Anda di halaman 1dari 4

UAS Pengantar Filsafat

Stevanus Dimas Pangestu – 6122201032

Menelisik Kebaruan Tentang Manusia dan Kehidupannya


Hal yang menurut saya baru tentang manusia adalah perkara manusia di tengah banjirnya
informasi. Awalnya saya tidak menyangka bahwa fenomena ini hanya berhenti pada banyak
data yang dikonsumsi manusia tatkala ia masuk ke dunia media sosial. Namun ternyata itu
barulah permulaan dari puncak gunung es yang nampak di permukaan. Setelah menelisik
kembali catatan perkuliahan, rasa-rasanya hal itu tidak hanya tampil seperti itu. Ada hal yang
serius yang perlu dicermati. Perkembangan teknologi informasi membuat kemajuan yang
begitu besar dan cepat tersebar. Hampir setiap saat manusia dijejali informasi yang datang
dari berbagai penjuru dunia. Itu tandanya akan ada banyak informasi yang semakin cepat
kadaluwarsa. Belum lagi manusia menghadapi begitu banyak persoalan yang kian hari kian
menumpuk. Boleh jadi saat ini manusia berada dalam suatu kultur baru yang unik dan
mendebarkan, teknokultur. Teknokultur sendiri bila dipahami dalam Bahasa sederhana adalah
kebudayaan modern yang dihasilkan oleh teknologi. Di dalam teknokultur, waktu dilepaskan
dari ruang begitu juga ruang dilepaskan dari tempat. Anthony Giddens mengatakan bahwa di
sanalah terjadi perubahan yakni keadaan ruang dan waktunya menjadi numerik abstrak1.
Dampak yang terjadi ialah hadirnya standarisasi waktu di seluruh dunia; segala sesuatu
dikelola berdasarkan penanggalan yang sama; pengelolaan rasional untuk segala urusan
publik; peristiwa-peristiwa historis dapat dipahami dalam hubungannya dengan sejarah dunia
bersama; terjadinya atopia yakni keadaan di mana batas-batas fisik geografis diganti dengan
alat-alat pemindai elektronik, alun-alun diganti dengan layar interface ; dan kedalaman
medan peristiwa masa lalu, selalu bisa dihadirkan kembali saat ini melalui mesin waktu 2.
Dampak-dampak ini juga muncul bersamaan dengan ciri khas dari kultur kehidupan modern.
Kehidupan modern ditandai dengan ketepatan, kalkulabilitas, ketepatan, individu bebas
melampaui ruang dan waktu tapi perjumpaan-perjumpaan menjadi singkat, kehidupan urban
didominasi sistem dan birokrasi. Kultur ini pun membuat manusia jatuh pada hypertrophy
sehingga individu terjerat atrophy dan kesepian3. Bahkan terminology konvensial kebebasan
tidak lagi identik dengan kebahagiaan4.
Hal-hal ini menurut saya pribadi menjadi begitu baru. Kebaruaannya muncul karena ternyata
kultur sebagai medan ekstensifikasi kemampuan manusia menimbulkan ambivalensi yang
mengarahkan pada kehancuran individu. Itulah mengapa di dalam teknokultur ada tuntutan
bahwa individu harus kuat dan solid. Namun di sisi lain manusia harus menyadari bahwa
justru dalam kultur ini individu menjadi terpecah 5. Itulah situasi paradoksal yang terjadi di
peradaban dengan teknokultur ini.

