Anda di halaman 1dari 7

Artikel Ujian Akhir Semester (UAS)

Mata Kuliah: Etika Lingkungan Hidup


Manusia, Budaya, Ekologi Keseharian dan Globalisasi
“Mengapa Sulit untuk Membangun Budaya Ekologi Di Era Globalisasi?”

Dosen Pengampu:
Dr. Agustinus Ryadi

Penulis:
Yeremia Tirto Wardoyo Saputro
NRP: 1323018001

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2021

8
“ Mengapa Sulit Membangun Budaya Ekologis Di Era Globalisasi?”

Pengantar

Pemanasan global sudah mengalami peningkatan. Kekacauan di mana-mana.


Keseimbangan mulai digoyahkan dengan ribuan kerumitan yang tak kunjung lerai. Begitulah
kiranya gambaran realita yang sekarang manusia hadapi dalam kesehariannya. Tak semua
yang berawal dari kemanisan akan menetap dan membuahkan hasil yang baik dalam jangka
yang panjang. Paradigma kehidupan seakan-akan dihantam dengan begitu banyaknya
paradoks yang harus diselesaikan satu persatu. Namun tetap saja, masalah tidak akan kunjung
selesai selagi tidak ada kesadaran bersama sebagai cara pandang memahami realita yang
terjadi. Kekhawatiran akan masa yang tidak mudah ditebak, membuat sejumlah rangkaian
kewaspadaan dibangun demi mempertahankan eksistensi diri di dunia.

Kesadaran individu atas fenomena alam yang terjadi belum sepenuhnya tergugah. Hal
ini nampak pada kenyamanan hidup di ruang globalisasi yang didukung dengan budaya
teknologi, informasi dan pengetahuan. Tidak menutup kemungkinan, era yang sekarang
masyarakat nikmati adalah hasil bentukan system yang dirancang sedemikian rupa, sehingga
kenyamanan dan kemudahan menjadi asset penting untuk diraih. Kebutuhan manusia dalam
memenuhi kepentingannya sebagai individu yang bertahan dalam hidup sulit ini menjadikan
pemikiran personal diarahkan pada intensionalitas diri. Produksi di mana-mana, distribusi
juga semakin laris seiring barang yang disebarkan semua wilayah. Akhirnya, ruang-ruang
dangkal semakin nyata dan manusia tidak dapat berpikir jernih kembali atas fakta yang penuh
dengan fenomena yang saling berkelindan.

Banyaknya barang yang dikonsumsi, semakin banyak jumlah sampah yang


menumpuk. Semakin banyak ruang-ruang kenyamanan tercipta, di sanalah kesadaran tidak
dijadikan sebagai cara untuk bereksistensi dan menyuarakan ide-ide kritis dalam dunia,
melainkan sebagai sarana control tubuh untuk kepentingan tertentu. Paha mini bukanlah
sekedar argumentasi tanpa data dan realita. Fenomena yang menampakkan diri setiap harinya
dalam kehidupan adalah bukti bahwa hidup tak selamanya indah seperti yang dibayangkan
oleh para idealis. Benturan-benturan nilai yang hendak diperjuangkan atas visi yang tidak
sejalan demi meraih sesuatu yang bertumpu pada diri sebagai puncak penilaian tertinggi,
menjadi rumit sekaligus ‘perang dingin’ dalam senyuman dan tatapan misalnya. Sampai
kapan kesadaran ini hidup dibawah pengawasan pengetahuan yang mendudukan subjek

8
sebagai realita tertinggi? Sedangkan diluar sana ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar
“aku”?

Permasalahan Ekologi Keseharian yang Tak Pernah Tuntas.

