Anda di halaman 1dari 26

Hipperreality: Masyarakat Siber, Gadget dan Alienasi

By Braindilog Sosiologi Indonesia Januari 03, 2021 No comments

Dewasa ini, konsumsi bukan hanya dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi secara biologis tetapi
lebih dari itu, yakni sebuah pendekatan ideologi, cara pandang, dan sistem nilai yang secara
keseluruhan didorong oleh ideologi konsumerisme. Meminjam istilah dari Sosiolog Amerika
Robert G. Dunn, konsumerisme sebagai sebuah ideologi yang merayu orang-orang masuk pada
sistem produksi massal. Melihat perilaku individu mengonsumsi bukan hanya sebagai praktik
tetapi tujuan yang menjadi dasar identitas dan pemaknaan tentang diri.

Fenomena yang cukup dekat dengan kita dengan hadirnya aneka peralatan elektronik
yang mengakibatkan gaya hidup digital. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, Jean
Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat kontemporer saat ini berada pada era postmodern,
suatu kondisi dimana masyarakat tidak lagi memandang apa yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi
lebih mengedepankan prestise dan gaya hidup sebagai citra diri dari apa yang dibutuhkan.
Kehadiran seperti gadget yang merupakan sebuah benda yang digerakkan oleh seperangkat
mesin yang menjadi lambang dari masyarakat industri bahkan menjadi post-industri.

Dalam kenyataannya gadget menjadi sebuah alat konsumsi melalui hilangnya secara
relatif fungsi objek (sebagai alat rumah tangga) demi sebuah fungsi tandanya (menjadi hal yang
berguna). Tetapi penggunaan gadget sebagai fungsi tanda menimbulkan dehumanisasi pada
tubuh masyarakat. Mengingat saat ini juga dunia memasuki era revolusi industri 4.0, yang
menandakan bahwa tidak ada satu pun sudu di dunia yang tidak luput dari dampak dan
perubahan yang diakibatkan dari disrupsi teknologi ini.

Perubahan Komunikasi dan Budaya

Kehilangan identitas diri di dalam kehidupan yang nyata kemudian akan membawa
seseorang ke dalam situasi terjebak dengan kondisi apa yang disebut
dengan cybercommunity atau masyarakat siber. Teknologi media baru yang sangat giat
digunakan menjadi sebuah arena untuk mencari identitas dan membentuk sebuah citra diri. Arus
perkembangan teknologi inilah yang menjadikan manusia lupa terhadap realitas sosial yang
sesungguhnya dan membawa efek negatif bagi kehidupan manusia di dunia nyatanya. Hal ini
dikarenakan mereka terkungkung ke dalam realitas semu yang disebut dengan hiperalitas
(hypereality).

Dunia hiperalitas merupakan dunia dimana sebagai simulakrum, yang dimana semua
penampakan yang didapatkan merupakan sebuah objek yang tercabut dari realitas sosialnya, atau
sama sekali tidak mempunyai realitas sosial. Teknologi yang seharusnya menjadi alternatif
mendekatkan yang jauh menjadi sebuah kenyataan yakni menjauhkan yang dekat. Masyarakat
terutama generasi yang disebut dengan generasi Z menjadi pengguna yang sangat aktif, generasi
yang lahir dimana teknologi sudah berada di lingkungannya (digital native). Berdasarkan
pengamatan penulis dalam menggunakan media sosial generasi ini menjadi pelaku utama dalam
menerapkan perilaku masyarakat siber.

Masyarakat siber atau masyarakat maya, atau yang sering disebut dengan
warganet/Netizen memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan
merupakan suatu proses interaksi simbolik. Memberikan tanda-tanda dan simbol bukan hanya
berupa pesan teks secara langsung. Kajian interaksi simbolik seperti yang diketahui tertarik pada
cara manusia menggunakan simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya, juga pengaruh yang ditimbulkan oleh penafsiran simbol-
simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.

Kita bisa melihat perilaku dari masyarakat siber ini dalam penggunaan media-media baru.
yang saat ini menjadi primadona. Instagram, Twitter, Tiktok bahkan aplikasi lainnya yang
diunduh jutaan kali oleh pengguna gadget. Terutama instagram, instagram agaknya merupakan
salah satu media baru yang ikut menyumbangkan sebuah kebiasaan baru dalam menciptakan
masyarakat siber. Aplikasi-aplikasi seperti ini mendorong perilaku masif bagi penggunanya
untuk melakukan segala aktifitas di dalamnya.

Saya mencoba melakukan serangkaian observasi singkat terhadap beberapa remaja dalam
aktivitasnya menggunakan sosial media Instagram. Saya mencoba melihat perilaku remaja yang
selama ini aktif berselancar di dunia instagram. Mereka yang menjadi pengguna aktif dengan
beberapa alasan tertentu. Alasan-alasan ini biasanya dipengaruhi oleh dorongan atas keinginan
dari remaja tersebut dan juga dari pengaruh lingkungannya. Dorongan ini didukung karena
menganggap instagram sebagai ruang publik bagi remaja. Remaja dapat menghabiskan waktu
berjam-jam untuk menggunakan aplikasi sosial media instagram. Mereka dengan leluasa
menggunakan aplikasi tersebut, entah untuk mengunggah atau berbagi cerita, foto, video, atau
hanya sekadar memberikan komentar di akun teman mayanya.

Media baru seperti ini merupakan sebuah hibridasi dari kemampuan media-media
konvensional yang selama ini kita kenal. Sehingga hal ini dapat membentuk media dengan
dimensi ganda. Seperti yang dikatakan Holmes dalam bukunya “Virtual Politics: Identity &
Community Cyberspace” mengungkapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana
terbentuk nilai budaya yang terbentuk melalui interaksi keseharian diantara penggunanya melalui
mediasi teknologi. Ruang siber ini memungkinkan terjadinya pertukaran makna dan membentuk
sebuah realitas dan identitas baru di dalam penggunanya.

Alhasil, perubahan wujud komunikasi ini merupakan determinasi dari sebuah kemajuan
sosial. Tetapi di satu sisi, penemuan teknologi informasi ini juga memberikan dampak pada
perubahan sosial hingga perubahan terkecil yakni perilaku pada diri individu.

Dari Konsumerisme Menuju Alienasi


Hingga pada akhirnya, pencaharian identitas yang melibatkan penggunaan atas teknologi
mutakhir menciptakan kelas masyarakat maya. Perilaku-perilaku pengguna sosial media
didukung oleh pembaharuan yang dilakukan oleh pengelola media sosial. Kecanggihan ini
membuat para pemakai mendapatkan segalanya ketika mereka aktif melakukan interaksi di
dalamnya. Aktivitas simpelnya ialah seperti kolom komentar, pesan langsung, jumlah follower
dan fitur-fitur lain yang ada di dalamnya. Mereka yang telah terkungkung oleh kenikmatan arus
sosial media akan merasakan kesenangan jika mendapatkan komentar yang beragam di sosial
media, menampilkan unggahan foto atau video yang dirasakan menarik dan memantik banyak
komentar.

Tentu hal ini menciptakan sebuah kebiasaan baru di kalangan masyarakat maya, terutama
masyarakat maya dengan rentang usia remaja yang memiliki kemungkinan lebih besar teralienasi
di dunia nyatanya. Aktualisasi dan eksistensi diri menjelma di dalam masyarakat jaringan
(Network Society), gejala yang asyik sendiri tapi tidak merasakan kesepian. Hal inilah yang
disebut dengan alienasi (keterasingan) sosial.

Agaknya dewasa ini, aplikasi media baru bertanggung jawab atas perubahan perilaku
masyarakat terutama para remaja. Menciptakan kehidupan baru struktur masyarakat guna
pemenuhan kebutuhan pencarian identitas yang berujung pada teralienasinya identitas diri
seseorang di dalam realitas sosialnya. Alienasi seperti yang dikemukan oleh sosiolog klasik Karl
Marx sebagai suatu keterasingan. Keterasingan ini merujuk pada alienasi diri dari keluarga,
lingkungan benda, bahkan diri sendiri. Keterasingan yang diakibatkan dari penggunaan aplikasi
media baru ini membuat kita semakin jauh dari realitas-realitas manusia sebagai makhluk
individu maupun sosial. Semua yang dilakuan di dalam aktifitas onlinenya merujuk pada
kesadaran palsu saja.

Seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx terkait konsep kesadaran ini adalah “Bukan
kesadaran seseorang yang menentukan keberadaannya, melainkan keberadaan sosial yang
menentukan keberadaanya”. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa masyarakat siber
keberadaanya sudah direpresentasikan oleh media internet. Hal ini tentu telah membentuk sebuah
kultur dan sebuah kehidupan sosial sendiri

Dunia teknologi informasi akan terus berkembang seiring penggunaan internet yang
tumbuh secara pesat. Alienasi atau keterasingan ini akan terus melanda bagi mereka yang
menciptakan kehidupan sosial di media sosial atau ruang maya. Aktualisasi di media online
menjadi penanda sosial bahwa di kehidupan nyata esensi diri seseorang akan tergerus. Para
generasi yang terus mengakses dan mengaplikasikan gadget sebagi fungsi tanda membutuhkan
usaha yang lebih keras agar kedua dunia yang mereka lakukan seimbang dan tidak terjebak
dalam masyarakat siber yang semu.
Karya: Alfin Dwi Rahmawan

Sosiologi Universitas Bangka Belitung


Problematika Glokalisasi di Indonesia : Melestarikan Vs
Menghilangkan Budaya Indonesia
By Braindilog Sosiologi Indonesia Februari 17, 2017 No comments
Globalisasi ??
Apa itu globalisasi ? sepertinya kata tersebut sudah sangat sering terdengar di telingan kita sehari-hari
dan sejatinya kita sudah berada di dalam pusaran arus globalisasi tersebut. Globalisasi dipandang oleh
Ulrich Beck (2000) dalam (Suyanto, 2013) yakni suatu proses yang tidak monokausal atau linear (satu
arah), melainkan dipahami sebagai proses interaksi yang multidimensional dan multidireksional. Secara
sederhana pendapat dari Beck adalah bahwa proses globalisasi itu memiliki interaksi yang sangat
kompleks.
Sementara tokoh lain,yakni George Ritzer mendefiniskan globalisasi sebagai proses penyebaran
kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari
kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama (Ritzer,
2006: 96). Gagasan tentang globalisasi mencakup sejumlah proses transnasional yang dapat dipisahkan
satu sama lain. Lebih jauh lagi, Anthony Giddens menyebut globalisasi sebagai suatu proses yang
dialektis (Kristiatmo, 2007: 77). Sebagaimana dikatakan oleh Giddens bahwa globalisasi merupakan
suatu proses yang dialektis, maka muncul anti-tesis terhadap globalisasi, khususnya glokalisasi. Apa itu
glokalisasi ?
Glokalisasi ??
Glokalisasi (Suyanto, 2013) adalah konsep yang dilahirkan paradigma hibridasi budaya yakni
percampuran budaya sebagai akibat dari globalisasi dan produksi, semacam budaya hibridasi yang unik,
yang tidak bisa direduksi secara hitam putih sebagai budaya lokal maupun global.
Menurut Roland Robertson (2001) dalam (Suyanto, 2013), unsur-unsur penting dalam proses glokalisasi,
antara lain : pertama, dunia sedang berkembang menjadi lebih pluralistis. Kedua, para individu dan
semua kelompok lokal memiliki kekuatan yang luar biasa untuk beradaptasi, berinovasi, dan bermanuver
di dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Teori glokalisasi memandang individu dan kelompok
lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif. Ketiga, semua proses sosial bersifat saling
berhubungan dan bergantung satu dengan lainnya. Keempat, komoditas dan media tidak dipandang
(sepenuhnya) koersif, tetapi tepatnya menyediakan materi untuk digunakan dalam ciptaan individu atau
kelompok di seluruh dunia yang mengalami glokalisasi.
Sederhananya glokalikasi merupakan proses penawaran/masuknya produk global dengan
memperhatikan isu lokal yang ada. Produk global ini tetap memanfaatkan global-brand yang dimilikinya,
namun melakukan adaptasi sesuai dengan konteks budaya lokal yang ada. Perubahan yang dilakukan
tidaklah selalu berupa produk, melainkan dari segi strategi pemasaran untuk menarik pasar baru.
Serba-Serbi Glokalisasi di Sekitar Kita
Glokalisasi muncul sebagai efek dari globalisasi, dimana di dalamnya terdapat penyesuaian dengan
budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yang terkena terpaan global. Secara umum glokalisasi
dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukan identitas kelokalan kita, tapi di sisi lain, glokalisasi menjadi
alat untuk masuknya budaya global.
Beberapa hal sebagai contoh fenomena glokalisasi di Indonesia anatara lain, sajian KFC dengan rasa
pedas, McD dengan sajian rasa balado, kemudian steak yang disantap menggunakan nasi, batik yang
dipadukan dengan klub-klub bola luar negeri.
KFC merupakan produk luar negeri yang masuk ke Indonesia layaknya McD yang berkonsep makanan
siap saji. Rasa pedas pada varian KFC merupakan adopsi dari identitas masyarakat Indonesia yang
gemar akan rasa pedas, demikian pula dengan burger balado, karena balado merupakan salah satu jenis
keanekaragaman kuliner di Indonesia. Beberapa daerah mengenal sajian steak yang disantap beserta
nasi, iya, orang Indonesia yang memiliki semacam sugesti bahwa “kalau belum makan nasi itu bukan
makan namanya”, makan nasi di Indonesia bukan sekedar kebutuhan tetapi sudah membudaya,
meskipun sebagian daerah di Indonesia memiliki makanan pokok bukan nasi (papeda). Batik juga
merupakan hasil kreasi budaya milik Indonesia khas Jawa, Batik memang sudah merambah ke dunia
internasional, sehingga tidak jarang aksesn batik digunakan oleh beberapa brand dunia.
Adopsi nilai-nilai global yang kemudian di kombinasikan dengan budaya-budaya lokal merujuk pada
upaya penyeimbangan antara budaya global dan budaya lokal. Untuk maksud tersebut identitas ke-
Indonesiaan harus mengandung unsur universal yang dapat diterima dunia dan pada saat yang sama
menunjukkan keunikan hanya ada di Indonesia. Hal itu berarti kita harus mencari nilai tertinggi yang ada
dalam budaya ini yang bisa diangkat sebagai milik dunia.
Kemunculan glokalisasi tidak semata merupakan reaksi alami atas masuknya budaya global, tetapi dari
sudut pandang ekonomi, fenomena glokalisasi dapat dikatakan merupakan hal yang sengaja diciptakan
sebagai sarana marketing atau pemasaran produk. Suatu pertimbangan yang sulit dilakukan karena
budaya lokal Indonesia selalu memiliki makna yang tinggi dan dengan posisinya yang sangat di hargai
sekaligus sebagai hal yang mahal sehingga budaya lokal dapat digunakan sebagai jalan yang mudah
diterima masuknya budaya global melalui wajah glokalisasi.
Jadi, Glokalisasi : Melestarikan atau Menghilangkan identitas Indonesia ??Perkara tersebut sedikit
pelik karena dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menuntut adanya keunikan
tersendiri dan memasarkannya ke berbagai negara hingga ranah global. Kebijakan yang akan sulit bagi
Indonesia apabila tidak menunjukkan identitas sebagai daya tarik tersendiri diantara produk-produk pasar
bebas lainnya.
Beberapa perusahaan multinasional atau bisnis waralaba seperti McD, KFC, Pizza Hut memiliki strategi
dalam hal “menaklukan lidah” orang Indonesia, yaa...dengan cara memberikan inovasi rasa Indonesia,
sehingga konsumen merasakan adanya perceived image yang positif terhadap produk-produk luar
sehingga secara disadari atau tidak budaya global akan mendapatkan tempat tersendiri di hati
masyarakat, bahkan mendapatkan suatu added value atas upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau
waralaba asing.
Jika ditelisik lebih jauh tentang bagaimana glokalisasi terjadi, sempat terpikirkan adakah kemungkinan
bahwa budaya Indonesia akan semakin terkomodifikasi. Kembali pada realitas masuknya budaya global,
sangat erat kaitannya dengan suatu mekanisme yang disebut promosi, menurut Marshall McLuhan
(Bungin, 2008) mengatakan, “kecenderungan yang tetap dari periklanan (promosi) adalah menyatakan
produk sebagai sebuah bagian yang integral dari berbagai tujuan dan proses sosial yang luas”. Artinya
promosi menjadi cara untuk menunjukkan hal-hal domestik ke dunia publik.
Melalui tulisan ini saya tidak mendikte tentang bagaimana kita harus melestarikan budaya lokal. Unsur
ke-Indonesiaan tentu harus menjadi karakter bagi pemilik budaya tersebut, kita tidak hanya mengakui
adanya suatu budaya tetapi benar-benar menunjukkan sebagai jati diri yang menjiwai budaya tersebut.
Glokalisasi yang mengimplementasikan akses lokal dalam upaya menyebarkan globalisasi menjadi hal
yang harus di pahami betul-betul, karena kita pada posisi untuk melestarikan dan mem-filter budaya
Indonesia yang dipublikasikan ke dunia global.