1
Bambang Sugiharto, “Technoculture and The Experience of Time/Space” (Bandung, 2019).
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Bambang Sugiharto, “Filsafat, Teknokultur Digital Dan Makna Hidup” (Bandung, 2022).
5
Bambang Sugiharto, “Agama Dan Paradigma Abad XXI,” in Agama Dan Kesadaran Kontemporer, ed. Uji
Prastya and Petrus Indra Oktano (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019).
Maka berhadapan dengan itu lantas mencuat pertanyaan, perlukah arus deras ini dilawan?
Rasa-rasanya tidak bisa secara gamblang dijawab iya. Bahkan juga dijawab tidak. Perkaranya
bukan pada iya dan tidak namun cara memadai apa yang bisa dilakukan tatkala
menghadapinya. Sama seperti derasnya arus di lautan, ad acara cermat dan penuh dengan
kehati-hatian agar bisa selamat. Dalam konteks ini agar bisa selamat dari arus deras ini
beberapa langkahnya justru diingatkan oleh filsafat.
Teknokultur dan segala dinamika di dalamnya membutuhkan bahkan sebenarnya mendidik
gairah untuk terus belajar dan mencari 6. Manusia mau tidak mau harus mempunyai gairah ini
bila tidak ia akan dilindas kultur yang begitu cepat. Maka dengan demikian diharapkan
manusia mau menelaah semua hal yang bisa menumbuhkan dirinya. Selain mendidik gairah
untuk terus belajar dan mencari, individu di hadapan teknokultur seyogyanya mempertajam
kecerdasan eksistensial yang khas manusia7. Titik gravitasnya ada pada peningkatan life-skill.
Ini mengandaikanya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memaknai segala yang
dialaminya, menumbuhkan rasa keterikatan etis, komitmen dan motivasi juga imajinasi
kreatif.
Semua itu bisa saja ditemukan dengan berfilsafat. Namun filsafat pun perlu dikolaborasikan
dengan seni. Atau secara gamblang pada estetika. Daya efikasinya akan menjadi lebih
maksimal untuk menawarkan situasi teknokultur yang paradoksal dan penuh dengan
kecepatan. Bila Viktor Frankl mengatakan, ‘Man’s search for meaning’ selaras dengan
memaknai sebagai kecerdasan eksistensial, jelaslah itu ada pada poiesis : perkara membuat,
melakukan, melaksanakan, menggelar, dan mengolah untuk menyuguhkan kebenaran 8. Ini
bisa dimungkinkan dengan seni karena sifatnya yang poiesis. Bahkan secara pragmatis,
(filsafat) seni,dapat memberikan bumbu atau ragi bagi hidup yang kering dan monoton,
bahkan juga yang absurd9. Persis itulah yang dibutuhkan manusia-manusia di masa
teknokultur ini.
Filsafat Sebagai Penawar Bagi Abad XXI
Abad XXI ditandai dengan berbagai macam ketidakpastian di segala bidang 10. Bukan hanya
itu, abad ini juga digerakkan oleh banyak kecendrungan yang saling bertentangan.
Permasalahan, situasi-situasi tidak menentu ini memerlukan suatu pegangan atau
keterampilan agar hal itu tidak mendatangkan kehancuran bagi manusia. Situasi atau
kecendrungan di abad XXI ini salah satunya ialah mengaburnya segala sekat kategorial dan
komunitas yang dahulu dianggap penting untuk memahami segala sesuatu11. Belum lagi
diperlawankan dengan keadaan yang mana banyak entitas melakukan pengerasan identitas
kelompok. Manusia menjadi sulit untuk mampu memilah dengan tepat suatu permasalahan.
Ironisnya saat semua hal terasa kabur dan sulit dipisahkan, dibedakan secara tegas, pada saat
yang sama pula terjadi pengerasan identitas, pengetatan batas, dan klaim-kaliam atas
‘kemurnian’ dalam berbagai bidang pun ternyata menguat dan berlebihan. Beberapa contoh
6
Sugiharto, “Filsafat, Teknokultur Digital Dan Makna Hidup.”
7
Ibid.
8
Fabianus Sebastian Heatubun, “Humanisasi Dan Divinisasi Dalam Seni Dan Ritual,” Melintas 2, no. 32
(2016).
9
Ibid.
10
Bambang Sugiharto, “Agama Dan Paradigma Abad XXI,” dalam Agama Dan Kesadaran Kontemporer, ed.
Uji Prastya dan Petrus Indra Oktano (Yogyakarta: PT Kanisius, 2019), 19.
11
Ibid., 20
realitanya adalah pertikaian yang silam terjadi antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah 12;
Buddhis dengan komunitas di Tibet13. Belum lagi serangkaian aksi tuntutan hak kultural dari
para imigran di Prancis, Jerman dan Inggris 14. Di tanah air sendiri adanya gerakan
memisahkan diri yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia 15. Situasi-situasi tersebut
adalah fasad dari pertentangan yang sama kuat antara kecenderungan sentrifugal dan
sentripetal dalam sebuah kebudayaan16. Dengan kata lain semua itu merupakan reaksi panik
terbalik atas hilangnya batas-batas kategorial dan komunitas17.
Tatkala melihat dan menanggapi situasi semacam itu, filsafat bisa tampil sebagai sebuah
kecakapan hidup. Filsafat muncul sebagai refleksi kristis-diskursif yang dapat menganimasi
tindakan-tindakan pemulihan situasi semacam itu. Di sisi lain fungsi filsafat yang kritis bisa
juga membantu untuk mengartikulasikan bahkan mengabstraksikan perspektif yang berbeda-
beda. Bukan hanya itu kehadiran filsafat pun bisa membantu memperjelas perbedan-
perbedaan tersebut agar menjadi lebih mendasar dan meneliti konflik macam apa yang perlu
diatasi. Filsafat tidak dapat dipungkiri bisa mewujudkan hal ini sebab melalui filsafat dalam
logika Aristotelian misalnya mencuatnya perwujudan principium exclusii tertii sebagai
pedoman. Hal ini mengandaikan jika sesuatu itu berbeda dari suatu objek lain, sesuatu yang
berbeda itu tetaplah suatu kebenaran maka yang berbeda itu tidaklah suatu hal yang salah 18.
Maka layaklah dipertanyakan bagaimana bisa mengukur suatu kebenaran jika hanya
berdasarkan suatu perbedaan yang sudah ada. Filsafat akan menjadi suatu kecakapan yang
penting dengan demikian. selain memberikan pemahaman mengenai suatu kebenaran tidak
bisa diukur hanya karena perbedaan tetapi mampu merangsang pertumbuhan kesadaran yang
lebih tinggi. Lebih dari itu dengan berfilsafat seseorang mampu menembus sifat-sifat
egosentrisme serta masuk ke gerak perubahan dari sosiosentrisme menuju worldsentrisme,
dari selfish menjadi care bahkan menuju universal compassion19.
Permasalahan atau situasi lainnya di abad XXI ini adalah tuntutan agar individu kuat dan
solid versus kenyataan bahwa individu kini justru terpecah 20. Kini, orang harus menafsirkan
ulang sendiri konsep-konsep dasar yang dahulu menjembatani secara kokoh dunia batin
individu dengan dunia di luarnya, juga untuk merekat pengalaman-pengalaman individu yang
fragmentaris menjadi utuh seluruhnya. Saat ini individu harus mengandalkan dirinya sendiri,
harus kuat dan solid. Geraknya teramat dinamis, heterodoks (banyak tafsiran), tidak stabil
akibat interrelasi yang semakin ketat dan tendensi otokritik yang kian merelatifkan.