Perlulah pertanyaan ini diajukan sebagai rangkaian reflektif diri dalam tatanan yang
saling berkelindan dan tak punya batas yang tegas untuk memisahkan paradigma berpikir atas
dunia. Pertanyaannya: mengapa hingga kini, budaya ekologi masih sulit untuk diterapkan
dalam hidup masyarakat pada kesehariannya? Ajuan ini bukan hanya didasarkan pada bentuk
sentimental terhadap gerak realita yang didominasi oleh kalangan yang melanggengkan
pandangan subjektifitas. Pertanyaan ini adalah sebuah pandangan atas hasil pemikiran yang
melihat bahwa dunia tidak sedang dalam kondisi baik. Kendati banyak hal yang harus
diperbaiki, tidak hanya tentang ekologi, kadangkala membuat persoalan lingkungan
diletakkan pada nomor sekian. Hal yang bisa diajukan sebagai pernyataan sekaligus
pertanyaan pendukung atas tanggapan dari keresahan ketidakseimbangan kehidupan di
semesta: sampai kapankah paradigma seperti ini terus di “budayakan” dalam diri manusia?

Paradigma Teknokratis

Teknologi manalagi yang dapat menandingi kecanggihan dan kecepatan yang


dibuat oleh manusia. Hidup masyarakat saat ini telah di penuhi dengan banyaknya
benda-material yang mudah diakses, terjangkau dan membantu manusia dalam
kesehariannya. Apa yang saat ini tidak dijangkau oleh teknologi dalam keseluruhan
dup individu pada kesehariannya. Teknologi dari akar katanya, yaitu terangkaian
hichne ialah sebuah system yang dibentuk oleh manusia untuk dapat meringankan
atau menyelesaikan suatu pekerjaan dengan mudah. Tanda yang paling mudah
diketahui untuk melihat adanya teknologi dalam diri individu dari cara berpikir dan
bertindak. Dari sinilah dapat diketahui sejauh mana pemahaman individu tentang
dunia yang sedang ia hadapi. Namun lebih dari itu, teknologi saat ini tidak selamanya
membawa pengaruh baik bagi hidup banyak insan.

Dari pengaruh globalisasi yang turun pada teknologi, membuat pola-pola


hidup semakin diarahkan pada ketidakjelasan diri atas makna. Bagaimana tidak,
keseharian manusia dari awal bangun hingga tidur pun saat ini “dikendalikan” oleh
system teknologi yang ada. Gadget misalnya adalah sarana yang sangat kuat dalam
mempengaruhi kehidupan banyak persona. Ada yang menyatakan bahwa lebih baik

8
membawa gadget daripada membawa kelengkapan berkendara atau membawa
dompet yang berisi uang. Apalagi pada masa pandemic saat ini. Terbentuknya ruang-
ruang online yang semakin merebak, membuat pola pikiran disederhanakan dengan
adanya satu sarana yang mudah dan aman untuk dibawa kemana saja. Pembayaran
online menjadi trend sekaligus alternatif dalam menanggapi permasalahan pandemic
yang ada di masyarakat. Efektif, namun tidak ramah lingkungan.

Hyper-Consumerisme dan Dominasi Simbolik.

Pengaruh lain yang hingga kini masih nampak dalam pola-pola hidup di
masayrakat adanya globalisasi dan teknokratis ialah budaya konsumerisme yang
berlebihan (over-consume). Saat ini, konsumsi tidak lagi menjadi sebuah system yang
dipenuhi karena kebutuhan, melainkan sebagai life style. Trend hidup masa kini
membuat ruang-ruang kebebasan manusia sebagai makhluk yang dapat menciptakan
dengan pengetahuan semakin terealisasi. Apalagi ditambah dengan adanya peran dari
media massa dan komunikasi berbasis universail (social media), menjadikan
konsumsi ini menjadi sebuah budaya baru. Dikhawatirkan, jika model ini diaminkan
oleh semua masyarakat, maka semakin banyak jumlah produksi yang dibuat oleh
perusahaan, dengan menguras kembali SDA yang ada. Ekstrem yang paling
mengkhawatirkan ialah deforestasi hutan-hutan yang dijadikan ladang industri. Ini
adalah kengerian tindakan manusia terhadap alam