Dalam gambaran Roland Robertson (Featherstone, 1995: 25) dalam (Bungin, 2008) menjelaskan,
kehidupan masyarakat di masa mendatang, tidak lagi dibatasi pada persoalan global ataupun persoalan
lokal, akan tetapi kedua persoalan itu menjadi satu, yaitu dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil yang
berinteraksi secara global melalui tata hubngan informasi, membentuk cybernetic raksasa.
Dapat diprediksi masa depan budaya lokal tidak lagi bersifat personal, eksklusif dan sakral tetapi akan
menjadi bagian dari sebuah entitas global yang homogen, sporadis dan menjadi aksesoris bagi siapa
saja yang mengenakan. Mungkin konsep melestarikan akan melebur pada tujuan produksi dan semakin
banyak budaya yang menjadi komoditas. Namun dikatakan hilang pun tidak bisa, karena secara kongkret
budaya lokal masih ada, hanya saja entitas budaya lokal berada pada posisi yang dikotomis, dimana
fungsi nilai dan fungsi nilai saling mensupport mengakarnya budaya globalisasi.

Kesimpulan
Dari burger ke balado layaknya dua dimensi yang sangat jauh dan berbeda konsep namun menyatu
dalam satu gigitan siap saji di McD Indonesia. Sebuah gambaran yang jelas untuk mengartikan konsep
glokalisasi, merujuk pada adopsi budaya lokal dalam produk global sebagai bentuk lain dari globalisasi.
Dua entitas yang di masa depan nanti tidak bisa dipisahkan menjadi masing-masing bagian personal,
melainkan saling melebur dan beriringan di bawah payung modernisasi. Sebagai bangsa Indonesia, saya
pribadi tidak bisa mengatakan hal tersebut merupakan upaya pelestarian maupun penghilangan. Hemat
saya, budaya lokal saat ini berada dalam posisi ambivalensi disatu sisi budaya semakin dikenal oleh
masyarakat dan memiliki dampak penerimaan yang besar dengan adanya local branding yang diusung,
namun di sisi lain, mulai pudarnya keunikan dan eksklusivitas budaya lokal karena tidak ada batasan
untuk menjangkau budaya tersebut dalam konteks ruang maupun waktu.
Budaya semakin tenar dan semakin kehilangan makna, sama seperti ungkapan kasih sayang, semakin
sering diucapkan maka semakin hambar rasanya dan menjadi biasa. Analogi yang dapat
menggambarkan glokalisasi, semakin sering budaya di komodifikasikan maka masyarakat akan semakin
tercerabut dari akar budayanya yang moralis kemudian perlahan berubah menjadi masyarakat “materi”
dan kosmopolitan.
Karya: Dani Bina Margiana, S.Sos
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi UNS

DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Prof. Dr. H. M. Burhan, S.Sos, M.Si. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan Penhgaruh
Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L.Berger & Thomas
Luckman. Jakarta : Prenada Media Group.
Kristiatmo, Thomas. 2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas
Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek, Yogyakarta: Jalasutra.
Kompasiana, 2014. Kami Tidak Lupa Indonesia. Yogyakarta : Bentang Pustaka.
Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi : Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-
Modernisme Edisi Pertama. Jakarta : PT. Kharisma Putra Utama.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia; Sebuah Analisis
Kemiskinan Dari Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi
By Braindilog Sosiologi Indonesia Desember 01, 2017 1 comment
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 96 Tahun 2015 Tentang percepatan penanggulangan
kemiskinan pasal 10 ayat 1 menjelaskan bawha keanggotaan tim Nasional percepatan penanggulangan
kemiskinan terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya
dalam penanggulangan kemiskinan.

Apabila bangsa Indonesia benar-benar ingin melakukan percepatan dalam penanggulangan kemiskinan,
pertama yang harus kita lakukan adalahmemahami apa yang dimaksud dengan kemiskinan dan
penyebabnya. Agar usaha penanggulangan kemiskinan berjalan dengan baik, efektif dan efisien.Oleh
karena itu, perlu dirancang kebijakan yang tepat dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan,
antara lain: pejabat pemerintah, anggota parlemen, Organisasi Non Pemerintah (termasuk LSM, Ormas,
lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, partai politik), masyarakat madani, pihak swasta dan
masyarakat miskin utamanya.

Keseriusan pemerintah, termasuk pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari program kebijakan yang dibuat, pelaksanaan program
yang tepat sasaran, dan anggaran yang dialokasikan untuk membiayai upaya penanggulangan
kemiskinan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Aspek penting lainnya adalah bagaimana mengembangkan indikator-indikator keberhasilan


penanggulangan kemiskinan, pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana kebijakan dan program
yang dijalankan telah mencapai tujuan dan sasaran. Setelah melakukan pemantauan dan evaluasi kita
dapat memperbaiki dan menyempurnakan kebijakan dan program agar proses dan hasil yang diperoleh
semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, pembahasan secara terperinci mengenai kemiskinan dan penanggulangannya sangat
penting dilakukan agar berbagai pihak dapat memahami dan dapat bersama-sama memerangi
kemiskinan. Penulisan Makalah “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia; Sebuah Analisis
Kemiskinan Dari Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi” diharapkan bisa menjadi informasi, bahan diskusi
mengenai kemiskinan dan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan. Tentang bagaimana
merancang suatu kebijakan dan program pembangunan yang berpiihak pada orang miskin,
mengembangkan indikator keberhasilan program, melakukan pemantauan dan evaluasi.

Bagi aktivis organisasi non pemerintah dan masyarakat, informasi ini diharapkan dapat memperluas
wawasan dan meningkatkan kerjasama dalam menggalang upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan
informasi ini diharapkan semua pihak, terutama mereka yang bertanggungjawab dalam merancang dan
menjalankan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan memiliki perhatian khusus dalam
penanggulangan kemiskinan di daerah khususnya di desa-desa, Sehingga memiliki pemahaman dan
pengertian yang lebih baik (menyeluruh) tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya.

Kemiskinan
Pemerintah Indonesia memiliki beberapa model kesejahteraan dan kemiskinan; misalnya, Badan pusat
statistik yang mengukur kemiskinan dengan fokus konsumsi dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) yangberfokus pada kesejahteraan keluarga. Lembaga-lembaga internasional, seperti
United Nations DevelopmentProgramme (UNDP) juga memperhatikan isu pengembangan manusia, yang
didefinisikan sebagai harapan hidup, tingkat melek huruf, pendidikan, dan tingkat daya beli per kapita
(Cahyat, 2007: 11).

Konsep-konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dilihat dari sudut pandang
pemerintah daerah, misalnya Kutai Barat, model-model tersebut memiliki beberapa kelemahan, yaitu:

1. Tidak menggambarkan ciri khas lokal (misalnya, kondisi perumahan atau preferensi makanan
setempat).
2. Tidak menyentuh konteks kemiskinan (misalnya, tidak ada dari model tersebut yang berhubungan
dengan sumberdaya alam atau konteks sosial).
3. Data yang ada sering kontradiktif.
4. Tidak terkait dengan pengurangan kemiskinan atau perencanaan pembangunan.