12
Amelia Nia Pradipa, “Konflik Sunni Dan Syiah ‘Arab Dan Iran’ Di Timur Tengah,” Kompasiana, last
modified 2022, https://www.kompasiana.com/amelia19921/635d2a91e2c0f92b9e576022/konflik-sunni-dan-
syiah-arab-dan-iran-di-timur-tengah.
13
Hani Fatunnisa, “Demi Bendung Penyebaran Buddhisme, China Lakukan Banyak Pelanggaran HAM Di
Tibet,” RMOL Network, last modified 2022, https://dunia.rmol.id/read/2022/09/02/545913/demi-bendung-
penyebaran-buddhisme-china-lakukan-banyak-pelanggaran-ham-di-tibet.
14
Airin Miranda, “Masalah Integrasi Di Prancis” (Depok: Universitas Indonesia, 2007).
15
Veredelladevanka Adryamathanino, “3 Contoh Gerakan Separatis Bersenjata Di Indonesia,” Kompas.Com,
last modified 2023, https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/12/150000579/3-contoh-ancaman-gerakan-
separatis-bersenjata-di-indonesia?page=all.
16
Sugiharto, “Agama Dan Paradigma Abad XXI.”
17
Ibid.
18
B. Arief Sidharta, Pengantar Logika Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah (Bandung: PT
Refika Aditama, 2008), 6.
19
Sugiharto, “Agama Dan Paradigma Abad XXI”, 35.
20
Ibid., 23.
Posisi filsafat dalam hal ini jelas membantu memupuk kekuatan individu dengan cara selalu
mendorong individu untuk menggunkana nalar kritisnya secara pribadi. Kemampuan-
kemampuan yang diasah lewat filsafat ini terbina dari cita rasa nalar kritis yang bisa
meminjam pemikiran Husserl. Husserl menganjurkan agar di hadapan realitas, manusia me-
epoche-kan realitas itu21. Tujuannya ialah satu yakni untuk memperoleh suatu sikap
kebenaran yang lebih banyak dan luas. Harapannya agar individu dapat memilih dan
menetapkan suatu sikap yang memang sesuasi dengan apa yang ditampilkan realitas itu
sendiri. Kedalaman akan refleksi inilah yang menguatkan individu sebagai self-
determination-nya.

21
Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid 1. (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), 103.

Anda mungkin juga menyukai