Semakin meningkatnya kebutuhan konsumen atas barang/ materi yang


diinginkan, semakin tergerus pula alam sekitar yang dikorbankan.. Nampaknya para
kapitalis telah berhasil menanamkan system berpikir yang diam-diam memiliki
manipulasi aktif dalam bertindak. Tanpa sadar, produk-produk yang dikonsumsi oleh
public ialah hasil dari penanaman ide simbolik yang diam-diam mereduksi pemikiran
individu. Jelas saja hal ini nampak dari banyaknya produsen makanan yang bertebaran
di hampir setiap wilayah individu tinggal. Penyediaan makanan yang cepat saji
dengan rasa yang tidak main-main dan harga yang relative terjangkau membuat
banyak individu (terutama kaum muda) lebih memilih makan di KFC atau Mc Donald
atau semacamnya dibandingkan harus ke pasar, memasak dan makan dari hasil buatan
sendiri. Hal ini bisa disebut sebagai adanya dominasi symbol yang disematkan dalam

8
produk-produk tertentu sebagaimana Pierre Bourdieu telah meramalkannya dalam ide
tentang symbol sebagai dominasi kekuasaan.

Apa hubungannya dominasi simbolik, budaya konsumerisme dengan


kerusakan lingkungan? Tentu saja mereka mempunyai korelasi yang berdampak
buruk bagi lingkungan. Misalnya saja bungkus dari suatu produk yang merupakan
lapisan yang melindungi isi makanan atau materi/ barang. Itu adalah hasil
pengembangan yang seratnya diproduksi dari alam. Hanya saja ketika itu sudah jadi
dan kemudian dipasarkan masyarakat mengonsumsinya, bungkus tersebut tidak dapat
diolah oleh bumi (tanah). Logikanya ialah, budaya hiper-konsumerisme terjadi
karena ada bentukan-bentukan yang disistemkan melalui symbol-simbol yang
mendominasi. Dari situ, kapitalisasi bekerja untuk mereduksi intensionalitas individu
yang diarahkan pada kegiatan mengonsumsi materi yang disajikan olehnya. Nah, dari
paham ini dapat dilihat korelasinya dua aspek ini dengan efeknya pada keseimbangan
alam.

Ruang Subjek-Antroposentrisme

Kelanjutan dari bahasan terkait teknokratis dan hiper-konsumerisme dalam


public, ada hal yang mendasari tindakan tersebut. Kuatnya arus subjektifisme dan
antroposentris yang mendominasi tindakan manusia dalam keseharian. Paham ini
sebagai acuan dasar dalam berpikir dan merumuskan tujuan membuat individu mau-
tidak mau dihadapkan pada situasi yang harus memilih alternatif tersebut. Didukung
dengan gagasan-gagasan filosofis yang dominannya pada subjek yaitu manusia
sebagak “aku” yang mengada” juga menguatkan system kapitalisasi dan kebebasan
individu. Seperti yang digagas oleh para filsuf tentang konsep manusia.

Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah animal rationale yang


dikuatkan oleh Thomas Aquinas atas peran akal budi. Di lebihkan kembali oleh
Descartes tentang cogito ergo sum yang menjadi perdebatan bagi kaum empiris dan
di damaikan oleh kritisisme Immanuel Kant atas imperative kategoris. Hegel pun ikut
meningkatkan posisi manusia dan peran akal budi. Hingga abad kontemporer,

8
misalnya kaum eksistensialis seperti Jean Paul Satre, Martin Buber, Heidegger dan
kawan lainnya juga menitikberatkan manusia sebagai subjek yang bereksistensi
dengan segala kemampuan dan daya yang ada. Relasi-relasi yang dibentuk juga untuk
kepentingan manusia agar pencapaian makna diri semakin teraktualisasikan.
Pertanyaannya: di manakah posisi alam dalam garis teori filsafat? Ada, namun tidak
muncul dari yang disampaikan pada term di atas. Tidak menutup kemungkinan, ada
beberapa pengagagas yang juga melihat lingkungan sekitar sebagai bagian dari
manusia, hanya saja tidak nampak dengan jelas seperti filsuf sebelumnya.