Oleh karena itu, Menurut Cahyat (2007:11) konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang baru diperlukan
untuk menghubungkan aktivitas pemantauan dan perencanaan secara lebih baik. Ciri khas lokal,
kepentingan pemerintah daerah, dan persepsi masyarakat tentang kemiskinan dan kesejahteraan
dipelajari melalui studi kehidupan masyarakat secara mendalam, lokakarya pemerintah, dan analisis
kebijakan. Berdasarkan temuan dari pembelajaran partisipatif ini, kemiskinan didefinisikan sebagai
berikut:

“Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk
meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan”.

Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut
kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari pandangan konvensional kemiskinan dipandang
dari sisi moneter, dimana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu
dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut, maka mereka
dianggap miskin.

Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran
moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-
anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator
angka buta huruf. Selanjutnya pandangan yang lebih luas mengenai kemiskinan adalah kemiskinan ada
jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak
memadai atau kesehatan yang buruk, atau ketidakamanan, atau kepercayaan diri yang rendah, atau rasa
ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak bebas berpendapat. Berdasarkan pandangan ini, kemiskinan
adalah fenomena multi dimensi, dan solusi untuk mengatasinya tidaklah sederhana.

Menurut Martono (2014:163) Secara umum kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kedua jenis kemiskinan ini sama-sama memperhitungkan
komponen kepemilikan materi, terutama pendapatan. Namun, perbedaannya adalah pada kemiskinan
absolut ukurannya sudah ditentukan secara absolut, dan diterapkan di setiap tempat atau wilayah,
sedangkan kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar
penduduk setempat. Misalnya: Di Indonesia, ditentukan batas bahwa penduduk berpendapatan dibawah
Rp. 1 Juta/bulan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Batas ini berlaku di semua wilayah Indonesia.
Inilah yang dinamakan kemiskinan absolut. Kemudian misalnya: ada penduduk yang tinggal di di suatu
pemukiman (Kota Surakarta), ia mempunyai pendapatan Rp. 1,5 Juta/bulan. Ternyata pendapatan
penduduk tersebut adalah pendapatan terendah di Surakarta, karena rata-rata pendapatan di Surakarta
adalah Rp. 5 Juta/bulan. Maka, penduduk tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin berdasarkan
rata-rata pendapatan penduduk wilayah setempat, meskipun pendapatannya di atas Rp 1 Juta/bulan.
Inilah yang disebut sebagai kemiskinan relatif.

Menurut World Bank Institute (2005), ada 4 alasan mengapa kemiskinan diukur. Pertama adalah untuk
membuat orang miskin terus berada dalam agenda; jika kemiskinan tidak diukur, maka orang miskin akan
mudah terlupakan. Kedua, orang harus mampu mengidentifikasi orang miskin jika salah satu tujuannya
adalah untuk keperluan intervensi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Ketiga adalah untuk
memantau dan mengevaluasi proyek-proyek atau kebijakan intervensi yang diarahkan kepada orang
miskin. Dan terakhir adalah untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan.

Barrientos (2010) mengungkapkan konsep kemiskinan yang hampir mirip dengan yang dikemukakan oleh
Bank Dunia. Kemiskinan menggambarkan keadaan dimana individu atau rumah tangga berada dalam
kondisi yang sangat kekurangan dalam kesejahteraannya. Perspektif yang berbeda mengenai
kesejahteraan dan pembangunan memberikan ruang yang berbeda dimana kemiskinan diamati dan
diukur. Perspektif resources mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau keluarga
untuk memerintahkan sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perspektif ini
mendominasi diskusi mengenai kemiskinan dan pengukurannya di negara sedang berkembang.
Perspektif partisipasi sosial dan inklusi mendefinisikan kemiskinan sebagai pengucilan dari aktivitas kerja
sama; orang yang berada dalam kemiskinan tidak bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial dari suatu
komunitas pada tingkat minimal yang dapat diterima. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai
kemiskinan di negara maju.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau
sekelompok orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan
kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut
pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat- alat
produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi
pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan
seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.

Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti
kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan
kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinanbagi orang miskin terlibat dalam pengambilan
keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare
approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari
kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang
miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat
sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi
juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya
dapat ditanggulangi apabila dimensidimensi lain itu diperhitungkan.

Sementara itu jika dilihat dari penyebabnya, kemiskinan terdiri dari: (1) Kemiskinan natural, (2)
Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan struktural (Sumodiningrat, 1998). Kemiskinan kultural
merupakan suatu kondisi kemiskinan yang terjadi karena dari awalnya memang miskin. Kelompok
masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya
alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam
pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. kemiskinan natural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau
karena bencana alam.

Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang
terisolir. Kemiskinan kultural merupakan suatu kondisi kemiskinan yang terjadi karena kultur, budaya atau
adapt istiadat yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap
hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan
budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok
masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha
untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya.

Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Penyebab
kemiskinan ini karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor faktor buatan manusia seperti kebijakan
ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan
ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Munculnya kemiskinan
struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan
bermacammacam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan
sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat
menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.

Faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia


Masalah kemiskinan lebih banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Ini
terkait dengan kemampuan negara untuk menyediakan berbagai fasilitas bagi warga negaranya.
Setidaknya ada 3 faktor penyebab yang akan dibahas mengenai kemiskinan di Indonesia. Pertama,
Kemiskinan secara struktural: Pemerintah tidak bisa memberikan jaminan pendidikan gratis sampai
jenjang sarjana bagi seluruh warga indonesia dan pemerintah gagal dalam menyediakan lapangan
pekerjaan. Kedua, Kemiskinan Kultural: Ketiadaan motivasi untuk maju atau berprestasi. Ketiga, Menurut
Beberapa Pakar.
Kemiskinan Struktural
Pemerintah tidak bisa memberikan jaminan pendidikan gratis sampai jenjang sarjana bagi seluruh warga
indonesia, gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan, dan mengeluarkan kebijakan yang tidak
berpihak kepada masyarakat miskin.

Ketidakmampuan mengakses pendidikan adalah salah satu faktor pemicu tingginya angka kemiskinan
karena biaya pendidikan yang sangat mahal. Faktor pendidikan ini berdampak pada ketidakmampuan
masyarakat mendapatkan status pekerjaan yang layak, sehingga mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.
Pemerintah Indonesia baru bisa memberikan kesempatan yang menyuluruh untuk pendidikan sampai
Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Sedangkan untuk SMA dan perguruan tinggi jumlahnya terbatas
bagi siswa kurang mampu. Hal inilah yang menyebabkan kesenjangan di Indonesia semakin tinggi dan
penyelesaian permasalahan kemiskinan semakin kompleks.
Penduduk miskin yang sebagian besar tinggal dipedesaan, memaksa mereka berbondong-bondong
merantau ke kota, dan sebagian yang lain memilih mencari pekerjaan keluar negeri. Banyaknya
penduduk yang memilih bekerja keluar negeri juga menimbulkan masalah baru ketika mereka tidak
memiliki bekal keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Inilah problematika kemiskinan. Lapangan
pekerjaan yang semakin sempit, memaksa mereka untuk terus menerus tenggelam dalam kemiskinan
(Martono, 2014: 166).Seperti yang diberitakan oleh sindonews.com pada tanggal 16 September 2015
dengan judul keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia menyebabkan kemiskinan terus bertambah,
selengkapnya sebagai berikut:
Keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia menyebabkan angka kemiskinan terus bertambah. Badan
Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari September 2014 hingga Maret 2015 angka kemiskinan naik
0,26%.
Ekonom dari Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting mengatakan, ada 2,7 juta pekerjaan yang
diciptakan di Indonesia selama setahun, namun kapasitas tersebut tidak sebanding dengan jumlah
pelamar kerja.
"Kalau kita lihat antara Februari 2014 ke 2015 bulan yang sama, ada 2,7 juta lapangan pekerjaan yang
diciptakan. Tapi, ada 3 juta orang yang mencari pekerjaan. Nah, yang tidak bekerja ini, bisa menambah
angka poverty (kemiskinan) di negara kita. Jadi wajar kalau angka kemiskinan Indonesia naik," jelasnya
ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Rabu (16/9/2015)
Selain itu, lanjut dia, banyak para pekerja yang dengan mudah berpindah sektor pekerjaan dari sektor
formal ke informal. Sedangkan selama jeda mencari pekerjaan baru, itu membutuhkan waktu yang lama
terkadang.
"Jadi mereka terkadang menganggur dulu. Itu yang sebabkan Picu angka kemiskinan juga," katanya.
Sedangkan, lanjut dia, antara job dan pertumbuhan penduduk, tidak balance. Lapangan pekerjaan saat
ini dengan pertumbuhan pencari kerja sekarang sudah tidak mencukupi untuk menarik pekerja.
"Ini tanda-tanda bahwa pertumbuhan pencari kerja saat ini, sudah tidak memungkinkan untuk menyerap
tenaga baru. Itu yang membuat kemiskinan meningkat. Makanya insentif pemerintah, dana desa, itu
penting untuk menciptakan lapangan kerja baru sementara," pungkasnya.
Selain beberapa faktor diatas, kemiskinan struktural di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor kebijakan
pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat kecil, seperti 3 berita yang dilangsir oleh sindonews.com
yaitu:

1. pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) lebih memfokuskan persoalan infrastruktur ketimbang


mengentas angka kemiskinan yang kini jumlahnya semakin besar (sindonews.com 27 september 2015),
Berita Selengkapnya sebagai berikut:

Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi pemerintahan SBY, Firmanzah menilai pemerintahan Joko
Widodo (Jokowi) lebih memfokuskan persoalan infrastruktur ketimbang mengentas angka kemiskinan
yang kini jumlahnya semakin besar.

Dia mengatakan, persoalan kemiskinan tidak bisa diselesaikan sendiri dan membutuhkan fokus serta
kepemimpinan yang kuat. Sayangnya, saat ini pemerintah masih fokus kepada persoalan infrastruktur
dan mengenyampingkan kemiskinan. (Baca: Jumlah Penduduk Miskin RI Naik Jadi 28,59 Juta Orang )
"Bukan berarti infrastruktur tidak penting, tapi yang sifatnya jangka pendek itu harus diperhatikan. Jadi
tidak bisa diselesaikan pemerintah pusat saja, tapi juga harus pemerintah daerah," katanya dalam
sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (27/9/2015).

Menurutnya, Presiden Jokowi sedianya perlu menambah variasi wacana dan urgensi mengenai
pengentasan kemiskinan dalam setiap pidatonya. Sebab, jika mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut
sudah menyatakan bahwa kemiskinan adalah isu yang penting, maka para menteri di bawah kendalinya
akan menganggap hal tersebut penting untuk diselesaikan.

"Jadi Presiden perlu memperbanyak dalam setiap pidatonya, pentingnya soal pengentasan kemiskinan.
Sehingga menteri koordinator dan menterinya akan lebih fokus merumuskan solusi," tutur dia.
Rektor Universitas Paramadina ini menambahkan, sejauh ini dirinya belum melihat komitmen Jokowi
secara tegas untuk pengentasan kemiskinan. "Saya belum lihat Presiden mengatakan secara intens
bahwa pengentasan kemiskinan itu penting. Meskipun infrastruktur ujung-ujungnya untuk kemiskinan
juga, tapi untuk sampai ke angka kemiskinan itu bisa empat hingga lima tahun," tandas Firmanzah.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, penduduk miskin di Indonesia
per Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau meningkat 0,26% dari September 2014.
Kepala BPS Suryamin menjelaskan, data tersebut diambil berdasarkan 300.000 sampel yang disebar
pihaknya ke berbagai provinsi.
"Penduduk miskin per Maret 2015 dengan porsi 11,22% atau 28,59 juta penduduk. Sampel 300 ribu.
Dibandingkan September 2014 naik 0,26%," ujarnya.

2. Naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) berpengaruh pada kemiskinan dan upah buruh
(sindonews.com 1 Oktober 2015), Berita Selengkapnya sebagai berikut:

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo
menyatakan, naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) akan berpengaruh pada kemiskinan dan
upah buruh.
Hampir semua sektor membutuhkan energi, sehingga jika terjadi fluktuasi harga BBM atau harganya naik
sedikit, akan berpengaruh juga pada harga kebutuhan lain bahkan berdampak pada daya beli
masyarakat.
"Bahan makanan butuh angkutan, jadi enggak kena kenaikan. Hampir semua sektor membutuhkan
energi pasti akan terjaga. Makanya setelah kenaikan BBM setahun dampaknya kerasa. Masalahnya
kalau BBM naik yang lain ikut naik. Kalau turun itu menjaga yang lain enggak naik. Tapi enggak
menurunkan harga juga," katanya di Gedung BPS, Kamis (1/10/2015).

Jadi, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, atau malah menurunkan harga BBM sesuai harga
minyak dunia, itu akan bagus untuk harga kebutuhan pokok dan komoditi lain. "Enggak naikkan harga
BBM saja sudah bagus apalagi nurunin kan, lebih bagus lagi," kata Sasmito.

Menurutnya, jika harga BBM tetap atau turun, ini akan mengurangi angka kemiskinan, karena biaya hidup
relatif rendah sehingga kemiskinan akan turun.

"Indikasi sekarang kemungkinan biaya hidup relatif rendah sehingga kemiskinan akan turun. Kalau mau
melihat pada pertengaha September kan mengeluarkan upah buruh. Riilnya naik itu tanda penduduk
miskin turun," pungkasnya.

3. Indef: Kesenjangan Sosial era Jokowi-JK makin runyam (Sindonews.com tanggal 16 Oktober 2015),
berita selengkapnya sebagai berikut:

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, pemerintahan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla (Jokowi-JK) saat ini menambah runyam masalah kesenjangan sosial. Ini dibuktikan dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini paling rendah sejak 2009. Selain itu, gagalnya pemerintah
untuk mengendalikan harga barang, menjadi masalah utama di tengah pelemahan ekonomi Indonesia.
Padahal, saat beberapa komoditas terjadi lonjakan harga, masa panen sedang berlangsung.
"Pertumbuhan ekonomi kita saat ini paling rendah dari tahun 2009 waktu zaman Presiden SBY. Padahal,
kala itu Presiden SBY juga mengalami krisis. Kemudian gagalnya pemerintah mengendalikan harga
barang dan komoditas di awal hingga pertengahan bulan. Padahal saat itu terjadi panen, tapi harganya
malah naik," kata pengamat ekonomi dari Indef Dzulfian Syafrian di Jakarta, Jumat (16/10/2015).

Kondisi ini memperburuk kondisi masyarakat berpenghasilan minim, karena 65% penghasilan mereka
digunakan untuk membeli komoditas untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari.
"Bayangkan, 65% penghasilan mereka hanya untuk makan. Penghasilan masyarakat ekonomi bawah
taruh. Misalnya Rp1 juta per bulan, Rp650 ribunya untuk makan. Sisanya untuk bertahan hidup dikala
makanan mereka habis," ujarnya.
Artinya, kata Dzul, pemerintah terkesan gagal menjaga harga pangan dan memproteksi masyarakat
Indonesia dari jurang kemiskinan, meskipun sebetulnya ketimpangan sosial ini sudah ada sejak zaman
pemerintahan SBY. "Sekarang kemiskinan kita bertambah 0,86 juta orang. September 2014 sebesar
27,73 juta, hingga Maret 2015 mencapai 28,59 juta. Ini merupakan bukti bahwa pemerintah saat ini gagal
memberikan proteksi ke masyarakat miskin kita," pungkas dia.
Kemiskinan Kultural: Ketiadaan motivasi untuk maju atau berprestasi.
Selain kemiskinan disebabkan oleh faktor luar, ada pula kemiskinan yang disebabkan faktor penuduk itu
sendiri. Hal ini dilatarbelakangi mentalitas penduduk yang malas bekerja, yang selalu mengharapkan
bantuan dari orang lain. Mereka tidak mau berusaha sendiri untuk mencari sumber-sumber pendapatan.

Menurut McClelland dalam Martono (2014:167) salah satu penyebab terpuruknya negara dunia ketiga
adalah ketiadaan motivasi berprestasi. Sikap mudah pasrah juga dapat menjadi penyebab kemiskinan.
Inilah yang kemudian disebut kemiskinan budaya, kemiskinan yang disebabkan mentalitas individu yang
dapat disebabkan oleh budaya atau nilai-nilai fatalistik yang dianut masyarakat.

