tolak ditemukannya unsur non-pikiran, tubuh, yang kemudian menandai lahirnya
kesadaran baru tentang keberadaan mahluk perempuan dalam peradaban manusia
modern. Artinya tubuh dan keperempuanan bukan hanya sekedar materi dari obyek pikiran.
Dalam perjalanan untuk merumuskan keberadaannya, kemudian diterima bahwa tubuh dan
keperempuanan memiliki watak dan nalar sendiri yang tidak tunduk pada prinsip otoritas
dan kebenaran pikiran yang dibayangkan nir-batas. Justru watak tubuh dan keperempuanan
yang sepenuhnya menerima hukum keterbatasan, sekaligus menerima watak perbedaannya
dengan pikiran, membuat perjalanan mencari alternative pikiran yang menerima
kesemestaan alam bermula kembali. Atau dengan kata lain, tubuh, perempuan dan alam
semesta adalah lonceng yang menggugah kesadaran bahwa modernitas mengenal prinsip
saturasi!

Untuk masyarakat pasca industrial (baca: Barat), dimana kerangka bergeraknya masyarakat
adalah system produksi modern, maka kehadiran tubuh dan keperempuanan adalah nyata
dengan keikutsertaan dalam pasar kerja (menjadi kelas pekerja dan meninggalkan rumah
sebagai ruang eksistensinya), membayar pajak (menjalankan tugas sebagai warga negara),
dan hadir sebagai warga negara (menikmati tunjangan dan kemudahan sebagai warga
negara sekaligus menjalankan haknya secara politik). Artinya perjalanan tubuh dan
keperempuanan dalam negara, harus dimengerti dalam paket tersebut, yang dalam arti
tertentu tidak lagi membuat keberadaannya terbedakan dari kehadiran pikiran maupun laki-
laki. Perempuan adalah individu, dan dalam seluruh tata kelola produksi maupun
kenegaraan, perempuan maupun laki-laki hanya terepresentasikan dalam angka 3. Maka
ketika negara terganggu karena system produksi terhenti oleh pandemie seperti saat ini,
angka itu menyurut, berkurang, dan dengan sendirinya naluri untuk bersabung nyawa
dengan kekuatan pikiran dikerahkan kembali: menanti kedatangan penangkal/vaksin. Pada
fase ini, pikiran bersifat genderless! Artinya kehadiran dan keberadaan perempuan tidak lagi
ditentukan oleh ketubuhannya yang bersifat oposisional terhadap laki-laki.

menjadi acuan dari seluruh disiplin dalam ilmu social hari ini dengan selalu berpihak pada
kelompok yang terabaikan. Perempuan dan alam semesta adalah dua tema besar yang
menjadi dasar perubahan yang akan terus menantang pikiran modern. Untuk pemikiran
filsafatnya, lihat Edgar Morin (2015), Penser Global: l’humain et son univers, Paris, Robert
Lafont; untuk pemikiran sosiologisnya, lihat Alain Touraine (1995), Critique of Modernity,
Oxford: Blackwell; untuk pemikiran ekologis dan filsafat, lihat Serge Moscovici (1968/1977),
Essai sur l’histoire humaine de la nature, Paris: Flammarion; (1972), La Société contre la
nature, Paris: UGE-Seuil; untuk pemikiran tentang perempuan, lihat Simone de Beauvoir
(1949), Le deuxième sexe, Paris: Editions Galimard.
3
Jean-Paul Sartre menggambarkan masyarakat modern hanya melahirkan
kesamaan/keseragaman. Satu-satunya perbedaan yang membuat seseorang berbeda
dengan manusia yang lain adalah nomor dalam catatan kependudukan yang berlaku untuk
seluruh urusan administrasi kenegaraan, yang disebutnya sebagai fenomena sérialité.
Untuk masyarakat Indonesia4, skenario bergerak dengan narasi dan cerita yang lain sama
sekali. Indonesia adalah negara bekas jajahan, dengan sebuah struktur kemasyarakatan
solid dan canggih pada tiap suku/masyarakat yang sudah terbentuk sebelum kedatangan
penjajah. Ketika Barat bergulat menemukan modernitas untuk memutus dari mata rantai
kehidupan yang bertumpu pada alam, bangsa-bangsa yang menghuni kepulauan Nusantara
bergulat untuk menerima kekalahan. Modernitas (sebagai rumusan pikiran) tidak pernah
menjadi sebuah temuan pikiran yang wataknya endogen, sementara tubuh dan
keperempuanan hidup dalam narasi dan tradisi kultural yang tidak memilah secara hierarkis
pikiran atas tubuh, atau laki-laki atas perempuan, dan bisa dimengerti apabila alam tetap
menjadi pilar utama yang menentukan seluruh haluan perjalanan menjadi manusia. Menjadi
modern adalah naluri yang bertumbuh sebagai representasi atas seluruh perasaan
terkalahkan selama sekian abad (resentment), dan bukan kebutuhan untuk merumuskan
ulang manusia Indonesia pasca penjajahan di hadapan kebutuhan untuk meretas masa
depan dengan membentuk kelas pekerja/system produksi industrial. Dasar dari watak
seperti ini kemudian membuat perjalanan menjadi Indonesia mengaburkan gagasan
modernitas semata-mata oleh kemajuan ekonomi, dan jalan pintas menjadi modern
ditempuh dengan melanjutkan pendekatan eksploitatif pada alam sebagaimana perjalanan
beberapa abad di bawah kekuasaan penjajah.