Ide subjektifisme menjadi dasar untuk mengembangkan intensionalitas para


produsen untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat sebagai individu yang hidup
di alam dengan segala keistimewaannya. Saking istimewanya, bumi menjadi saat ini
terjadi. Paradoks atas permasalahan lingkungan hidup, membuat determinisme
individu dalam memandang dunia dan realita sekitarnya. Ada ucapan yang
mengatakan: “marilah kita pergi meninggalkan bumi dan mencari planet lain yang
memiliki kemungkinan untuk ditinggali”. Pernyataan ini bukan tanpa dasar,
melainkan beberapa peneliti sudah melakukan ekspansi ke luar angkasa dan
mengunjungi planet-planet disekitar bumi untuk meneliti apakah di sana dapat
dijadikan “wadah baru” untuk manusia.

Pesimisme atas adanya Masa Depan yang lebih baik

Masalah lingkungan sampai detik ini belum teratasi dengan baik, walau alternatif-
alternatif sudah digerakan dengan sedemikian rupa. Organisasi dunia mengumpulkan
perwakilan pemimpin negara untuk membahas fenomena ini. Mereka membahas bagaimana
menanggulangi banyaknya carbonmonoksida yang sudah pekat di bumi dan mengganggu
aktivitas kehidupan masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh pemanasan global yang semakin
terasa di hampir seluruh negara di dunia. Pemanasan ini terjadi karena banyaknya ruang-
ruang yang dibuat oleh manusia dalam konteks kepentingan industry yang mengikis
pertahanan bumi. Lapisan ozon bumi semakin menipis, dan efeknya hari ini sampai pada diri
manusia lain. Pertanda apakah ini? Apakah bumi sudah kewalahan dengan sikap manusia
yang egois,

Ketidakseimbangan pemikiran antara “aku” sebagai subjek yang hidup dengan


“engkau” yaitu lingkungan alam yang ikut berperan aktif dalam membentuk paradigma masih

8
berada dalam posisi yang berbeda. Pengetahuan bahwa manusia adalah pusat kehidupan
masih digaungkan dalam hidup publik. Hal ini dapat ditemukan dari media massa yang
meng-amini tindakan konsumsi sebagai cara hidup baru pada era globalisasi saat ini.
Pertanyaan sebagai rangkaian penutup atas kejelasan ini ialah: haruskan alam yang bertindak
sendiri untuk menegur manusia? Kapankah kesadaran akan keseimbangan ini menjadi sebuah
budaya yang dihidupi dalam kesehariannya?

Sumber Pustaka :

Tjahjadi, S.P. Lili. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif
Kategoris. Yogyakarta: Kanisius. 1991.

Tjahjadi, S.P. Lili. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman
Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Seri Filsafat Atma Jaya I. Jakarta:
Gramedia

Fransiskus. Ensiklik Laudato Si: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama (Penerjemah:
Martin Harun, OFM). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

STFT Widya Sasana. Minum dari Sumber Sendiri: Dari Alam Menuju Tuhan. (Editor: Benny
Phang dan Valentinus). Malang : STFT Widya Sasana. 2011.

Utina, Ramli dan Dewi Wahyuni K.B. Ekologi dan Lingkungan Hidup. ISBN 978-979-1340-
13-7.

Wulandari, Ria. Metode Kunjungan Lapangan untuk Menanamkan Kepedulian terhadap


Lingkungan Hidup. Jurnal Pedagogia Vol.5, No.1. Februari 2016. ISSN 2089-3833.

Hadjisarosa, Poernomosidi. Pengaruh Timbal Balik Antara Teknologi dan Kelestarian


Lingkungan. Jakarta: Departemen Pekerja Umum. (Tanpa Tahun).

Pramesti, Salsabella. Hasil Riset: Dampak Buruk Pemanasan Global Dikehidupan Sehari-
hari. Sumber: Tirto.id. 21 Oktober 2021. https://tirto.id/hasil-riset-dampak-buruk-pemanasan-
global-di-kehidupan-sehari-hari-giQw (Diakses pada tanggal 03 Desember 2021 08.21 WIB)

Anda mungkin juga menyukai