Banyak penduduk di pedesaan yang mampu mengkonsumsi beras 30kg/bulan, namun mereka
mendapatkan beras tersebut dengan cara “bon” atau hutang diwarung tetangga. Sebenarnya pendapatan
mereka setiap bulan tidak cukup untuk membeli beras tersebut.

Selain itu ada peribahasa-peribahasa yang berdampak kemiskinan secara kultural. Pertama, banyak
anak banyak rezeki, padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula akhirnya anak-anaknya tidak bisa bersekolah karena
kemiskinan. Kedua, Budaya “pasrah” hidup yang penting bisa makan. Ketiga, kebiasaan berhutang dan
tradisi sumbangan ketika ada teman, saudara, atau kerabat yang mengadakan pesta sunatan atau
perkawinan.

Faktor Kemiskinan Menurut Para Pakar


Setiap permasalahan timbul pasti karna ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya
sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia.
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Hudayana
(2009:28-29) yaitu :

1). Pendidikan yang Terlampau Rendah


Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang
diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang
menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2). Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh
tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3). Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan
bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya
miskin.
4). Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal
seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat
kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.
5). Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam
rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh
penghasilan.
6). Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha
peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan
semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
Suryadiningrat dalam Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya
disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama,
kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan
terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan
berusaha akibat :
1) ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan
2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan
oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1. Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan
sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi
kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya
lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk
memutuskan lingkaran kemiskinan.
4. Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup
terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak
kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.

Nasikun dalam Suryawati (2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya
kemiskinan, yaitu :

1. Pelestarian Proses Kemiskinan; Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui


pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan.
2. Pola Produksi Kolonial; Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu
petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi
ekspor.
3. Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan
lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
4. Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam; Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun
hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
5. Peminggiran Kaum Perempuan; Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas
kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
6. Faktor Budaya dan Etnik; Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti,
pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif
saat upacara adat atau keagamaan.

Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia


Penanggulangan kemiskinan harus menjadi fokus utama negara Indonesia jika ingin mewujudkan sila
kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu penulis menganggap
perlu adanya solusi kongrit dan gabungan dari berbagai pemikiran baik dari akademisi maupun kebijakan
pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang akan dituangkan dalam pembahasan mengenai
strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kita semua faham dan
bersama-sama memerangi kemiskinan.
Strategi penanggulangan kemiskinan oleh Pemerintah
Strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah menurut buku analiis data kemiskinan Kementrian
sosial RI dan BPS (2012 : 62-69) Penduduk miskin memiliki karakteristik sosial dan fisik tertentu yang
membuat mereka perlu mendapat perhatian agar mereka dapat keluar dari kemiskinan. Perhatian
tersebut dituangkan ke dalam kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan yang dijabarkan dalam
berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pembangunan nasional dan daerah pun diarahkan untuk
mengeluarkan mereka yang miskin keluar dari kemiskinan atau dengan kata lain kemiskinan
mempengaruhi arah perencanaan pembangunan, baik nasional maupun regional. Program-program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia dibagi ke dalam 4 klaster, yaitu:

1. Klaster-1 merupakan program perlindungan sosial berbasis keluarga berupa bantuan siswa miskin,
JAMKESMAS, raskin, PKH, BLT, dan lain-lain.
2. Klaster-2 merupakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti PNPM mandiri yang
bertujuan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan
berusaha, tanah, sumber daya alam, dll.
3. Klaster-3 merupakan program pemberdayaan UMKM, seperti KUR dan UMKM.
4. Klaster-4 termasuk program rumah sangat murah, program kendaraan angkutan umum murah,
program air bersih untuk rakyat, program listrik murah dan hemat, serta programpeningkatan
kehidupan nelayan, dan program peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.

Beras Miskin (Raskin)


Penyaluran RASKIN (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak1998. Krisis moneter tahun
1998 merupakan awal pelaksanaan RASKIN yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan
rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus
(OPK), kemudian diubah menjadi RASKIN mulai tahun 2002, RASKIN diperluas fungsinya tidak lagi
menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial
masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan RASKIN menjadi nama program diharapkan akan
menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan RASKIN

Raskin merupakan subsidi pangan yang diperuntukkan bagi keluarga miskin.Program ini bertujuan untuk
mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan
pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energy dan protein. Selain itu
raskin bertujuan untuk meningkatkan/membuka akses pangan keluarga melalui penjualan beras kepada
keluarga penerima manfaat dengan jumlah yang telah ditentukan. Efektivitas raskin sangat tergantung
pada ketepatan jumlah sasaran penerima manfaat dan ketepatan jumlah beras yang diterima.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)


Jamkesmas merupakan sebuah program jaminan kesehatan untuk pendudukIndonesia dibidang
kesehatan. Program ini diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk meningkatnya akses dan
mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat
kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif .Program ini dijalankan oleh Kementerian Kesehatan
sejak 2008. Jamkesmas diselenggarakan berdasarkan konsep asuransi sosial dan iurannya dibayar oleh
pemerintah.

Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2010 ada sekitar 43,98 persenpenduduk Indonesia
belum memiliki jaminan kesehatan, atau ada sekitar 56,02 persen penduduk Indonesia sudah memiliki
jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang banyak dimiliki oleh penduduk adalah jaminan kesehatan
yang berasal dari program pemerintah baik dari pusat (Jamkesmas) maupun dari daerah (Jamkesda).
Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Meski dana BOS diharapkan dapat meningkatkan keikutsertaan peserta didik,namun masih tetap saja
ada siswa yang putus sekolah dan tidak melanjutkan. Salah satu penyebabnya adalah orang tua tidak
mampu memenuhi kebutuhan pendidikan seperti baju seragam, buku tulis dan buku cetak, sepatu, biaya
transportasi dan biaya lainnya yang tidak ditanggung oleh dana BOS. Bantuan dana diberikan untuk
dipergunakan memenuhi keperluan sekolah seperti, membeli buku pelajaran, seragam sekolah, alat-alat
olah raga dan ketrampilan, pembayaranan transportasi kesekolahserta keperluan lain yang berkaitan
dengan proses pembelajaran di sekolah.

BSM adalah bantuan yang diberikan kepada siswa kurang mampu untuk dapatmelakukan kegiatan
belajar di sekolah. Bantuan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat
permasalahan biaya pendidikan, serta memberi peluang bagi siswa untuk mengikuti pendidikan dilevel
yang lebih tinggi. Program ini bersifat bantuan diberikan kepada siswa miskin dan tidak berdasarkan
prestasi.

BSM disiapkan pemerintah mulai dari tingkat SD sampai SMA. Di jenjang pendidikan tinggi, pemerintah
juga menggulirkan program beasiswa bagi anak kurang mampu dengan nama bantuan belajar
mahasiswa miskin ber-IPK 2.5 dan beasiswa bidik misi. Program bidik misi bertujuan untuk meningkatkan
akses dan kesempatan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik namun kurang mampu secara
ekonomi.

Adapun persyaratan penerima BSM adalah siswa SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB dan SMK baik
negeri maupun swasta dari keluarga miskin yang:
a) dari keluarga peserta PKH,
b) memperoleh Kartu Siswa Miskin dari TNP2K atau
c) tidak sedang menerima beasiswa dari sumber lain.

Adapun persyaratan sekolah peserta program BSMadalah


a) sekolah yang mempunyai siswa yang berasal dari keluarga miskin
b) sekolah yang memiliki surat ijin operasional/kelembagaan yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota setempat untuk sekolah umum.
Program Keluarga Harapan (PKH)
PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepadarumah tangga sangat
miskin (RTSM) dengan persyaratan tertentu. Rumah tangga yangmendapat program ini adalah RTSM
yang memiliki ibu hamil atau anak balita atau anak sekolah usia 5 – 17 tahun yang masih bersekolah
pada tingkat SD atau SMP. Bantuan diberikan selama 6 tahun berturut-turut.Anggota keluarga RTS
tersebutdiwajibkan melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan, seperti tingkat kehadiran di sekolah,
pemeriksaan kesehatan, dsb.