Skenario hidup berbangsa dalam kerangka ini kemudian menjelaskan banyak hal yang
selanjutnya akan saya sebut sebagai elemen. Pertama pikiran tidak pernah menjadi
mercusuar kehidupan bersama yang mengatur seluruh peta bernegara, berpolitik, mengejar
kemajuan, merumuskan kebahagiaan sebagai warga negara atau semata-mata sebagai
seorang perempuan/laki-laki. Akan tetapi pada saat yang sama (secara formal) kita
mengusung seluruh gagasan modern tentang cara mengatur hidup kita bersama (dalam
negara) dengan mengambil template pikiran sebagaimana masyarakat Barat, karena kita
percaya bahwa Barat adalah sebuah model ideal kemajuan dan peradaban. Artinya
Indonesia adalah “negara modern”! Kedua, arus awal yang menjadi urat nadi hidup manusia
Indonesia selama puluhan abad, tetap hidup dengan cara dan wataknya sendiri melalui apa
yang mereka jalani dalam hidup sehari-hari. Masa pendudukan penjajah selama sekian
abad, tidak pernah menghapus genetika social kita sebagai mahluk Timur yang akan
senantiasa bergerak dalam ruang mental yang lain walaupun kita menyatakan diri sebagai
negara modern. Dalam kerangka ini, walau genetika tersebut tidak pernah secara visual
tampak karena kita bergaya sebagaimana template Barat tentang hidup sebagai mahluk
beradab, maka sebagai arus, genetika tersebut hanya bisa disentuh ketika kita berhadapan
dengan urusan hidup dan mati. Dalam urusan ini, leluhur dan kematian ternyata tetap
merupakan hal yang sacral. Hal ini yang kemudian menjelaskan bahwa gagasan alam sebagai
ruang kosmik akan tetap terjaga, dan disanalah sebenarnya genetika social kita tersemaikan
sekaligus sering kita lupakan atas nama apa pun. Ketiga, kedatangan elemen baru seperti
agama dan ilmu pengetahuan tidak menggugurkan hal kedua karena elemen-elemen
tersebut tidak menemukan platform mental untuk menyusup menjadi bagian keseharian

4
Secara khusus saya memakai kerangka pikiran dalam penelitian untuk disertasi saya
tentang Representasi Sosial Perempuan dan tempat perempuan pada masyarakat Jawa.
Lihat Risa Permanadeli (2015), Dadi Wong Wadon Representasi Sosial Perempuan Jawa di
Era Modern, Sleman: Pustaka Ifada
dan merumuskan kehadirannya sebagai common sense5. Karena tidak menemukan
peralatan mental untuk berbicara dalam Bahasa nalar sebagaimana yang dijalani dalam
hidup nyata setiap orang, maka elemen pengetahuan dan agama tetap menjadi mahluk
asing untuk bangsa ini.