Tujuan jangka pendek dari program ini adalah mengurangi beban RTSM,sedangkan untuk jangka
panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi. Dengan mengikuti program
ini, generasi berikutnya dari RTSM diharapkan dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Program PKH
juga membantu pencapaian lima tujuan MDGs, yaitu: Pengurangan penduduk miskin dan kelaparan;
Pendidikan Dasar; Kesetaraan Gender;Penguranganangka kematian bayidan balita; Pengurangan
kematian ibu melahirkan.
Strategi dengan mengkaji karakteristik kemiskinan dan kesejahteraan keluarga di berbagai
daerah di Indonesia
Menurut Cahyat (2007:11) ada Tiga tingkat kondisi yang perlu dipantau dalam mengkaji kemiskinan dan
kesejahteraan keluarga: (1) Kesejahteraan subjektif (subjectivewellbeing atau disingkat SWB), (2)
Kesejahteraan inti (kebutuhan dasar, seperti kekayaan materi, pengetahuan dan kesehatan), dan (3)
Lingkungan pendukung (konteks).

Lingkungan pendukung masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu lingkungan sektoral (alam, ekonomi, politik
dan sosial) dan lingkungan lintas sektoral (infrastruktur dan pelayanan) Perasaan kesejahteraan subjektif
adalah kumpulan perasaan seseorang; bisa berupa perasaan sejahtera, rasa bahagia, rasa dihormati,
rasa diakui, rasa miskin, rasa serba kekurangan, dan perasaan-perasaan sejenisnya. Perasaan ini
bersifat sangat umum dan dipengaruhi oleh seluruh aspek kehidupan.

Perasaan ini bisa saja bersifat sementara dan mungkin dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sesaat.
Rumah tangga yang baru bercerai, misalnya, pasti langsung merasa tidak bahagia, walaupun mungkin
keadaan materi, pengetahuan, kesehatan dan lingkungan kehidupannya dalam kondisi baik. Oleh karena
itu, di samping mengukur kesejahteraan subjektif, kita juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek
kehidupan lain yang lebih objektif. Walaupun aspek ini sangat subjektif, tetapi sangat penting untuk diukur
karena merupakan hal yang paling inti dalam kesejahteraan. Ada banyak contoh yang menunjukkan
orang kaya terkena penyakit karena perasaannya terganggu.

Kesejahteraan inti terdiri dari kebutuhan dasar yangbersifat material (kebendaan) maupun bukan
material, yang mencakup aspek gizi dan kesehatan, pengetahuan, dan kekayaan materi. Dalam
memantau kebutuhan dasar, informasi tentang bagaimana kebutuhan dasar tersebut didapatkan (atau
tidak didapatkan), seberapa sulit atau mudah mendapatkannya, atau dari mana kebutuhan itu bisa
didapat, bukan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Informasi yang penting di sini adalah apakah
responden mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut setidaknya dalam 12 bulan terakhir.
Dengan demikian, pada saat rumah tangga dalam keadaan miskin, pemantauan kebutuhan dasar tidak
memberikan informasi tentang potensi bagi rumah tangga tersebut untuk keluar dari kemiskinan di masa
depan.

Lingkungan pendukung (konteks) adalah lingkungan kehidupan yang mempengaruhi kesejahteraan inti.
Misalnya, ada dua anak dengan usia dan tingkat kecerdasan yang sama tetapi tinggal terpisah pada
lingkungan yang berbeda (misalnya di dua daerah yang berbeda). Salah satu anak tersebut tinggal di
daerah dengan lingkungan alam yang sehat, sumber daya alam yang terjangkau serta dikelola secara
lestari, dan pemerintah memberikan dukungan bagi perkembangan anak ini sampai dewasa yaitu dengan
menyediakan pendidikan berkualitas tinggi yang terjangkau oleh seluruh warga.

Di lain pihak, anak yang lain tinggal di daerah dengan kondisi bertolak belakang: lingkungan alam yang
rusak parah, sungai dan sumber air yang tercemar, sumber daya alam yang tinggal sedikit, serta
pelayanan pendidikan yang sangat rendah. Dengan kondisi demikian, dalam 25 tahun ke depan dapat
dipastikan kedua anak tersebut akan mengalami perkembangan yang jauh berbeda: anak yang tinggal di
lingkungan yang mendukung akan jauh lebih maju dan berkembang karena kebutuhan kesehatan,
pengetahuan dan materinya dapat dipenuhi tanpa kesulitan, yang pada akhirnya dapat memberikan
perasaan sejahtera.

Dalam kaitannya dengan upaya penanggulangan kemiskinan, informasi lingkungan pendukung dapat
memberikan gambaran tentang potensi suatu rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. Sebetulnya,
lingkungan pendukung dalam kenyataannya tidak terpisah dan terkotak-kotak, tetapi pengelompokan
perlu dilakukan untuk mempermudah analisis. Pengelompokan juga penting dilakukan agar pengambil
keputusan di tingkat daerah dapat menghubungkannya dengan pembagian urusan atau tugas pokok dan
fungsi (TUPOKSI). Lingkungan pendukung dibagi menjadi empat kelompok yaitu Politik, Ekonomi, Sosial,
dan Alam (POLEKSAL). Lingkungan POLEKSAL dapat memastikan bahwa setiap rumah tangga
mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya dan sekaligus dapat mengurangi
kerentanan terhadap kekurangan kebutuhan dasar secara berkesinambungan. Lingkungan lintas sektoral
kelima, infrastruktur dan pelayanan, mempengaruhi seluruh lingkungan lainnya.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Akademisi


Menururut Slamet Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret dalam artikel ilmiahnya yang berjudul
Kemiskinan Petani Pedesaan, Analisis Mengenai Sebab-Sebab dan Alternatif Pemecahannya,
Mencermati berbagai sebab-sebab kemiskinan petani pedesaan, sebenarnya banyak hal yang perlu
diusulkan yaitu dengan cara menghapuskan penyebab kemiskinan. Namun demikian dengan kuatnya
sistem politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang mengglobal, menghapuskan penyebab-penyebab
kemiskinan adalah suatu pekerjaan yang luar biasa beratnya atau bahkan mustahil.

Menurut Slamet Alternatif pemecahan masalah kemiskinan adalah dengan mengetengahkan suatu
pendekatan kemiskinan yang sekarang ini juga disarankan oleh para penasehat Bank Dunia. Pendekatan
yang dimaksud adalah pendekatan modal sosial. Pendekatan ini telah ditunjukkan oleh banyak peneliti
yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan berkaitan erat dengan peranan modal sosial. Modal
sosial berkaitan dengan social networking, norm of trust, mutual reciprocity dan mutual benefit. Hasil
penelitian Grootaert (1999), Putnam (2000; 2002), Coleman (2000), Woolcock (2002), Slamet (2010)
menunjukkan bahwa modal sosial dapat membantu dalam pengentasan kemiskinan. Menurut hasil
penelitian Slamet (2010) modal sosial dapat diciptakan melalui pembangunan institusi-institusi sosial.
Institusi sosial memungkinkan terbentuknya modal sosial yang pada gilirannya dapat mengentaskan
kemiskinan.
Slamet (2012: 177) meninjau ulang atas upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia semenjak
pemerintahan Orde lama sampai sekarang untuk menurunkan angka kemiskinan, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Beberapa implikasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan yaitu:

1. Pengentasan dari kemiskinan harus dirancang berdasarkan atas strategi perencanaan bottom-up,
bukannya top-down.
2. Program pengentasan dari kemiskinan harus diterapkan pada wilayah yang berskala kecil lebih
dahulu sebagai uji coba, konseptualisasi, rancangan program, pelaksanaan program, dan dampak
program harus dievaluasi. Keputusan harus dibuat apakah program harus direvisi, dihentikan atau
dilanjutkan. Menerapkan program secara nasional harus secara hati-hati dan tidak pukul rata.
3. Banyak program-program pengentasan dari kemiskinan tidak dievaluasi oleh pakar sehingga
pemegang otoritas tidak mengerti kelemahan dan kekuatan program. Karenanya program-program
pengentasan dari kemiskinan harus disertai secara melekat anggaran untuk monitoring dan evaluasi.
Dengan cara yang demikian pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau para penyandang dana
tidak mengulang kesalahan.
4. Program pengentasan dari kemiskinan seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang tumpang tindih.
Kenyataan ada wilayah yang menerima banyak program-program pengentasan dari kemiskinan,
sebaliknya ada daerah yang sama sekali tidak menerimanya.
5. Banyak program yang dilancarkan atas dasar pendekatan karitatif. Model pengentasan dari
kemiskinan semacam itu pada kenyataannyamenciptakan mental pengemis di kalangan penduduk
miskin. Pendekatan karitatif bagi pembentukan karakter bangsa harus dihindari.
6. Program pembangunan nasional harus menempatkan orang miskin pada kedudukan yang sama. bila
mereka diabaikan mereka cenderung terlibat pada gerakan-gerakan sosial, agama atau politik yang
ekstrim. fakta sejarah membuktikan bahwa petani gurem, nelayan, dan buruh cenderung lebih mudah
teragitasi dan terprovokasi untuk melawan otoritas.
7. Temuan dilapangan menunjukan bahwa lembaga-lembaga lokal yang ada di dalam masyarakat dapat
berfungsi untuk menjembatani dan menghubungkan dengan orang atau pihak luar. Lembaga lokal itu
secara nyata terbukti memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Adalah kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi lemaba-lembaga lokal itu sehingga dapat digunakan
sebagai saluran bertindak untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
8. Lembaga sosial baru dapat didirikan dibawah bimbingan dan fasilitas departemen tertentu. Misalnya,
departemen pertanian, departemen kesehatan, dan departemen lainnya. Lembaga-lembaga sosial itu
dapat dipergunakan sebagai agen perubahan dalam pembangunan.
9. Banyak masalah harus dipecahkan. Masalah pertama adalah bagaimana caranya meningkatkan
derajat partisipasi masyarakat miskin di dalam lembaga-lembaga sosial. Kedua, bagaimana cara
mengubah sikap mentalwarga khususnya penduduk miskin. Ketiga, bagaimana caranya agar tumbuh
dikalangan penduduk miskin etos kerja yang tinggi dan virus N Ach (need for achievement). Keempat,
bagaimana agar lemabaga sosial yang ada bukan menguntungkan the haves saja tetapi dapat
berfungsi untuk meningkatkan distribusi pendapatan, meningkatkan ras keadilan dan dapat
meningkgatkan kepedulian bersama atas masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Pendapat lainnya menurut Sholeh Dosen Ekonomi Universitas Yogyakarta dalam artikel ilmiahnya yang
berjudul “Kemiskinan:Telaah dan beberapa Strategi penaggulangannya”, Untuk mengurangi tingkat
kemiskinan di Indonesia perlu diketahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) di Indonesia sehingga kedepannya dapat
diformulasikan sebuah kebijakan publik yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini
dan tidak hanya sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga.

Strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi
kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan. strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi
kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat
untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, redistribusi lahan dan modal pertanian yang
seimbang, mendorong perkembangan investasi pertanian dan membuka kesempatan yang luas kepada
masyarakat untuk memperoleh kredit usaha yang mudah, memperkenalkan sistem pertanian modern
dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber
pendapatan yang memadai,memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan
pemerintahan dan mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan
kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama. Kebijakan dan program yang memihak orang miskin
perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil dan harus menggunakan paradigma keberpihakan kepada
orang miskin.

Kesimpulan

1. Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk
meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan.
2. Konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang baru diperlukan untuk menghubungkan aktivitas
pemantauan dan perencanaan secara lebih baik. Ciri khas lokal, kepentingan pemerintah daerah, dan
persepsi masyarakat tentang kemiskinan dan kesejahteraan dipelajari melalui studi kehidupan
masyarakat secara mendalam, lokakarya pemerintah, dan analisis kebijakan.
3. Faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Hudayana
(2009:28-29) yaitu; Pendidikan yang Terlampau Rendah, Malas Bekerja, Keterbatasan Sumber Alam,
Terbatasnya Lapangan Kerja, Keterbatasan Modal, dan Beban Keluarga.
4. Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat
disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu; Rendahnya Taraf
Pendidikan, Rendahnya Derajat Kesehatan, Terbatasnya Lapangan Kerja, dan Kondisi Keterisolasian.
5. Strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah menurut buku analiis data kemiskinan
Kementrian sosial RI dan BPS (2012 : 62-69) Program-program penanggulangan kemiskinan di
Indonesia dibagi ke dalam 4 klaster, yaitu: 1) Klaster-1 merupakan program perlindungan sosial
berbasis keluarga berupa bantuan siswa miskin, JAMKESMAS, raskin, PKH, BLT, dan lain-lain. 2)
Klaster-2 merupakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti PNPM mandiri yang
bertujuan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan
berusaha, tanah, sumber daya alam, dll. 3) Klaster-3 merupakan program pemberdayaan UMKM,
seperti KUR dan UMKM. 4) Klaster-4 termasuk program rumah sangat murah, program kendaraan
angkutan umum murah, program air bersih untuk rakyat, program listrik murah dan hemat, serta
program peningkatan kehidupan nelayan, dan program peningkatan kehidupan masyarakat miskin
perkotaan.
6. Strategi dengan mengkaji karakteristik kemiskinan dan kesejahteraan keluarga di berbagai daerah di
Indonesia Menurut Cahyat (2007:11) ada Tiga tingkat kondisi yang perlu dipantau dalam mengkaji
kemiskinan dan kesejahteraan keluarga: (1) Kesejahteraan subjektif (subjectivewellbeing atau
disingkat SWB), (2) Kesejahteraan inti (kebutuhan dasar, seperti kekayaan materi, pengetahuan dan
kesehatan), dan (3) Lingkungan pendukung (konteks).
7. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Akademisi; Menururut Slamet Dosen Sosiologi
Universitas Sebelas Maret alternatif pemecahan masalah kemiskinan adalah dengan pendenkatan
modal sosial. modal sosial dapat diciptakan melalui pembangunan institusi-institusi sosial. Institusi
sosial memungkinkan terbentuknya modal sosial yang pada gilirannya dapat mengentaskan
kemiskinan. Selain itu, Menurut Sholeh Dosen Ekonomi Universitas Yogyakarta Kebijakan dan
program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil dan harus
menggunakan paradigma keberpihakan kepada orang miskin.

Saran

1. Sebagai generasi muda harus memiliki jiwa wirausaha sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan
dan membantu pengentasan kesmiskinan
2. Perlu adanya kajian mendalam mengenai karakteristik kemiskinan di setiap daerah sehingga
penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran.
3. Pemerintah harus fokus dalam mengatasi masalah penanggulangan kemiskinan dan membuat
kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin.

Daftar Pustaka

 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2004.


 Barrientos, A.2010. Social Protection and Poverty. Social Policy and Development Programme Paper
Number No. 42. E-paper. United Nations Research Institute for SocialDevelopment.
 Cahyat, A., Gönner, C. dan Haug, M. 2007. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga:
Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.
 Kementrian Sosial Republik Indonesia dan Badan Pusat Statistik. 2012. Analisis Data Kemiskinan
Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.
 Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial-Ed.Revisi-Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 96 Tahun 2015 Tentang percepatan penanggulangan
kemiskinan.
 Slamet, Y.2012. Modal Sosial dan Kemiskinan Tinjauan Teoritik dan Kajian dikalangan Penduduk
Miskin di Perkotaan.Surakarta: UNS Press.
 Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka
 Pelajar, Yogyakarta
 World Bank Institute. 2005. Introduction to Poverty Analysis: Poverty Manual. World Bank Institute.

Karya Ilmiah:

 Hudaya, Dadan. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Skripsi:
Institut Pertanian Bogor.
 Rahmawati, Y.I.2006. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di
Kabupaten Pcitan Provinsi Jawa Timur. Skripsi: Program Studi Pertanian dan Sumberdaya, Faultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
 Slamet, Y. Kemiskinan Petani Pedesaan, Analisis Mengenai Sebab-Sebab dan Alternatif
Pemecahannya. Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
 Sholeh, M. Kemiskinan :Telaah dan beberapa Strategi penaggulangannya.Pendidikan Ekonomi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi: Universitas Negeri Yogyakarta.
 Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara multidimensional. JMPK
Vol.8/No.03/September/2005.

Internet:
www.sindonews.com

Karya: Syamsul Bakhri, Pengurus Braindilog Sociology

Anda mungkin juga menyukai