Ketiga temuan tadi hidup secara tumpang tindih dan kadang saling menyandera, sementara
kita tidak pernah mengurai untuk memahami keruwetannya. Dengan mekanisme
berfungsinya masyarakat Indonesia dalam tiga alur masalah di atas, kemudian apa yang kita
mengerti untuk memahami pandemie dan meletakkan ulang gagasan hidup DESA dimana
asumsinya perempuan adalah representasi dari alam yang tidak pernah menjauh dari
kehidupan masyarakatnya. Beberapa hal yang harus dicatat untuk mempersoalkan masalah
di atas adalah sebagai berikut:
1. Desa tidak bisa dimengerti dalam pengertian sosiologis tentang linearitas
pertumbuhan yang mewakili keterbatasan. Artinya desa bukan sebuah oposisi atas
kota, dan oleh karena itu perspektif desa-kota, tetap harus dibaca dalam evolusi
masyarakat kita sendiri. Pandangan pejorative terhadap desa adalah warisan dari
prasangka yang kita simpan untuk melanggengkan superioritas Barat (baca: kota
yang dibangun oleh penjajah) yang selalu melihat masyarakat pribumi sebagai
terbelakang, kampungan, tidak beradab, dsb. Jadi istilah untuk mengerti pengertian
desa dalam ingatan kolektif perjalanan masyarakat Indonesia, adalah sebuah oposisi
atas ruang kekuasaan dan bukan oposisi atas ruang sosiologis (lahirnya kelas pekerja
dan kesadaran politik) dan ruang kultural kota (pembentukan selera). Dalam
pengertian ini maka kota dengan sendirinya tidak bisa dimengerti sebagai mercusuar
peradaban. Desa dan kota untuk masyarakat Indonesia adalah representasi dari
ketumpangtindihan tiga temuan di atas. Sebuah kota hadir ketika volume tumpang
tindih yang menghasilkan keruwetan tinggi, sementara desa diasumsikan volume
keruwetan relative lebih rendah. Artinya yang membedakan desa terhadap kota
adalah skala keruwetan!
2. Karena desa merumuskan sebagai “alter ego” kota, maka dengan sendirinya bersoal
tentang perempuan, tubuh dan alam semesta, sebenarnya tidak perlu
mempersoalkan pembedaan istilah desa-kota. Kita secara lebih waspada, hanya
harus memperhatikan skala keruwetan di atas dan mencari tahu bagaimana
keruwetan terjadi.
3. Selama hubungan desa-kota secara mental tetap mengacu pada pengalaman
penjajahan dari pada rumusan perubahan social pada masyarakat, maka pola
kekuasaan yang direpresentasikan oleh kota, akan tetap menjadi sumber keruwetan.
Berkuasa adalah menduduki jabatan, menduduki jabatan artinya memiliki akses pada
pengelolaan asset bersama, akses beridentifikasi dengan gratifikasi, korupsi, dsb.
Kemudian dengan sendirinya keruwetan semakin bertumpuk karena mewakili
prasangka Barat tentang masyarakat dunia ketiga, perempuan yang hidup dalam
5
Gagasan ini bersifat sangat debatable mengingat heterogenitas masyarakat Indonesia yang
terlalu tinggi. Akan tetapi dalam kerangka pikiran sebagaimana yang saya cantumkan dalam
footnote sebelumnya, kehadiran elemen-elemen tersebut secara perspektif Representasi
Sosial bersifat pinggiran sehingga selalu cair dan mudah digoyahkan. Sementara tradisi
hidup dengan mengacu pada kebudayaan leluhur, berfungsi sebagai struktur inti, yang bisa
tidak terlihat atau bahkan bisa tidak aktif (dormant), akan tetapi memiliki kepekaan untuk
berfungsi kembali secara effektif menggerakkan ketidaksadaran.
ruang ini adalah mahluk sebagaimana yang dirumuskan oleh Kartini (terbelenggu
dan terabaikan). Oleh karena itu, perempuan juga harus berkuasa (baca: hadir dalam
ruang public). Gugatan untuk ikut andil dalam kekuasaan, yang merupakan
representasi dari kota sekaligus representasi dari ingatan yang diwariskan tentang
kekalahan inilah yang membuat keruwetan semakin bertumpuk. Keruwetan ini
membaca fenomena perempuan dengan cara terbalik: di negara modern Indonesia,
perempuan idektik dengan keterbelakangan dan kebodohan sebagaimana gagasan
tentang desa.
4. Kenapa terbalik? Karena narasi tentang perempuan di atas, kemudian melupakan
kenyataan yang sebenarnya, bahwa perempuan adalah mahluk kultural dimana
pengertian kosmik terjaga karena campur tangannya untuk menjalankan keseharian,
tidak pernah tersentuh oleh elemen ketiga (pengetahuan dan agama) 6. Perempuan
yang bekerja, bekerja, dan selalu bekerja tetapi tidak terdapat dalam ilustrasi Kartini
tentang nasib perempuan, akan selalu terabaikan. Demikian juga perempuan yang
senantiasa membanting tulang sebagai tiang keluarga di semua desa maupun kota,
luput dari pengetahuan kita, bukan hanya tentang perempuan, tetapi juga tentang
kita sebagai sebuah entitas bernama Indonesia.
5. Dalam arti tertentu selalu terdapat beberapa kemungkinan untuk membaca
keruwetan. Dengan berpijak pada pengetahuan dan agama, maka perempuan akan
berada pada posisi terabaikan dengan dua alternative perjalanan (semakin
terabaikan karena harus tunduk pada hokum Tuhan kalau mengacu pada agama,
atau menolak keterabaikan dan menemukan kesetaraan apabila mengacu pada
pengetahuan). Sementara apabila kita menerima watak empiric dari perempuan
sebagaimana genetika social yang menghidupkan masyarakat Indonesia selama ini,
maka jauh dari hiruk pikuk elemen ini, sebenarnya perempuan adalah tiang utama
masyarakat, dan kekuatannya sebagai tiang masyarakat dijalankan justru dalam
kesenyapan sebagai ibu, istri dan anggota masyarakat biasa yang tidak tersentuh
oleh elemen pertama maupun elemen ketiga. Perempuan memperoleh dan
mengasah kekuasaan dengan watak keterbatasan tubuhnya, yang tidak pernah
diartikulasikan oleh pengetahuan apapun. Keberhasilan Indonesia untuk bertahan
dari krisis tahun 1998, hendaknya dikaji dalam perspektif ini. Demikian pula halnya
saat ini, ketika kita semua berhadapan dengan krisis yang lebih besar.
6. Keruwetan berikutnya terjadi ketika elemen ketiga, diadopsi sebagai DNA baru yang
dianggap bisa menghapus genetika awal (elemen kedua) dan dibayangkan bisa
melahirkan masyarakat baru dengan perempuan sebagai poros alternative

6
Pada pemerintahan pasca kemerkaan, beberapa sosok perempuan telah menduduki
jabatan menteri dalam cabinet pemerintahanan. Maria Ulfah Santosa (1946-1947) sebagai
Menteri Sosial, SK Trimurti (1947-1948) sebagai Menteri Buruh, dst, jauh sebelum kita
mengenal gerakan kesetaraan perempuan di Eropa disuarakan. Jauh sebelum bangsa-
bangsa Barat memiliki presiden, kita telah memiliki presiden perempuan pertama. Hanya
mengasumsikan keberadaan perempuan pada jabatan-jabatan yang terdapat pada elemen
pertama, juga akan menyesatkan, karena pertanyaan berikut yang selalu bisa diajukan dari
kenyataan empiric seperti ini adalah, apakah narasi tentang perempuan pada elemen kedua
akan berubah atau pada elemen mana narasi tersebut berubah, menyusut atau menguat.
Sekaligus juga apakah perhelatan yang sedang kita adakan saat ini dengan mengusung tema
perempuan adalah representasi dari sejarah perempuan di Indonesia?
(pendekatan pengetahuan/pikiran) atau perempuan sebagai “mahluk asing” yang
harus dijinakkan (agama).

Berhadapan dengan covid19, semua masyarakat, bangsa dan negara berada di titik yang
sama. Semua orang masih percaya bahwa yang bisa kita lakukan hanyalah menanti dan
melaluinya sampai pikiran berhasil menemukan vaksin penangkalnya. Kapanpun vaksin
ditemukan, oleh siapa dan berapa harga yang harus kita bayar untuk itu semua, tetap satu
hal yang harus kita tegakkan: bagaimana kita akan melalui itu semua kalau ternyata seluruh
yang kita bayangkan tentang diri kita sendiri adalah keruwetan. Bersoal tentang desa-kota,
perempuan-laki-laki, atau pikiran-tubuh (baca: spiritual), hanya mungkin kita mulai kalau
kita bersedia memikirkan – sebagaimana Barat berpikir bahwa modernitas mengenal
saturasi, bahwa keruwetan juga mengenal saturasi. Akankah kita mampu mencapai titik
tersebut? Pada kongres seperti inilah kita berharap!

Jakarta, 30 Juni 2020


Disiapkan untuk Kongres Kebudayaan Desa 2020

Anda mungkin juga menyukai